"Father, sepertinya kita salah orang. Dia hanya wanita hamil yang mungkin saja kebetulan satu kereta dengan kita kemarin...," ucap Theo. Pria itu menguping pembicaraan dokter dengan pembantu tua yang sudah puluhan tahun bekerja di mansion mewah milik Jay.
Father Jay tampak terkejut tentu saja. Walaupun dia pria yang angkuh, tetapi tetap saja jika dirinya salah maka harus mengakuinya.
"Bayinya bagaimana?"
Theo menggeleng, menandakan bahwa janinnya tidak bisa diselamatkan. "Bayinya memang sudah meninggal, mungkin saat dia ada di kereta, wanita itu sudah mengalami keguguran."
Jay terdiam, pria itu menunggu dokter keluar. Setelah itu dia akan melihat keadaan Asya.
"Panggilkan Winny." Theo langsung mengangguk dan segera pergi. Ia paham betul jika father Jay tidak bisa menunggu lama atau dia akan murka.
"Winny..., Manis..., kamu di mana?" goda Theo. Pria berambut silver itu memang paling hoby membuat Winny naik darah.
"To the point, aku tidak ada waktu buat meladeni omong kosongnya!" sungut Winny. Wanita itu sama sekali tidak menoleh, ia akan lebih merasa kesal saat melihat wajah Theo.
"Dipanggil father, Sayang. Sudah, pergi sana! Suasana hati father sedang buruk."
Winny langsung berdiri, sebelum pergi ia sempatkan untuk menendang tulang kering kaki Theo.
"A argghh! Wanita sialan!" umpat Theo sembari mengusap cepat kakinya yang terasa nyeri dan panas.
Winny berlari, sesampainya di hadapan Jay, wanita itu meneguk saliva pelan. Hawanya sungguh tidak bersahabat.
"Jaga wanita tawanan kita, kabari aku setelah dia siuman."
Winny mengangguk dengan badan sedikit membungkuk.
Setelah kepergian Jay, Jerold langsung menghampiri Winny.
"Perempuan itu baik-baik saja?" tanya Jerold.
Winny menggeleng pelan, ia juga tidak tahu karena Theo maupun Jay dengan tidak memberikan informasi apa pun pada wanita itu.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia pingsan. Mungkin Theo memukulnya terlalu keras," jawab Winny.
"Aku temani menunggu sampai perempuan ini siuman."
Winny mengangguk, selain Jay dengan, tentu Jerold orang yang paling patut ia segani.
***
Asya membuka matanya perlahan, wanita itu mendesis kesakitan saat merasakan nyeri di perut bawahnya.
Asya menatap sekitar, hingga ia dapati pria yang sebelumnya memakai topeng di separuh wajahnya, kini dapat wanita itu lihat dengan jelas rupanya.
Jujur saja, pria yang meneriakinya sebelum ia dipukuli terlihat tampan. Tapi, pria bertopeng itu nyatanya lebih terlihat seksi.
Mata pria asing itu terlihat sangat tajam. Ada tahi lalat kecil di bawah matanya.
"Mau minum air putih?" tawar pria itu.
Gila! Urat-urat di tangannya terlihat jelas. Pasti pekerjaan pria itu pekerja keras.
Asya mengerjapkan matanya dengan cepat, bisa-bisanya ia memikirkan urat tangan orang asing yang bahkan tidak ia tahu namanya.
"Bisa aku pergi? Aku bahkan tidak tahu, kenapa aku bisa berada di tempat ini. Aku bahkan tidak kenal dengan kalian semua," ucap Asya lirih. Tenaga wanita itu belum terkumpul sepenuhnya.
Jerold menuangkan air putih ke dalam gelas yang berada di nakas. "Minum dulu."
Asya menerimanya dengan tangan yang gemetar. Tubuhnya terasa lemas sekali.
"Terima kasih, mmm...."
"Jerold, panggil saja begitu," jawab pria yang mengaku bernama Jerold itu.
"Terima kasih, Jerold."
Jerold mengangguk sebelum kembali duduk di sofa sudut ruangan.
"Jerold, apa aku masih punya kesempatan untuk keluar dari sini? Aku bahkan tidak mengenal kalian semua," tanya Asya. Wanita itu berharap penuh pada Jerold karena sepertinya hanya dia yang paling bisa ia mintai pertolongan.
"Kopermu sedang diperiksa, nanti setelah semua selesai dan tidak ada yang membahayakan. Kamu pasti akan dilepaskan," jawab Jerold.
Cklek....
Winny masuk ke ruangan Asya dengan membawa koper dan baju-baju Asya di tangannya.
"Kamu diizinkan pergi. Siapa namamu, aku lupa?" ucap Winny.
"Aku Asya...," jawab Asya pelan, sedikit takut melihat Winny karena perempuan itu sedang merengut kesal.
"Oke Asya..., aku bantu kamu berkemas. Pakaian kamu perlu ditata, orang-orang sialan itu mengobrak-abriknya dengan tidak berperasaan," keluh Winny dengan nada yang terdengar sedikit lucu.
"Biar aku bantu." Jerold ikut membantu Winny melipat baju-baju Asya. "Kamu mau pergi ke mana? Mau berlibur?" tanya Jerold.
"A-aku tidak tahu, aku pergi dari rumah."
Winny melirik ke arah Jerold, "Ekhm, maaf menanyakan ini. Tapi, suamimu ke mana? Kamu sedang hamil sebelum akhirnya bayiku itu meninggal?"
Asya menunduk, mengepalkan erat-erat telapak tangannya. Ia teringat wajah suami dan juga perempuan bernama Nancy yang menatapnya penuh kemenangan.
"Aku tidak punya siapa pun. Suamiku juga tidak menginginkan aku lagi. Dia memiliki wanita lain," jawab Asya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Memang, semua laki-laki di dunia ini semuanya sialan!" umpat Winny yang mendapatkan lirikan maut dari Jerold.
Air mata Asya mengalir begitu saja, ia usap perutnya perlahan. Harusnya sang bayi masih bergerak di dalam sana. Harusnya saat ini ia sedang berpesta dan berbahagia bersama dengan Qianno andai pria itu bisa bersabar sedikit lagi.
"Kamu perlu tempat tinggal sementara? Jika iya, akan aku mintakan izin pada kakakku. Pria yang menginterogasimu sebelumnya kamu dicambuki," ujar Jerold dengan tangan yang masih setia memasukkan baju Asya ke dalam kopernya.
Asya menatap ke arah Winny dan bergantian ke arah Jerold. Ia juga bingung harus pergi ke mana? Tapi, apakah menumpang di sini adalah keputusan yang paling tepat?
"A-aku takut dengan pria itu. Kalian semua juga kelihatannya tunduk sama dia?" ujar Asya.
"Dia itu sebenarnya tidak sekejam itu jika kamu tidak membuat masalah. Namanya Jayden, tapi kami memanggilnya father Jay. Dia itu sebenarnya baik, dia juga yang menolongku dulu," jelas Winny.
Jerold berdehem, memperingatkan Winny agar tidak terlalu banyak bercerita pada orang asing.
"Jadi bagaimana, kamu mau?" tanya Jerold memastikan.
"Tapi, aku tidak akan dipukuli, kan?" tanya Asya khawatir.
Jerold menepuk pelan puncak kepala Asya. "Ada aku, kamu tenang saja. Jadi, mau kan?"
Asya berakhir menganggukkan kepalanya perlahan. Lagi lupa ia juga tidak tahu akan pergi ke mana setelah ini.
"Bisakah aku bekerja di sini, apa pun bisa aku kerjakan. Nanti, uangnya bisa aku buat untuk menyewa rumah setelah aku keluar dari sini," tanya Asya. Ia bahkan hanya membawa beberapa lembar uang untuk bertahan hidup.
Jerold mengerti apa yang Asya rasakan. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya setelah ini.
"Kamu tenang saja, aku pastikan kamu aman dan baik-baik saja di sini."
Asya mengangguk, entah kenapa ia bisa berharap penuh pada pria ini.
"Terima kasih, suatu saat aku akan membayar semua kebaikanmu."
Jerold tersenyum, kedua mata pria itu seakan menghilang menjadikannya dua garis lengkung yang tampak lucu.
"Aku akan menagihnya nanti."