'ting slring'
Di bawah langit hitam yang dipenuhi kilatan petir. Dua orang saling beradu pedang, dengan tubuh masing-masing dibaluti cahaya aura.
"Kepingan giok merah jambu sudah ada di tanganmu. Lalu apalagi yang kau inginkan?" ketusnya dengan napas tersengal-sengal.
Mulutnya berlumur darah. Sementara tampak mayat-mayat tergeletak di sekitar mereka yang sesekali disinari oleh cahaya kilat.
Pria berusia tiga puluh yang tubuhnya dibaluti cahaya aura biru itu bernama Lin Seiyu. Tidak jauh di hadapannya, seorang pria yang juga tubuhnya dibaluti cahaya aura biru adalah kakaknya, Lin Queyi.
"Cih! Kau pikir aku bodoh? Aku tahu, klan Lin memiliki dua keping. Aku juga perlu menyingkirkanmu karena kau adalah hama yang akan mengacaukan rencanaku!" jelas Lin Queyi.
"Biadab kau!"
Kemudian Lin Seiyu yang kondisinya cukup babak belur, sedikit menyerong posisi kakinya dan lantas melesat cepat ke arah Lin Queyi. Kemarahannya tidak dapat dibendung, sebab Lin Queyi baru saja membantai seluruh klan Lin.
Kedua bersaudara itu sontak saling beradu senjata, beradu kekuatan, hingga menggetarkan area sekitar. Sementara di langit, gemuruh masih saling sahut-bersahutan.
"Jika saja aku sedikit tegas kepada putraku. Mungkin aku masih bisa mengubah apa yang baru saja terjadi," ucap Lin Seiyu dalam hati, sambil melancarkan serangan-serangan dahsyat pada kakaknya.
Dalam hati, dia sedikit menyesal karena tidak mengikuti kata hatinya. Sore tadi, perasaannya tidak enak. Namun, putranya, Lin Wei, masih ingin bermain di bukit bambu walau beberapa saat saja, setelah mengumpulkan sejumlah ikat kayu bakar. Dia pun menuruti apa yang diinginkan putranya.
Namun, setelah pulang. Dia menemukan kediaman klan Lin sepi. Kondisi rumah-rumah di situ begitu gelap, seolah orang-orang telah meninggalkan desa.
"Kalaupun hari ini aku akan mati! Aku harus mati bersamamu!" tandas Lin Seiyu. "Kakak bajingan!"
Mendengar ucapan itu, Lin Queyi hanya tersenyum. Dia yang sedari tadi hanya menangkis serangan-serangan dari Lin Seiyu, kemudian mulai meningkatkan level kekuatan hingga membuat Lin Seiyu benar-benar kesusahan untuk mengontrol serangan.
...
Sementara itu, agak jauh dari perkampungan. Para pasukan sekte Tengkorak Merah yang merupakan murid asuhan Lin Queyi menyebar di hutan, mencari keberadaan Xu Jiang Fei yang membawa lari Lin Wei. Mereka terus saja mencari, tetapi masih belum mendapatkan Lin Wei dan Xu Jiang Fei.
"Mereka pasti masih ada di sekitar sini!" ujar satu dari mereka. "Cari dengan saksama!"
'Jedar bum'
Sontak saja seiring itu, terdengar suara ledakan, bersahutan dengan gemuruh guntur yang begitu keras. Itu tidak lain adalah dampak serangan kekuatan antara dua Lin bersaudara tak jauh dari tempat tersebut.
'Hem--'
Lantas satu orang dari komplotan melempar tatapannya ke belakang. Baru saja dia mendengar suara.
Sedikit menatap dengan curiga pada pohon yang ada di depannya. Raut wajah orang itu tampak dingin, sambil tangannya menggenggam gagang pedang yang siap-siap dihunuskan untuk menebas apa pun di sekitar situ.
Perlahan langkahnya menginjak rerumputan, lalu!
'sling sling'
Batang pohon besar itu tertebas dengan dua kali ayunan pedang. Namun, setelah pohon tumbang. Orang itu hanya melihat dua ekor bunglon dengan badan terpisah empat.
'gresak gresak'
Orang itu lantas lekas melempar tatapan ke kanan. Baru saja sebuah gerakan terdengar yang kemudian membuat para anggota Tengkorak Merah mengejar sosok yang bergerak itu. Tidak terkecuali anggota yang tadi menebas pohon dan dua bunglon.
...
Sementara para anggota Tengkorak Merah telah menjauh dari tempat tersebut. Seorang pria berusia dua puluh lima tahun terlihat tengah membekap mulut Lin Wei yang tadi sempat bersuara karena terkejut akan gemuruh dan ledakan. Mereka bersembunyi di dalam akar pohon yang sangat besar, tepat bersebelahan dengan pohon yang tadi ditebas oleh anggota Tengkorak Merah.
Dengan kondisi yang gelap dan sempit. Keduanya berusaha untuk tidak membuat gerakan dan sejenak tidak bernapas, agar posisi mereka tidak diketahui.
"Ssstt!" bisiknya di dekat telinga Lin Wei. Pria itu adalah Xu Jiang Fei, sahabat Lin Seiyu.
Lin Wei kemudian menggeleng kepala, berusaha untuk menahan suara tangis. Tepat di usianya yang menginjak sepuluh tahun. Malam ini rencana adalah perayaan hari bahagianya. Namun, semua hancur, termasuk hati lembut nan mungilnya.
***
"Bagaimana kondisinya?"
Di ruangan utama istana, seorang raja terlihat duduk di singgasana sambil menatap ke arah tabib. Raja itu bernama Yuan Lao, pemimpin wilayah Ludong, utara, Daratan Lotus Putih.
"Apakah dia masih sering bergumam?" cecar Yuan Lao.
Tempo hari setelah pembantaian klan Lin. Dengan sekuat tenaga Xu Jiang Fei melarikan Lin Wei dari barat ke utara, Daratan Lotus Putih. Kemudian seiring waktu berjalan, Lin Wei berkembang pesat dalam hal bela diri dan kultivasi, diasuh oleh Xu Jiang Fei.
Empat belas tahun berlalu. Lin Wei dinobatkan sebagai pangeran di istana Ludong karena menikahi putri Yuan Li, setelah menyelamatkan kota dari ancaman kehancuran. Seiring itu juga, Lin Wei telah menjadi legenda di wilayah Ludong dan menyandang julukan nama si Pedang Dewa dari Ludong.
Sayangnya, satu tahun Lin Wei menjadi menantu Yuan Lao. Xu Jiang Fei tutup usia setelah lima bulan berjuang melawan penyakit langka yang dideritanya. Kemudian satu bulan berikutnya, istri Lin Wei, putri Yuan Li, ikut tutup usia karena penyakit yang dideritanya sejak kecil.
Yuan Lao begitu terpukul. Tapi Lin Wei sepertinya lebih sangat terpukul karena sudah satu minggu dia sakit tidak sadarkan diri. Badannya demam. Kemudian seiring itu, sesekali dia berguman nama Yuan Li, ayah, dan ibunya saat malam.
"Kondisi tuan pangeran masih sama, Yang Mulia. Tapi aku sudah memberikan ramuan daun tujuh warna. Jika benar ramuan itu bisa memberikan kabar baik. Besok pagi mungkin demam tuan pangeran turun," jawab sang tabib.
"Baiklah. Pastikan kondisinya lekas membaik. Aku tidak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya."
Benar saja. Keesokan harinya, Yuan Lao mendapat kabar baik soal kondisi Lin Wei. Bukan hanya demamnya yang turun, tetapi kesadarannya juga telah pulih.
"Bagaimana kondisimu? Apa yang kau rasakan sekarang?" Yuan Lao dengan nada senang berucap lembut, setelah duduk di kursi yang berdekatan dengan ranjang. Tatapannya begitu tulus mengarah pada wajah Lin Wei.
Kemudian Lin Wei yang beberapa saat tadi mengubah posisi dari telentang di atas ranjang menjadi duduk bersandar, lekas membalas. "Baik ayahanda. Seperti yang ayah lihat. Aku sudah baik-baik saja."
"Untunglah. Sekarang berbaringlah, jangan banyak bergerak," ucap Yuan Lao.
Lin Wei melengkungkan bibir, menatap wajah Yuan Lao dengan saksama. "Terima kasih, ayah."
"Hm!" Yuan Lao turut melengkungkan bibir, sekali mengagguk kepala.
Hari itu berjalan terasa cepat. Yuan Lao sampai tidak sadar bahwa malam telah tiba.
Setelah selesai mengurus urusan kerajaan. Yuan Lao tidak melupakan Lin Wei. Dia lekas menyambangi kamar Lin Wei dan tampak Lin Wei berdiri di atas balkon kamarnya, menopang tangan pada palang balkon.
"Sedang apa?" ucap Yuan Lao, yang kemudian membuat Lin Wei lekas berbalik badan. "Di luar dingin. Kau tidak boleh banyak bergerak dulu."
"Eh. Ayah?" celetuk Lin Wei. Dia lalu berjalan masuk ke dalam kamar, menyambut Yuan Lao yang lekas duduk di atas ranjang.
"Kau sedang apa?" tanya Yuan Lao lagi.
"Tidak. Aku baru saja mendapat udara segar, ayah," jawab Lin Wei sambil duduk tak jauh di samping Yuan Lao.
Sejenak ada hening yang menjeda hingga akhirnya dipecahkan oleh Lin Wei dengan ucapan tanya.
"Ayah. Apakah aku boleh bertanya?"
"Mau bertanya apa?"
"Tapi sebelum itu aku ingin menceritakan sesuatu padamu."
"Baiklah. Apa itu? Aku persilakan."