Jin Ah memandangi rumahnya yang tak berubah itu. Semuanya masih terlihat sama seperti terakhir kali ia meninggalkan rumah. Mungkin ada sedikit perbedaan di bagian foto-foto keluarga. Dinding-dinding ruang tengah rumahnya kini telah dipenuhi oleh foto-foto sang kakak yang menjadi seorang idol. Ia tersenyum melihat betapa tampnnya sang kakak itu. Andai saja ia bisa menyombongkan kakaknya itu kepada rekan-rekannya, mungkin mereka akan iri padanya.
Jin Ah sangat senang bisa kembali ke rumahnya, setelah 3 tahun lamanya ia meninggalkan rumah, disibukkan dengan segala misi dan juga tanggung jawabnya sebagai seorang Hunter. Akhirnya hari ini ia kembali ke rumahnya. Namun dibalik rasa senangnya, ada kesedihan yang sangat besar yang coba ia tutupi. Kenyataan bahwa ia tak disambut dengan baik oleh keluarganya membuatnya sedih dan kecewa.
Tetapi tak apa, Jin Ah memakluminya. Mungkin saja kedua orangtuanya marah padanya karena tak pernah mengabari mereka selam 3 tahun terakhir ini. mungkin saja kedua adik kembarnya juga marah padanya karena tak pernah pulang dan memeluk mereka seperti dulu. Mungkin saja…
Jin Ah tak ingin berfikiran buruk mengenai keluarganya. Ia percaya mereka hanya kecewa padanya yang tak pernah pulang atau bahkan mengabari mereka barang sekalipun. Amarah mereka akan mereda seiring berjalannya waktu dan mereka akan bersikap normal seperti dulu padanya.
Ia menyusul ibunya yang berada di dapur. Ia ingin kembali dekat dengan sosok yang sangat dirindukannya itu. Dilihatnya sang ibu yang tengah sibuk mencuci peralatan makan yang mereka pakai tadi. Jin Ah mengambil tempat di kursi ruang makan yang mana menjadi satu dengan dapur. Jadi ia masih bisa melihat kegiatan ibunya itu.
"Eomma… bagaimana dengan kabarmu?" tanyanya membuka percakapan diantara mereka.
Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatannya dan termenung sejenak. Ia tak membalikkan posisinya dan masih memunggungi anak perempuannya satu-satunya itu. Egonya masih terlalu tinggi dan gengsinya juga sangat sulit untuk ia singkirkan. Rasa kecewa dan sesal yang menumpuk di hatinya membuatnya kehilangan kasih sayangnya terhadap putrinya itu. Seharusnya ia tak mengijinkan putrinya itu pergi dulu. Jika ia tak membiarkan putrinya pergi, kekacauan mungkin tak akan terjadi di keluarganya.
Jin Ah tersenyum pahit ketika yang ia dapati hanyalah punggung sempit sang ibu. Setidaknya wanita itu meresponnya sedikit, daripada ia diabaikan seperti ini.
"Aku baik-baik saja eomma. Aku menjaga pola makanku dengan baik. Pendidikanku juga lancar. Minggu lalu aku mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa terbaik karena penelitianku menjadi penelitian rujukan untuk beberapa Universitas. Teman-temanku juga sangat baik padaku. Mereka-"
Suara tabrakan antara piring dan juga wastafel itu sangat keras. Sehingga membuat Jin Ah menghentikan kata-katanya dan tersentak kaget. Wanita itu mendesah kasar, ia berbalik dan menatap putrinya dengan tatapn malas.
"TIdak ada yang menyuruhmu untuk menceritakan hal itu."
Jin Ah tertegun diam. Nada yang terkesan dingin dan juga acuh tak acuh itu membuatnya tak bisa melanjutkan kata-katanya. Jin Ah terlalu terkejut dengan sikap ibunya yang sangat dingin padanya. Bahkan saat sang ibu melewatinya begitu saja pun Jin Ah tak bisa mencegahnya. Ia hanya bisa terdiam dengan pikiran yang berkecamuk.
Jin Ah memilih untuk pergi dari sana dan menuju kamarnya. Mungkin saja ia bisa menenangkan pikirannya di sana. Namun sepertinya, harapannya tak akan pernah menjadi kenyataan. Mendapati kamarnya yang begitu kotor dan juga berdebu, layaknya sebuah barang rusak yang usang dan ditinggalkan oleh pemiliknya, seperti itulah kondisi kamarnya.
Jin Ah bersandar pada pintu dibelakangnya. Ia menghela nafas berat, untuk kali ini tak ada alasan lain baginya untuk menahan air matanya itu.
***
Malam harinya, Jin Ah bangun dari tidurnya. Ia ketiduran setelah kelelahan membersihkan kamarnya yang sudah mirip sekali dengan gudang. Hari sudah sangat malam dan waktu menunujukkan pukul 8. Baru ia sadari kalau ia belum makan malam. Jin Ah harus bergegas membersihkan dirinya, lalu setelahnya ia akan turun untuk makan malam bersama keluarganya. Ia beranjak dari kasurnya dan menuju kamar mandi. Selesai ia membersihkan dirinya dan merasa tubuhnya sudah segar, Jin Ah keluar dari kamarnya dan turun ke bawah untuk bergabung dengan keluarganya.
Saat di bawah, Jin Ah tak menemukan keluarganya di ruang makan. Ia mengerutkan keningnya samar, bahkan masakan untuk makan malam pun tidak ada di meja makan itu. Jin Ah berpikir, mungkinkah ibunya itu belum memasak makan malam? Ataukah ibunya itu menunggunya untuk masak bersama? Jin Ah beralih ke ruang keluarga, dimana semua anggota keluarganya tengah berkumpul di sana menikmati tayangan televisi yang menampilkan chanel berita. Ayah, Ibu dan adik kembarnya berkumpul di sana semua.
"Eomma," semua orang yang ada di sana menoleh dan mendapati Jin Ah tengah berdiri tak jauh dari mereka. Hanya sebentar, mereka kembali memalingkan wajah mereka ke televisi.
"Apa eomma belum masak untuk makan malam? Aku lihat meja makan masih kosong. Apa eomma ingin aku bantu untuk masak makan malam?" Tanya Jin Ah.
Sayangnya sang ibu itu tak menanggapinya dan bahkan meliriknya saja pun tidak. Jin Ah tak menyerah, ia tetap akan mengajak ibunya itu berbicara agar beliau mau menatap dirinya.
"Tak perlu repot-repot memasak. Kami sudah makan malam." Sahutan dari salah satu adik kembarnya itu mengalihkan pandangan Jin Ah padanya.
"Kalian sudah makan malam? Mengapa tidak menungguku? Mengapa tidak membangunkanku untuk makan malam bersama?"
Jin Ah merasa diasingkan oleh mereka. Dia adalah anak perempuan di keluarga ini tetapi mengapa dirinya merasa kalau ia bukanlah bagian dari keluarga ini? Kekanakan memang jika memikirkan bahwa ia tengah diabaikan oleh keluarganya, namun jika yang mengabaikannya itu adalah teman atau rekan timnya, Jin Ah tak masalah. Lagipula mereka adalah rekan. Berbeda halnya jika keluarga sendiri yang mengabaikannya, Jin Ah merasa terluka.
"Memangnya kau itu anak kecil? Berapa umurmu sekarang? Masih perlukah kami meneriaki mu dengan keras agar kau bangun dari tidurmu dan menyuruhmu untuk makan?"
Sahutan ibunya yang terdengar begitu menyakitkan di telinganya itu membuat Jin Ahn terdiam.
"Bukan begitu, ak-"
"Kedua adikmu saja tidak perlu sampai ku teriaki mereka untuk makan. Mereka tahu sendiri kapan jam makan di rumah ini. Itu salah mu sendiri karena telah melewatkan jam makan di sini. Lalu kau mau menyalahkan kami yang tak membangunkanmu untuk makan bersama? jangan kekanakan!"
Jin Ah meremas sisi rok yang dipakainya dengan kuat. Sekuat tenaga ia tak memabalas amarah ibunya itu. Baiklah, mungkin memang benar ini adalah salahnya karena sudah melewatkan jam makan malam. Tetapi, apa salahnya juga karena ia tak tahu jam makan mereka? Apakah salahnya yang tak bertanya lebih dulu kapan tepatnya mereka menentukan jam makan? Pada akhirnya, ia lah yang bersalah disini.
Jin Ah pergi dari sana dan memilih untuk kembali ke kamarnya. Ia butuh ketenangan untuk menenangkan hatinya yang tengah prak poranda itu. Namun suara tawa bahagia keluarganya yang ia dengar semakin membuatnya sedih dan kecewa. Ia harus pergi dari sini dan menjauh untuk sejenak. Ia pejamkan matanya dan mengingat beberapa tempat yang sesuai untuknya menyendiri. Setelah menentukan kemana ia akan pergi, Jin Ah membuka matanya dan dalam satu kedipan mata, ia menghilang dari sana.