Bab. 34
Aleta yang sedang berjalan-jalan di mal bersama Elvano tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.
"Ada apa?"
"Aku akan mengabari Momy dulu."
Elvano menganggukkan kepalanya dan menatap sekelilingnya lalu menarik Aleta menuju bangku.
"Halo Mom?"
"..."
"Leta dan Xavier akan berjalan-jalan dulu."
"..."
"Tidak perlu menunggu kami. Kami akan pulang malam dan akan makan malam diluar."
"..."
"Ya."
"..."
"Ya, ya."
"..."
"Goodbye mom."
Aleta menutup teleponnya dan menatap Elvano dengan senyum diwajahnya. Elvano ikut tersenyum saat melihat Aleta yang tersenyum manis dan bertanya dengan lembut.
"Apa yang bibi katakan?"
"Dia berkata jangan pulang terlalu larut."
Elvano menatap mata kuning cerah Aleta selama beberapa detik lalu menganggukkan kepalanya dengan senyum tipis diwajahnya.
"Tapi..."
Aleta menurunkan matanya untuk menutupi matanya yang terlalu bersinar dengan canda agar terlihat lebih serius.
"Tapi apa?"
"Dia menyuruhku untuk berhati-hati dengan serigala besar yang bisa memakanku kapan saja."
Aleta berdiri lalu mengacak-acak rambut pirang emas Elvano dengan senyum lebar diwajahnya dan berlari dengan tawa manisnya yang menyebar.
"Ayo, ayo, serigala besar tangkap aku jika kamu menangkap ku aku akan menyerahkan diriku."
"Oh?"
Elvano mengangkat alisnya lalu terkekeh dan berlari untuk menyusul Aleta yang berlari didepannya dengan kaki panjangnya.
"Sayang itu tawaran yang bagus, lalu bagaimana dengan bonusnya?"
Berlari dibelakang Aleta dengan santai dia mencoba menarik satu inci dan mencoba bernegosiasi dengan Aleta dengan senyum diwajahnya.
"Tidak."
Aleta memalingkan kepalanya lalu menjulurkan lidahnya dan menolak permintaan Elvano yang menarik satu inci dengan tegas.
"Itu tidak mungkin, sebagai seorang pengusaha bagaimana aku bisa mendapatkan perjanjian yang tidak menguntungkan bagiku."
Elvano menggelengkan kelapanya dan berpura-pura menghela napas kecewa tapi melihat Aleta yang masih ingin bermain kejar-kejaran dia menurutinya hanya saja dia masih berbicara dengan Aleta tentang tawaran sebelumnya.
"Sayang bagaimana dengan tidur denganmu."
"?!!"
"Tidak!"
"Lalu ciuman."
"Tidak."
Elvano mengulurkan tangannya dan menangkap Aleta yang berlari didepannya dengan kuat dari belakang lalu menghembuskan napas ditelinganya yang membuat tubuh Aleta bergetar.
"Lalu, sayang bagaimana dengan tidur denganku, hm?"
Kepala Aleta bergetar seperti mainan tapi Elvano melihat itu sebagai bentuk persetujuan.
"Nah, itu kesepakatan. Kamu akan tidur denganku selama satu hari."
"Aku menolak."
Aleta yang telah melepaskan diri dari pelukan Elvano menggelengkan kepalanya dan menatap Elvano dengan ketidaksetujuan.
"Ah? Apa kamu ingin tidur bersamaku selama sebulan?"
Elvano tertawa melihat Aleta yang masih menolaknya dan mulai menambahkan permintaannya.
"Bagaimana satu hari menjadi satu bulan?!"
Aleta membelalakkan matanya dengan terkejut.
"Sayang, bagaimana kamu bisa menolak saat aku sudah mendapatkanmu."
Mata Aleta menjadi waspada saat Elvano tertawa sangat jahat.
"Setengah bulan."
"Satu hari."
"Satu minggu."
"Ti--!"
"Sayang tidak ada penolakan."
"Xavier!"
"Kamu sudah menolak ku lima kali sayang."
"..."
"Quenby~"
"... Oke."
"Lebih baik."
Elvano mencium pipi Aleta lalu menarik tangannya untuk berjalan-jalan.
"Xavier, ayo kita nonton."
Saat dia mengatakan itu Aleta menarik tangan Elvano menuju bioskop.
"Nah, mau nonton apa?"
Menggenggam tangan hangat Aleta dengan erat Elvano menundukkan kepalanya dan bertanya dengan suara lembut.
"Lihat dulu..."
Aleta berjalan didepan gambar-gambar yang akan ditayangkan di bioskop.
Romantis, Komedi, Sedih, Perang, Horor, Misteri, Sci-fi, Fantasi...
"Xavier, aku bingung..."
Elvano menatap Aleta yang berlari kearahnya dengan wajah kebingungan yang membuatnya merasa lucu dan mengusap kepalanya.
"Lalu bagaimana dengan horor?"
"Itu menakutkan."
Wajah Aleta menjadi pucat setelah melihat gambar berdarah dan hantu-hantu yang menyeramkan.
Sudut mulut Elvano berkedut.
"Sedih."
Aleta melebarkan matanya dan memukul pelan dada Elvano lalu berbicara dengan suara luar biasa.
"Kamu ingin melihat aku menangis dengan cerita sedih itu?!"
"Romantis?"
"Untuk apa kita lihat orang yang jatuh cinta? Tidak perlu. Kamu saja sudah cukup aku lihat."
"Sci-fi..."
"Tidak."
Aleta membuat tanda silang dengan tangannya didepan dadanya.
"Lalu apa yang kamu ingin tonton sayang?"
"Horor!"
"?"
Elvano menatap Aleta yang memiliki wajah bersemangat dengan tatapan kosong karena saat dia bertanya dengan menonton film horor dia menolaknya dan berkata itu menakutkan jadi kenapa sekarang ingin menontonnya.
"Bukankah menurutmu itu menakutkan?"
Aleta hanya menatap Elvano yang sedang menatapnya dengan keraguan yang membuatnya cemberut.
"Apa kamu mempertanyakan keinginanku?"
"... Tidak."
"Kalau gitu ayo pesan tiketnya. Aku menunggumu di bangku itu."
Saat dia mengatakan itu Aleta menunjukkan tangannya menuju meja yang berada dekat jendela.
"Ya."
Setelah beberapa menit kemudian, Elvano yang telah membeli tiket dengan Pop Corn besar dan minuman ditangannya berbalik untuk melihat Aleta sedang berbicara dengan tiga remaja tampan yang seumuran dengan mereka maksudku itu tubuh mereka dengan gembira yang membuatnya yang sedang memegang Pop Corn mengencang lalu dia berjalan menuju mereka dengan tenang.
"Sayang dengan siapa kamu berbicara?"
Aleta mengangkat kepalanya dan menatap Elvano yang memiliki wajah dingin dia menggeserkan tubuhnya agar Elvano bisa duduk.
"Xavier duduk dulu."
Elvano mengerutkan keningnya dengan tidak senang tapi dia tetap duduk di samping Aleta.
"Ada apa?"
Ketiga remaja itu menatap wajah Elvano yang dingin dengan wajah pucat.
"Xavier..."
Wajah dingin Elvano sedikit kaku lalu dia mengendurkan wajahnya dan mendengus dingin.
Aleta menatap wajah tiga remaja yang berada didepannya dengan wajah pucat.
"Katakan."
"Itu... Seseorang mengikuti kalian."
"?"
Wajah Elvano menjadi aneh saat salah satu dari mereka mengatakan bahwa seseorang mengikuti mereka.
"Siapa?"
"Pencuri."
"Apa?"
"Huh?"
Elvano menatap ketiga remaja itu dengan tatapan dalam dia ingin melihat apakah mereka mengatakan yang sebenarnya.
Salah satu dari mereka menjadi panik saat ditatap oleh Elvano dan berbicara dengan tergesa-gesa.
"Sungguh aku kami tidak berbohong! Seseorang akan mencuri dompetmu."
"Kalian tidak akan menggunakan alasan ini untuk mendekati pacarku?"
"Tidak! Tidak!"
"Kami hanya ingin memperingatkan kalian bahwa seseorang sedang mengikuti kalian sejak lama."
"..."
"Tapi pacarmu memang sangat cantik, apa salahnya jika ingin berkenalan..."
Salah satu dari mereka bergumam tapi suara itu masih terdengar oleh Elvano yang membuatnya menatap dingin pada orang yang berbicara.
Remaja itu ketakutan dan menutup mulutnya dengan erat.
"Hati-hati. Sekarang ini sedang tidak aman."
Setelah mengatakan itu mereka melarikan diri seolah-olah sesuatu yang menakutkan sedang mengejar mereka.
Elvano menatap kepergian ketiga remaja itu dengan wajah dingin lalu dia mengubah wajahnya kembali saat dia menatap Aleta.
"Quenby~ ayo pergi film sebentar lagi akan dimulai."
"Oke."
Dalam bioskop.
"Ah!"
Aleta memeluk Elvano dengan erat sambil menutupkan matanya.
Elvano dengan senang hati mengulurkan tangannya dan menarik Aleta kepangkuannya lalu memeluknya dengan erat.
Film hantu terus berlanjut dengan latar belakang yang menakutkan, efek yang menegangkan, suara-suara yang menakutkan dari segala arah, darah yang berceceran di segala arah, dan berbagai badan yang patah membuat banyak orang berteriak ketakutan.
Hanya saja saat Elvano melihat darah berceceran dari segala arah dan anggota badan yang patah, dia mendapatkan ingatan didunia sebelumnya saat dia menjadi Alvaro.
Aura yang dipancarkan oleh Elvano sedikit berubah tanpa jejak saat dia mendapatkan kembali ingatannya. Elvano tersenyum dingin saat dia mendapatkan ingatannya kembali.
Seperti yang diharapkan kehidupanku sebelumnya sangatlah menyedihkan.
Elvano mendengus dingin dari ingatan buruk itu tapi...
Sangat menyenangkan!
Benar-benar menyenangkan!
Elvano membangkitkan senyum cerah diwajahnya yang membuatnya terlihat menyeramkan ditempat gelap dan kerumunan orang yang ketakutan.
Aleta mengangkat kepalanya dan menatap Elvano yang sudah mengubah wajahnya kembali saat Aleta mengangkat kepalanya dan bertanya dengan lembut.
"Ada apa sayang?"
Aleta menggosok lengannya yang merinding dan menatap Elvano selama beberapa detik karena dia merasa Elvano sedikit berbeda tapi dia tidak tahu apa yang berbeda pada akhirnya dia hanya mengajukan pertanyaan yang bodoh.
"???"
"Apa kamu tidak takut?"
Sebelum Elvano bisa menjawab Aleta berbicara dengan senyum lucu diwajahnya.
"Aku lupa kamu itu..."
"Tidak waras."
Elvano tertawa pelan dan melanjutkan kata-kata Aleta yang tidak dilanjutkan olehnya.
Aleta hanya tersenyum dan memakan Pop Corn yang sejak lama belum dimakan dalam suapan yang besar.
"Pelan-pelan bagaimana jika kamu tersedak."
Elvano melembutkan suaranya dan membujuk Aleta agar memakannya secara perlahan.
Aleta hanya menyuapi Elvano yang berbicara dan terus memakan Pop Corn yang ada ditangannya. Elvano mengunyah makanan yang ada di mulutnya lalu dia mengambil Pop Corn yang ada di mulut Aleta dan dengan cepat mengunyahnya sebelum Aleta bisa merespon.
"Kamu..."
"Ya~"
"..."
"Aku haus."
Elvano menyedot air dari sedotan lalu menempelkan bibirnya dibibir Aleta. Air soda yang manis mengalir kedalam mulutnya membuat Aleta melebarkan matanya dan menatap Elvano dengan keterkejutan dimatanya yang membuatnya menelan air itu secara refleks.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
"Xavier!"
Aleta menggertakkan giginya dan melotot marah pada pelaku yang menyebabkan dia terbatuk.
Elvano hanya tertawa kecil lalu dia memberikan minuman yang ada ditangannya ke tangan Aleta.
Mereka saling menggoda dan mengabaikan pasangan yang berada disebelahnya yang merasa tidak nyaman karena mereka melupakan dimana mereka berada.
"Permisi, meskipun disini gelap bisakah kalian menahan diri?"
Pada akhirnya pasangan itu tidak bisa menahannya lagi dan mengingatkan Elvano yang masih menggoda Aleta yang membuatnya marah.
Aleta mendorong wajah Elvano dengan tangannya dan meminta maaf pada pasangan yang duduk disebelahnya.
"Maafkan aku."
"Tapi bisakah kalian menahan diri?"
Aleta merasa malu mendengar arti dari menahan diri itu lalu dia menganggukkan kepalanya dan berbicara dengan suara pelan.
"Ya."
Setelah mendengar jawaban Aleta pasangan itu menghela napas lega karena mereka tidak akan lagi mendengar suara ciuman yang membuat telinga mereka merah.
Aleta melotot pada Elvano yang hanya menatapnya dengan polos lalu dia mendengus dan menonton kembali film yang diputar dilayar.
Lucu...
Elvano menutupi wajahnya yang merah dengan tangannya karena meskipun dia adalah orang yang sama tanpa ingatannya dulu sebagai Alvaro tetap saja mereka seperti dua orang yang berbeda karena karakter-karakter mereka yang berbeda.
Jika itu adalah Elvano hanya dengan ingatannya didunia ini tanpa ingatan Alvaro dia memang terlihat seperti anak kecil yang berpikiran dewasa tapi masih dengan sifat kekanak-kanakan dan masih setengah waras hingga karakter menyimpangnya masih bisa ditoleransi hanya sifat posesifnya yang terlalu kuat yang mudah dideteksi dengan raut wajahnya.
Karena ini meskipun Elvano yang tanpa ingatan Alvaro itu lucu disaat-saat tertentu, Aleta bisa saja merasa tidak nyaman dengan pendekatan Elvano yang terlalu posesif.
Dan jika itu Elvano dengan ingatan Alvaro, dia memiliki sifat dingin, tenang, dewasa, mudah berubah-ubah, gila. Saat dia masih menjadi Alvaro, dia memang sudah tidak waras dan gila.
Pria berdarah dingin, Orang yang tidak pernah punya emosi, Tiran kejam, Psikopat paling kejam dari jajaran penjahat psikopat dunia yang telah membunuh banyak orang dengan tragis.
Pria yang selalu hidup dalam pembunuhan, penghianatan, penghinaan, dan konspirasi ini pandai memanipulasi hati orang-orang. Bahkan jika dia memiliki keinginan yang kuat untuk mengendalikan dan rasa posesif yang sama kuatnya dia masih bisa mencoba memanipulasi emosi orang-orang disekitarnya, seperti dengan berpura-pura menyedihkan pada Aleta agar bisa mendapatkan simpati.
Ingatan yang lebih dominan sekarang adalah ingatannya dikehidupan sebelumnya sebagai Alvaro karena jika ingatan didunia ini hanya ingatan dari kesadarannya saja tapi, ingatan Alvaro adalah dari bagian jiwanya yang telah ditempa dengan semua rasa sakit yang dia rasakan selama beberapa masa kehidupan.
Meskipun rasa sukanya pada Aleta berbeda-beda, tetap saja Elvano lebih menyukai Aleta dengan ingatannya yang lengkap bukan seperti sebelumnya seolah-olah mereka adalah dua orang yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Pikirannya yang mengembara terputus saat Aleta turun dari pangkuannya dan orang-orang yang pergi dari tempat duduk mereka.
"Apakah sudah selesai?"
Elvano sedikit terkejut karena dia merasa dia tidak terlalu lama melamun kenapa filmnya sudah selesai.
"Yap."
Aleta menganggukkan kepalanya dan menarik Elvano yang masih terkejut dan berbicara dengan penuh semangat.
"Pergi makan! Aku sudah merasa sangat lapar."
"Oke..."
"Hari ini sangat menyenangkan!"
Saat dalam perjalanan mencari makanan, Aleta melompat-lompat bahagia karena hari weekend ini membuatnya merasa sangat senang.
Dia bisa mendapatkan cincin pasangan, berbelanja, bermain, nonton dan makan malam bersama Elvano berduaan tanpa berhenti.
"Jadi apakah hari ini kita berkencan?"
Elvano memikirkan apa saja yang terjadi sebelumnya lalu dia menganggukkan kepalanya saat mata kuning itu bersinar menatapnya.
"Pacar~ ayo pergi cepat nanti Momy memarahi kami jika kita pulang terlalu larut."
"Jangan lupakan perjanjian yang kita buat."
Elvano tersenyum senang saat wajah Aleta menjadi kaku lalu dia membuka pintu masuk rumah makan dan mendorong Aleta yang masih tertegun.
"Quenby, ayo pesan makanan apa yang ingin kamu makan."
"Hmph."
Aleta hanya mendengus dan berjalan menuju tempat duduk dan memesan makanan yang dia inginkan.
Elvano hanya tertawa kecil melihat tingkah laku Aleta yang menggemaskan. Setelah mendapatkan makanan yang mereka pesan mereka memakannya dengan santai.
....
Kent berjalan dengan santai dijalan sambil menyenandungkan lagu karena dia sedang dalam suasana hati yang sangat baik.
Lalu dia melihat seorang gadis cantik yang sedang berbicara dengan seseorang pria tampan yang seusia dirinya dengan senyum manis tapi Kent melihat kelicikan dan kebosanan dimatanya yang membuatnya merasa menarik.
Tapi sebelum dia bisa mengikuti mereka seseorang menabraknya dengan tergesa-gesa dan tidak meminta maaf yang membuatnya mengerutkan keningnya saat dia menatap orang yang sedang berjalan tergesa-gesa dan saat dia memutar kepalanya gadis itu sudah menghilang yang membuatnya menghela napas kecewa.
"Ini buruk..."
Kent kembali pulang menuju hotel dan mulai mencari berbagai data gadis yang bersama Elvano.
Melihat kehidupan yang sangat sederhana meskipun dia putri keluarga Agatha membuat Kent mengangkat alisnya dan terus membaca biografi kehidupan Aleta.
Lalu dia melihat berita pembatalan pertunangan mereka dengan keluarga Daviandra belum lama ini yang membuatnya tertawa.
"Gadis yang pintar dan kejam."
Kent tertawa semakin bahagia karena dia mengetahui bahwa orang yang Elvano sukai adalah orang pintar dan sama kejamnya dengan dirinya.
"Oh?"
"Mereka bersekolah ditempat yang sama?"
Kent menyipitkan matanya untuk menyembunyikan cahaya yang melintas dimatanya dan dengan cepat membuka kembali data-datanya.
Matanya secara tidak sengaja melihat foto keluarga mereka bahagia tapi Kent terkejut melihat wajah Aleta yang tidak sama dengan mereka setelah membandingkannya.
"Bukan anak kandung?"
"Tapi wajah Nyonya Agatha ini terlihat sedikit familiar..."
Kent merenungkan wajah Nyonya Agatha lalu seorang gadis yang tadi dia temui melintas dalam pikirannya yang membuatnya menegakkan tubuhnya lalu bergumam.
"Aneh... Bagaimana anak kandung mereka tidak bersama mereka tapi anak yang bukan darah daging mereka sendiri diasuh dengan baik?"
"Tapi ini merupakan berita baik bagiku..."
Setelah mengatakan itu Kent tertawa terbahak-bahak.
"Vano kecil aku akan memberikanmu hadiah yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup..."
....
Elvano membuka matanya secara perlahan lalu mengerjapkan matanya dan terbangun setelah melihat jam menunjukkan lima pagi.
Menatap Aleta yang masih tertidur dalam pelukannya dia melepaskan tangannya yang berada di pinggang Aleta dengan pelan karena takut membangunkannya.
"Engg..."
Tangan yang akan ditarik berhenti tapi melihat Aleta yang masih tertidur dia menarik kembali tangannya secara perlahan-lahan setelah melepaskan dirinya Elvano berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya.
Setelah beberapa menit, Elvano mengecup dahi Aleta yang masih tertidur dan berjalan keluar dari kamar tidurnya untuk melakukan kegiatan paginya yaitu membersihkan rumah dan memasak.
Saat Elvano membuka pintunya, pintu kamar yang berada didepannya terbuka dan Nyonya Diana memandang Elvano yang sudah memiliki wajah segar.
"Membersihkan rumah?"
"Ya bibi."
"Kali ini biar bibi yang memasak."
"Bibi itu..."
"Kalian akan pergi kesekolah kan?"
"Ya."
"Kalau begitu ikuti kata-kata bibi."
"Oke."
"Sayang ada apa?"
Tuan Reza memeluk tubuh istrinya dari belakang dan bertanya dengan suara yang masih sedikit mengantuk.
"Aku yang akan memasak."
"Bukannya memang kamu yang memasak siapa lagi dirumah ini yang bisa memasak?"
"Elvano."
"Hah?"
Tuan Reza mengerjapkan matanya dan menatap istrinya dengan tatapan kosong.
"Rumah yang dibereskan oleh Elvano dan memasak juga dilakukan olehnya."
Nyonya Diana menggelengkan kepalanya dan menghela napas karena dia juga mengira bahwa Aleta yang melakukannya ternyata pacarnya yang melakukannya.
Seolah-olah Elvano sedang membesarkan Aleta dengan tangannya sendiri.
"..."
"Itu bukan Aleta yang melakukannya?"
"Bukan."
"... Lalu dimana dia?"
Rasa kantuk dimata Tuan Reza sudah menghilang dan bertanya tentang keberadaan Elvano pada istrinya.
"Dibawah."
"Oh."
"Pergi mandi, bukannya kamu masih ada pekerjaan dikantor."
"Oh ayolah sayang, ini masih pagi."
Nyonya Diana hanya mendorong Tuan Reza ke kamar mandi dan menutup pintu dengan keras setelah itu dia berjalan menuju dapur yang ada dibawah.
Setelah setengah jam Elvano menghela napas lega setelah membersihkan rumah meskipun rumah ini selalu bersih dan rapi sebagai pecandu kebersihan dan gangguan obsesif-kompulsif dia tidak bisa menahan diri jika sedikit noda ataupun barang yang tidak rapi berada dirumah ini.
Ini adalah perasaan yang berbeda dari sebelumnya saat pertama kali dia datang kerumah ini karena suasana disini membuatnya ingin tetap tinggal selamanya.
Memikirkan hal ini Elvano tertawa bahagia karena sebelumnya dia adalah orang yang tidak punya rumah kini dia mempunyai rumahnya sendiri dan kekasih yang mencintainya bagaimana mungkin dia tidak bahagia.
Nyonya Diana yang keluar dari dapur menatap Elvano dengan senyum diwajahnya.
"Apakah sudah selesai?"
"Ya bibi."
Elvano menahan kembali tawanya dan tersenyum pada Nyonya Diana yang memiliki senyum diwajahnya. Setidaknya sikap Nyonya Diana sedikit lebih baik dari sebelumnya dan menjadi lebih lembut.
"Cepat bersiap dan bangunkan Leta."
"Baik bibi."
"Ayo sana."
Elvano berjalan menuju lantai dua dalam suasana hati yang baik sambil menyenandungkan lagu dan membuka pintu kamarnya dengan pelan.
Melihat Aleta masih menutupi dirinya dengan selimut membuat Elvano sedikit kasihan untuk membangunkannya tapi ini sudah waktunya sekolah jadi dia hanya bisa membangunkan Aleta yang masih tertidur dengan nyenyak.
"Quenby, bangun."
Elvano menggoyangkan bahu Aleta dengan pelan tapi Aleta membalikkan badannya dan tidak menanggapi panggilan Elvano.
Mata Elvano berputar lalu dia berdiri dan mulai menarik kaki Aleta dan membuat Aleta yang setengah tersadar memikirkan film hantu yang dia tonton kemarin terbangun dengan ketakutan.
"Elvano!"
Elvano hanya mengerjapkan matanya dengan polos dan merentangkan tangannya seolah-olah bukan dia yang menarik kaki Aleta.
Aleta menarik napas dalam-dalam dan bertanya saat dia berdiri disebelah kasurnya.
"Ada apa?"
"Sekolah."
"Hari apa ini?"
"Senin."
"?!!"
"Bagaimana kamu tidak membangunkan ku dari pagi?!"
Setelah mengatakan itu Aleta berlari dengan tergesa-gesa dari kamar Elvano ke kamarnya untuk mandi dan mempersiapkan dirinya.
Elvano hanya menggelengkan kepalanya tidak berdaya dan berjalan menuju kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Setelah beberapa menit Elvano dan Aleta keluar dari kamarnya masing-masing dan berjalan menuju meja makan dimana Tuan dan Nyonya Agatha sudah duduk disana.
"Pagi Momy, Dady."
"Pagi Leta sayang."
"Pagi paman, bibi."
"Pagi."
"Ayo sarapan dulu."
"Baik."
"Oke."
Aleta dan Elvano yang telah menyelesaikan sarapan berangkat dan berpamitan terlebih dahulu kepada Tuan dan Nyonya Agatha.
"Hati-hati dijalan."
"Ya!"
"Xavier kita naik motor aja."
"Oke."
.....
"Hah... Kita tidak akan terlambat bukan?"
Aleta menatap sekelilingnya dengan mata kuningnya yang cerah.
"Tidak."
Elvano menggelengkan kepalanya lalu menatap wajah Aleta yang lega dengan senyum diwajahnya.
"Apa kamu tidak pernah bolos?"
"Huh! Tidak mungkin aku akan membolos kelas."
Aleta mengangkat dagunya dan menatap Elvano dengan tatapan bangga.
Elvano menyentuh dagunya dan menatap Aleta dengan tatapan menyelidiki dan tersenyum kecil.
"Sungguh..."
"Apa wajahmu."
Aleta menepuk jidat Elvano dengan pelan.
"Tidak. Aku tidak membuat ekspresi aneh sayang."
Elvano menyentuh dahinya dengan wajah cemberut.
"Ya, ya, ya kamu tidak."
Aleta memutar kepalanya dan berjalan didepan Elvano dengan cepat.
"Aku pergi dulu, bye~"
"..."
Elvano menatap Aleta sampai dia tidak bisa kembali melihat bayangannya. Sudut bibirnya yang terangkat membuat garis lurus yang membuat wajahnya yang tampan menjadi tanpa ekspresi.
Melirik seseorang yang mengikutinya dia berbicara dengan dingin.
"Apa?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"
Nicholas menatap wajah Elvano yang tanpa ekspresi dia merasa Elvano itu berbeda tapi dia tidak tahu apa yang berbeda.
Elvano menyipitkan matanya dan menatap mata hijau Nicholas dengan tenang selama beberapa detik setelah itu dia menganggukkan kepalanya.
Mereka berjalan berdampingan menuju kelas untuk menyimpan tas lalu mereka pergi ke atap sekolah.
"Kent masih hidup."
"..."
Elvano yang sedang menatap orang-orang yang datang dari atas mengangkat kelopak matanya dan menatap Nicholas yang sedang menatapnya dengan tatapan rumit.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Kemarin."
"Apa kamu melihat dengan mata kepalamu sendiri?"
"Tidak."
Nicholas menggelengkan kepalanya dan tidak mengerti mengapa Elvano mengajukan pertanyaan yang aneh.
"Lalu apa kamu tahu itu memang dia?"
"..."
"Tidak bukan? Lalu bagaimana kamu bisa percaya orang yang mati masih bisa hidup."
"Ini kita."
"..."
Elvano menatap wajah Nicholas yang serius dan tidak berkata-kata karena apa yang dikatakan Nicholas ada benarnya.
"Apa kamu akan percaya atau tidak itu terserah padamu."
"Dan itu adikmu yang menemukan orang itu."
"... Gallendra?"
"Ya."
"..."
"Kalau gitu aku pergi dulu."
Setelah dia mengetakan itu Nicholas berbalik dan melambaikan tangannya.
Elvano mengeluarkan ponselnya dan melihat data-data yang ada didalamnya tapi dia melihat sebuah pesan tersembunyi yang telah dibaca sekali tapi dia belum pernah membaca pesan itu.
"Hama menjijikan itu masih hidup."
Elvano mengernyit jijik melihat berita dari Fei Ran dan itu terbukti bahwa ponselnya telah disadap yang menyatakan bahwa Kent masih hidup dan tetap menargetkannya.
"Quenby, aku merasa sedikit menyesal tidak memasang kamera dengan GPS yang terprogram kedalam cincinmu."
Mencerutkan bibirnya dengan kesal, Elvano menendang batu yang ada disebelahnya saat dia menuruni tangga untuk menuju kelas.
Intuisinya mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi yang membuatnya waspada dengan sekelilingnya apalagi...
Elvano berjalan melewati kelas Aleta dan menatap Aleta yang sedang berbicara dan tertawa bersama temannya dari jendela.
"Haruskah..."
"Tapi bagaimana mungkin Aleta bisa menghilang dari pandanganku...?"
Saat Elvano mengatakan itu dengan bergumam, jantungnya yang berdetak menandakan bahwa dia masih meragukan kata-katanya sendiri.
Menatap cincin yang ada ditangan kirinya dengan kepala menunduk dia berjalan menuju kelasnya dengan suasana hati yang rumit.
[Elvano...]
Apa?
[Lalu jika kami yang mengawasi Aleta bagaimana?]
Ha? Kalian?
[Kamu masih saja tidak mempercayai kami?]
[Kamu bahkan bisa melupakan kami.]
[Apa kamu sudah mendapatkan ingatanmu didunia sebelumnya?]
Ya. Ada apa?
[Aku merindukanmu yang dulu.]
...
[Ya, ya, ya. Kami merindukanmu yang dulu.]
[Ya. Daripada yang sekarang.]
[Orang yang tidak punya emosinya.]
[Kemana perginya emosi-emosimu saat kamu sudah mendapatkan ingatanmu sebagai Alvaro.]
[Kamu benar-benar dingin jika kamu sudah memiliki ingatan sebelumnya saat kamu masih masih Alvaro.]
Elvano hanya membuat ekspresi jijik diwajahnya.
Orang yang terlalu mudah emosi dan selalu menunjukan ekspresinya terlalu jelas.
[Itu juga kamu bukan.]
[Sial! Kamu merasa jijik dengan dirimu sendiri?!]
[Jadi benar dengan apa yang dikatakan Aleta.]
Apa?
[Kamu cemburu pada dirimu sendiri.]
Aku tidak! Siapa yang cemburu?!
[Ya, ya, ya. Kamu bukan.]
Elvano hanya mengeratkan pulpen yang ada ditangannya dan melanjutkan menulis dengan keras.
[Serahkan saja tugas menatap Aleta pada kita.]
[Ya. Cobalah percaya pada kami.]
...
[Jika sesuatu terjadi kamu yang akan menyesal bukan kami.]
Berisik!
[Huh! Aku cuma ingin membantumu.]
[Jika Aleta menghilang kamu yang akan jadi gila kan?]
[Ya, jika benar sesuatu akan terjadi pada Aleta kita bisa memberi tahumu dan bisa mengurangi dampak yang terjadi.]
Emosi yang ada dimatanya sedikit berjuang karena apa yang dikatakan mereka ada benarnya lalu dia menjawab mereka.
Oke.
[Nah. Aku akan pergi bye~]
[Aku juga! Aku juga!]
[...]
Telinga Elvano menjadi sangat sepi seolah-olah mereka semua meninggalkannya dan pergi menuju Aleta.
"..."
Apa ini?
Mereka semua meninggalkanku dan hanya ingin pergi menuju Aleta?
Menggertakkan giginya dengan tidak senang dia tetap belajar dengan serius meskipun dia telah menyelesaikan semuanya saat berumur sepuluh tahun didunia sebelumnya.
.....
[Sangat cantik...]
[Ini indah...]
[Mata itu... Aku ingin menggalinya dan menjadinya koleksi berhargaku...]
[Apa yang kamu bicarakan?!]
[Tidak!]
[Senyumnya...]
[Tangan itu sangat indah.]
[Kaki ramping itu.]
[Dadanya juga.]
[Sial! Apa yang kamu katakan?! Kamu sangat mesum! Jika Elvano tahu...]
[Huh! Dia tidak bisa melakukan sesuatu pada kita?]
[Apa kamu percaya bahwa Elvano tidak bisa melakukan sesuatu pada kita?]
[Tentu saja.]
[Tidak.]
[Tidak.]
[Apa yang memberimu kepercayaan diri?]
[Dia hanya manusia biasa. Dan dia juga tidak bisa menghubungi kami kapanpun dan di manapun juga untuk apa kamu takut?]
[Lalu jika dia tahu?]
[...]
[Tidak mungkin!]
[Jika dia tahu dia akan membunuhmu.]
[Itu tidak akan pernah terjadi.]
[Berhenti! Berhenti.]
[Lihat! Lihat itu.]
[Adele...?]
[Untuk apa dia datang kemari?]
[Aku tidak tahu.]
Saat bel istirahat Adele berjalan menuju Aleta yang sedang menundukkan kepalanya yang masih mengerjakan tugasnya dengan serius.
"Aleta..."
Aleta mengangkat kepalanya dan menatap wajah Adele yang tersenyum manis padanya yang membuatnya memandang Adele dengan keraguan dimata kuningnya.
"Ada apa?"
"Bisakah kamu datang kebelakang sekolah sekarang?"
"Tidak."
Aleta menolak dengan dingin dan terus menundukkan kepalanya untuk melanjutkan tugas fisikanya.
"Ini tentang keluargaku dan keluargamu..."
Kali ini Aleta menatap Adele dengan mata tajam dan dingin yang membuat Adele sedikit berkeringat dingin karena gugup.
"Oke."
Tidak ada dari mereka yang berbicara dalam perjalanan menuju belakang sekolah yang membuat suasana menjadi sedikit canggung.
"Disini. Katakan."
Aleta bersandar di dinding belakangnya dan menatap Adele dengan tangan bersedekap.
"Kamu sudah tahu bahwa kamu bukan anak dari keluarga Agatha kan?"
Wajah Adele menjadi tidak nyaman karena orang tuanya merawat Aleta dengan sangat baik dan membuat tangannya masih terlihat halus bukan seperti dirinya tangannya sudah kasar dan kapalan.
"Ya."
Aleta berkata dengan nada dingin.
Mata Adele kini menatap Aleta dengan kecemburuan dan kebencian.
"Jika kamu tahu kenapa kamu tidak kembali pada orang tua kandungmu?! Jika tidak sekarang aku sudah berada di rumahku."
"Selama enam belas tahun kamu memakai pakaianku, mainanku, dan semua barangku?! Kamu juga menerima kasih sayang orang tuaku dan saudaraku dan bahkan tunanganku! Itu menjijikan! Aku tidak menyangka kamu seperti ini."
Adele berkedip dan menatap Aleta dengan rasa jijik.
Aleta hanya menatap Adele dengan dingin setelah itu dia berkata dengan dingin.
"Bukankah orang tunanganku sebelumnya sudah kamu ambil dariku? Dan saudaraku juga."
"Aku tidak mengambilnya!!!"
"Itu memang milikku bukan milikmu!"
"Oh."
"Kamu itu bukan siapa-siapa jika bukan karena Elvano."
Aleta menyipitkan matanya dan berjalan menuju Adele yang sedikit terpesona saat mengatakan nama Elvano lalu dia menarik tangannya dan mencekik leher Adele dengan pelan.
"Elvano adalah milikku. Kamu bisa mengambil semuanya dariku tapi tidak dengan Elvano mengerti."
Aleta menundukkan kepalanya dan berbisik ditelinga Adele dengan suara dingin dan peringatan dalam suaranya hingga dia melewatkan gerakan tangan Adele yang berada dibelakang punggungnya.
Hanya saja sudah terlambat sebuah tongkat memukul kepala Aleta dengan keras yang membuatnya pingsan. Tapi sebelum dia kehilangan kesadaran dia merasa sedikit menyesal telah mengikuti Adele kebelakang sekolah yang sepi.
Adele terbatuk-batuk dan mulai menendang Aleta yang tergeletak tak sadarkan diri.
"Huh! Berani sekali kamu mencekikku. Dasar jalang!"
"Gadis kamu sangat kejam."
Kent berjalan keluar dari bayang-bayang setelah melihat perilaku Adele yang menendang Aleta yang pingsan.
Perilaku menendang berhenti lalu Adele memalingkan kepalanya dan bertanya dengan waspada.
"Siapa kamu?"
"Orang yang memberimu informasi."
Adele hanya menjaga jaraknya dari paman-paman ini yang sedang berbicara dengan senyum diwajahnya tapi dengan aura aneh disekujur tubuhnya yang membuatnya merasa tidak nyaman.
"Jadi itu kamu paman."
"Paman...?"
Sudut bibir Kent berkedut tapi dia mengabaikan nama panggilan yang Adele sebutkan lalu dia berjongkok didepan Aleta yang pingsan.
"Ini lebih indah dari foto yang kulihat."
"Paman apa yang ingin kamu lakukan padanya?"
"Aku tidak akan melakukan sesuatu... mungkin?"
Kent tersenyum aneh yang membuat Adele mundur beberapa langkah lagi kebelakang.
"Nah kalau begitu sampai jumpa."
Setelah mengatakan itu dia mengambil Aleta menuju mobilnya dan meninggalkan Adele yang menutup mulutnya dengan satu tangan dan melambaikan tangannya pada Aleta yang dibawa pergi tidak sadarkan diri.
"Aleta, Aleta. Apa kamu menjadi target orang gila? Tapi..."
"Bye~"
-
-
-
-
[Bersambung...]