"Kamu yang tadi di bawah pohon bukan?" masih kata laki-laki yang mengakui mejanya.
Seketika Niken langsung menangkap maksudnya dan mengangguk sebagai jawabannya. Ternyata laki-laki itu melihat jelas wajah Niken sampai mengingatnya, daripada Niken sendiri.
"Kamu siapa? Anak baru?" tanya laki-laki itu lagi.
Akan tetapi, guru pelajaran IPA tiba memasuki kelas. Laki-laki yang dari bawah pohon itu menjadi duduk di samping Niken. Dan Niken memerhatikannya dari samping, senyuman juga merekah saat melihat laki-laki yang memiliki tahi lalat di atas bibir tepatnya di samping kiri. Rambutnya yang lurus berwarna coklat itu berpadu dengan kulitnya yang kuning langsat. Tiba-tiba laki-laki itu melihat samping, kedua mata mereka saling bertemu, lalu laki-laki itu dengan enggan membalas senyuman Niken yang langsung membuat Niken sadarkan diri dan memalingkan pandangannya ke depan. Namun, ia tersentak mendapatkan kedua mata lain yang sedang menatapnya begitu tajam dari kursi depan. Niken baru ingat soal percakapan kemarin antara ia dengan Tama tentang teman semejanya. Juna?
…
Sepertinya semua yang sudah terjadi memang tidak pernah berakhir, kalau pun berakhir itu hanya sebelah pihak, karena semua yang terjadi itu karena adanya sepasang yang berarti berdua. Selama pelajaran IPA sampai guru-nya akan ke luar dari kelas, Niken tidak bisa pokus terhadap apa yang sedang terjadi seharusnya. Dia lebih banyak melihat ke luar jendela kelas yang ada tepat di sampingnya, yang tanpa ia sadari itu juga memantulkan bayangan laki-laki yang ada di sampingnya. Sama seperti waktu itu bersama Tama. Guru IPA pun sudah ke luar kelas usai menjelaskan bagian tubuh manusia dari peta organ di depan papan tulis.
"Kamu mau istirahat, gak?" tanya laki-laki itu langsung membuat Niken menengok kepadanya.
"Kamu ngajakin aku?" tapi Niken balik bertanya dengan cemas.
Laki-laki itu tertawa kecil, "Oh iya, kita belum kenal ya. Aku Juna Hendrika, panggil aja Juna," Juna mengulurkan tangan perkenalan.
Dengan gugup, Niken menjawab jabatan tangannya, "Aku Niken Kaina Anjana, panggilnya Niken." Dan langsung melepaskannya dari tangan Juna.
"Kalau dipanggil Jana boleh?" Juna malah bertanya seperti ini.
Niken menaikan alis mendengarnya, "Nggak pernah ada yang minta atau manggil aku Jana, tapi dari kecil aku mau dipanggil Jana."
"Kalau gitu biar aku aja yang panggil kamu Jana, ya?"
"Niken," panggil Tama yang sampai menhampiri mejanya.
Niken hanya membalas dengan tatapan mata yang ditemani Juna sekarang.
"Aku mau ngomong sebentar," kata Tama.
"Di mana?" tanya Niken.
"Di luar."
Mereka berbicara seperti tidak ada Juna di antara mereka. Juna juga tidak mau ikut campur jika sudah terkait dengan Tama. Ia langsung beranjak berdiri agar Niken bisa bebas untuk ikut dengan Tama atau tidak. Dan pastinya Niken beranjak ikut dengan Tama, tanpa menoleh ke belakang untuk menyadari Juna yang memandanginya sampai ke luar kelas. Namun, ada yang baru ia sadari setelah melihat Niken dan sewaktu pagi di bawah pohon, jam di tangannya tidak sama seperti jam di tangan Juna, melainkan sama seperti seseorang.
…
Sepanjang Niken mengikuti Tama dari belakang, ia sama sekali tidak berani menaikan kepalanya, ia terus melihat ke bawah. Ia tidak takut atau pun apa terhadap Tama, ia hanya tidak mau dilihat semua siswa yang sedang ada di luar kelas. Bukan hal yang biasa untuk dia menjadi pusat perhatian yang mengikuti Tama, yang sepertinya seorang yang terkenal di sekolah ini.
Tama sudah berhenti begitu saja. Seketika itu Niken berhenti jalan tapi mulai menatap Tama yang sudah menatapnya cemas. Niken tidak tahu harus bertanya atau tidak, karena Tama belum saja memulai percakapan, bahkan ia bingung harus apa.
Sampai terdengarnya Tama menghembuskan napas, "Katanya kamu berangkat buru-buru sampai sarapan kamu gak habis, kenapa?"
"Aku nggak mau ngerepotin kamu."
"Kenapa kamu selalu terus terang? Kenapa kamu gak nutupin jawaban tadi?"
"Kamu ngarepin apa dari aku, Tam?" Niken balik bertanya.
"Kamu udah ada ikatan sama aku, Nik. Bahkan kamu masih pakai kalung itu."
Niken memegang kalung yang memang belum pernah ia tidak pakai ke luar, "Ya karena kita ada ikatan makanya aku harus pakai ini."
"Kalau kita gak ada ikatan?"
"Kamu nggak mungkin kasih aku kalung."
Entah apa yang sedang ada di antara keduanya. Tidak semua ikatan itu kuat, sama seperti yang ada di antara Niken dan Tama. Masing-masing di antara keduanya bisa melepaskan ikatan tersebut, tanpa harus bersama melepasnya.
"Apa yang mau di-obrolin lagi?" tanya Niken hati-hati.
Tama menggelengkan kepala, "Kamu makan di kantin aja. Ini kantinnya," ujar Tama yang menjadi perkataannya terakhir tanpa menunggu jawaban Niken. Tama langsung pergi dari hadapan Niken.
Dan Niken juga tidak tahu harus apa. Rasanya lapar itu tidak penting selain memikirkan percakapan dengan Tama yang selalu meninggalkan bekas yang berdebu. Akan tetapi, sepertinya Niken tidak pernah tidak menuruti apa kata Tama. Ia melihat ke dalam kantin, dan langsung mencari meja yang kosong. Tidak ada yang benar-benar kosong selain satu meja yang hanya diduduki satu perempuan yang sepertinya justru memakan bekal. Niken pun masuk ke dalam kantin dan menuju meja yang tadi ia perhatikan.
"Boleh duduk di sini?" tanya Niken.
Perempuan tersebut mengangguk.
"Makanan sehat di sini apa ya?" tanya Niken lagi.
Perempuan di depan Niken baru melihat Niken di depannya, "Kenapa emang?"
"Aku pindahan ke sini baru kemarin."
"Aku juga pindahan ke sini baru hari ini."
"Oh pantas kamu sendiri," Niken tersenyum.
Perempuan di depannya juga tersenyum lalu mengulurkan tangan, "Aku Diana Vanesha, panggil aja Diana."
Niken membalas jabatan tangannya, "Aku Niken Kaina Anjana, panggil Niken."
"Aku di kelas IPS, Nik."
"Oh ternyata beda, aku kelas IPA."
"Kenapa kamu pindah?"
Tidak sama seperti pertanyaan sebelumnya, ini langsung membuat Niken kehilangan kosa kata dalam hidupnya, selain nama Tama. Diana jadi merasa tidak enak, "Kalau aku sih pindah karena rumah juga pindah, alasan yang lumrah."
Niken ikut tersenyum dan meng-iyakan, tapi belum menjawab pertanyaan Diana sebelumnya, "Alasan pindah aku gak lumrah, tapi gak bisa aku kasih tahu."
"Iya nggak apa-apa, Nik. Kita baru kenal juga."
Niken mengangguk, "Itu kamu bawa dari rumah?"
"Iya Ibuku emang selalu ribet kalau awal pindah tuh takut aku gak mau ke kantin jadinya disiapin bekal, tahunya aku lebih malu makan di kelas," Diana menertawakan dirinya.
"Mamaku banyak ngelarang tapi nggak pernah buatin aku bekal."
"Emang kamu kenapa?"
"Aku punya penyakit, Di."
Diana merasa kurang pantas menanyakan hal tersebut.
"Nggak apa-apa, Di. Aku setiap pindah sekolah selalu pengen ada beberapa orang yang aku kasih tahu soal penyakitku."
"Terus kamu nggak apa-apa?"
"Ya sekarang aku nggak apa-apa."
"Ya udah makan masakan ibuku aja, dijamin steril!" ajak Diana dengan ceria.
Niken mengangguk dengan semangat. Bahkan Diana memaksa untuk menyuapi Niken. Ini bukan pertama kalinya Niken berteman, tapi ini pertama kalinya ia ingin berteman dengan sampai begitu dekat.
"Nanti mau pulang bareng gak?" tanya Diana.
"Mau sih, tapi gak tahu."
"Iya gak apa-apa, jangan ngerasa bersalah gitu dong!"
Niken dan Diana menertawakan mereka berdua yang masih berhati-hati dalam percakapan yang sebenarnya tidak apa-apa. Dan dari sini keduanya mulai beranjak menjadi teman.
…
Tidak ada yang terjadi setelah waktu istirahat karena Niken masuk terakhir ke dalam kelas. Tama yang sudah duduk di kursinya sibuk dengan buku padahal pelajaran belum di mulai oleh guru yang baru saja duduk di kursinya. Dan ternyata Juna belum ada di kursinya. Bahkan saat guru baru saja memulai pelajaran, Niken masih duduk sendiri.
Baru di tengah pelajaran, mata Niken langsung tertarik melihat ke pintu yang baru saja dimasuki Juna. Akan tetapi Juna berhenti sejenak untuk berbicara empat mata dengan guru yang tadi masih menjelaskan pelajaran. Setelah itu, baru ia duduk di samping Niken tanpa seperti awal mereka duduk bersampingan. Juna terus melihat ke bawah yang padahal bukunya saja belum dibuka.
Sampai sekolah sudah selesai, Juna sama sekali tidak menganggap Niken ada di sampingnya. Ia hanya menghembuskan napas yang seperti berkeluh kesah. Bagi Niken yang baru tahu namanya, tidak mungkin tahu dia kenapa. Dan saat Niken mulai mengemasi bukunya ke dalam tas, Juna masih diam.
"Kamu kenapa?" Niken rasa ia harus menanyakan ini.
Juna menoleh kepada Niken dengan senyuman yang sunyi dan menggeleng, "Nggak apa-apa."
Niken hanya mengangguk.
"Mau pulang bareng?"
Niken tidak bisa berbohong dari matanya yang kaget mendengar itu dari Juna. Bahkan jantungnya pun ikut berdegup lebih kencang tapi semestinya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karena bagi hidup Niken yang tergantung pada jantung ya itu semua tergantung padanya.