Suara pertempuran yang sangat ramai dan juga menegangkan itu menyeruak keras di pendengaran mereka. Teriakan kesakitan, kemarahan, keputusasaan, dan juga semangat juang bercampur menjadi satu.
Lee Jin Ah, seorang prajurit perang Negara yang dikirim ke Medan tempur untuk membantu menyelesaikan perseteruan yang terjadi di negara Belanda. Perang saudara yang tak ada habisnya, hingga sang Ratu Belanda meminta bantuan negaranya untuk ikut berperang di dalam perseteruan itu. Kini ia berbaring lemah di atas tanah yang lembab dan digenangi oleh darah.
Tubuhnya sangat lemah, luka akibat peperangan itu terasa sakit disekujur tubuhnya. Jin Ah, prajurit milik Korea Selatan, yang selalu dibanggakan oleh komandannya. Yang selalu menjadi panutan untuk prajurit lainnya, yang tidak pernah gagal dalam misinya. Kini ia terbujur lemah di Medan perang. Tak pernah terpikirkan sebelumnya kalau ia akan mengalami kekalahan telak seperti ini. Baru pertama kali dalam hidupnya sebagai prajurit, ia mengalami luka dalam yang sangat parah.
Pemandangan bulan yang bersinar terang tepat diatasnya itu menjadi satu-satunya penawar rasa sakit yang ia rasakan. Sinarnya yang begitu terang hingga menampakkan wujud sempurna dari sang rembulan membuat Jin Ah yang tadinya hampir menyerah akan hidupnya kembali mendapatkan semangat juangnya.
Ia mencoba kembali bangkit, namun rasa sakit yang sangat mendera di bagian perut bawahnya tak bisa Jin Ah lawan. Saat ini, ia hanya bisa berharap kalau pasukan musuh tak akan menemukannya dan ia yang akan berakhir di sini. Ia berharap ada salah satu rekan yang akan menemukannya dan membawanya pergi dari sini.
"Nyx, kau baik-baik saja?"
Jin Ah mengucap syukur dalam hatinya, ia menatap seorang laki-laki di sampingnya yang tengah membawa senjata laras panjang. Ia adalah Igris, rekan setimnya.
"Igris… perutku." Lirih Jin Ah
Laki-laki bernama Igris itu lansung mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Jin Ah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah perut Jin Ah dan melihat luka tusuk yang sangat dalam. Igris segera menaruh senjatanya dan mengeluarkan selembar kain yang entah darimana pria itu dapatkan. Igris melilitkan kain itu ke perut Jin Ah dan mengalungkan senjatanya ke belakang.
"Apa kau bisa bertahan sampai ke desa terdekat?" Tanya Igris pada Jin Ah.
Jin Ah yang sudah tak sanggup lagi untuk berbicara hanya bisa mengangguk lemah. Igris dengan sigap membawa tubuh Jin Ah yang sudah sangat lemah itu ke dalam gendongannya. Beruntungnya medan peran mereka sangat gelap, Igris berharap tidak ada yang mengetahui kepergian mereka.
Igris membawa Jin Ah ke sebuah desa yang tak jauh dari medan perang mereka. Ia menyusuri satu per satu rumah warga dan mengetuk pintu mereka. Namun, tak ada satupun dari mereka yang mau membukakan pintu rumah mereka. Igris mengerti, para warga mungkin saja ketakutan dengan apa yang terjadi malam ini. tak banyak dari mereka yang dibawa pergi untuk evakuasi sementara. Mereka yang tak memiliki akses lebih dan juga perijinan dari kerajaan tak bisa mengevakuasi keluarga mereka. Alhasil mereka harus melewati malam yang kelam ini di dalam rumah mereka sembari berdoa semoga mereka baik-baik saja.
Igris sudah hampir menyerah, kondisi Jin Ah juga sudah sangat lemah. Ia bahkan pesimis jika ia bisa menyelamatkan rekannya itu. Dengan mengandalkan peruntungannya, Igris mengetuk rumah terakhir yang diyakininya masih berpenghuni. Beruntungnya Dewi Fortuna berpihak pada mereka, seseorang yang berada di dalam sana membukakan pintu untuknya.
Igris sudah ingin berterimakasih kepada orang itu, namun di saat ia melihat pakaian yang dipakai oleh orang itu membuat Igris mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam.
"Kom binnen, Soldaat!" ujar orang itu menggunakan Bahasa Belanda (Masuklah, Prajurit!)
Igris masih terdiam, ia ragu untuk masuk ke dalam. Terdapat beberapa orang di dalam sana yang Igris yakini adalah para petinggi kerajaan. Namun, satu hal yang Igris tak mengerti. Mengapa para petinggi ini berada di dekat medan tempur? Bukankah mereka sudah diungsikan ke tempat yang sudah mereka sepakati? Igris curiga mereka adalah orang-orang yang beniat mengkhianati keluarga kerajaan.
"Ik zal je uitleggen waarom we hier zijn. Het belangrijkste nu is dat je je metgezel moet redden" (Saya akan menjelaskan mengapa kami ada di sini. Yang paling penting sekarang adalah anda harus menyelamatkan teman anda)
Persetan dengan pengkhianatan, Igris hanya perlu menyelamatkan Jin Ah. Jikalau mereka menyerangnya dan Jin AH, ia bisa membunuh mereka nantinya.
Igris segera masuk ke dalam dan membaringkan Jin Ah ke atas meja yang berada di tengah-tengah ruangan. Orang-orang itu dengan sigap menolong Jin Ah yang terluka. Entah darimana mereka mendapatkan peralatan medis yang bisa dibilang sangat lengkap itu. Tak ada waktu baginya untuk mencurigai mereka. Saat ini keselamatan Jin Ah lah yang paling penting.
Beberapa jam berlalu, Igris mengamati mereka yang tengah mengobati Jin Ah dari sudut ruangan. Ia berdiri diam sembari mengawasi mereka. Jin Ah sudah di obati, perempuan itu juga mendapatkan tranfusi darah untuknya. Di saat orang-orang itu telah menyelesaikan pekerjaan mereka, tiba-tiba saja beberapa pisau melayang ke arah mereka dan berhenti tepat di depan kepala mereka. Semua orang yang ada di dalam sana seketika menghentikan aktivitas mereka dan berdiri tegang di tempat mereka.
"ALvast bedankt vor je hulp. Maar je verblijfplaats hier is erg verdacht. Dus, zijn jullie koninklijke verraders?" ujar Igris dengan suara dinginnya. (Terimakasih sebelumnya atas bantuan kalian. Tetapi keberadaan kalian disini sangat mencurigakan. Jadi, apakah kalian para pengkhianat kerajaan?)
Mereka semua bergetar ketakutan. Mereka tak menyangka dan sangat terkejut ketika melihat pisau-pisau itu melayang tepat di depan mereka. Jika mereka bergerak sedikit, maka kepala mereka akan tertancap oleh pisau tersebut.
"Wij zijn geen koninklijke verraders. Het was Hare Majesteit de Koningin die ons hierheen stuurde." (Kami bukan pengkhiant kerajaan. Yang Mulia Ratu yang mengirim kami kesini.)
Salah satu dari mereka mencoba menjawab pertanyaan dari Igris. Laki-laki itu melirik sekilas ke arah Igris yang masih setia berdiri di sudut ruangan itu.
"De koningin vroeg ons om een geheime koninklijke krijger te sturen om Julie te helpen. We zijn hier voor het geval zoiets gebeurt." (Ratu mengirim kami untuk mengutus prajurit rahasia kerajaan untuk membantu kalian. Kami disini berjaga-jaga jika terjadi sesuatu seperti ini.)
Ia juga menjelaskan alasan keberadaan mereka berada disini. Igris memilih untuk mempercayai mereka dan tak menghiraukan alasan mereka berada di sini. Sejak awal ia sudah percaya kalau mereka bukanlah pengkhianat kerajaan. Namun, ia hanya curiga dengan keberadaan mereka disini.
Pisau-pisau yang melayang itu kini menjauh dari mereka dan terjatuh begitu saja ke lantai rumah. Para laki-laki itu bernafas lega ketika mereka terbebas dari ancaman ujung pisau tajam itu. Igris segera mendekati Jin Ah dan membawanya kembali ke dalam gendongannya. Ia juga menempatkan infus yang masih terpakai itu di atah tubuh Jin Ah. Salah satu pria disana menghentikan Igris untuk membawa pergi Jin Ah.
"Krijger, je vriend is nog steeds gewond. Hij moet eerst rusten en zijn toestand herstellen." Ujar pria itu yang kini sudah menghalangi Igris membawa pergi Jin Ah. (Prajurit, temanmu masih terluka. Ia harus beristirahat dan memulihkan kondisinya terlebih dahulu."
"Weet ik." Ucap Igris acuh. (Aku tahu.)
Tanpa menghiraukan orang-orang itu, Igris segera pergi dari sana dan membawa Jin Ah menjauh dari area tersebut. Kepergian Igris membawa ingatan yang membekas pada orang-orang itu. Ditambah lagi nyawa mereka hampir menjadi taruhannya tadi. Malam itu, menjadi malam yang tak pernah terlupakan bagi mereka. Dari situ, mereka tidak bisa meremehkan seorang prajrit perang Korea Selatan. Mereka sangat berbahaya.
*
*
*
Sudah 5 bulan berlalu sejak peperangan yang terjadi di Belanda. Luka yang Jin Ah dapati kini sudah mulai mongering. Walau ia harus lebih berhati-hati kembali. Tak dapat dipungkiri jika dari peperangan itu menimbulkan bekas luka yang panjang di hatinya. Luka fisik yang ia dapatkan tak sebanding dengan luka hati yang sampai saat ini masih membekas apik di ingatannya.
Ini adalah tahun ke-5 Jin Ah menjadi prajurit perang Negara. Awal ia menjadi seorang prajurit tidaklah mudah. Perekrutannya terjadi begitu saja dan sangat tiba-tiba. Ia masih ingat waktu itu dirinya tengah mengikuti pembelajaran di sekolahnya. Tiba-tiba saja seorang guru memanggilnya dan menyuruhnya untu datang ke aula sekolah. Sampainya di sana, ia bertemu dengan orang-orang yang tak ia kenali dan mereka mengkalimnya sebagai calon prajurit Negara.
Waktu itu Jin Ah tak mengerti apapun yang terjadi pada hidupnya. Yang ia ketahui dulu bahwa ia dipaksa untuk menjalankan berbagai macam latihan berat untuk menciptakan seorang prajurit yang diinginkan oleh Negara. Statusnya yang menjadi prajurit sangatlah rahasia. Ia selalu mendapatkan misi-misi berbahaya yang bisa saja sewaktu-waktu ia kehilangan nyawanya sendiri.
Entah bagaimana pihak sekolah dan pemerintah memanipulasi keluarganya sehingga mereka tak pernah curiga padanya yang selalu beralasan mengikuti olimpiade ketika ia telah mendapatkan misinya. Para guru yang mengetahui identitasnya bertingkah seolah-olah mereka tak mengenali Jin Ah. Mereka memperlakukan Jin Ah layaknya anak remaja SHS biasa. Bahkan para teman-temannya juga tak pernah menanyakan alasan ketidakhadirannya di beberapa kelas.
Kebohongan-kebohongan yang selalu tercipta itu mengantarkan Jin Ah pada kehidupan prajurit rahasia Negara yang sebenarnya. di tahun ketiganya menjadi prajurit, Jin Ah dibawa pergi ke sebuh tempat yang tak pernah ia ketahui dimana lokasinya itu. Orang-orang pemerintahan memberikan alasan kepada keluarganya bahwa Jin Ah akan dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Semua tanggungan biaya diatasi oleh Pemerintahan. Bahkan mereka juga melebih-lebihkan kecerdasan Jin Ah sehingga kedua orangtuanya mengijinkannya untuk pergi tanpa tahu alasan sebenarnya ia pergi dari sana.
Karena kerahasiaan para prajurit yang dijaga dengan ketat, Jin Ah mendapatkan nama prajuritnya di tahun ketiganya. Nyx, Jin Ah memilih nama itu sebagai nama aliasnya. Bahkan dengan sesame rekan pun Jin Ah tidak pernah mengetahui nama asli mereka, asal-usul mereka, bahkan kehidupan mereka. Ia baru dipertemukan oleh rekan-rekannya yang sekarang disaat ia tiba di markas rahasia para prajurit. Markas itu dinamakan sebagai Shadow House. Tempat yang sangat terpencil dan tak pernah ada di dalam peta. Mereka yang telah menjadi prajurit tingkat tinggi mendapat gelar sebagai Hunter.
Jin Ah baru mendapatkan gelar itu sekarang. Seseorang yang nantinya akan berada di garis paling depan untuk melindungi Negara. Tugas yang sangat penting yang harus ia emban ketika menjadi seorang Hunter. Namun, Jin Ah tak sendiri. Ada 4 Hunter lainnya yang menjadi rekan kerjanya. Mereka berlima adalah generasi kelima yang mendapatkan gelar Hunter. Igris, Iris, Elena, dan juga Ares, mereka adalah rekan kerja Jin Ah.
Saat ini dirinya tengah berjalan di lorong panjang Shadow House. Ia berencana untuk menemui komandannya dan mengajukan cuti untuk masa istirahatnya. Salah satu pintu yang tak jauh di depannya terbuka dan Igris keluar dari sana.
"Oh Nyx, kau mau kemana?" Tanya Igris padanya.
Jin Ah mendekati Igris dan berdiri di depan laki-laki itu.
"Aku ingin menemui Komandan. Aku berniat untuk mengajukan cuti." Ucap Jin Ah.
"Oh apa kau belum mendapat informasinya? Kita diberikan cuti selama 2 tahun kedepan. Kau tahu, sebagai hadiah akan keberhasilan kita di perang sebelumnya."
Jin Ah baru mengingatnya. Peperangan mereka membawa sebuah kemenangan. Walau ia mengalami luka berat dan Igris yang terpaksa pergi dari medan perang, mereka tetap membawa kemenangan dipihak mereka.
"Oh benarkah? Aku belum mengetahuinya."
Igris menghela nafasnya pelan, "Iris pasti lupa kembali untuk memberitahumu. Dia itu pintar, tapi sayang sekali sangat pelupa." Gerutu Igris.
Jin Ah menarik senyum tipisnya. Ia sudah berniat untuk kembali lagi kamarnya, namun Igris yang menahan lengannya membuatnya mengurungkan niat untuk kembali.
"Kau baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?" Tanya Igris dengan raut wajahnya yang kentara sekali sangat khawatir.
"Aku baik. Lukanya sudah mulai membaik." Jawab Jin Ah seadanya.
Keduanya sama-sama terdiam setelahnya. Pikiran mereka melayang kembali ke kejadian itu. Malam dimana memberikan kenangan buruk bagi keduanya. Igris masih belum bisa melupakan kondisi Jin Ah pada malam itu. Ditambah lagi dengan adanya hal lain yang membuatnya sangat terkejut. Bahkan sampai saat ini Igris masih belum bisa melupakannya.
"Kau melihatnya?" Tanya Jin Ah lirih. Igris menganggukkan kepalanya pelan.
"Apa kau… membawanya juga pada malam itu?" tanyanya sekali lagi.
Igris kembali menganggukkan kepalanya sekali lagi. Ia meraih tangan Jin Ah dan mengusap punggung tangan itu lembut.
"Jika kau ingin melihatnya, aku bisa mengantarmu kesana. Kapanpun kau mau, aku akan selalu menemanimu." Ucapnya.
"Terimakasih. Mungkin tidak dalam waktu dekat."
Jin Ah pergi dari sana meninggalkan Igris yang masih menatap punggung sempit Jin Ah. Dalam hatinya, Igris mengasihani rekan timnya itu.
"Nyx, kau tidak baik-baik saja. Terkutuklah bagi mereka yang telah melakukan hal itu padamu." Ujarnya sendu.
Selepas bertemu dengan Igris, Jin Ah kembali ke kamarnya. Di sana ia menemukan Iris yang tengah asyik berbaring sembari memainkan ponselnya. Iris sepertinya tak menyadari kedatangannya karena terlalu asyik dengan ponselnya. Jin Ah mendesah berat melihat kebiasaan buruk rekannya itu.
"Iris, mengapa kau tak memberitahuku kalau kita diberi cuti 2 tahun sebagai hadiah dari kemenangan kita di perang kemarin?" Tanya Jin Ah tegas.
Iris yang sadar tengah diajak bicara pun menghentikan kegiatannya dan terdiam sesaat. Sesaat kemudian perempuan itu membulatkan matanya dan menoleh ke arah Jin Ah dengan wajah terkejutnya.
Jin Ah lebih dulu menghentikan Iris yang akan membuka suaranya dengan mengangkat telapak tangannya di depan perempuan itu.
"Kali ini kau harus menghilangkan kebiasaan pelupa mu itu. Kurasa itu sudah semakin parah. Kau tidak melupakan keluargamu juga kan?" Tanya Jin Ah iba.
Iris melemparkan bantal yang ia gunakan ke arah Jin Ah dan ditangkap dengan baik oleh Jin Ah.
"Aku tidak sepikun itu sampai melupakan keluargaku." Sungut Iris sebal.
Jin Ah terkekeh. "Kau sudah mengemasi barang-barangmu? Kita akan pergi besok pagi. Sebaiknya kau berkemas sekarang." Ujar Iris.
"Aku hanya akan membawa beberapa barang penting saja. Selebihnya akan kutinggalkan disini." Kata Jin Ah.
Jin Ah ikut merebahkan dirinya disamping Iris. Ia menatap kosong langit-langit kamar mereka yang terdapat ornament-ornament semesta di sana.
"Menurutmu, bagaimana reaksi mereka setelah tak bertemu dengan kita selama 3 tahun lamanya?" Tanya Iris pada Jin Ah.
Jin Ah tak lansung menjawabnya. Ia masih diam memikirkan segala macam reaksi yang akan diberikan oleh kedua orangtuanya itu. Bahagiakah? Atau malah menangis karena rindu?
"Entahlah. Aku tidak bisa menebaknya. Kemungkinan mereka bahagia atau malah menangis? Kau tahu bukan, kita di kirim ke sini dengan alasan menuntut pendidikan di luar negeri. Lalu selama 3 tahun ini kita tidak pernah diijinkan untuk mengabari keluarga kita. Kita tidak tahu bagaimana kabar mereka di sana. Lebih dari itu, aku berharap mendapatkan sebuah pelukan yang sangat kurindukan."
Kedua orang itu memikirkan hal yang sama. Mereka sangat merindukan keluarga mereka. Dan untuk pertama kalinya mereka akan dipulangkan, walau hanya dalam waktu 2 tahun. Setidaknya jangka waktu itu sudah sangat cukup bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama dengan keluarga mereka.
"Entah mengapa aku memiliki firasat yang buruk." Celetuk Iris.
Jin Ah menoleh dan menatap wajah Iris yang tampak resah itu.
"Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Sudahlah, lebih baik kita istirahat saja dan bersiap untuk pulang besok."
Besok adalah kepulangan mereka, setidaknya ia harus beristirahat sekarang dan menyambut hari esok dengan perasaan yang baik.
***
Jin Ah sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Ia begitu gugup untuk mengetuk pintu itu. Dari tempatnya berdiri, ia sudah dapat mendengar suara ribut kedua adik kembarnya yang entah tengah meributkan apa. Disaat ia yang sudah tak sabar untuk bertemu dengan keluarganya kembali, sebuah persaan tak nyaman menghampirinya. Jin Ah ingin mengabaikan perasaan itu, namun ia sungguh sangat terganggu.
Saking sibuknya dengan perasaannya sendiri, ia tak sadar jika pintu di depannya itu sudah terbuka dan menampilkan seluruh anggota keluarganya di hadapannya. Jin Ah menatap kedua orangtuanya yang juga menatap dirinya. Ia melarikan pandangannya pada kedua adik kembarnya yang mengenakan seragam sekolah mereka. Jin Ah ingin menyapa mereka, namun salah satu adiknya terlebih dahulu menyela dirinya.
"Bisakah kau minggir? Kami ingin lewat dan kau menghalangi jalan." Ucap adiknya.
Jin Ah mengerutkan keningnya samar. Ia tak banyak berbicara dan segera menyingkir dari sana. Jin Ah melihatnya, keluarganya seolah-olah tak peduli dengan kedatanganya. Mereka bahkan melewati Jin Ah seolah-olah Jin Ah tak pernah ada di sana. Ayah dan kedua adik kembarnya itu pergi dan meninggalkan ia dengan sang ibu.
"Eomma…" Panggil Jin Ah pada wanita tua itu.
Ibunya itu menoleh dan menatap Jin Ah datar. Tak ada raut bahagia maupun kata-kata kerinduan yang diucapkan oleh ibunya itu. Bahkan sebuah pelukan yang ia harapkan pun tak ia dapatkan dari wanita di depannya itu.
"Aku pulang." Kata Jin Ah.
"Aku tahu."
Ibunya itu melewatinya begitu saja dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Jin Ah yang terdiam di tempatnya dengan pintu rumah yang dibiarkan terbuka. Jin Ah tak tahu apa yang terjadi pada keluarganya dan mengapa ibunya bersikap demikian kepadanya. Satu hal yang jelas, kedatangannya di sini tak diharapkan oleh keluarganya.
Hal itu mampu menambah luka hati yang sebelumnya masih menganga lebar dan semakin parah. Haruskah Jin Ah masuk ke dalam atau pergi saja dari sana?