"Alice!"
Alice yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia segera berbalik dan melihat Aska. Untuk apa pria itu menyusulnya.
"Alice! Apa yang lu lakuin hah?! Berhenti mencar perhatian! Karena sampa kapanpun gua tak akan pernah suka lu! Dan sekarang lu ikut gua pulang! Jelasin ke Aunty!"
Alice dengan cepat menghindar begitu tangan Aska ingin menyentuhnya. Ia tak ingin disentuh oleh siapapun saat ini. Kejadian dari masa depan itu sudah menjadi tremor untuknya.
Alice langsung berbalik dan menutup pintu kamarnya dengan kuat. Saat itu juga tubuhnya luruh ke lantai. Bahkan hari ini syutingnya beberapa kali gagal, karena ekspresinya yang tak sesuai dengan adegan. Harusnya dia tersenyum bahagia ketika dipeluk lawan mainnya. Karena di sana menggambarkan cinta yang sudah lama tak jumpa.
'tok tok tok'
"Alice! Ini aku Wildan!"
Alice tak menjawabnya. Ia butuh sendiri saat ini. Mentalnya benar-benar hancur. Namun dia butuh kehidupan ini. Kehidupan bahagia yang ia impikan dan rencanakan baru-baru ini.
"Aku akan menemanimu di sini." Wildan pun duduk di depan pintu. Menunggu Alice sambil menyanyikan lagu jangan menyerah D-Masiv dan beberapa lagu penyemangat lainnya.
Selesai konser dadakan. Wildan menarik ponsel di sakunya.
"Sudah dua jam ternyata." Wildan segera mengambil kunci cadangan yang diambilnya dengan nama pewaris hotel ini.
Wildan perlahan membuka pintu itu dan melihat Alice tidur bersandar di dinding. Tepi matanya merah, pipinya berbekas air mata. Tak lupa bahu gadis itu yang juga basah.
Wildan menggendong Alice dan memindahkannya perlahan. Baru ia beranjak, terdengar teriakan dari mulut gadis itu.
"Tidak! Tolong jangan sentuh aku! Tolong! Aska! Tolong aku! Aku janji nggak akan sentuh Dara! Tolong! Tolong!"
Wildan terdiam. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Pria itu langsung membangunkan Alice. Namun apa yang terjadi, gadis itu langsung meringkuk dengan tubuh gemetar ketakutan.
Wildan hendak menyentuhnya.
"Berhenti! Jangan sentuh! Jangan!"
"Alice! Ini aku Wildan!" Wildan mengguncang tubuh Alice.
Alice tersadar. Ia menatap Wildan lalu menunduk lagi dan menangis.
"Maaf. Tolong tinggalin aku sendiri."
"Nggak!"
"Pergi Wildan! Pergi!"
Wildan bangkit dan pergi. Tapi sebelum itu, ia sempat melihat Alice yang mencari dan meminum obat yang ada di nakas.
Wildan membuka pintu dan menutupnya. Namun pria itu sengaja tidak keluar dari sana. Diperhatikannya Alice yang menarik selimut dan bantal. Gadis itu memilih tidur di bathub.
Wildan yang mengintip Alice yang terlelap. Segera pergi dari sana. Ia benar-benar tak bisa membiarkan hal ini terjadi.
xxx
Suara tamparan menggema. Tangan Alice yang bebas dari koper langsung memegang pipinya.
"Kami kira kamu hanya cari perhatian dengan pura-pura berubah! Ternyata diam-diam kamu yang merencanakan semua ini! Jawab!"
Alice mengangkat wajahnya. Dilihatnya Dara yang memakai gyps dan tongkat. Lalu matanya beralih pada Papa dan Mamanya. Serta, kedua kakaknya.
"Dasar anak sialan!" teriak Renee sambil melayangkan tamparan satu kali.
"Hahahahaha!" Alice tertawa kencang. "Anak sialan? Berarti anda juga sialan Nyonya Alex?!"
"Kamu!!"
'Plak'
Kali ini Alex menampar Alice. Perempuan itu langsung menoleh.
"Sama saja seperti ayahnya yang hina itu!"
"Ooops! Anda belum tau rupanya?" tanya kakak tertuanya - Mario.
"Kalian urus anak nggak tau diri ini! Papa akan bawa mama istirahat."
"Baik, Pa." Daren - putra kedua mereka mengangguk.
"Lu! Anak haram! Kalau bukan karena ayah bajingan mu itu yang memerkosa ibu kami, kamu nggak akan pernah ada di dunia ini, Jalang!" Mario menjambak rambut Alice dan Daren menampar kedua pipi adiknya.
"Kakak! Berhenti!" teriak Dara. "Tolong berhenti!"
"Maaf!" ucap mereka serentak. "Maaf, Sayang. Kakak nggak bermasuk mempertontonkan kekerasan terhadapmu." Mario langsung memeluk Dara dan membawa gadis itu pergi. Daren juga ikut.
Alice perlahan bangkit dan langsung berjalan ke kamar. Ia kunci kamar dan menangis di bathub. Dirinya masih tremor dengan kasur. Apalagi dengan tiang guna memasang kelambu.
'Ting'
"Kamu tak apa?"
Alice diam dan tak membalas pesan Silver. Ia lebih memilih duduk sambil memeluk diri dalam bathub.
"Maaf. Aku yang tak sengaja mencelakai Dara. Sebagai gantinya agar perasaanmu enakan. Aku bantu kamu untuk tes DNA bagaimana?"
"Kuanggap kamu setuju."
Alice masih diam memandang pesan-pesan itu. Tak lama ia tertidur di sana tanpa selimut dan bantal.
xxx
Silver mendatangi Alice melalui balkon. Ia berencana untuk mengobati luka gadis itu. Perlahan dibobolnya kamar itu. Setelah itu, mengambil salah satu kunci di pintu balkon. Agar dia bisa leluasa datang.
Silver memasuki ruangan dan tak menemukan siapapun. Sedangkan pintunya terkunci dari dalam. Dilihatnya sekitar. Kasur Alice sangat kecil. Cocok untuk anak usia remaja. Sedangkan tinggi gadis itu sudah tak bisa dikatakan lagi.
Silver meringis karena ingatannya yang pernah beberapa kali melukai gadis itu. Perlahan dicarinya Alice hingga ke kamar mandi yang terbuka. Terlihat gadis itu terlelap.
Silver berniat memindahkan. Namun tak jadi. Ia tak bisa. Karena sebenarnya dirinya juga tak pernah bisa tidur di kasur. Sebelum akhirnya Dara mengisi kekosongan hati dan mengobati mentalnya.
Silver terkekeh pelan. Membuat Alice terganggu. Baru saja perempuan itu hendak berteriak. Mulutnya langsung dibungkam.
"Tenang! Gua cuma mau ngompres pipi lu dan ngobatin lu doang."
Alice mengangguk. Ia berusaha menahan mati-matian tremor pada tubuhnya.
Silver segera mengambil kompres dan menyuruh Alice untuk menempelkan di kedua pipi gadis itu. Sedangkan dia mengobat sudut pipi yang robek.
"Gua nggak akan nyakitin lu. Karena kita punya tujuan yang sama."
Alice mengangguk pelan. Ia biarkan Silver mengobati. Lagi pula tidak bersentuhan langsung. Pria itu memakai cotton bud.
"Maaf." Silver yang selesai mengobati Alice langsung berbalik dan bersandar pada bathub.
"Tak apa."
"Sebentar!" Silver beranjak dan mengambilkan bantal serta selimut untuk Alice. "Pakai!"
Alice perlahan mengambilnya. Ia tidur menghadap Silver yang memunggunginya.
"Sebenarnya orang tua ku dibunuh di atas kasur. Makanya aku tak bisa tidur lagi di atas kasur sampai Dara datang. Mengobati penyakit mentalku. Hahahaha! Lucu ya!" Silver memeluk kakinya. Punggungnya bergetar. Ia tak percaya akan dikhianati begini.
Alice terdiam. Ternyata ada yang lebih rapuh darinya. Ada yang lebih terluka dan tersiksa darinya
"Ada yang lebih lucu lagi," ucap Alice.
Silver mengusap air matanya dan langsung menoleh.
"Silver yang terkenal bengis, curhat dan menangis di kamar mandi seorang Alice."
"Gua nggak nangis!"
"Iya, gua percaya."
"Lu!"
"Hahaha! Aws!"
"Hahaha! Rasain tu! Kualatkan lu?"
"Ck!"
"Silly, boleh nanya nggak?"
"Silly?"
"Silver terlalu payah nyebut nya. Apa mau dipanggil Binbin?"
"No! Nggak keduanya."
"Cih! Terus?"
"Bin aja atau Ver? Lagian Silly dan Binbin sama-sama dua suku kata dengan Robin dan Silver."
"Ck! Nggak asyik!" Alice bersidekap. "Apa alasan lu nyuruh gua test DNA?"
"Mata dan bibir lu mirip tuan Alex. Dan ... paman gua darahnya B."
"Ng?"
"Waktu itu gua ngira paman gua yang bunuh. Tapi, ternyata dia bego dan berandalan. Satu hal lagi, dia bucin sama Mama Renee."
"Jadi gua?"
"Bego! Dah gua bilang darahnya B, Bego!"
"B? Tunggu! Gua AB, mama B, papa AB!"
"Dasar keluarga bego semua!" umpatnya sebelum keluar.
Alice masih terdiam di tempat. Tak percaya. "Hahaha! Jadi kalau gini balas dendam gua bakal berhasil?"
"Ng?" Silver menghentikan langkahnya. "Jangan aneh-aneh! Gua aja berharap keluarga gua hidup lagi. Lu malah mau keluarga lu mati."
"Lu nggak tau gimana jadi gua. Jadi sebaiknya lu keluar sana!"
"Cih! Harusnya lu makasih kek!"
"Ngapain? Kan ini untuk permintaan maaf!" ucapnya sambil menunjuk sudut bibirnya.
Silver terdiam. Ia sempat meringis.
"Mungkin gua nggak akan tega buat bunuh mereka. Makanya gua lebih memilih keluar dari keluarga ini. Gua capek."
Silver mengangguk. Ia kemudian segera keluar dari sana.