Chapter 3 - Fox Dwyne

"Apa kau kenal Fox Dwyne?"

Aku tak pernah menyangka akan mendengar nama itu darinya. Fox Dwyne? Tentu saja aku mengenalnya. Sang penguasa di sekolah ini, tak ada satupun orang yang tidak tahu siapa dia. Namanya selalu menjadi perbincangan dimana-mana dan tak pernah ada yang bosan dengan topik tersebut.

Dengan status sebagai Ketua OSIS dan anak dari CEO Perusahaan Phantom yang sangat sukses dan gemilang di Negara ini. Mempertanyakan apa aku mengenalnya atau tidak adalah hal konyol.

"Tentu aku mengenalnya."

"Ya, pastinya."

"Apa bapak mengajakku kemari hanya untuk itu?"

"Tentu tidak."

Kemudian dia melanjutkan,

"Tapi apa yang akan bapak bicarakan sekarang akan berhubungan dengannya."

"Aku seharusnya tak memiliki hubungan apapun dengannya."

"Memang benar, untuk itu, dengarkan dulu apa yang akan bapak bicarakan. Pertama, tidak nyaman jika kita berbicara di sini, bapak tidak ingin ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita."

"Aku menolak."

"Aku tidak menanyakan izinmu."

Aku tak bisa percaya pada apa yang baru saja aku dengarkan. Apakah ini sikap seorang guru? Apakah ini dirinya yang sebenarnya?

"Apa-apaan itu-"

Lagi-lagi, tak sempat menyelesaikan kalimatku. Tanganku dengan mudahnya ditarik olehnya dan segera membuatku memasuki atap sekolah secara paksa, memberikan kesempatan bebas bagi siapapun yang ingin melakukan berbagai kejahatan di tempat ini. Dan membuatku harus terus waspada.

Dia melepas cengkraman tangannya kemudian mengunci pintu tersebut dengan wajah yang tenang. Menyisakan hanya kami berdua di sana.

"Tolong jangan takut, Emely.".

"Apa bapak kira aku bisa melakukannya?"

"Kurasa tidak."

Hanya dengan beberapa kata darinya.

Tempat ini segera diselimuti keheningan yang panjang dengan suara hembusan angin yang cukup kencang.

Dan pada akhirnya dia mengakhiri keheningan itu.

"Baiklah, dari mana bapak harus memulainya. Ah iya, benar. Ini mungkin terdengar aneh untukmu, tapi di saat hanya ada kita berdua, aku ingin kau tidak memanggilku sebagai guru."

"Apa itu permintaan atau perintah?"

Dia segera terdiam mendengar jawabanku yang gamblang dan menatapku tak percaya. Aku memberikan ekspresi serius dan menatapnya tanpa rasa canggung sama sekali, berdiri kokoh di sana dan akhirnya mengatasi rasa ketakutanku yang menganggu.

Dia menggaruk leher belakangnya dan berjalan ke arahku dengan senyuman- bukan, lebih tepatnya seringai lebar. Memperlihatkan giginya dan menatapku jauh ke dalam diriku.

Inilah yang selalu dia sembunyikan selama ini. Sosok yang tidak akan diterima dan dianggap sebagai hal tabu. Itu terdengar menarik untukku namun juga mengerikan di saat yang bersamaan.

"Itu dia."

Dia sekarang berada tepat di depanku.

Jari jemarinya yang terlihat memiliki bekas luka, menyentuh pipiku dengan lembut. Dia menatapku langsung ke arah mataku, tak menyisakan ruang untukku melarikan diri darinya. Dia benar-benar tenang saat melakukannya, dan aku merasa ngeri pada diriku sendiri dengan tidak melakukan penolakan apapun dan hanya terdiam di sana.

"Kau benar-benar sempurna untuk rencanaku."

"Apa maksud bapak?"

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak memanggilku seperti itu? Seperti yang kau tanyakan sebelumnya. Ini bukanlah permintaan, melainkan perintah dariku."

Aku menutup bibirku untuk sementara waktu. Setelah beberapa saat, aku akhirnya menemui jalan buntu yang seharusnya sudah jelas sejak awal.

"Aku mengerti ... Richard."

Dia tersenyum dan melepas tangannya dariku. Aku merasa lega dan mundur beberapa langkah darinya.

"Jadi ini tentang Fox Dwyne."

"Ada apa dengannya?."

Dia tak segera menjawabku. Matanya menatap jauh ke depan, dan aku hanya berdiri di sampingnya untuk menunggu jawaban yang akan terjawab sebentar lagi.

Hingga pada akhirnya dia menatapku dan menjawabku dengan seringai yang begitu mengerikan.

Menghapus sosok guru yang selama ini selalu kuhormati. Apa yang berada di depanku bukanlah seorang guru atau orang yang kukenal.

Dia hanyalah orang asing yang baru saja membuka topeng palsunya tepat di hadapanku. Bahkan, apa yang menjadi jawabannya, merubah semua penilaian ku padanya selama ini.

"Kau tahu, Emely. Aku benar-benar membenci Fox Dwyne, hingga aku terkadang berpikir untuk mengiris leher sampah itu. Kemudian membuatnya menjadi santapan para binatang liar."

Dengan ekspresi yang sangat tenang, dia menatapku dengan ekspresi seorang guru yang sedang mengobrol ringan sembari meminum teh hangat bersama-sama.

Apa yang aku dengar adalah kebenaran yang selama ini dia sembunyikan. Tak bisa kubayangkan jika itu adalah kebohongannya.

Aku terdiam, menyembunyikan keterkejutanku yang dalam. Tanganku kembali bergetar mendengar betapa tenang dan seriusnya dia mengatakan kalimat itu ... bahkan mengatakannya pada siswanya sendiri.

Dia ini benar-benar gila.

Dan aku mungkin terpaksa untuk mengikuti kegilaannya.

Apapun itu, aku merasa telah memulai sesuatu yang seharusnya tidak dimulai.

Aku benar-benar benci kehidupan ini.