Chereads / Dibalik Kematian dan Dendam / Chapter 5 - BAB 4 Tes DNA

Chapter 5 - BAB 4 Tes DNA

Mobil Alex tiba-tiba berhenti ketika seseorang menghadang mereka.

"Keluar kalian!" teriak gerombolan orang-orang itu.

'prang!'

Kaca mobil pecah terkena lemparan tongkat besi. Ia menarik sang supir dan menghajarnya. Lalu menghajar dan menusuk perut Alex. Namun tak sampai kena organ dalam. Lalu mengambil dompet, ponsel dan harta beharga dalam mobil. Barulah mereka pergi.

Tak lama, mobil Aska dan Dara terlihat.

"Aska! Itu bukannya mobil papa?"

Aska langsung menepikan mobilnya. Dara dengan cepat keluar dari mobil.

Aska segera menyusul. Tak lupa menelpon ambulance. Barulah ia membantu mereka.

xxx

"Ada apa?" tanya Alice.

"Gua butuh darah lu!"

"Baiklah." Alice mengambil pisau kecil itu dan mengarahkannya pada leher.

"Eh, Bego! Lu ngapain?!" Silver panik dan langsung menahan pisau itu.

"Lah? Kan lu mau darah gua."

"Darah yang lain!"

"Gua nggak lagi bulanan."

"Astaga! Bego! Ngapain gua butuh darah bulanan lu!" Silver mulai emosi.

Alice langsung menyayat sedikit jempolnya. Kemudian pergi meninggalkan ruangan pengap itu. Apalagi bau nikotin sangat menyegat di sana.

"Makanya lain kali yang jelas!"

xxx

"Makasih, Sayang! Makasih, Aska!" ucap Renee berkali-kali. Ia benar-benar tak tau harus apa.

"Sudah, Ma. Sudah sepantasnya anak menolong ayahnya."

Alice memutar mata malas. Ia segera pergi dari sana. Rencananya menjenguk Alex batal.

"Ternyata masih terasa sakit," gumamnya sambil memegang dada. Tanpa sadar, Daren dan Mario ternyata melihat punggung Alice yang menjauh.

xxx

'Plak'

Silver terdiam di tempat. Dilihatnya Alice yang sedang marah padanya.

"Ada banyak cara kan?!" ucap Alice.

"Nggak ada! Cuma itu cara yang nggak buat curiga."

"Bajingan!" teriaknya sambil menampar sekali lagi.

"Kenapa? Lu masih peduli sama papa lu?"

Alice terdiam. Ia tak tau. Kemudian dirinya memilih duduk di sofa dan menangis sekencang-kencangnya di sana.

Silver terdiam. Baru kali ini dia melihat Alice serapuh ini. Biasanya gadis itu sangat kuat.

"Gua rasa mau mati. Rasanya benar-benar sakit!" Alice memegang dadanya. Suaranya sedikit tercekik.

"Alice? Alice!" sebuah tamparan dilayangkan oleh Silver untuk menyadarkan gadis itu. "Lu nggak boleh mati! Rencana lu belum selesai! Alasan lu hidup belum selesai!"

Alice segera menarik ujung baju Silver. Mengelap air mata dan membuang ingusnya di sana.

"Astaga!" Silver hendak marah. Tapi dia tak tega.

"Sorry sengaja!" Alice terkekeh lalu pergi. NNamun sebelum benar-benar pergi, "Kalau lu berpikir perubahan emosi gua karena gua gila. Sepertinya gua memang gila dan mungkin harus benar-benar di rawat di rumah sakit jiwa. Setelah misi ini selesai."

xxx

"Tuan! Tuan muda Anderson ingin membuat janji temu!"

Alex yang tengah menandatangani dokumen langsung menoleh. "Kalau begitu carilan jadwal kosong saya."

"Baik, Tuan."

"Huff!" Alex merenggangkan tubuhnya, lalu tersenyum kecil melihat foto keluarganya yang tengah liburan ke London beberapa tahun lalu. Dara, Renee, Mario dan Daren.

Jangan tanya putri gilanya itu. Bahkan dia tak ada berkunjung ke rumah sakit. "Dasa nggak tau diri!"

xxx

Silver yang tengah menghisap Vape-nya terkejut ketika Alice masuk dan langsung duduk di sebrangnya. Gadis di depannya ini benar-benar berani.

"Apa lagi?"

"Astaga! Maaf saja tuan Silver! Kalau bukan Anda yang memanggil, saya tak akan kemari."

"Oh iya! Lupa!" Silver langsung mengambil dokumen hasil tes DNA dan identitas baru.

"Perasaan umur kita nggak jauh beda. Tapi dah pikun aja!"

"Enak aja! Gua nggak kayak lu! Pengangguran!"

"Pengangguran gini, gua punya saham di perusahaan lu!"

"Hah! Iya benar juga. Nyesel juga gua kasih ke lu. Aturannya gua kasih aja mobil kesayangan gua."

"Hahaha! Lu itu cuma nggak mau lihat orang lain senang kan? Makanya gua kasih dua pilihan mobil yang gua suka atau sepersen saham."

"Jadi ini jebakan?"

"Mm!"

"Ck!"

"Ya udah! Gua mau nemuin tuan muda Anderson dulu!"

"Mau selingkuh ya? Dari pada sama dia mending selingkuh sama gua aja."

"Cih! Males gua sama orang yang sebentar lagi menduda! Bye!" Alice keluar dari ruangan itu sebelum Silver mengamuk. Nyatanya pria itu malah terkekeh dan merasa lucu.

xxx

'tok tok'

"Masuk!"

"Tuan muda. Nona Alice mencari anda."

"Suruh dia masuk!"

Wildan langsung berdandan dan mematut diri di depan cermin. Demi terlihat segar. Lalu kembali ke tempat duduknya semula.

"Wildan!"

Wildan mengangkat wajahnya dan tersenyum. Tampak Alice tengah melepas maskernya.

"Alice?! Apa yang terjadi?!"

"Biasa." Alice langsung duduk di depan Wildan.

"Astaga!" Wildan mengusap sudut bibir gadis itu. "Pasti sakit."

"Nggak."

"Bukan yang ini. Tapi di sini." Wildan memegang dadanya.

"Kamu benar. Sibukkah?"

"Lumayan. Tapi nggak papa. Kenapa?"

"Carikan aku tempat sembunyi. Bolehkan?"

"Ng?"

"Aku mau nenangin diri selama dua tahun. Tolong."

Wildan mengangguk. "Akan kubantu."

"Lalu ini, tolong kamu kasih sendiri ke papa, setelah nemuin tempat persembunyian baru."

"Apa ini?"

"Buka aja!"

Wildan membukanya dan terkejut. Apalagi hasilnya adalah anak kandung.

"Kamu udah tau?"

Wildan menatap Alice dan mengangguk.

"Aku tau soal aib itu. Maaf. Aku dah janji sama Aunty Bianca untuk nggak bilang."

"Aku ngerti. Jadi tolong untuk tempat itu dan rahasia kan pada semuanya. Lalu, janjilah padaku untuk tidak menemuiku sama sekali selama enam bulan."

"Tapi kita masih berkirim pesan bukan?"

"Emm! Ya udah! Aku pulang dulu." Alice langsung pergi dari sana.

xxx

"Wildan?"

"Maaf, Tuan Alex. Selama ini saya sudah menipu anda."

"Oh! Tidak, tidak. Maaf jika selama itu jika saya sudah bersikap tak sopan pada anda."

"Tak masalah. Ini!" Wildan menyerahkan dokumen hasil DNA itu.

"Silahkan dilihat!"

Alex membuka surat itu dengan tatapan tak percaya. Ia menatap Wildan.

"Itu asli. Kalau anda tak percaya. Anda bisa mengeceknya dengan mengambil rambut rontok milik Alice." Wildan mencoba mengatur napas yang terasa mencekik. "Kalau begitu saya permisi."

xxx

Alex berjalan gontai memasuki rumah. Renee yang setiap malam menunggu pria itu langsung bangkit dari sofa.

"Papa?"

"Mana Alice, Ma?"

"Alice?"

"Mana?! Alice!! Alice!!" Alex berteriak-teriak memanggil nama putrinya. Membuat Daren dan Mario keluar dari kamar mereka masing-masing.

"Mario! Mana adek kalian?!"

"Dia di rumah Robin. Sebentar Mario panggil."

"Bukan! Bukan, Dara! Alice! Mana Alice!" teriak pria itu.

"Pa! Sebenarnya ada apa ini?!" teriak Renee.

"Baca! Baca ini!" Alex melempar dokumen itu ke tangan istrinya. Ia kemudian pergi naik ke atas. Tepatnya ke kamar Alice. Mario dan Daren segera mendekati Renee. Mereka terkejut dengan apa yang mereka baca.

"Nggak mungkin! Nggak mungkin!" teriak Renee sambil berlari ke atas disusul kedua putranya.

Betapa terkejut mereka. Melihat kamar kumuh itu. Dindingnya mengelupas. AC yang rusak. Kasur kecil dan keras. Tak ada selimut dan bantal.

Alex bangkit perlahan mencoba mengecek ke kamar mandi. Dia langsung ambruk.

Daren yang hendak mengecek di walk in closet langsung pergi ke sana. Ia dan yang lain juga terkejut. Melihat Bathub yang diatasnya terdapat bantal dan selimut. Kamar mandi itu bahkan terkesan usang cat dan keramik nya pun banyak yang retak.

"Cari adek kalian! Cari!!" teriak Alex dengan posisi yang masih terduduk lemas dan air mata yang tak henti mengalir.