Sejak kejadian malam itu, Asya sudah tidak begitu takut keluar malam untuk makan. Toh Jayden hanya akan menatapnya dari kejauhan tanpa berniat untuk menyapa. Walaupun kadang ia merasa risih, tapi tidak masalah asalkan perutnya terisi.
"Perutmu itu karet, ya? Setiap malam kamu mengendap-endap keluar dari kamar buat ambil makanan. Sebelum tidur harusnya kamu makan." Jayden tiba-tiba saja menghampiri Asya yang tengah sibuk dengan makanan di tangannya.
"Jay..., eh Tuan..., eh aku panggilnya bagaimana ya?" Asya tampak kebingungan bagaimana cara dirinya memanggil Jayden.
"Boleh aku panggil Father seperti yang lain?" tanya Asya dengan suara pelan.
"Aku bukan ayahmu. Lagi, sudah berapa kali aku bilang jangan pakai baju Jerold. Bukannya aku sudah memberimu uang untuk membeli baju? Apa masih kurang?" tanya Jayden.
Asya memilih diam, ia tidak suka dimarahi.
"Hey, lihat mataku. Aku sedang berbicara denganmu!" Jayden mengangkat dagu Asya dengan paksa agar wanita itu menatap matanya.
"Besok, minta Winny mengantarmu membeli pakaian."
"Memangnya ada yang salah dengan pakaianku? Padahal Jerold saja tidak mempermasalahkanya," jawab Asya bingung.
Jayden memejamkan matanya erat-erat. Entah wanita di hadapannya ini kelewat polos atau bisa jadi malah menyerempet bodoh?
"Begini Nona..., di sini penghuninya rata-rata laki-laki." Jayden menyeringai menjeda ucapannya. "Atau kau sengaja ingin menawarkan diri padaku?"
"Orang sinting!" seru Asya sebelum berlari menaiki tangga menuju ke kamar pribadinya.
Tanpa sadar Jayden menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Wanita aneh."
***
Setelah selesai memberikan Kaison makan, Asya kini sudah bersiap untuk pergi ke pusat perbelanjaan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Jayden. Jujur saja sejak kejadian tadi malam ia merasa ngeri dengan pria tinggi berwajah garang itu.
"Asya..., ayok. Aku juga mau membeli beberapa potong baju, aku dengar akan ada anggota wanita yang datang."
"Siapa?" tanya Asya sembari memasuki mobil yang akan dikemudikan oleh Winny.
Winny mengedikkan bahunya, ia juga tidak tahu menahu soal itu. Karena ia hanya mendapatkan informasi sedikit tentang anggota perempuan baru yang akan hadir.
"Win, kenapa di sini minim sekali anggota wanita?" tanya Asya. Jujur saja dari awal ia selalu mempertanyakan hal itu di pikirannya.
Winny menghela napas pelan. "Sya..., coba kamu pikir, perempuan normal mana yang mau hidup bersama manusia monster mengerikan di dalam rumah besar itu?"
"Monster mengerikan?" tanya Asya dalam hatinya. "Apakah mereka sekejam dan seseram itu?"
"Berarti maksudmu, aku juga salah satu bagian dari perempuan tidak normal itu?" tanya Asya dengan raut wajah terluka yang dibuat-buat.
Winny melirik sinis ke arah Asya. "Jangan mendrama, tidak mempan buatku."
"Kalau kau sendiri, kenapa bisa bergabung dengan mereka?" tanya Asya.
Winny tampak terdiam, seperti sedang menerawang sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu.
"Dulu...."
Flashback
Saat itu Winny menikah dengan seorang pria kaya raya karena sebuah perjodohan hutang. Perusahaan ayahnya bangkrut dan dia harus menikah dengan orang yang bisa membantu sang ayah bangkit kembali.
Setelah satu tahun pernikahan ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Namun, saat itu juga fakta terbongkar. Ia dikhianati, bukan dengan perempuan lain. Tapi, dalang dari kebangkrutan ayahnya adalah pria yang kini menjadi suami wanita itu.
Winny yang masih baru lulus sekolah menengah atas harus menikah dengan suaminya dan meninggalakan kekasihnya yang seorang yatim piatu hingga kekasihnya itu memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Dan, yang membuat Winny semakin murka saat kematian ayahnya. Dia ditembak tepat di depan mata Winny tanpa suaminya tahu.
Saat pria itu sadar akan kehadirang sang istri, ia memerintahkan anak buahnya untuk mengurung Winny. Namun, selang satu minggu ia berhasil kabur dan ditolong oleh Theo. Salah satun anggota di markas Father.
Flashback selesai.
"Lalu, anakmu di mana?" Asya membekap mulutnya. Lancang sekali mulutnya tanpa sadar menanyakan hal sensitif seperti itu.
Netra Winny tampak berkaca-kaca. Lalu setelahnya mengalir begitu saja tanpa permisi.
"Aku bahkan tidak tahu dia di mana. Mereka benar-benar menyembunyikan identitas anakku. Aku tidak lagi bisa memeluknya. Aku menikah saat usia 20 tahun, berarti anakku harusnya sudah berusia 4 tahun," jelas Winny. Wanita itu mengusap air matanya, hal yang jarang sekali ia lakukan saat berada di mansion utama.
Winny menghentikan mobilnya, mereka sudah sampai di tempat tujuan. "Sudah sampai, ayo masuk."
Dua wanita berusia dua puluh lima tahun itu masuk dan mulai berbincang ringan sembari memilih beberapa baju yang menurut mereka lucu.
"Hey jalang!" ucap perempuan cantik yang kini berdiri di belakang tubuh Asya.
Bukan karena merasa terpanggil, hanya saja Asya dan Winny refleks menoleh karena suara wanita di belakang mereka terdengar keras. Bahkan beberapa orang juga mulai memusatkan perhatiannya pada wanita yang tengah hamil besar itu.d
"Masih hidup kamu?" tanya Nancy remeh. Perutnya yang besar terlihat akan meletus karena baju ketat yang wanita itu kenakan.
"Ey wanita gila! Siapa yang kau panggil jalang?" tanya Winny mulai emosi karena melihat Asya yang hanya diam saat Nancy mengatai perempuan itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu!" balas Nancy ditujukan untuk Winny.
"Sayang...," panggil pria yang Asya hapal mati di indra pendegarannya.
Sebuah panggilan yang dulu selalu Qianno tujukan untuk dirinya, kini ia gunakan untuk memanggil nama wanita lain.
"Asya...," gumam Qianno saat menyadari kehadiran istrinya. Iya, masih sah suami istri karena mereka belum resmi bercerai di mata hukum.
Tubuh Asya mematung, ia tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan sumber sakit hatinya di tempat umum seperti ini.
"Asya..., ayo pulang," ucap Qianno.
Kini, Winny mengerti dengan siapa ia bertemu. Ia hanya diam saja karena merasa tidak sepatutnya dia ikut campur.
"Aku mau pulang detik ini juga," jawab Asya. "Tapi..., tinggalkan dia!" tunjuk! Asya tepat pada wajah Nancy.
"Jalang sialan! Berani sekali kamu nunjuk-nunjuk wajahku!" teriak tidak murka.
Qianno mengusap wajahnya kasar. Ia tidak tahu lagi harus dengan cara apa memberi pengertian pada Asya.
"Keangkuhanmu, suatu saat yang akan berbalik menyerangmu. Kita bisa memperbaiki semuanya dari awal tapi kamu menolaknya dengan sikap keras kepalamu. Kamu dengar ucapanku hari ini, kamu akan sangat kesulitan hanya sekedar mendapatkan pekerjaan. Nanti, saat hari itu tiba, kamu akan datang dan berlutut tepat di hadapanku dan membuang semua egomu itu."
Ucapan Qianno membuat Asya mematung kaku. Benarkan yang baru saja bicara adalah Qianno yang sama dengan lelaki yang memanggil namanya dengan lembut setiap harinya?
"Gege..., sepertinya keputusanku saat ini sudah yang paling benar. Terima kasih sudah menampungku selama ini. Tapi, aku berjanji, aku hanya akan datang bukan untuk berlutut di bawah kakimu. Tapi aku akan datang sebagai malaikat kematian untuk bayi yang sekarang sedang dikandung oleh perempuan itu!"