Di hari yang tak terduga itu, aku merasa terselamatkan. Setelah kejadian, pria tak dikenal membawaku dan juga kedua orangtuaku ke rumah sakit. Di sana samar - samar aku melihat para petugas kesehatan kalang kabut mendapati tiga orang korban kecelakaan lalu lintas. Selama berada aku tak mampu berbicara, hingga akhirnya terlelap.
Dua hari kemudian aku terbangun. Tangan dan kakiku bisa bergerak meskipun penuh dengan perban. Di kasur sebelah ibuku terbaring, ayahku entah dimana.
Seorang suster datang untuk mengecek keadaan kami.
"Selamat pagi kak, bagaimana rasanya?"
"Sakit - sakit semua sus. Ayah saya dimana ya?"
"Ehmm.. soal itu"
Aku langsung merasa gusar melihat ekspresi wajah sang suster.
"Kenapa? dimana dia?", aku menaikkan nada suaraku sehingga orang - orang di ruangan itu melihat ke arahku, termasuk ibuku yang juga terbangun.
Aku dan ibuku duduk di kursi roda, diantar ke sebuah ruangan yang dingin, bertuliskan kata - kata yang paling ditakutkan semua orang.
Di sana kulihat tubuh ayahku yang sudah terbujur kaku, matanya terpejam dan tak nampak akan terbuka lagi selama - lamanya. Tangisku dan ibu pecah, kami telah kehilangan sosok penuh senyum yang tak pernah menyerah, yang melakukan apapun demi keluarga kecil ini.
Setelah di kembali ke kamar, aku juga baru mengetahui bahwa kaki ibu telah lumpuh dan tak lagi bisa berjalan, maka sudah semestinya akulah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Banyak sekali yang mengisi pikiranku, apa yang harus kulakukan kedepannya. Bagaimana caraku melalui hidup yang menjadi lebih berat dari sebelumnya ini?
Terlebih lagi, bagaimana cara membayar biaya rumah sakit ini, karena asuransi ayahku kantor baruku tak bisa menanggung semuanya.
Jam dua belas lewat sepuluh, setelah mengantarkan makan siang, seorang sustet berkata bahwa ada yang ingin bertemu denganku. Namun ketika aku baru ingin bertanya orang itu sudah muncul di sebelahku. Ia nampak begitu bersinar.
"Terima kasih ya sus, sekarang saya mau bicara empat mata dulu", ucap pria dengan suara berat, yang menggunakan setelan rapi itu. Kulitnya putih dan wajahnya begitu tampan dihiasi janggut tipis.
"Mas.. yang nolongin saya?", tanyaku tanpa basa - basi.
"Iya, dengan mbak Sekar kan ya?"
"Panggil aja Rara"
"Mbak Rara ya, saya turut berduka atas yang menimpa mbak sekeluarga, apalagi ternyata ayah mbak adalah salah satu karyawan perusahaan kami juga"
"Hah? masnya orang PT. JNS?"
"Iya, kebetulan banget saya lagi ada meeting di sekitar TKP, lalu semuanya kaget dengan kejadian itu"
"Mas kenal ayah saya?"
"Nggak, tapi kami menghargai jasa semua yang pernah bekerja di perusahaan kami, jadi semua akan kami tanggung"
"Ditanggung? apanya?"
"Seluruh biaya rumah sakit sampai mbak dan ibunya sembuh, lalu pemakaman dan juga biaya hidup untuk beberapa bulan ke depannya"
Mataku dan ibu terbelalak mendengar kata - katanya.
Setelah berbicara dengan suster, pria itu berpamitan hendak pergi dari ruangan.
"Mas tunggu, nama mas siapa?"
"Oh iya, saya Daniel. Saya pamit dulu ya"
"Terima kasih banyak ya mas"
"Sama - sama", ia tersenyum manis lalu menghilang di balik pintu.
Aku dan ibu masih terdiam tak percaya dengan yang terjadi. Meski kecelakaan ini begitu menyakitkan, namun ada pertolongan yang tak kami duga sama sekali.