"Mmm, Emely."
Teman sekelasku, Alex. Sepertinya dia ragu untuk memanggil nama satu-satunya wanita yang tidak memiliki satupun teman dimanapun dia berada.
Namun, sebagai pemimpin kelas. Dia harus menemuiku dan memanggil namaku, memberikan kesempatan orang-orang untuk melihatku dengan ekspresi jijik dan mengejek ke arahku.
Aku tak merasa masalah dengan perlakuan mereka, sama sekali tidak. Karena aku sudah terlalu terbiasa dan merasa bosan untuk berpikir jika tindakan mereka lebih menjijikkan dari diriku sendiri.
"Emely, kau dipanggil oleh guru olahraga, Pak Richard. Dia menyuruhmu untuk datang ke kantornya."
"Baik, terimakasih."
Alex segera pergi dari hadapanku, tak peduli dengan rasa terimakasihku dan segera menemui kawanannya yang merasa khawatir pada hal konyol.
Aku hanya menghela napas dan bergerak pergi.
Tak biasanya guru itu memanggilku. Richard Gere, sosok guru muda yang diidolakan banyak wanita, dengan tubuh yang kokoh dan wajah yang tampan. Ada begitu banyak wanita yang ingin menjalin cinta terlarang bersamanya.
Tapi, tak satupun dari mereka yang berhasil. Walau mereka memberikan tumpukan harta yang menggoda setiap lelaki dan kecantikan wajah bak model majalah popular. Richard Gere tak pernah menerima perasaan mereka yang dangkal dan hanya tetap fokus pada pekerjaannya.
Untuk itu, aku menghormatinya sebagai seorang guru dan juga sebagai lelaki yang tangguh.
"Permisi."
Aku mengetuk pintu dan mencari kehadirannya.
"Ah! Emely, kemarilah."
Pak Richard melambai ke arahku dengan senyuman lebar di wajahnya yang tampan. Mejanya berada tepat di samping jendela, dan aku benar-benar menyukai bagaimana mejanya terlihat begitu rapi dengan tumpukan dokumen yang terorganisir dengan sempurna.
Aku segera berjalan ke arahnya, berusaha menghindari tatapan mata kebencian siswa lain yang berada di ruangan yang sama denganku.
"Apa bapak memerlukan sesuatu denganku?"
"Hmm, untuk sekarang aku ingin kau ikut denganku."
Aku tak sempat bertanya kemana dan untuk apa dia memanggilku.
Dia segera berdiri dan aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.Aku tak berjalan di sampingnya, dan hanya mengikutinya dengan patuh.
Aku tak ingin menambah tatapan kebencian dari orang-orang di sekitarku dengan hanya berjalan sejajar di samping Pak Richard.
Ini menjengkelkan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Ada apa? Apa kau takut berjalan di sampingku?" Dia tersenyum melihatku.
"Lebih tepatnya, aku takut dengan orang-orang yang menyukai bapak."
"Eh?"
Dia terkejut dengan jawabanku dan mulai tertawa lepas. Aku tidak tahu apa yang lucu dari jawabanku, tapi aku hanya mengamatinya dengan ekspresi kosong.
"Astaga, kau lucu sekali. Tapi, bapak lebih suka kamu berjalan sejajar dengan bapak."
"Tapi-"
Tak sempat menyelesaikan kalimatku, pergelangan tanganku segera ditariknya dengan cepat dan membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Dia hanya tersenyum dan memegang erat tanganku agar aku tidak terjatuh, kemudian melepaskanku dan menatapku dengan wajah yang tak merasa bersalah sama sekali.
"Maaf, sepertinya bapak terlalu kuat menarikmu."
"Sebaiknya bapak jangan lakukan itu lagi. Itu menyakitkan."
"Maaf maaf, bapak tidak akan melakukannya lagi."
Aku hanya mengalihkan wajahku dan tak mengatakan apapun setelahnya, begitu juga dengannya.
Kami berjalan menaiki tangga, melewati banyaknya kelas dan laboratorium yang cukup menguras tenagaku. Dan setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami sampai pada sebuah pintu besi tua yang terlihat terkunci.
Itu adalah pintu menuju atap sekolah. Para siswa tidak diperbolehkan untuk ke sana karena terlalu berbahaya dan tidak adanya kamera pengawas yang terpasang. Hanya guru dan penjaga sekolah yang diizinkan memasuki tempat itu.
"Kenapa bapak mengajakku kemari?"
Aku sedikit berjalan mundur karena merasa waspada dengan ajakannya yang terlihat mencurigakan. Sejak awal, Pak Richard tak memberitahukan apapun perihal urusannya denganku.
Aku mulai mempertanyakan tujuannya yang sebenarnya.
Auranya menjadi tidak menyenangkan dan pikiranku mulai was was. Aku berulang kali menegaskan jika guru ini bukanlah apa yang sedang kubayangkan dan aku akan baik-baik saja.
Namun, situasiku tak memudahkanku untuk terus berpikir positif dan tenang.
Pak Richard kemudian memasukkan kunci pintu tersebut dan membuka pintunya dengan lebar. Hembusan angin kencang segera menerbangkan rambutku, dan cahaya matahari yang menyilaukan mata dengan cepat merambat masuk ke lorong-lorong sekolah.
Keadaannya saat itu sangat sepi, hanya ada kami berdua di sana, dan bel masuk kelas telah berbunyi lima menit yang lalu. Pak Richard telah memberikanku izin untuk tidak memasuki kelas hari ini dan aku sangat bersyukur karenanya.
Setelah beberapa saat, dia berbalik dan melihatku.
Dia tak tersenyum sama sekali.
"Emely."
"Iya?."
Dia segera berjalan mendekatiku, aku mencoba untuk berjalan mundur sebagai bentuk pertahanan diri. Namun, dia dengan cepat mencengkeram lenganku dan menghentikanku seketika.
Aku menatapnya dengan rasa takut yang terasa asing. Tanganku sedikit bergetar karena rasa takut dan panik yang menyerangku secara bersamaan.
Namun, aku mencoba untuk memberanikan diriku.
"Tolong lepaskan tanganku."
"Sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Kau pasti akan kabur, iya kan?"
"Seorang guru mengajakku ke tempat sepi dan memegang erat tanganku. Apakah bersikap tenang dan percaya tidak ada yang akan terjadi, adalah hal normal dan masuk akal?"
"Pfft- Hahahaha!"
Dia tertawa kencang, namun tatapannya terlihat berkata lain. Itu adalah tatapan yang tidak akan dibuat oleh seorang guru.
"Emely."
Aku tak menjawab dan hanya menatapnya tajam.
"Apa kau kenal Fox Dwyne?"