Dengan rintih yang merasa bersalah, Tama menggendong Niken dengan kedua tangan yang gemetar. Kakinya yang lari juga ikut gemetar, dan suaranya, "ARKA BANTU GUE BUKA MOBIL!" teriaknya kepada Arka Vino, teman sebangkunya yang tengah di depan kelas yang tanpa bertanya langsung mengikuti permintaan Tama.
Dan Tama mempercepat larinya sambil memohon semua kesakitan yang dirasakan Niken tidak ada apa-apanya terhadap hidup Niken yang masih sangat muda untuk merasakan ini. Bahkan ia masih sempat menyalahkan dirinya yang baru ia sadari terkesan angkuh kepada Niken yang awalnya tidak ingin semua ini terjadi.
Arka tiba lebih cepat dan membukakan pintu mobil. Tama pun mendudukan Niken di kursi dengan dan saat memasangkannya sabuk pengaman, tangan kanan Tama menyentuh dada kiri Niken, "Nik, please bertahan."
"Niken anak baru?" tanya Arka baru tahu.
"Ar, gue nitip absen ya. Gue mau ke rumah sakit."
"Rumah sakit? Mau gue bantuin?"
"Nggak usah, ini tanggung jawab gue."
Arka juga tidak tahu apa-apa. Dan yang Tama pentingkan hanya Niken dan dirinya sendiri. Ia langsung tancap gas kencang untuk menyelamatkan apa yang seharusnya tidak boleh pergi cepat. Tidak ada yang tidak boleh pergi cepat, selain nyawa. Niken tetap tidak boleh pergi cepat dari orang yang menyayanginya, siapa pun.
…
Kerumpangan tidak akan terasa tanpa adanya rasa bersalah. Kini dan dari tadi Tama menatap kosong, melihat wajah Niken yang tak seharusnya pucat. Dokter bilang ini hanya kaget tiba-tiba saja, tapi kenapa tiga jam berlalu Niken belum sadar. Apa harus Tama menggenggamnya lagi seperti tadi yang membuat Niken kaget sampai begini. Ia sudah tahu Niken berbeda, tapi ia tidak tahu seperti apa berbedanya.
Bahkan bukan tangan atau mata yang bergerak, yang ada kepalanya bergerak. Tama langsung sigap memanggil dokter. Dan saat kembali membawa dokter, Tama sudah menemukan senyumannya walau tipis. Tama sama sekali tidak bisa tersenyum, ia tidak bisa memaafkan dirinya yang terlalu jahat untuk hari pertama ini.
Dokter memeriksa Niken dan mengatakan persis yang sudah dikatakan kepada Tama, lalu kembali pamit ke luar ruangan. Sedangkan Tama masih berdiri jauh dari Niken yang sedang berusaha duduk di tempat tidurnya. Tama langsung sigap menghampiri membantunya.
"Makasi ya, Tam," kata-kata pertama yang Niken ucapkan setelah tadi hanya mengangguk kepada Dokter.
"Makasi udah bertahan, Nik."
Senyuman Niken bertambah lebarnya, "Aku akan selalu bertahan, Tam."
"Kamu bertahannya nggak boleh pingsan, Nik!"
"Oh berat, ya," Niken terkekeh sedikit.
"Justru kamu semakin ngasih tahu aku, kamu gak baik-baik aja."
"Aku bukan gak baik-baik aja, Tam. Ini takdir aku dari aku lahir. Selain ini, aku baik-baik aja."
"Nggak, Nik. Ini karena aku megang kamu tiba-tiba!"
"Tama, tadi jam aku bunyi, seharusnya aku minum obat sebelum ngobrol sama kamu."
"Nah kan kalau aku gak ngobrol sama kamu, kamu nggak akan lupa minum obat."
"Tapi kalau aku gak ngobrol sama kamu, kamu nggak akan pengang tangan aku."
Tama menjadi diam untuk sejenak. Tidak ada cinta, dan cintanya tidak ada tapi terasa menegangkan untuk Tama. Bahkan ia belum menemukan apa yang harus ia katakan.
"Tadi pasti kamu kasih tau kronologinya, dokternya jadi bilang ini karena kaget, ya?" tanya Niken dengan nada sedikit meledek.
"Ya aku panik, jadi apa yang aku tahu, aku kasih tahu."
"Iya, Tam, itu dokternya bilang gara-gara kaget karena bukan dokter pribadi yang ngasih obat aku."
"Syukurlah."
Yang patut disyukuri bukan hanya Niken yang baik-baik saja, karena Niken sebetulnya tidak baik-baik saja. Tama yang mulai mengenal Niken dan sebaliknya juga patut disyukuri.
…
Saling berbicara memang memperlihatkan keakraban keduanya. Akan tetapi banyak cara juga yang dapat melihatkan semua itu, seperti si bisu yang akrab dengan seseorang terlihat dari matanya yang mengalahkan pemandangan lain. Dan Tama meniru itu, sedari awal ia membawa Niken pulang, baru beberapa menit Niken di dalam mobil, tapi lebih banyak menit yang dihabiskan Tama memandangi Niken tertidur.
Saat membayar penangan dokter, perawatnya memberitahu pesan dokter bahwa aka nada efek tidur dari obat yang telah diberikan dokter lewat botol infus Niken. Itu sebabnya Tama sengaja lambat mengendarai mobilnya, bahkan sekarang ia jadinya mengelilingi kota Jakarta.
Saat satu jam berlalu.
Tiba-tiba hujan turun dan langit sudah gelap. Jalan ini juga cukup jauh dari rumah Niken. Ada sedikit petir juga. Tama langsung refleks melihat Niken yang benar saja sudah terbuka matanya. Tapi, Tama malah tersenyum menertawakan muka bangun tidurnya Niken.
"Ini di mana?" tanya Niken masih dengan segala kengantukannya.
"Masih di jalan, Nik."
"Di jalan mana? Kok aku gak kenal."
"Tadi di jalan rumah sakitnya macet."
"Oh, aku tidur dari kapan emang?"
"Nggak tahu."
Niken juga tidak akan ingat ia tertidur saat baru ke luar dari parkiran rumah sakit. Ia merentangkan badannya yang terasa pegal setelah tidur satu jam. Lalu ia melihat Tama yang jadinya ia baru sadar, Tama sama sekali tidak memutar lagu sebelum dan setelah Niken tidur.
"Kamu dari tadi diam aja?" tanya Niken.
"Nggak diam. Ini lagi sopirin kamu."
"Ih Tamaaa."
"Kenapa emang?"
"Kamu sama sekali nggak nyalain playlist musik kamu?"
Tama diam, lalu hanya menggeleng.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Kamu nyalain playlist kamu aja."
"Playlist aku lagu Nadin Amizah semua," Niken menertawakan dirinya.
"Aku nggak punya playlist."
"Kenapa?"
"Kenapa pun itu, aku tumpahin di olahraga."
"Kita beda banget, aku sama sekali gak bisa olahraga. Kalau pun mau, nggak boleh."
"Justru kita ada karena berbeda, Nik. Bayangin kalau semua manusia itu sama, buat apa ada milyaran manusia di bumi?"
Mobil berhenti. Perkataan Tama yang sama sekali tidak terjadi, kini terjadi. Mereka berdua terjebak macet di tengah hujan deras yang membasahi kota yang paginya sudah panas. Niken menengok untuk melihat Tama yang sudah lebih awal memperhatikannya. Mereka saling menertawakan dengan lelucon "Macetnya pindah".
Niken pun memutar playlist-nya dengan judul Kanyaah oleh Nadin Amizah. Baru di awal lagu, Tama sudah berpendapat, "Lagu galau, ya?"
"Kamu tahu apa judulnya?" Niken bertanya balik.
Tama menggeleng.
"Kanyaah."
"Waw, Kanyaah."
"Tahu arti kanyaah."
Tama tertawa sedikit, "Cinta."
"Loh kamu tahu, tapi kenapa gak suka musik?"
"Bukan gak suka, Nik. Lagi gak mau aja."
"Oh iya, kepo banget ya aku."
"Nggak apa-apa, kamu tunangan aku."
Niken tersenyum, "Tapia da bagusnya juga kamu gak ngasih tau orang-orang di sekolah kalau kita tunangan."
"Nik, jangan bahas itu."
"Tam, jadi tunangan kamu aja udah buat aku ngerasa akan hidup lama."
"Niken."
"Tama, kita terlalu muda untuk harus udah pilih soal pasangan."
"Niken jangan bilang gitu."
Petir tiba-tiba mendukung Tama. "Tuh petir aja gak mau dengar itu!"
Niken tersenyum, "Oh iya, teman sebangku aku siapa ya? Tadi pelajaran pertama nggak ada."
"Dia izin ada urusan keluarga."
"Siapa emang? Cewek?"
"Bukan. Cowok, namanya Juna."
Niken mengangguk.
"Kamu gak apa-apa duduknya sama cowok lain?" tanya Tama.
"Selain kamu? Ya nggak apa-apa."
"Wah akhirnya udah beres macetnya!" seru Tama yang langsung cepat menerjang hujan yang sudah mulai menggenangi jalan.
Niken menatap ke luar jendela, akan tetapi di luar terkena kabut. Tapi ia belum beranjak menatap jendela karena memantulkan cahaya dari Tama yang sedang menyetir. Niken tersenyum.