Jin Ah bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah kejadian semalam, Jin Ah jadi mulai berfikir. Dirinya ternyata memang tak diharapkan disini. Jika sudah begini, untuk apa ia berusaha untuk kembali dekat dengan keluarganya. Setiap kali ia mencoba untuk dekat dengan mereka, rasa kecewa dan sakit hati selalu ia dapatkan. Bahkan semalam pun, dirinya seperti tak ada harganya di mata para keluarganya. Mereka tak akan segan untuk menyalahkannya dan memojokkan dirinya. Jika mengingat tentang semalam, Jin Ah tak bisa untuk tak melupakan bagaimana sikap mereka kepadanya.
Ia menghela nafasnya pelan, kesadarannya kini sudah terkumpul sepenuhnya. Jin Ah berniat untuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya pagi ini. Ia memang sengaja untuk bangun lebih pagi dari mereka. Jin Ah hanya ingin menyiapkan sarapan untuk mereka tanpa ada keinginan untuk sarapan bersama dengan mereka. Ia segera membersihkan dirinya dan mulai menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Tak terasa Jin Ah telah menghabiskan waktu hamper satu jam lamanya untuk menyiapkan sarapan dan juga membersihkan dirinya. Jin Ah menatap sekali lagi meja makan yang sudah penuh dengan masakannya itu. Ia menatap bangga pada hasil makanannya, jika saja rekan-rekan tim nya melihat ini mungkin saja mereka tak akan percaya kalau dia bisa memasak.
Selesai dengan masakannya, Jin Ah segera pergi dari sana keluar dari rumahnya. Hari ini ia memiliki agenda sendiri untuk menghindar keluarganya. Biarlah ia pergi, toh juga mereka pasti tak akan peduli dengan keberadaannya. Jin Ah tak lupa meninggalkan pesan untuk keluarganya bahwa ia akan pergi sebentar untuk keperluannya. Jin Ah menempelan kertas itu di meja makan agar keluarganya dapat menemukan pesan yang ia tinggalkan.
"Selamat menikmati sarapan kalian." Gumamnya pelan sebelum ia benar-benar pergi.
Udara pagi di pulau jeju memang sangat menyegarkan dan juga sejuk, walau sebenarnya lebih ke dingin sih. Namun Jin Ah menyukainya. Ia sudah terlalu akrab dengan suasana dingin yang menusuk kulit hingga ia tak masalah dengan hawa dingin yang kini ia rasakan.
Lingkungan rumahnya sangat sepi jika pagi-pagi begini. Jin Ah memiliki tujuan lain hari ini, ia berencana untuk ke Seoul, melihat kondisi kakaknya dan bertemu dengan Iris. Semalam ia sempat bertemu dengan Iris dan berbincang sebentar. Mereka sepakat untuk bertemu kembali hari ini untuk membicarakan beberapa hal. Jin Ah menyarankan untuk bertemu di Seoul, selagi ia merindukan sang kakak dan mengawasinya dari jauh.
Pada belokan pertama di depan Jin Ah melakukan teleportasi dan berpindah ke sebuah gang sempit yang sangat lembab dan juga bau. Jin Ah terdiam sebentar, ia melihat kesekelilingnya dan mengamati keadaan gang itu. Setelah di rasa keadaan baik-baik saja dan memastikan jika tak ada orang yang melihatnya, Jin Ah berjalan keluar dari gang tersebut dan mulai membaur dengan orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar.
Berbeda dengan Jeju, Seoul adalah kota padat penduduk yang memiliki aktifitas yang sangat padat dan juga produktif. Orang-orang Seoul terbiasa memulai aktifitas mereka di pagi hari. Para pekerja kantor, took-toko dan juga tempat makan, mereka sudah beroperasi di jam-jam seperti ini. Tak jarang ia berpapasan dengan orang-orang yang berolahraga di jalanan ini.
Jin Ah terus berjalan sampai kakinya berhenti tepat di sebuah pohon besar yang berdekatan dengan perempatan jalan. Kebetulan di bawah pohon itu terdapat sebuah kursi panjang yang khusus untuk para pejalan kaki. Jin Ah berhenti disana dan duduk di kursi tersebut. Pandangannya terarah pada persimpangan jalan di depan sana. Ia mengamati jalan tersebut dan tak mengalihkan padangannya sedetik pun. Seolah-olah ia akan kehilangan targetnya jika ia beralih sebentar.
Tak lama kemudian, Jin Ah melihat sebuah mobil van hitam yang sangat besar melintas di sana. Mobil itu keluar dari salah satu gedung tinggi yang berada di sisi jalan sana. Jin Ah mengamatinya dengan seksama, mobil tersebut berhenti sebentar di persimpangan tersebut dan tak lama melaju pergi setelah berbelok ke arah kanan. Jin Ah meraih sebuah alat kecil berbentuk bulat di saku jaketnya, ia memakai alat tersebut ke telinganya.
"Kau sudah sampai?" tanyanya setelah memakai alat itu di telinganya.
"Baru saja. Kau ada dimana?" seseorang yang suaranya terekam dari alat kecil itu terdengar di telinga Jin Ah.
"Aku akan kesana. Tunggu aku di café depan gedung itu. Kita akan bertemu di sana."
Jin Ah melepas alat itu dan menyimpannya kembali di saku jaketnya. Itu adalah intercom suara yang mereka –para Hunter- miliki, mereka biasa menggunakan alat tersebut saat menjalankan misi kelompok. Tentunya di saat seperti ini terkadang alat itu dibutuhkan oleh mereka. Mungkin terdengar aneh, namun mereka terbiasa berkomunikasi melalui intercom kecil tersebut daripada menggunakan ponsel. Menurut mereka, benda kecil ini lebih praktis dan efisien penggunaannya daripada menggunakan ponsel. Kau bisa dengan mudah berkomunikasi dengan yang lain sesuai dengan keinginanmu. Intercom kecil ini akan mengirimkan sinyal pada sang target tepat ketika alat itu diaktifkan.
Jin Ah memindai keadaan sekitarnya, para pejalan kaki mulai banyak berdatangan dan berlalu-lalang di depannya. Matanya beralih ke cctv jalan yang menyorot tepat ke arahnya. Jin Ah bangkit dari duduknya dan berjalan berlawanan arah ke titik buta cctv tersebut. Ia menyamarkan aura miliknya sehingga para penjalan kaki itu tak akan menyadari keberadaannya meski ia berada di tengah-tengah mereka. Jin Ah kembali melakukan teleportasi dan muncul tepat tak jauh dari café yang ia maksud.
Dari luar, ia bisa melihat Iris yang tengah meminum kopi panasnya di dalam café tersebut. Tak ingin berlama-lama, Jin Ah segera menemui Iris. Pintu café berdenting ketika Jin Ah mendorongnya terbuka. Seorang pelayan yang berada di balik meja kasir menyapanya dan tersenyum padanya. Jin Ah mendekati pelayan tersebut dan memesan minumannya. Setelahnya ia menghampiri Iris yang sudah menunggunya.
"Menunggu lama?"
Iris menatap Jin Ah yang duduk di depannya. Ia menaruh cangkir kopinya dan menyandarkan punggungnya ke sandanran kursi.
"Tidak juga. Kopi ku baru saja datang dan kau pun juga ikut datang." Jawab Iris.
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan secangkir cappuccino pesanan Jin Ah. Mereka terdiam sebentar dan menunggu pelayan tersebut pergi dari meja mereka.
"Tumben sekali kau meminta untuk bertemu di sini. Biasanya kau selalu meminta di tempat-tempat yang tak terduga."
Jin Ah menyunggingkan senyumnya tipis. Ada alasan tertentu ia meminta untuk bertemu dengan Iris di tempat ini.
"Ngomong-ngomong yang lainnya tadi ingin menyusul ke sini. Namun aku melarangnya, karena memang ini hanya pembicaraan biasa dan tak terlalu penting juga. Oh! Tidak juga, ini penting untukmu."
Tepat setelah mengatakan itu, sebuah mobil Van yang tadi Jin Ah lihat melintas di depan café yang mereka kunjungi dan berbelok kea rah gedung pencakar langit di seberang sana. Jin Ah dan Iris menoleh menatap mobil van itu, sampai mobil itu berhenti dan keluar lah beberapa pria tampan dengan para wartawan yang sudah menunggu mereka di depan gedung tersebut.
Iris menyeringai ketika melihat seorang pria yang ia kenal.
"Aaahh jadi ini alasannya mengapa kau ingin bertemu di sini? Kau mengawasi laki-laki itu lagi?" Tanya Iris ketika pandangannya jatuh pada seorang laki-laki yang sangat ia kenal.
"Sebenarnya apa hubunganmu dengan dia? Setiap kali kau bertugas, kau selalu menyempatkan diri untuk melihatnya. Bahkan kau juga membayar seseorang untuk menjaganya. Salah satu bodyguard di sana pasti orang suruhanmu kan?"
Jin Ah tersenyum ketika melihat orang yang ingin lihat dalam keadaan baik-baik saja. Laki-laki yang dimaksud oleh Iris tak lain adalah kakaknya sendiri, Lee Haechan. Benar kata Iris, ia memang membayar seseorang untuk menjaga kakaknya itu. Karena ia tak bisa melakukan tugas itu selagi dirinya masih aktif sebagai Hunter. Ia harus mengedepankan keamanan dan juga kedamaian negaranya, ia harus mengutamakan negaranya terlebih dahulu sebelum keluarganya. Dan di setiap misi yang ia terima, Jin Ah selalu menyempatkan dirinya untuk melihat keadaan kakaknya itu. Tak terkecuali rekan-rekan timnya mengetahui kebiasaan Jin Ah yang selalu mengawasi kakaknya itu. Sayangnya mereka tak tahu kalau sebenarnya Lee Haechan itu adalah kakaknya. Mereka hanya mengira jika Jin Ah mengidolakan Lee Haechan.
"Mengapa kau tak bertemu saja dengan dia? Kau bisa membeli tiket fansign yang di jual untuk bertemu dengan laki-laki itu. Lama-kelamaan kau tak berbeda dengan seorang penguntit Nyx."
"Ini tidak semudah dengan yang kau katakan Iris. Aku tidak hanya sekedar mengidolakan dia, tetapi dia lebih dari segelanya bagiku. Aku tidak bisa menampakkan diriku di hadapannya. Ada banyak resiko yang harus ku pikirkan untuk bertemu dengannya." Ucap Jin Ah.
Iris mengerutkan keningnya. Sedari dulu, sedari ia mengetahui kebiasaan Jin Ah yang selalu mengawasi salah satu idol itu, Iris selalu merasa jika ada yang tak beres dengan hubungan keduanya. Iris tidak ingin menerka-nerkanya sebenarnya, namun rasa penasarannya sangat besar. Untuk seorang Hunter terbaik seperti Nyx, mengawasi Idol ternama seperti Lee Haechan, Iris tak dapat berpikir jika mereka berdua tak memiliki hubungan. Pastinya hubungan Antara dua orang itu sangatlah berarti. Namun sayangnya, Iris tak bisa menebak hubungan seperti apa yang mereka miliki.
"Anyways, hal penting yang ingin kusampaikan berkaitan dengan idola mu itu." Jin Ah menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap Iris dengan serius.
Keributan di luar sana tak dihiraukan oleh Jin Ah, suara fans yang berteriak memanggil nama idola mereka, para bodyguard dan juga keamanan lainnya yang berusaha menahan para fans agar tak menerjang sang Idola, Jin Ah mengabaikan semua itu.
"Aku mendapatkan sebuah informasi dari orang-orangku. Perusahaan yang menaungi Lee Haechan telah teretas keamanannya. Bahkan saham perusahaan itu sampai anjlok dalam 3 hari lamanya. Tentu saja informasi ini tak terendus oleh para media. Orang-orang di dalam sana menutupi kasus ini dengan membuat proyek besar-besaran untuk group Lee Haechan sebagai pengalihan. Tidak hanya itu, bahkan lebih parahnya orang-orang yang di sebut sebagai sasaeng fans menyamar sebagai staf di sana. Kejadiannya baru kemarin, salah satu dari mereka ketahuan tengah mengambil potret idola mereka yang tengah mengganti baju di backstage. Aku berbagi informasi ini denganmu karena aku tahu kalau Lee Haechan berada di bawah pengawasanmu."
Jin Ah mengepalkan tangannya ketika mendengar penjelasan dari Iris. Dengan tenang Iris meminum kopinya, matanya menangkap raut kemarahan dari Jin Ah. Ia sudah menduganya kalau Jin Ah akan marah ketika mendengar informasi ini.
"Kau tenang saja, sasaeng fans yang tertangkap itu bukan fans dari group Lee Haechan. Itu dari group senior mereka, Shinee. Namun aku tak bisa menjamin kalau sasaeng fans NCT juga ada yang menyamar sebagai staf disana." Lanjut Iris.
"Apa orangmu masih berada di sana? Dia tak memberikan informasi apa-apa lagi selain ini?" Tanya Jin Ah.
Iris menggelengkan kepalanya, ia menaruh cangkir kopinya dengan tenang.
"Belum. Dia belum memberikan informasi lebih lanjut. Aku menyuruhnya untuk mencaritahu pelaku peretas itu. Kau tahu sendiri bukan, Lee So Man adalah salah satu orang yang masuk ke dalam daftar penting Shadow House. Kalau tidak salah, kita dulu pernah menjalankan misi untuk mengawalnya ke Jepang. Walau sampai saat ini aku tidak mengerti mengapa dia termasuk salah satu orang penting yang harus Shadow House lindungi." Kata Iris.
Jin Ah menghela nafasnya berat. "Tidak hanya dia. Tetapi CEO dari 3 perusahaan besar entertainment adalah jajaran orang penting di Shadow House. Motifnya sudah terlihat sangat jelas, tentu saja untuk menutupi kekacauan Negara. Ingat, Negara memiliki banyak problematika yang harus disembunyikan dari masyarakat. Orang-orang itu membutuhkan seseorang yang bisa mengalihkan pandangan masyarakat dari isu-isu pemerintahan yang sedang kacau. Maka dari itu, 3 orang pemilik perushaan raksasa itu dipilih untuk menjadi pengalihan isu Negara. Begitulah orang-orang di pemerintahan ini bekerja."
Iris menganggukkan kepalanya mengerti. Benar apa yang dikatakan oleh Jin Ah. Jika tak ada 3 orang ini, entah apa yang akan terjadi pada Negara ini jika saja masyarakatnya tahu kalau terdapat para mata-mata. Teroris, dan juga kecaman lainnya. Mungkin Iris tidak akan bisa duduk tenang di café ini bersama dengan Nyx.
"Aku akan menyamar di peusahaan JYP Entertaiment. Igris dan juga Elena ikut denganku, Ares sendiri akan menyamar di YG Entertaiment. Kami percayakan SM Entertaiment padamu." Ucap Iris.
"Mengapa Igris dan Elena ikut denganmu?" Tanya Jin Ah bingung.
"Informanku mengatakan bahwa di sana terdapat mata-mata dari Negara lain yang tengah menyamar. Jumlahnya bisa dipastikan lebih dari satu orang. Kami tidak tahu pasti ia berada di posisi yang bisa kuatasi sendiri atau tidak. Jadi, aku membutuhkan bala bantuan." Jawab Iris.
"Baiklah kalau begitu. Apa shadow house sudah mengetahui tentang ini?" Jin Ah bertanya kembali.
"Sepertinya sudah. Mereka mengirim para junior untuk mengatasinya. Tetapi aku tak percaya mereka bisa mengatasinya dengan baik. Maka dari itu aku dan yang lain sepakat untuk menyamar di sana untuk memantau keadaan."
Jin Ah mengangguk mengerti. Mereka meminum kopi mereka dalam diam. Jin Ah sekali lagi menoleh untuk melihat keberadaan kakaknya itu. Sayangnya halaman depan gedung besar itu sudah sepi, walau beberapa fans dan media masih berada di sana, tetapi grup kakaknya itu sudah taka da di pandangan Jin Ah.
"Dan lagi, tolong aktifkan ponsel mu itu agar kau tak selalu ketinggalan informasi. Kedepannya kita akan sulit untuk bertemu kecuali di malam hari. Tetapi aku tidak mau mengorbankan istirahatku hanya untuk memberikan informasi padamu. Jadi, aktifkan ponselmu itu." Iris meminta Jin Ah dengan raut jengahnya.
"Ya ya, aku akan mengaktifkan ponselku. Walau sebenarnya aku lebih suka menggunakan in ear untuk berkomunikasi dengan kalian."
Iris menghela nafasnya kasar, "Ingat, kita tidak dalam misi sekarang. Jadi untuk apa menggunakan alat itu. Biasakan dirimu untuk menggunakan ponsel. Aku tidak mau tahu kau harus mengaktifkan ponselmu itu."
"Oke baiklah. Jangan kesal begitu. Apa ada informasi lain yang ingin kau sampaikan?" Tanya Jin Ah dan iris menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga berhasil dengan penyamaranmu."
"Kau juga." Balas Iris.
Kedua orang itupun berpisah di sana. Jin Ah kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan penyamarannya. Terutama ia harus menyiapkan satu kebohongan lainnya kepada keluarganya lagi. Kali ini, ia akan pergi untuk melindungi kakaknya.
***
Jin Ah kembali ke Jeju. Ia kembali ke tempat terakhir ia melakukan teleportasi. Bersyukurlah karena di lingkungan ini tak banyak orang yang keluar dari rumah mereka. Jin Ah berjalan dengan tenang ke rumahnya, saat ia ingin mendorong pintu gerbang rumahnya, suara tawa ayahnya dan juga orang-orang yang tak Jin Ah kenali terdengar. Jin Ah terdiam sesaat untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Yak, Lee Jun Uk, kau beruntung sekali memiliki anak-anak yang hebat. Anak sulung mu menjadi seorang idol terkenal. Anak perempuanmu kuliah di luar negeri, dan si kembar juga menjadi juara di sekolah. Waah, kau pernah menyelamatkan sebuah Negara atau apa? Mengapa kau sangat beruntung. Aku sangat iri padamu."
Jin Ah sedikit menyunggingkan senyumnya ketika mendengar pujian dari orang yang tak dikenalnya itu. Bagaimana jika mereka mengetahui kalau dirinya telah berkali-kali membantu Negara? Apakah mereka tetap memujinya?
"Ah kau tidak perlu iri. Aku hanya mendukung mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Apalagi Donghyuck, dia putra kebanggaanku. Dia selalu membuatku dan istriku bangga padanya. Dia sudah sangat bekerja keras membantu keluarganya. Apalagi di kembar akhir-akhir menunjukkan bakat mereka di sekolah."
Jin Ah menyetujui ucapan ayahnya itu. Kakaknya memang sangat hebat dan adik kembarnya juga sangat membanggakan. Ia sendiri juga bangga pada saudara-saudaranya itu. Tetapi, ia merasa tak nyaman ketika namanya tak disebutkan oleh sang ayah.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Jin Ah? Dia masih kuliah di luar negeri dan belum memberimu kabar? Apa dia baik-baik saja disana?"
Pertanyaan itu membuat Jin Ah menegakkan punggungnya dan memasang telinganya dengan baik. Ia menantikan jawaban dari ayahnya itu.
"Aku sudah tak peduli lagi. Biarkan saja dia disana, mungkin saja dia sudah melupakan keluarganya disini. Dia tak pernah memberi kabar pada kami. Bahkan menelpon pun tidak pernah. Aku sudah cukup dengan ketiga anak laki-laki ku. Donghyuck memang terkenal dan jadwalnya sangat padat, tetapi ia tidak pernah melupakan kami. Dia masih menyempatkan diri untuk menelpon dan menanyakan kabar kami. Tidak seperti adiknya yang perempuan. Dia mungkin sudah melupakan kami dan hidup bebas di negeri orang."
Jin Ah tertegun mendengarnya. Jadi dia benar-benar telah dilupakan oleh keluarganya, lebih parahnya lagi mereka sudah tak peduli lagi dengan dirinya. Jin Ah menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tangannya terlepas dari pintu gerbang rumahnya. Ia mengambil langkah mundur dan berbalik pergi dari sana. Jin Ah tak ingin mendengar percakapan itu lebih lama lagi. Ia tak ingin kembali terluka, sudah cukup pengakuan dari ayahnya benar-benar menambah goresan luka di hatinya.
Ia telah dibuang oleh keluarganya. Kalau seperti ini, untuk apa ia kembali? Jika pada akhirnya dia benar-benar tak diinginkan oleh orangtuanya. Lebih baik ia pergi dari sana dan membiarkan keluarganya bahagia dengan cara mereka sendiri. Ia tidak berhak ikut campur dalam kebahagiaan mereka. Ia bagaikan kotoran yang akan menodai kebahagiaan keluarganya.
Kalau begitu, Jin Ah akan pergi dengan sendirinya.