Lin Wei pun menceritakan mimpinya perihal tragedi lima belas tahun lalu. Mayat pertama yang dilihatnya adalah mayat ibunya yang bersimbah darah. Hal tersebut yang menyisakan penyesalan dalam hidup Lin Wei. Seandainya dia tidak meminta ayahnya untuk pergi ke bukit sebelum itu, dia pasti akan melindungi ibunya sekuat tenaga.
"Tidak ada yang salah, anakku. Semuanya sudah takdir. Klanmu terbantai karena sudah semestinya hidup. Tidak ada yang dapat lari dari kematian. Kalau pun klanmu tidak mati di tangan pamanmu, mereka akan mati dengan cara lain di hari itu juga," jelas Yuan Lao menasihati. "Tidak ada yang bisa lari dari takdir."
Lin Wen mendengar itu dengan saksama. Dia menerimanya dan sedikit agak tenang.
Kemudian Lin Wei sejenak menampakkan raut bingung yang lantas lekas ditangkap oleh sorotan mata Yuan Lao.
"Ada apa lagi?" tanya Yuan Lao. "Oh iya. Tadi kau bilang, ada yang ingin kau tanyakan setelah ini. Apa itu?"
"Hm ... Ayah." Lin Wei menatap wajah Yuan Lao dengan ekspresi serius. "Apakah aku boleh meminta izin padamu?"
Yuan Lao sejenak agak mengerutkan dahinya. "Minta izin? Untuk apa?"
Lin Wei menjeda sedikit, kemudian mengambil posisi berdiri. Saat itu juga, dia pun lekas merembeskan cahaya aura berwarna biru dari tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Yuan Lao bingung, sambil sedikit mendongakkan kepalanya. "Jangan dulu menggunakan kekuatanmu. Kondisimu baru saja membaik, Fang Wei."
Fang Wei yang sebenarnya adalah Lin Wei. Nama ini sudah dikenal oleh seluruh masyarakat Ludong semenjak Xu Jiang Fei membawa Lin Wei ke Ludong lima belas tahun lalu. Tepatnya, selama ini Lin Wei menggunakan nama samaran untuk menghindari segala kemungkinan bahaya yang datang dari pamannya.
"Tenang saja, Ayah. Ini tidak akan lama. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu pada Ayah," jawab Lin Wei dengan tenang disertai senyum tipis.
Lin Wei lalu mengangkat tangan kanannya yang spontan menghadapkan telapaknya ke atas. Pada telapak yang turut dibaluti cahaya aura itu, sontak terbentuk sebuah lingkaran segel biru.
Kemudian dari lingkaran segel, keluar serbuk cahaya merah jambu yang lekas berputar beberapa saat. Tak lama setelahnya, serbuk cahaya itu menyatu dan membentuk sekeping giok merah jambu.
"Hm?" Yuan Lao bergumam sambil agak melotot. Dia cukup terkejut menyaksikan apa yang baru saja muncul depannya.
"Ini?" celetuk Yuan Lao, yang kemudian seiring itu Lin Wei mengarahkan tatapan ke arahnya.
"Apakah Ayah tahu ini apa?"
"I-ini kan, giok merah jambu? Dari mana kau mendapatkannya?" Yuan Lao berucap dengan ekspresif.
"Ini adalah milik klan Lin. Sebelum aku lahir, giok ini sudah dituruntakan dari generasi ke generasi. Sesuai legenda, di Daratan Lotus Putih tersebar tujuh kepingan. Dua di antaranya ada pada klan Lin. Tepat lima belas tahun lalu, dua keping itu akan diturunkan oleh kakekku pada anaknya. Namun, karena kakekku menilai ayahku pantas untuk memegang dua keping giok. Sehingganya dia memberikannya kepada ayahku," jelas Lin Wei.
Sejenak Lin Wei menggerakkan tangannya yang tengah menahan aura lingkaran segel. Lantas lingkaran segel itu perlahan menghilang, bersama dengan giok merah jambu tadi.
Lalu Lin Wei lekas menghilangkan cahaya aura yang menyelimuti tubuhnya dan mengambil posisi duduk di sebelah Yuan Lao.
"Dari awal memang kakekku lebih menyukai ayahku dari pada pamanku. Memang, jika dilihat dari tingkat kekuatan. Pamanku adalah segalanya. Mulai dari teknik mengolah gerakan pun teknik kultivasinya. Dia pantas untuk menjadi penerus giok merah jambu. Namun, kakekku sering menilai pamanku tidak baik. Dia pun mempercayakan giok itu kepada ayahku. Dan ternyata benar, pamanku adalah salah satu orang yang sangat dihindari klan Lin untuk memiliki giok tersebut."
"Tepat ketika aku telah berusia sepuluh tahun. Aku tidak menyangka jika sangat menyeramkan seperti itu. Pamanku berusaha merebut giok ini. Pembantaian kemarin adalah karena kepingan giok. Dia berhasil mendapatkan satu giok sementara satunya berhasil kubawa walau waktu itu nyaris aku menemukan kematianku."
"Separah itu?" tanya Yuan Lao. Dia berekspresi seolah-olah dia juga turut menghadapi hal tersebut. Dia tidak menyangka jika Lin Wei memiliki masa lalu yang sesuram demikian.
"Hm," jawab Lin Wei gumam. "Giok itu sangat berbahaya jika digunakan oleh manusia. Kakekku sangat mewanti-wanti kepada kami. Sayangnya pamanku begitu berhasrat untuk memilikinya. Aku yakin, giok itu sudah digunakannya."
"Ya. Aku pernah mendengar soal giok itu. Aura negatifnya lebih banyak dari pada aura positifnya. Jika saja tubuh seseorang tidak cocok untuk menampung kekuatan giok. Maka kecil kemungkinan seseorang itu akan selamat. Kalau pun selamat, maka aura negatif giok itu akan menguasai tubuh orang itu," balas Yuan Lao.
"Maka dari itu ayah. Aku ingin meminta izin padamu. Aku minta restumu untuk aku menemui pamanku. Aku akan sangat senang jika ayah mengizinkan."
Mendengar hal itu. Sebenarnya Yuan Lao sangat berat untuk melepas Lin Wei. Dia baru saja kehilangan putrinya, lantas, apakah dia harus menerima kepergian Lin Wei, yang padahal, saat ini dia hendak pensiun dan akan memercayakan takhta kepada Lin Wei.
"Sungguh?" tanya Yuan Lao, dengan wajah yang tidak senang.
"Ayah," ucap Lin Wei. Dia kemudian menggengam kedua tangan Yuan Lao. "Aku janji. Setelah aku menyelesaikan semuanya, aku akan kembali ke Ludong."
Sekilas Yuan Lao menghela napas. "Kau yakin? Aku bukan tidak ingin mengizinkanmu. Tapi ... bisakah kau tinggal agak lama lagi? Kondisimu bahkan harus pulih total jika kau ingin pergi."
"Tenang saja ayah. Aku tidak akan pergi besok. Satu minggu, mungkin. Apakah ayah mengizinkanku?"
Dengan agak berat hati, Yuan Lao kembali menghela napasnya. Kemudian mengizinkan apa yang diinginkan Lin Wei.
***
Satu minggu setelahnya. Pagi ini Lin Wei akan meninggalkan Ludong. Banyak orang yang menyayangkan akan kepergiannya. Namun, bagaimana pun, ini demi kebaikan semua orang. Sebagai pria yang terlahir dari klan yang ditunjuk sebagai penjaga giok merah jambu. Lin Wei harus pergi untuk menentukan masa depan Daratan Lotus Putih.
"Adik Guru. Sungguh, kau tidak ingin mengajak kami?" ujar Xiao Fu Yan.
Lelaki usia tiga puluh dua tahun itu adalah murid Lin Wei yang terakhir, setelah Miya Chan, Zhao Cao, dan Lu Bu. Meski usianya terbilang tua dari seluruh murid Lin Wei. Wajahnya yang tidak tampan tidak juga jelek, lima tahun lebih muda dari usianya.
Dia juga dikenal sebagai raja gombal para wanita. Statusnya masih lajang di usianya yang terbilang tua, itu karena sulit untuk menemukan belahan jiwa. Baginya, seluruh wanita cantik adalah hal yang pantas untuk dia dapatkan.
Lin Wei pun sedikit tersenyum, walau sebenarnya berat. "Ini adalah urusanku. Aku sendiri yang harus menyelesaikannya. Tenang saja, suatu saat aku akan kembali lagi. Kuamanahkan Ludong pada kalian."
"Tapi sampai kapan?" tanya Lu Bu, yang merupakan murid ketiga Lin Wei.
"Entahlah. Tunggu saja," jawab Lin Wei. "Pokoknya kalian baik-baik di sini. Teruslah berlatih. Kalian tidak selamanya bergantung kepadaku untuk menjadi kuat. Lewati batasanmu jika ingin menjadi yang terkuat di setiap pertarungan."
"Cih! Untuk apa berlatih jika kau tidak disampingku," ujar seorang wanita. Dia adalah Miya Chan, murid pertama yang direkrut tanpa rencana oleh Lin Wei.