Sudah hampir sepuluh hari Asya berada di markas mewah milik father Jay. Wanita itu bahkan belum diberikan pekerjaan yang pasti. Hanya saja ia mendapatkan tugas untuk memberikan makan hewan peliharaan milik Jayden.
Seekor beruang coklat besar yang mungkin bisa saja menyantap Asya jika hewan itu kelaparan.
Hari pertama melaksanakan tugas itu, Asya hampir pingsan andai saja Jerold tidak segera menenangkan sang beruang yang mengamuk karena masih asing dengan wajah Asya.
Seekor beruang cokelat besar yang Jayden beri nama Kaison.
"Kaison sepertinya sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu. Dia suka wanita-wanita cantik asal kamu tahu," ucap Jerold yang tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Asya.
Asya berbalik badan menghadap ke arah Jerold. "Mana ada hewan seperti itu?"
"Ada, Kaison."
Asya tertawa renyah mendengar candaan Jerold. Sungguh, pria ini sangat berbeda dengan kakaknya yang kaku dan jarang tersenyum. Seakan dunia kiamat jika ia mengeluarkan sedikit saja tawanya.
"Kamu betah di sini?" tanya Jerold. Pria itu sangat menyukai sentuhan. Saat berbicara dia sering menyentuh Asya, entah itu telapak tangan, rambut, terkadang juga bahu wanita itu.
Asya menggeleng pelan, "Kalau boleh jujur, aku nggak betah. Apalagi melihat Jayden sama Theo, aku takut sama mereka."
Jerold terkekeh pelan. Lagi, ia usap rambut Asya sebelum menyelipkannya di belakang telinga. "Theo nggak seseram itu. Kalau kak Jay, dia orangnya memang begitu. Tidak perlu takut kalau kamu tidak membuat kesalahan."
"Justru itu, aku selalu takut jika tindakan yang tidak aku sengaja bisa saja menjadi masalah," jawab Asya.
Winny berdiri di samping pintu, wanita berambut pendek itu sedari tadi mendengus mendengar percakapan Jerold dan Asya.
"Jerold sialan itu, selalu saja bisa membuat semua wanita jatuh cinta. Nanti, pasti ditinggal tanpa kepastian!" gumam Winny.
"Winny!" panggil Asya, wanita itu tampak antusias melihat kedatangan satu-satunya wanita muda yang ada di kediaman Jayden.
Winny mendekat, ia tatap remeh wajah Jerold. "Buang jauh-jauh sifat buayamu itu! Tidak semua wanita kuat seperti aku."
Asya merasa canggung melihat interaksi Winny kepada Jerold. Sang pria terlihat santai, tapi beda lagi dengan Winny.
Jerold tersenyum hingga matanya tampak melengkung, lucu. "Kamu itu bicara apa? Aku sama sekali tidak paham maksudmu itu."
"Cih! Mulutmu terlalu manis!" seru Winny kesal.
"Memangnya, kamu pernah ngicip?" tanya Jerold dengan santainya.
Asya menunduk canggung, pembicaraan Jerold dan Winny semakin tidak ramah terhadap telinga wanita itu.
"Tidak sudi! Pasti bekas banyak orang!" balas Winny.
"Asya mau coba?" tawar Jerold.
"Hah?" Asya gelagapan, pria bernama Jerold ini baik tetapi sangat berbahaya.
Winny memukul bahu Jerold dengan keras. "Sudah-sudah! Asya dipanggil Father. Cepat ke sana sebelum dia marah-marah. Takut dia cepat tua dan ketampanannya pudar."
"Aku dipanggil? Apa aku buat kesalahan?" tanya Asya takut.
Tanpa banyak bicara lagi, Jerold segera menuntun tangan Asya menuju ke dalam untuk menemui Jayden.
"Jerold..., aku mau diusir?" tanya Asya.
Jerold sama sekali tidak menjawab, pria itu hanya meneruskan langkah menuju ke kamar pribadi Jayden. Tentu saja hanya sampai di depan pintu karena Jayden tidak akan pernah memasukkan satu orang pun ke dalam kamarnya, kecuali satu orang yang sekarang sudah tidak ada di sana.
Baru saja Jerold mau mengetuk pintu. Namun, pintu tinggi hitam itu sudah terbuka terlebih dahulu.
"Jayden..., kamu manggil aku? Apa aku membuat kesalahan?" tanya Asya.
"Aku bukan temanmu, jangan sok akrab!" jawab Jayden dengan nada datar dan menusuk.
Asya langsung melirik ke arah Jerold, ia takut berhadapan dengan Jayden.
"Aku lihat, bajumu tidak pernah ganti. Apa bajumu itu tidak dicuci?" tanya Jayden sembari mendudukkan tubuhnya pada kursi sofa di sudut ruangan.
"A-aku ganti, aku pinjam baju Jerold untuk tidur."
Jayden menatap tajam ke arah adiknya. "Kenapa bajumu yang sebesar itu dipakai wanita ini?"
Jerold tersenyum kecil, seperti sedang melemparkan tanya "kenapa memangnya?".
"Itu cuma baju, Kak. Tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula, dulu bajumu sering dipakai Sel—"
"Jaga batasanmu, Jerold!" tegur Jayden dengan raut wajah yang terlihat kesal.
"Oke, sorry."
"Gajimu aku berikan di muka, beli baju dan jangan berkeliaran tengah malam hanya memakai kaos milik Jerold!" Jayden langsung berdiri setelah melempar uang di atas meja.
Sedangkan Asya menunduk malu, jadi Jayden sering melihat dirinya keluar tengah malam saat mencari mi instan untuk ia makan?
Jerold mengangkat dagu Asya perlahan. "Kamu sering keliaran tengah malam? Kenapa? Kakakku memang jarang tidur, jadi mungkin saja dia memergokimu."
"Aku sering kelaparan saat malam hari, aku masak mi instan."
Jerold menghela napas pelan, "Kenapa kamu lucu begini?" Pria itu mengusak rambut Asya hingga berantakan sebelum pergi meninggalkan wanita itu sendirian.
Asya sendiri langsung menghela napas setelah semua ketegangan di sana berakhir. Gila, rasanya seperti penjahat yang sedang diberikan keadilan.
"Gila, seram sekali pria itu."
***
Asya memutar pelan knop pintu kamarnya. Sedikit takut karena tentu saja ia masih mengenakan kemeja besar milik Jerold. Asya belum sempat membeli tadi siang karena Winny tidak pulang bahkan sampai malam hari. Ia tidak berani keluar sendirian.
Asya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan awas. Untuk memastikan apakah Jayden ada di sekitar sana atau tidak?
Wanita itu segera turun tanpa menggunakan alas kaki agar tidak berisik dan mengganggu penghuni rumah terganggu tidurnya.
Setelah sampai di dapur, wanita itu mengendap masuk. Ia jalan perlahan seperti pencuri yang sedang beraksi.
Srak!
"Aaaaaa!" teriak Asya sembari memejamkan matanya. Wanita itu tentu sadar jika ada moncong pistol yang saat ini menempel di keningnya.
"Sial!" umpat Jayden. Pria itu menurunkan pistolnya. Ia kira ada penyusup masuk. Nyatanya hanya Asya yang sedang mencari makanan.
Asya langsung membuka mata begitu mendengar suara Jayden.
"Sudah aku bilang bukan, jangan berkeliaran di malam hari! Kalau saja tadi aku langsung menembak kepalamu, langsung mati kamu!" geram Jayden.
Asya sendiri masih berdiri kaku, tentu saja ia sangat terkejut. Mata wanita itu memerah, dengan genangan air yang siap jatuh.
Jayden diam saat melihat wajah Asya. "Aku bahkan tidak melukai kulitmu sedikit pun!"
Asya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Suara isakkannya tertahan, ia ketakutan. Ia takut sekali dengan Jayden.
"J-jangan usir aku! Aku belum tahu akan tinggal di mana?" ucap Asya.
Jayden panik, terakhir kali ia menenangkan wanita yang sedang menangis sekitar dua tahun yang lalu.
"Siapa yang mau mengusirmu, bodoh? Jangan suka menyimpulkan sesuatu secara sepihak. Sudah, aku tidak marah. Kamu mau apa?" tanya Jayden.
"A-aku mau makan..., aku kelaparan."
Jayden memejamkan matanya erat, apa katanya, kelaparan?