Mendengar hal tersebut. Sontak perhatian Lin Wei lekas tertuju ke arah Miya Chan.
Lin Wei pun tersenyum. "Adik cantik?"
Miya Chan yang tadi agak manyun sambil menyilang kedua tangan di atas dada sontak tersenyum setelah mendengar seruan itu. Alasan wanita usia dua puluh satu tahun menjadi murid Lin Wei tempo hari adalah karena sesuatu yang cukup membuat kepala menggeleng.
Bagaimana tidak. Miya Chan adalah seorang anak jalanan sebelumnya. Namun, setiap hari dia selalu bersembunyi di semak-semak hanya untuk melihat Lin Wei berlatih. Hingga ketika Xu Jiang Fei menangkap basah Miya Chan. Miya Chan menjelaskan soal kekagumannya terhadap seni bela diri yang sebenarnya sebagian besar kekaguman itu terfokus pada Lin Wei.
Xu Jiang Fei pun menawarkannya untuk menjadi muridnya. Namun, Miya Chan lekas berterus terang bahwa dia menolaknya dan hanya ingin diajarkan oleh Lin Wei. Sempat menjadi sebuah perundingan yang hingga akhirnya Lin Wei mengalah.
Waktu berjalan hingga membuat Miya Chan berkembang dalam asuhan Lin Wei yang sebenarnya tidak ingin menjadi seorang guru. Miya Chan dengan beraninya mengatakan bahwa dia menyukai Lin Wei. Namun, mengenai umur Lin Wei yang terpaut empat tahun dari Miya Chan. Lin Wei hanya menganggap Miya Chan sebagai adiknya.
"Sungguh? Kau mengatakannya?" ucap Miya Chan tersenyum senang.
Selama ini. Miya Chan ingin dipanggil adik cantik oleh Lin Wei, tetapi Lin Wei selalu menolaknya. Hubungan mereka hanya sebatas saudara sekaligus guru dan murid. Tidaklah lebih. Meski Miya Chan selalu mengganggu Lin Wei dan Lin Wei menolaknya mentah-mentah. Hubungan keduanya masih baik-baik saja.
"Kau belum mengalami gangguan pendengaran, kan?" tanya Lin Wei kembali.
"Benarkah?" Senyum Miya Chan semringah. Dia kemudian menampakkan kegirangannya dan meminta Lin Wei untuk mengulangnya lagi.
"Hahaha." Lin Wei tertawa renyah. "Baiklah, adik cantik. Baik-baik di sini. Sebagai murid pertamaku. Aku ingin kau membimbing kakak-kakakmu. Apakah kau bersedia?"
"Bersedia! Bersedia!" jawab Miya Chan lugas, sambil senyum girang masih menempel pada wajahnya.
"Adik guru!" seru Zhao Cao, menatap dalam-dalam wajah Lin Wei. Seruan itu pun lekas membuat Lin Wei mengalihkan perhatiannya. "Hati-hati!"
Lelaki usia tiga puluh ini sebelum menjadi murid Lin Wei adalah seorang budak di sebuah rumah saudagar kaya di Ludong. Hidupnya cukup pelik yang hingga ketika dia dituduh mencuri barang, dia hampir dieksekusi di istana.
Saat itu Lin Wei pun datang. Dia yang masih berstatus rakyat jelata mencoba mempertaruhkan hidupnya untuk membuktikan Zhao Cao tidak bersalah. Lantas setelah masalah selesai, Lin Wei mengangkat Zhao Cao sebagai muridnya.
Saat ketika Lin Wei mulai menerima murid, Xu Jiang Fei sangat tidak keberatan. Malah, dia yang meminta Lin Wei untuk mengajarkan ilmu bela diri pada mereka, sementara dia masih tetap mengajarkan ilmu-ilmu yang diketahuinya kepada Lin Wei.
Lin Wei kembali menyunggingkan senyum. "Pasti, Kakak Zhao Cao. Aku akan selalu berhati-hati," jawab Lin Wei.
Walau satus mereka sebagai guru dan murid. Namun, Lin Wei lebih senang memanggil mereka dengan sebutan kakak sekadar untuk menghormati mereka.
Lin Wei juga tidak mengizinkan mereka menyebutnya dengan sebutan guru. Layaknya saudara, Lin Wei meminta mereka untuk memanggilnya adik saja. Namun, karena mereka kekeh untuk menyebut Lin Wei guru. Hasilnya, mereka tetap menyebut Lin Wei adik, tetapi dengan tambahan guru.
Setelah mengucapkan beberapa kata itu. Lin Wei mengalihkan tatapannya pada seorang lelaki yang berdiri di sebelah Yuan Lao, kemudian mengambil beberapa langkah ke arahnya.
"Yuan Chen. Aku titip ayah padamu, ya?" ujar Lin Wei, saat sebelumnya dia meletakkan telapak tangannya di punggung lelaki tersebut.
Yuan Chen yang merupakan anak bungsu Yuan Lao masih berusia tiga belas tahun. Meski demikian, dia juga mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mengolah kekuatan. Saat Xu Jiang Fei masih hidup, Yuan Chen sempat diajari Xu Jiang Fei. Namun, itu tidak berlangsung lama karena Xu Jiang Fei sakit.
"Baik, Kakak. Aku akan menjaga ayah bahkan nyawa harus jadi taruhannya," jawab Yuan Chen tegas.
"Hahahaha. Anak baik. Anak baik." Lin pun tersenyum sambil mengacak lembut kepala Yuan Chen.
"Kakak ipar hati-hati ya. Aku pastikan, aku akan menandingi kekuatan Kakak ipar saat Kakak ipar kembali lagi. Aku akan menjadi kuat!"
"Siap laksanakan kapten kecil," tanggap Lin Wei. "Aku pegang kata-katamu."
Sejenak Lin Wei menyunggingkan senyum paling manis pada Yuan Chen. Sekarang giliar Lin Wei untuk berhadapan dengan Yuan Lao. Hanya dengan dua kali langkah ke samping, Lin Wei langsung saling berhadapan wajah dengan ayah mertuanya itu.
"Ayah. Aku pamit ya," ucap Lin Wei dengan nada agak berat. Kemudian lekas membungkukkan badannya, memberi salam hormat.
Sementara itu, Yuan Lao juga tampak agak tidak rela menghadapi hal ini. Namun, apa pun alasannya, dia tidak harus mengekang Lin Wei untuk tetap tinggal.
Setelah Lin Wei membungkukkan badan. Yuan Lao mengangkat tangannya untuk diletakkan di atas punggung Lin Wei.
"Baiklah, Nak. Pergilah dan lakukan apa yang harus kau selesaikan. Kami akan selalu menunggumu di sini. Baik-baik saja di perjalanan," ujar Yuan Lao. Menepuk pelan dua kali pundak Lin Wei, lalu membuat tubuh Lin Wei berdiri tegap.
"Terima kasih, Ayah. Aku janji. Aku janji akan menjadi lebih kuat dan sangat kuat setelah pulang dari misi ini."
"Hm." Yuan Lao pun tersenyum.
Kemudian tidak lama. Kuda yang sementara disiapkan untuk Lin Wei sekarang sudah menunggu untuk ditunggangi. Waktuya Lin Wei untuk memulai perjalanannya.
"Kakak guru tampan! Aku akan merindukanmu! Aku akan selalu merindukanmu!" teriak Miya Chan dengan sekuat tenaganya. Berat rasanya jika sehari tidak melihat Lin Wei bagi Miya Chan.
Mendengar hal itu, Lin Wei yang telah sampai di gerbang istana kemudian mengangkat tangannya sambil dua kali melambai dengan posisi membelakangi Yuan Lao dan lainnya. Saat itu juga, Yuan Lao dan lainnya dengan agak berat hati mengangkat tangan dan melambaikannya.
'Tuan pangenan Ludong! Semangat!'
'Kami akan selalu mendukungmu Tuan Pedang Dewa!'
'Semangat! Kami mencintaimu!'
'Kami mengandalkanmu Tuan Pangeran!'
Tidak lepas juga para masyarakat Ludong yang sudah berbaris berkerumun di depan istana, sekadar untuk menyaksikan keberangkatan Lin Wei. Mereka berseru, menunjukkan betapa cintanya mereka pada Lin Wei.
Menyaksikan hal tersebut. Sejenak Lin Wei tersenyum bahagia, melambai pada orang-orang. Orang-orang begitu menyayanginya, tetapi dia harus pergi untuk satu hal yang sangat penting.
***
Beberapa saat perjalanan. Lin Wei lepas dari wilayah istana dan kini tengah menunggangi kuda putihnya untuk melewati hutan. Awalnya, Lin Wei yang hanya sendirian tidak menemui adanya kejanggalan di perjalanan. Sampai suatu ketika dia mulai memasuki wilayah gunung Xuanchi. Dia merasakan aura kekuatan yang mengancam.
'Siuf siuf siuf'
Benar saja, terdengar suara lesatan bayangan. Lin Wei sejenak menarik tali kemudi kudanya hingga membuat kudanya berhenti. Dengan tampilan yang sederhana, Lin Wei membawa pedang bersarung ukuran agak besar di punggungnya. Sejenak Lin Wei sedikit mengangkat topi jerami bulatnya, kemudian menelisik area sekitar.
"Sepertinya ada yang tidak beres," ucap Lin Wei dalam hati. Setengah wajahnya saat ini ditutupi oleh sebuah kain hitam. Setengahnya lagi hanya menampakkan bagian mata hingga dahi yang tidak sempat ditutupi oleh topi jerami.