Chereads / Dibalik Kematian dan Dendam / Chapter 6 - BAB 5 Aksi Bunuh Diri

Chapter 6 - BAB 5 Aksi Bunuh Diri

"Alice!" Wildan berlari menghampiri Alice yang termenung di taman. Gadis cantik dengan bibir pucat yang ditutupi lipstik. Hidung mancung, rambut lurus legam.

"Astaga! Direktur kita sudah sampai ternyata?" tanya Alice.

"Apaan sih! Oh iya! Aku sudah menemukannya."

"Apa?"

"Tempat persembunyiannya. Villa tepi pantai. Aman. Tempatnya masih pelosok di pulau Sumatera. Tak ada masalah."

"Beneran?!"

"Iya." Alice pun langsung loncat kegirangan. "Tak mau peluk?"

Alice terdiam dan menggeleng. Tubuhnya masih tremor di sentuh laki-laki.

"Tak apa. Oh iya! Aku sudah buat janji temu dengan om Alex. Malam Sabtu nanti rencananya kami akan bertemu."

"Benarkah? Makasih, Wildan." Alice duduk kembali. Air matanya mengalir. "Setelah ini aku tak tau bagaimana memaafkan mereka. Rasanya sakit."

"Aku tau. Makanya kamu butuh ketenangan bukan?"

"Iya. Aku ingin pergi ke tempat yang jauh. Jauh dari mereka dan rasa sakit."

"Tenang aja! Nggak ada yang tau kalau kamu di sana."

"Benarkah?"

"Mmm."

"Wildan, makasih."

"Iya. Sudah seharusnya aku membantumu." Wildan memberikan sapu tangan pada Alice.

xxx

Alice pergi ke sana dengan diantar sopir Wildan. Lalu, menaiki kapal menyebrangi pulau. Perempuan itu tak mau naik pesawat. Ingin sesekali mencoba naik mobil ke sana.

"Nona sudah banyak menderita," ucap sang supir. "Jadi gunakan lah waktu sebaik mungkin untuk refreshing."

Alis Alice menaut. Ia segera melirik spion dan menutup mulutnya.

"Silver? Bagaimana bisa?"

"Bisa dong."

"Cih!"

"Lu emang nggak punya kerjaan?"

"Punya. Nyetirin dan ngawanin elu selama di sana."

"Bego! Bukan itu yang gua maksud!"

"Oh! Urusan kantor ada Baim. Siverry ada John."

"Iyalah terserah. Gua mau tidur!"

xxx

"Pa, Ma! Ayolah kalian harus makan!" bujuk Dara. "Dara nggak mau kalian sakit!"

Namun, dua orang tua yang duduk di meja makan hanya bisa menatap kosong. Mereka benar-benar bingung harus apa.

"Ma!" panggil Mario. "Pa!"

"Apa kamu sudah menemukannya? Apa kamu sudah menemukan adekmu?"

"Adek? Ma, Pa. Dara di sini."

"Belum."

"Alice, kamu ke mana, Nak?"

"PA! MA! Dara di sini! Dara anak kalian! Berhentilah nyakitin diri demi anak sialan itu!"

'Brak'

Alex memukul meja dan menatap Dara tajam. Begitu pula, Renee dan Mario yang tak senang dengan ucapan perempuan itu.

"Maaf. Dara ... Dara nggak suka lihat mama dan papa kehilangan gairah hidup." Dara langsung berlari keluar. Namun tak ada seorang pun yang mengejar. Ia sempat berhenti dan menoleh.

xxx

"Hiks hiks!" Dara memeluk Robin erat. "Aku benar-benar nggak bisa lihat mama dan papa begini. Apa yang harus kulakukan Robin? Kemana aku harus mencari Alice?"

"Tenang sayang! Aku pasti akan menemukannya. Jadi berhentilah menangis. Lihat! Wajahmu jadi jelek begini." Robin memutar tubuh Dara dan memaksa gadis itu untuk berkaca.

"Apaan sih! Aku lagi sedih!" Dara memukul pelan tangan Robin di pundaknya. Lalu menggenggam pelan sambil berkata, "Makasih."

"Sayang!"

"Mm?"

"Kamu terlalu baik pada Alice."

"Tidak! Alice terlalu baik untukku."

"Benar."

"Ng?"

"Semua yang kamu katakan benar, Sayang!"

xxx

Sepasang kekasih tanpa busana hanya tertutup selimut itu tengah duduk bersandar dengan kepala kasur.

"Aku akan pergi sebulan ke depan. Perusahaanku mungkin hancur sebentar lagi dan debt kolektor akan datang. Jadi sebaiknya kamu tinggal di rumah papa dan mama. Setelah urusan selesai. Aku akan menjemputmu, Sayang."

"Tidak bisakah aku ikut denganmu? Aku tak mau ditinggal sendiri di sini."

"Kamu tak sendiri. Ada mama dan papa, Mario dan Daren."

"Benar."

xxx

"Jadi lu ngangkat Baim buat ngancurin usaha lu secara alami? Gila!" teriak Alice tak percaya. Kini mereka tengah di dek kapal.

"Lu nggak mau ke luar?" tanya Silver.

"Nggak. Gua mau tiduran aja."

"Ya udah."

Silver juga lebih memilih tidur sambil menunggu kapal berlabuh. Jadilah istirahat beberapa jam pikir nya.

xxx

Setelah perjalanan 2 hari. Akhirnya mereka tiba di sebuah Villa.

"Akhirnya!" Alice merenggangkan tubuhnya.

"Selamat datang Nona!" sapa seorang pelayan ramah dan dijawab anggukan oleh Alice.

Pelayan tersebut segera membantu membawakan koper ke kamar Alice. Sedangkan gadis itu segera naik ke atas. Tepatnya ke kamar yang sudah ditunjuk oleh pelayan untuk tidur menghilangkan penat.

"Nona ...." Pelayan itu menghentikan ucapannya. Ia segera pergi dari sana.

xxx

Seminggu kemudian.

Di kantor seorang CEO tampan tengah asyik dengan berkas di hadapannya. Sesekali ia memijat pangkal hidungnya. Tiba-tiba suara panggilan di ponselnya mengalihkan intrupsi.

"Ada apa?" tanyanya dingin.

"Pa ... pa ...."

"Cepat katakan!"

"Nona Alice terjun dari tebing."

"Apa?! Cepat cari!!" Pria bernama Wildan itu langsung berlari keluar. Saat di mobil ia sempat menelepon sepupu dan ayahnya untuk menggantikan dirinya beberapa hari.

"Papa capek! Papa sudah tu ...." Panggilan diputus oleh Wildan. Pria itu langsung memutuskan untuk ke Bandara.

xxx

Wildan mematung melihat sepatu Alice yang ditaruh dengan rapi di tepi tebing. Ada sepucuk surat di sebrangnya.

"Maaf Wildan. Hatiku terlalu sakit untuk menanggung semuanya. Dan gua nggak tau bakal bilang apa ke mereka, kalau mereka minta maaf. Di dekat mereka saja tubuhku agak tremor. Sedangkan jauh, semua kenangan pahit itu membuatku semakin membenci mereka. Padahal yang aku butuhkan kasih sayang. Jadi ... biarkan mereka tak tau dengan kepergianku. Terima kasih Wildan."

Wildan langsung luruh ke lantai. Diambilnya sepasang sepatu itu dan memeluk erat bersama sebuah surat.

"Jangan tinggalin aku!" ucapnya serak.

xxx

Anderson diam mematung di depan pintu. Ini sudah sebulan. Putranya sama sekali enggan keluar. Ia sendiri pun sudah tau permasalahan ini secara rinci melalui asistennya Wildan.

Anderson membuka pintu kamar yang berantakan itu. Bahkan ordeng saja sudah robek dibuatnya.Tak pelak kursi kayu yang sudah tercerai berai teronggok dengan tak etisnya.

"Harusnya aku temani dia waktu itu. Pasti sangat sulit baginya tanpa teman bicara."

Anderson tersenyum tipis. Ia tau perasaan ini. Sewaktu ibu kandung Wildan meninggal. Dirinya benar-benar terpuruk sampai lupa akan kehadiran putranya.

"Rela kan dia. Sekarang mungkin dia sudah tak merasa sakit lagi."

Anderson mengusap kepala anaknya untuk pertama kali setelah bertahun-tahun perang dingin. "Rela kan!"

Wildan masih terdiam sambil memandangi foto Alice. Hatinya terlalu sakit untuk merelakan.

"Di bawah ada yang melapor. Katanya Dara terluka dan didorong oleh Alice."

Wildan langsung mengangkat kepalanya.

"Kamu harus bisa bangkit dan memperbaiki nama Alice. Lalu, balaskan semua dendam Alice. Apapun yang terjadi."