Bab. 35
Elvano tidak mengetahui Aleta yang diculik karena belum ada yang melaporkan padanya bahwa sesuatu sedang terjadi. Kini dia sedang berada di perpustakaan bersama Gallendra dan teman-temannya.
Waktu berjalan dengan cepat saat waktu akan pulang Elvano menunggu didepan gerbang SMA ANGKASA tapi dia belum melihat sosok Aleta dari keramaian yang membuatnya mengerutkan keningnya dengan sedikit cemas.
"Apa kamu melihat Aleta?"
Salah satu gadis yang ditarik oleh Elvano menggelengkan kepalanya lalu dimulai menarik salah satu remaja.
"Lihat Aleta??"
"Tidak."
Elvano berjalan menuju kelas Aleta dengan tergesa-gesa.
"Kak Vano?"
Gallendra dan teman-temannya yang baru saja akan menuju kelas untuk mengambil tas dan pulang melihat sosok Elvano yang sedikit tergesa-gesa.
"Lendra apa kamu melihat Aleta?"
Elvano menghampiri Gallendra dan yang lainnya lalu menyentuh bahu Gallendra dan bertanya dengan kecemasan dalam suaranya.
"Tidak."
Tangan yang memegang bahu Gallendra menegang dan mundur selangkah untuk mencari Aleta kembali tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Elvano apa kamu tidak bersama Aleta?!"
Nicholas berteriak pada Elvano yang berlari tergesa-gesa tapi dia tidak mendapatkan jawabannya yang membuatnya saling memandang dengan yang lainnya.
Setelah berkeliling sekolah dia tidak menemukan Aleta membuat dada Elvano naik turun.
"Tenang..."
"Vano tenang..."
"Tepatnya dimana tempat kamu belum mencarinya."
Elvano menarik napas dalam-dalam lalu mulai mengingatnya.
"Kelas. Ya, kelas. Aku belum mencari kelas."
Elvano berlari menuju kelas Aleta dengan kakinya yang panjang tapi saat dia sampai dikelas 2-1 unggulan dia hanya melihat tas Aleta tapi tidak dengan orangnya.
"..."
"Quenby."
Elvano mencoba melembutkan suaranya karena dia tahu bahwa wajahnya kini sudah sangat dingin.
"By."
"Quenby sayang..."
"Sayang. Kamu dimana?"
"..."
Tapi tidak adanya seseorang didalam membuat Elvano menendang kursi dan meja yang ada didekatnya dengan keras.
Elvano mengambil tas Aleta yang ada di bangkunya dan bergumam.
"Sayang itu tidak lucu jika kamu bermain petak umpet."
Hening.
Tangan Elvano bergetar yang membuat tas yang berada ditangannya bergetar.
"Apa kalian disana?"
Hening.
Tidak ada yang menjawabnya kini membuat Elvano menjadi panik.
"Dimana Aleta-ku?"
Hening.
Mata Elvano menjadi merah karena marah dan cemas.
"Hey!"
Masih tidak ada yang menjawabnya membuat Elvano berjalan keluar dengan cepat yang bertepatan dengan Gallendra dan yang lainnya.
"Lendra bantu aku mencari Quenby, oke?"
Mata Elvano yang merah menakuti Gallendra dan yang lainnya.
"Kakak kamu belum menemukan Leta?"
Nicholas menatap tas yang selalu bergetar yang berada ditangan Elvano dan bertanya dengan curiga.
"Kenapa kamu hanya membawa tas Aleta, dimana Aleta?"
"Aku tidak tahu."
Suara Elvano menjadi serak dia menundukkan kepalanya dan mencoba menghentikan tangannya yang bergetar tapi tidak bisa.
"Oke."
Tapi sebelum mereka bubar sebuah dering telepon membuat mereka saling memandang.
"Ponsel siapa itu yang menyala?"
"Bukan milikku."
"Itu juga bukan aku."
"Bukan."
Lalu mereka menatap Elvano yang masih terlalu cemas dan mengabaikan dering ponsel yang bergetar.
"Apa?"
Elvano menatap Gallendra dan yang lainnya dengan mata gelapnya.
"Ponselmu."
Arfian mengingatkan Elvano yang terlalu cemas.
"Ah."
Elvano mengeluarkan ponselnya lalu dia melihat panggilan Nyonya Agatha yang menelponnya yang membuatnya harus mengangkat telponnya.
"Halo bibi."
"Vano kenapa kalian belum pulang?"
"..."
"Vano?"
"Bibi aku tidak tahu dimana Quenby..."
Elvano menurunkan matanya yang membuat matanya bergetar untuk menutupi matanya yang menjadi gelap.
"Apa?!"
"Dimana kamu?"
"Sekolah."
"Tunggu kami disana!"
Setelah mengatakan itu Nyonya Agatha mematikan telponnya yang membuat Elvano memasukkan kembali ponselnya kesaku celananya.
"Cepat cari!"
"Oh, oh."
Lalu mereka bubar untuk mencari Aleta.
Hari sudah semakin larut tapi mereka masih belum menemukan Aleta dimana mereka mencarinya.
"Kakak kami belum menemukan Leta."
Elvano mundur selangkah lalu berjongkok dengan tenang.
"Kakak."
"Vano."
"Kita tanya Kesya, mungkin dia tahu dimana Aleta berada."
Arfian mengusulkan untuk memanggil Kesya setelah melihat suasananya yang terlalu dingin dan sunyi.
"Oke."
Gallendra menganggukkan kepalanya dan menguarkan ponselnya untuk menelpon Kesya. Setelah beberapa detik telpon terhubung.
"Halo?"
"Kesya, Kesya. Kamu tahu Aleta ada dimana?"
"Hah? Aku tidak tahu."
"Dia tidak bersama Elvano?"
"Tidak. Kita sudah mencarinya tapi kami belum menemukannya."
"Tunggu. Aku akan kesana."
Tut.. Tut... Tut...
Sebelum mereka berbicara suara mobil membuat mereka secara refleks melihat siapa yang datang lalu mereka melihat orang tua Aleta berjalan menuju Elvano yang sedang berjongkok.
"Vano apa kamu sudah menemukan Leta?"
"..."
"Vano katakan sesuatu!"
Nyonya Agatha mengguncang bahu Elvano yang masih berjongkok dan menundukkan kepalanya.
"Bibi aku belum menemukannya."
"Hah! Bagaimana mungkin?!"
"Dimana dia sebelumnya?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana kamu tidak tahu?!"
Nyonya Agatha berteriak marah pada Elvano yang masih menundukkan kepalanya dan berjongkok.
"Bibi."
Algibran berjalan menuju Nyonya Agatha dan mencoba menenangkan dirinya yang sedang marah.
"Jangan marah bibi."
"Itu, sebelumnya Leta sedang bersama Adele."
Dylan berbicara yang membuat Gallendra dan yang lainnya menatapnya.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Aku melihat mereka bersama melewati jendela kelas kita."
"Lalu?
"Aku melihat mereka kearah belakang sekolah."
"Kenapa kamu tidak mengatakannya sebelumnya?!"
"Aku tidak tahu apa aku harus mengatakannya."
Elvano yang berlari terlebih dahulu menuju belakang sekolah setelah itu Gallendra dan yang lainnya mengikuti.
Saat mereka mencari Aleta dibelakang sekolah, Elvano menundukkan kepalanya dan melihat cahaya yang bersinar didekat dinding yang penuh dengan pasir.
Elvano berjongkok dan mengambil sebuah cincin dari tumpukan pasir tapi saat dia akan mengambil cincin itu sebuah jejak kaki sepatu pria dewasa terlihat diujung matanya.
"Ukuran kaki ini..."
Elvano berdiri dan berjalan menuju Gallendra dan yang lainnya dan orang tua Aleta yang berkumpul.
"Vano, apa kamu menemukan sesuatu?"
Tuan Agatha bertanya pada Elvano dengan cemas.
"Ya."
"Apa?"
"Paman, bibi aku akan pergi."
"Hah?"
"Aku akan mencari Aleta."
"Kemana kamu pergi?"
"Aku akan pergi mencari Aleta."
"Aku akan pergi juga."
"Tidak."
"Itu anakku!"
"Kamu jaga bibi dirumah dan tunggu kabar dariku."
"Elvano!"
"Paman ini masalahku."
Elvano melambaikan tangannya.
"Kak Vano! Kemana?"
"Katakan pada ibu dan ayah, aku akan keluar negeri. Jaga mereka dengan baik Lendra."
"... Oke."
Setelah tidak melihat punggung Elvano, Gallendra dan yang lainnya mengerut keningnya.
"Sayang jangan terlalu mengandalkan Vano untuk mencari putri kami."
Nyonya Diana menarik tangan Tuan Reza dan berbicara dengan raut wajah cemas dan khawatir.
Sebelum Tuan Agatha menjawab Nyonya Agatha suara Nicholas memotongnya.
"Paman, bibi kamu tidak perlu khawatir."
"Nichol?"
Tuan dan Nyonya Agatha terkejut melihat Nicholas karena sebelumnya mereka tidak menyadari bahwa Nicholas juga bersama mereka.
"Bibi, kamu tidak perlu khawatir Elvano pasti akan menemukan sepupu."
"Tapi..."
"Jaringan Elvano lebih luas dari kita."
"..."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Salah satu temannya adalah anggota FBI."
"?!!"
"Dan belum lagi bawahan-bawahannya."
"..."
Tuan dan Nyonya Agatha saling memandang lalu mereka menganggukkan kepalanya dan pergi meninggalkan Gallendra dan lainnya.
Algibran berjalan sekelilingnya dengan tatapan yang dalam lalu dia juga melihat jejak kaki sepatu seorang pria dewasa dari tempat Elvano berjongkok sebelumnya.
"Lihat jejak sepatu ini."
Gallendra dan yang lainnya mengerumuni Algibran yang sedang berjongkok.
"Ini bukan sepatu anak remaja seumuran kita."
"Ukuran ini juga bukan jejak kaki guru karena ini adalah jejak kaki orang yang telah berlatih beladiri."
"Lihat-lihat sebelah sini."
"Ini jejak sepatu seorang gadis."
"Ini juga bukan ukuran sepatu Aleta."
Gallendra dan Algibran menggelengkan kepalanya lalu Dylan berbicara untuk mengingatkan mereka yang masih berpikir.
"Ini pasti ukuran sepatu Adele."
"Itu tidak mungkin!"
Wajah Algibran berubah dan menyangkal kata-kata Dylan karena jika ini benar-benar jejak sepatu Adele itu berarti Adele terlibat menghilangnya Aleta.
"Itu bukan tidak mungkin."
Arkanio dan Arsenio saling memandang dan melihat ketidakpercayaan dimata mereka masing-masing.
"Selesai."
Gallendra mundur selangkah dan wajahnya menjadi pucat lalu dia menatap Algibran dan yang lainnya dengan tatapan ketakutan.
"Apa?"
"Gibran jika Adele terlibat dalam menghilangnya Aleta dia sudah selesai."
"..."
"Jika Kak Vano belum menemukan Aleta setelah dia tahu Adele terlibat aku tidak akan bisa membantumu Gibran."
"Kita tanyakan saja besok, ini sudah malam."
Nicholas menepuk bahu Algibran dan berjalan pergi, yang lainnya juga mulai bubar dan meninggalkan Algibran sendiri.
"Adele jika aku mengetahui kamu juga terlibat..."
Wajah Algibran menjadi pucat lalu kemarahan yang tertahan melintas dimatanya.
"Aku tidak akan memaafkanmu."
.....
"Halo, Fei Ran."
"..."
"Batu aku mencari Aleta. Lalu kamu ikut denganku."
"..."
"Aku akan pergi."
"Nathan."
"Ya bos?"
"Bantu aku mencari Aleta, aku tidak mau tahu kamu akan mencarinya dengan cara apa."
"Jika dari kalian belum menemukan berita Aleta dalam lima hari..."
"..."
Tubuh Nathan bergetar dan wajahnya pun menjadi pucat pasi.
"Tubuh kalian akan aku beri makan anjing."
Elvano berkata dengan nada lembut tapi Nathan yang mendengarnya merasa kedinginan.
"Siap bos!"
"Cari berita tentang Kent baru-baru ini."
"Ini..."
Nathan menatap ponselnya seolah-olah ingin melihat apakah bosnya menjadi gila, bagaimana mungkin orang yang sudah mati hidup kembali.
"Apa?"
Elvano menjawab dengan nada dingin.
"Bos Kent..."
"Dia masih hidup."
Mata biru langit Elvano menjadi ungu gelap sepenuhnya tapi matanya yang merah membuat wajahnya terlihat menakutkan bahkan jika dia memiliki wajah yang tampan.
"Aku siap bos."
"Panggil semuanya, aku ingin Aleta hidup dan sehat."
Menaiki motornya dia menarik gasnya yang membuat motornya melaju dengan kencang.
"Tunggu..."
"Tunggu aku Quenby..."
Sedangkan bisikan-bisikan yang menghilang kini tidak bisa melakukan apa-apa karena saat Adele bersama Aleta mereka tidak pergi kemanapun seolah-olah mereka telah terkunci oleh suatu kekuatan.
[Bagaimana ini...]
[Aleta dibawa.]
[Apa kamu bisa pergi ke Elvano?]
[Aku tidak bisa.]
[Bagaimana ini bisa terjadi?!]
[Pria itu pasti menjadi gila.]
[Pria yang mengambil Aleta juga pasti orang gila.]
[...]
[Aura familiarnya.]
[Bagaimana ini... Bagaimana ini...]
[Aku takut...]
[Aku takut Aleta kenapa-kenapa.]
[Kita sudah selesai...]
[Sial! Pikirkan sebuah cara!]
[Tunggu...]
[Biarkan aku berpikir...]
[Tenang...]
.....
Kesya yang baru saja datang kesekolah sudah tidak melihat siapa-siapa lagi yang membuatnya menginjakkan kakinya dengan kesal.
"Bagaimana dengan mereka?!"
"Tega banget sih ninggalin aku gitu aja."
Kesya berbalik pergi menuju rumahnya kembali setelah dia tahu bahwa sudah tidak ada siapa-siapa lagi disekolah.
Sedangkan disisi lain.
Aleta mengerjapkan matanya lalu saat dia akan bergerak suara rantai menarik pikiran yang masih bingung.
Menundukkan kepalanya Aleta melihat sebuah rantai mengikat kakinya yang membuatnya mengernyitkan keningnya.
"Xavier?"
Tunggu sebentar!
Aleta mengangkat kepalanya dan menatap sekelilingnya dengan tatapan tajam dari mata kuningnya.
Ruangan yang minim cahaya dan sangat sederhana dengan pintu kamar mandi, meja dan kursi, jendela yang tinggi, dan kasur setinggi dua meter yang ada dibelakangnya.
Tidak mungkin Elvano mengurungnya ditempat yang sangat sederhana dan minim cahayanya, jadi siapa yang menculiknya?
Saat Aleta sedang berpikir suara pintu yang terbuka membuatnya mengangkat kepalanya dan menatap orang yang datang dengan mata dingin.
Kent menutup pintu dengan seringai diwajahnya lalu dia menatap Aleta yang masih tenang setelah diculik dengan sedikit kejutan dimatanya.
"Siapa kamu?"
Aleta menyipitkan matanya dan bertanya dengan nada dingin.
Kent menarik kursi yang ada disebelahnya dan duduk dengan kaki menyilang.
"Siapa aku? Tebak~"
Menatap pria yang seusia dengan ayahnya dengan tatapan keterbelakangan mental membuat sudut mulut Kent berkedut.
"Hah... Vano kecil menjagamu dengan ketat hingga membuatku sedikit kesulitan. Dan jangan menatapku seolah aku adalah orang yang keterbelakangan mental."
"Ya bukan."
Aleta menjawab Kent dan berkata dengan nada dingin.
"Kamu yang sudah seusia dengan ayahku masih bermain tebak-tebakan, apa kamu anak berusia tiga tahun?"
Wajah Kent berkedut, suara dingin ini dan nada ini membuat Kent sedikit deja vu setelah memikirkannya sebentar dia ingat bahwa Elvano juga pernah berkata dengan suara dan nada dingin yang sama.
Kent melupakan itu dan menatap Aleta yang masih tenang lalu berkata dengan senyum lucu diwajahnya.
"Apa kamu tahu ini ada dimana?"
"Paman ini, katakan saja kita ada dimana, karena aku diculik olehmu dan lihat."
Aleta menunjukkan rantai yang mengikatnya kedepan mata Kent.
"Aku diikat olehmu paman."
"..."
Kent tidak bisa berkata-kata karena kata-kata Aleta yang terlalu lugas.
"Apa kamu tidak takut?"
"Daripada takut lebih baik memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa melarikan diri."
"Itu benar."
Kent menganggukkan kepalanya lalu dia terdiam mengapa dia menganggukkan kepalanya.
"Paman sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
"Kenapa?"
"Paman, kamu mengerti atau tidak mengerti."
Aleta menatap Kent dengan tatapan tidak mengerti.
"Paman kamu tidak bodoh kan?"
"..."
"Sudah hampir satu hari berlalu."
"Oh."
"Paman aku sangat lapar."
"..."
"Paman."
"Tunggu."
Kent pergi untuk mengambil makanan dalam suasana hati yang rumit. Aleta melihat pintu yang ditutup lalu berdiri untuk mengitari ruangan ini dengan langkah kaki yang tergesa-gesa.
"Dimana paman itu menyimpan kuncinya?"
Suara rantai terdengar sedikit menarik diruangan yang kecil dan sederhana itu saat Aleta mencari kunci untuk membuka rantai yang ada dikakinya.
Yang dia temukan hanya pistol yang penuh dengan amunisi dari laci meja tapi Aleta masih mengambilnya dan menyembunyikannya dengan tergesa-gesa.
Dia tidak ingin bertaruh jika orang yang menculiknya tidak akan melukai dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit suara pintu yang akan terbuka membuat Aleta sedikit tertegun.
"Apa yang kamu lakukan?"
Kent yang sedang memegang nampan makanan mengerut keningnya pada kelakuan Aleta yang sedang mengitari ruangan tempat dia disimpan dengan sangat alami.
"Aku... Aku hanya melihat-lihat."
Aleta menjawab dengan percaya diri saat Kent menatapnya dengan muram.
"Benarkah?"
Kent menatap Aleta dengan tatapan curiga.
"Ya."
Aleta menganggukkan kepalanya lalu matanya tertarik dengan makanan yang ada ditangan Kent.
"Terimakasih Paman."
Tapi saat Aleta akan memakan makanannya tangannya berhenti yang membuat Kent menatap Aleta dengan bingung dan curiga.
"Ada apa?"
"Paman, kamu tidak memasukan racun atau sesuatu kedalam makananku?"
"..."
Melihat Kent yang terdiam Aleta mengembalikan kembali makanan yang ada ditangannya ketangannya Kent.
"Paman aku tidak pernah ingin memakan makanan yang tidak diketahui apalagi dengan sesuatu yang kamu tambahkan didalamnya."
"Kamu..."
"Apa?"
"Sial!"
Kent membuang makanan yang ada ditangannya kelantai dengan keras. Suara keras itu membuat Aleta terkejut dan sedikit ketakutan.
Kent menatap Aleta dengan marah berbalik pergi dan meninggalkan suaranya yang berat.
"Jika kamu tidak ingin makan maka tidak perlu makan!!!"
"..."
"Siapa yang mau makan makanan yang kamu berikan..."
Aleta bergumam tapi tangannya menyentuh perutnya yang selalu berbunyi.
"Tapi aku sangat lapar..."
"Argghh! Jika aku tahu akan seperti ini aku tidak akan mengikuti Adele. Bodoh! Bodoh! Idiot!"
Aleta menjambak rambutnya dengan kesal sambil mengutuk.
Lalu matanya melihat jendela yang sedikit lebih tinggi darinya yang membuat Aleta menghentikan perilakunya yang menjambak rambut karena kesal.
Menarik kursi yang ada disebelahnya Aleta berjalan menuju jendela lalu dia menaiki kursi yang dia bawa.
Melirik kebawah yang jaraknya lebih dari dua meter dari tempat dia berada membuat jari-jari Aleta bergetar ringan karena ketinggiannya.
"Tidak mungkin aku akan melompat dari sini kan?"
"..."
"Tapi disana ada hutan bukan jalan raya."
"Apa yang harus aku lakukan...?"
Aleta menggigit bibir bawahnya dengan keras yang membuat sudut bibirnya sedikit robek dan mengeluarkan darah.
Menuruni kursi yang ada dibawahnya Aleta berjalan menuju pintu dan mengetuknya dengan keras.
"Paman aku lapar! Bisakah kamu membawakan takeout! Dan bisakah kamu juga memesan cola? Aku baru makan sedikit pagi ini lalu kamu menculikku, Paman!"
Aleta menggertakkan giginya dengan kesal dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan amarahnya.
Seorang pria harus bisa membungkuk dan merenggang agar bisa hidup dengan mudah didunia ini.
Meskipun Aleta tidak ingin mengakuinya, dia harus menahan ketidakpuasan yang ada dihatinya karena keadaannya yang tidak memungkinkan.
Mendengus dengan kesal dia mengetuk pintu dan berbicara dengan lembut.
"Paman ini, bisakah kamu memesan makanan dan minuman? Aku sudah sangat lapar."
"Bagaimana jika aku pingsan dan sakit? Apa kamu akan membawaku kerumah sakit?"
"Itu pasti tidak mungkin bukan."
"Paman."
"Paman..."
"Aku sangat lapar..."
"Diam!"
Suara Kent terdengar kesal terdengar dari balik pintu yang membuat Aleta menghentikan tangannya yang menggedor pintu dan suaranya yang juga menurutnya sangat berisik.
"Paman..."
"Diam! Aku akan memesannya!!! Bisakah kamu diam?!"
"Oke, oke."
Aleta berjalan menuju kasur dan duduk dengan kaki bersila untuk menunggu makanan yang dia pesan.
"Paman ponselku ada dimana?"
Aleta berteriak agar suaranya bisa terdengar oleh Kent yang sedang memesan makanan.
"Aku membuangnya!"
"Paman aku bosan."
"Apa kamu tidak menyadari situasimu?! Kamu sekarang adalah orang yang sedang diculik! Diculik!!!"
"Tapi paman aku sangat bosan..."
Aleta mencoba merengek pada Kent yang ada diseberang pintunya.
"Diam!"
Kent dengan wajah merah karena marah merasa tercekik dan sesak, dia menyesal telah menculik pacar Elvano yang sangat menyebalkan dan berisik.
"Paman..."
"Oh! Leluhur bisakah kamu diam?!"
"..."
"Hah..."
Kent menghela napas lalu memijat keningnya yang berkedut karena sakit. Dia punya firasat bahwa dalam beberapa hati ini dia akan dalam kesulitan karena Aleta.
"Sial! Elvano, pacarmu sama-sama menyusahkan dan menyebalkan seperti dirimu!"
Melihat pesanan yang sudah sampai didepan rumah, Kent berjalan untuk mengambil makanan dan minuman yang dipesan Aleta dengan wajah gelap.
"Ini."
Aleta menatap tas plastik yang ada didepannya dan dengan senang hati mengulurkan tangannya dan mengambilnya.
"Terimakasih Paman."
Kent mendengus dan berjalan menuju kursi dan duduk dengan kesal.
"Paman kita sekarang ada dimana?"
Aleta bertanya dengan mulut penuh dan menatap Kent sedikit enak dipandang.
"Amerika."
Aleta menelan makanan yang ada di mulutnya dan bertanya pada Kent dengan bingung.
"Pakai apa kita kesini?"
"Tentu saja dengan pesawat."
"Paman dimana istrimu?"
"Apa?"
Kent menatap Aleta dengan tatapan bingung.
"Tidak mungkin..."
Aleta menatap wajah Kent selama beberapa detik lalu matanya melebar.
"Kamu belum punya istri paman?!"
Wajah Kent menjadi gelap.
"Coba aku tebak siapa kamu paman."
Kent menatap Aleta yang sedang berpikir.
"Tidak punya istri, wajah tampan, berpikiran sempit, pemarah, licik, selalu menargetkan Xavier, dan temperamen aneh..."
Aleta mengabaikan wajah Kent yang semakin gelap saat dia mengatakan itu semua lalu dia meminum cola yang ada ditangannya untuk membasuhi tenggorokannya yang kering.
Kent menggertakkan giginya dan berkata dengan nada yang penuh tekanan.
"Siapa menurutmu?"
"Kamu adalah..."
Aleta menggigit makanan yang ada ditangannya lalu berbicara dengan suara samar.
"Kent Ivander Reuel."
Kent melebarkan matanya dan bertanya dengan suara luar biasa.
"Kamu tahu diriku dan masih bisa bersantai?!"
"Ya?"
Aleta memiringkan kepalanya lalu membuat ekspresi ketakutan yang palsu diwajahnya.
"Ah! Paman aku takut! Bisakah kamu mengantarku pulang?"
Kent mengambil pistol yang dia ambil dari saku jaketnya lalu mencondongkan pistol yang ada ditangannya kedahi mulus Aleta.
Sentuhan dingin yang ada di dahinya membuat Aleta mengangkat kelopak matanya dengan malas dan menatap Kent yang kini memiliki wajah dingin.
"Apa sih paman?"
Aleta masih dengan santai memakan burger ditangannya dan mengabaikan pistol yang ada di dahinya.
Jika saja Aleta mengabaikan jantungnya yang berdetak kencang, dia akan percaya bahwa dia sedang santai meskipun sebuah pistol menempel di dahinya.
Kent menyipitkan matanya dan menatap Aleta dengan tatapan berbahaya dan berbalik pergi dengan mata yang suram dan tidak menyadari Aleta mengulurkan tangannya dibelakang punggungnya.
Aleta menepuk dadanya yang berdetak kencang lalu dia tersenyum puas saat dia menatap kunci yang berputar ditangannya.
"Huh! Tidak mungkin aku akan tetap diam dan santai bersamamu paman."
Aleta dengan cepat membuka rantai yang mengikat kakinya lalu dia mengambil pistol yang dia sembunyikan dan menarik kembali kursi yang jauh dari jendela.
Aleta menarik kasur setinggi dua meter kedepan pintu dan meja kecil yang ada sebelah kasur itu untuk menghalangi Kent yang sebentar lagi akan menyadari bahwa kuncinya tidak ada disaku celananya.
Berdiri sedikit jauh dari jendela Aleta membidik jendela itu lalu menarik pelatuknya.
Duar!
Suara pecahan kaca membuat Kent menyadari bahwa Aleta akan melarikan diri lewat jendela selagi dia mendapatkan kunci dari saku celananya.
"Sial! Apa yang kamu lakukan?!"
Kent mendobrak pintu dengan keras tapi pintu yang terbuka membuat Kent menyadari bahwa pintu mungkin dikunci dari dalam atau mungkin dihalangi oleh sesuatu.
Aleta mendengar pergerakan itu dengan cepat menaiki kursi yang sudah dia bersihkan dari pecahan kaca dan mulai melompat meskipun dia takut.
Saat melompat Aleta memejamkan matanya saat dia jatuh bebas dari ketinggian lebih dari dua meter itu.
Berguling diantara dedaunan Aleta mengabaikan kulitnya yang tergores oleh pecahan kaca dan ranting pohon dan mulai berlari dengan cepat menuju pegunungan.
Kent melihat arah Aleta yang melarikan diri sebelum dia bisa melihat Aleta yang melarikan diri Kent menarik pelatuknya ke kaki Aleta.
"Hm!"
Aleta menarik kakinya yang hampir terkena peluru dengan hatinya yang bergetar untung saja dia tidak terjatuh jika tidak...
Menarik napas dingin dia memalingkan kepalanya dan melihat Kent yang akan menyusulnya.
"Sial!"
Meskipun dia mengetahui ketinggian ini menekannya yang saat itu dia juga mencoba melarikan diri dari Elvano dia tetap saja merasa marah dan kesal dengan tinggi mereka yang menurutnya terlalu tinggi.
Berlari diantara pepohonan membuat Aleta masih bisa memikirkan dia seperti monyet yang berlarian diantara pepohonan.
Sebuah garis-garis hitam muncul didahi Aleta setelah dia memiliki pikiran seperti ini.
"Aleta kamu terlalu..."
Aleta menggelengkan kepalanya untuk membuang sebuah pikiran itu sambil menghela napas dan berlari semakin cepat.
Tapi saat dia berlari seseorang menariknya yang membuatnya secara refleks berteriak.
"Ah!"
-
-
-
-
[Bersambung...]