Di antara tahun yang terus bertambah, untuk tahun ini gadis yang sudah dibesarkan dengan penuh cinta karena kekurangannya, meminta untuk makan malam saja cukup membahagiakan dia di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas, 25 Juli. Hanya saja, tentunya orang tua yang hanya memiliki dia sebagai anak mereka tidak mungkin hanya makan malam keluarga saja, akan tetapi melibatkan saudara juga teman kerja.
Meja makan yang panjang di rumah megah kota metropolitan ini kursinya terduduki semua, dua puluh kursi. Makanan dan minuman berjajar di setiap depan semua mata. Semua yang ada mengelilingi gadis kecil yang ternyata bisa bertahan sampai tujuh belas tahun berusaha menghangatkan hatinya yang sudah diselimuti syal merah muda. Yang membuat semua amat menyayanginya tidak lain karena senyumannya yang selalu ada pada kondisi kesehatan yang tidak baik-baik saja.
"Niken, ada stroberi di kebun rumah Tante tahu. Nanti Tante jemput ke rumah Tante, ya." celoteh Tante Kinan yang padahal sudah memberinya satu dus stroberi segar.
"Iya nanti kalau stroberi dari Tante udah habis," jawab Niken bercanda.
Semuanya ikut tertawa. "Nanti ke rumahnya sama Tama aja kalau gitu," Tante Kinan tidak mau kalah dengan mengorbankan anaknya.
Kinan pun menatap Tama yang kebingungan lalu mengangguk saja.
Astro, Papa Niken berdeham menarik perhatian, "Oh iya, Papa mau ngasih kamu hadiah yang spesial sayang," ujarnya kepada Niken yang amat disayanginya. Niken pun mengangguk menunggu apa hadiahnya.
"Papa Mama dan Tante Kinan Om Raka bermaksud untuk menjodohkan kamu dengan Tama."
Niken diam, detak jantungnya pelan-pelan meningkat. Ia melihat siturasi jantung di jam yang melilingi pergelangan tangan kanannya. "Pa, Ma, aku sakit. Jantung aku gak sama kayak kalian."
"Niken, nggak gitu. Kamu tetap harus punya jodoh yang terbaik," ujar Om Raka.
"Tapi gak sekarang juga dijodohinnya. Aku sama Tama satu angkatan. Kita masih lama untuk harus dijodohin gini."
"Sayang, justru kamu terlalu sempurna untuk semua laki-laki nantinya," ujar Riska, Mama Niken.
"Ma, justru kesempurnaan aku itu sebenarnya beban," jawab Niken.
"Nik, biarin aku yang nerima semua kesempurnaan di kamu," kata Tama.
…
Sisa orang yang dikurangi dua masih di meja makan, sedangkan Niken dan Tama duduk bersampingan di kursi taman belakang rumah. Bintang menghiasi awan gelap yang tidak diketahui bentuknya saat malam, menunggu salah satu di antara mereka untuk memulai pembicaraan. Dari awal Niken meminta untuk berbicara di taman rumah, keduanya hanya mentapi air mancur yang airnya tidak pernah penuh meski terus mengalir dari atas. Lampu taman menampakan raut wajah keduanya yang saling menunggu didahului. Sampai akhirnya Niken tidak bisa tinggal diam soal perjodohan ini.
"Tama, jangan dilanjutin."
"Kenapa?"
Mereka saling menjawab tanpa adanya kontak mata.
"Aku sakit. Penyakit ini bahkan bawaan dari lahir."
"Tapi, Niken. Kamu lahir juga udah ada jodohnya."
"Belum tentu kamu juga, Tam."
"Ada kemungkinan aku, karena kita dijodohin."
"Jangan maksain diri kamu, apalagi kalau karena kasihan."
Tama menengok, menatap Niken, "Jangan karena kamu sakit, semua yang ada di dekat kamu itu berarti karena kasihan. Nggak, Nik."
"Terus apa? Apa alasannya aku harus nerima perjodohan ini?"
"Nggak ada yang tahu umur kita sampai berapa. Hidup cuma sekali. Kenapa nggak aku terima?"
"Aku mau bahagianya karena cinta, bukan perjodohan."
"Perjodohan awalnya memang bukan dari cinta," kata Tama. "Kita mulai dulu aja, Nik. Aku juga mau bahagia karena cinta."
Niken baru menengok. Dan mereka saling menatap. Niken mengangguk, "Aku capek. Jadi kalau kamu maunya juga karena cinta. Ayo kita mulai."
Tama mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kalung dengan permata kecil berwarna biru tergerai dari ujung jari telunjuknya. "Terima ini juga ya, Nik."
Niken tersenyum, "Makasih, Tam."
Sepertinya bintang di atas langit jatuh satu ke dada Niken. Bahkan tampaknya lebih indah pada cinta yang padahal belum ada di awal waktu keduanya baru bertemu ini.