Chereads / Alvaro to Elvano / Chapter 37 - Bab. 36 ||Maju untuk mati dan mundur juga untuk mati||

Chapter 37 - Bab. 36 ||Maju untuk mati dan mundur juga untuk mati||

Bab. 36

Berlari diantara pepohonan membuat Aleta masih bisa memikirkan dia seperti monyet yang berlarian diantara pepohonan.

Sebuah garis-garis hitam muncul didahi Aleta setelah dia memiliki pikiran seperti ini.

"Aleta kamu terlalu..."

Aleta menggelengkan kepalanya untuk membuang sebuah pikiran itu sambil menghela napas dan berlari semakin cepat.

Tapi saat dia berlari seseorang menariknya yang membuatnya secara refleks berteriak.

"Ah!"

....

"Shhtt..."

Aleta menatap seorang pria yang menariknya dengan ketakutan dan kesal karena terkejut.

"Siapa kamu?"

Aleta mengerutkan keningnya dan menatap pria yang ada didepannya dengan dingin.

Pria itu yang sedang melihat keluar dari tempat persembunyiannya mendengar suara dingin Aleta yang membuatnya memalingkan kepalanya dan menatap Aleta yang menatapnya dengan waspada.

"Kamu tidak perlu tahu."

Pria itu juga menatap dingin pada Aleta, karena dia yang sedang berlibur dengan menjelajahi pegunungan mendapatkan tugas untuk mencari seseorang yang membuatnya kesal.

Sikapnya terhadap Aleta juga menjadi sedikit tidak baik. Setelah itu pria itu menatap keluar dengan waspada karena takut Kent akan menemukan tempat persembunyiannya.

Karena sudah malam Aleta tidak bisa melihat wajah pria itu tapi dari nada suaranya dia tahu bahwa pria ini sedang dalam suasana hati yang buruk.

"Bisakah aku meminjam ponselmu?"

"..."

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Aleta dia hanya berdiri dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.

"..."

Tidak mendengar langkah kaki yang mengikutinya pria itu memutar kepalanya dan menatap Aleta yang menatapnya dengan mata kuning cerahnya yang terlihat sedikit menakutkan di malam gelap dan pegunungan seolah ditatap oleh binatang buas yang membuat pria itu mengeluarkan keringat dingin di punggungnya.

"Kenapa kamu masih diam?"

Aleta mencerutkan bibirnya dan berjalan mengikuti pria yang sudah menyelamatkannya.

Mereka berjalan dengan cepat untuk menghindari kejaran Kent. Tapi sebelum mereka sedikit santai suara tembakan dibelakang membuat mereka menjadi waspada dan bersembunyi lagi diantara bebatuan.

"Aleta kecil..."

Suara Kent yang dalam dan serak dari jauh membuat Aleta sedikit berbulu.

"Dimana kamu..."

"Apa kamu sedang bermain petak umpet bersama paman?"

Kent memiringkan kepalanya dan mulai mencari Aleta diberbagai tempat yang mencurigakan.

Tapi Aleta yang mendengar suara Kent mengernyit keningnya dengan jijik.

"Petak umpet apaan..."

Aleta bergumam dengan jijik bahkan dia sedikit melupakan suasana menyeramkan ditempat yang gelap dan sunyi dari pegunungan.

Pria itu kini menatap Aleta dengan mata aneh karena bisa membuat Kent, ilmuan gila itu masih memiliki kesabaran untuk mencarinya dan mengatakan itu adalah permainan petak umpet.

"Aleta kamu bersembunyi dimana?"

"Apakah disini...?"

Kent menembak tempat yang menurutnya sangat mencurigakan tapi tidak ada tanggapannya membuat Kent menghela napas dengan kecewa.

"Ah. Bukan disini..."

"Aleta bukankah kamu takut? Jika kamu terus bersembunyi serangga-serangga itu dan hewan-hewan buas akan menyerangmu dan menjadikanmu makanannya."

"Leta kecil..."

"Ayo kembali. Paman akan mengantarmu pulang."

Suara Kent terdengar seperti serigala yang mencoba menculik gadis berkerudung merah di pegunungan.

Tapi suasana dan tempatnya memang sangat tepat dalam cerita 'Little Redding Hood'. Dengan Kent sebagai serigala besar dan Aleta sebagai gadis berkerudung merah yang lemah, menyedihkan dan tidak berdaya yang berada di pegunungan.

Sebuah kabut mulai terbentuk dimata kuning cerah Aleta.

"Apa kamu takut hingga ingin menangis?"

Pria itu yang sedang bersembunyi bersama Aleta kini melihat mata berkabut Aleta dengan tercengang.

Sebuah air mengalir dari matanya lalu Aleta mengusapnya dengan cepat lalu matanya mulai menunjukan tatapan menjijikan.

"Menjijikan!"

"Menjijikan!"

Aleta mengabaikan pria itu dan bergumam dengan wajah jijik. Tidak ada rasa takut dimata dan wajahnya hanya tatapan menjijikan yang terus berguling dimatanya.

Saat Aleta sudah sedikit tenang suara sesuatu yang merayap membuat punggungnya menjadi dingin dan mulai menggenggam tangan pria itu dengan erat.

"Apa kamu mendengar?"

"Suara apa?"

Pria itu menatap Aleta dengan bingung.

"Sesuatu sedang merayap kemari."

Aleta merendahkan suaranya dan mulai menatap sekelilingnya dengan waspada.

Karena pengingat Aleta, telinganya menjadi sangat sensitif apalagi dimalam yang sunyi dipegunungan.

Lalu wajahnya menjadi pucat karena dia melihat seekor ular berbisa berada dibelakang Aleta tidak tahu kapan itu ada.

Pria itu takut ular, apalagi dengan ukurannya yang besar. Kini ular yang sedang berada dibelakang Aleta memiliki ukuran sedang yang membuatnya merasa lemas dan kaku tidak bisa bergerak.

Aleta menyadari keanehan pria itu karena tubuhnya yang kaku lalu dia memutar kepalanya dan melihat sebuah ular dengan ukuran dua atau tiga meter berada dalam jarak tidak jauh darinya.

Dahi mulusnya kini mengeluarkan keringat dingin dan mulai menarik pria yang tidak bisa bergerak secara perlahan.

"Apa yang kamu..."

Bibir pria itu bergetar karena keberanian Aleta yang mencoba bergerak mundur dari sebuah ular yang sedang menatap mereka dengan tatapan dingin anorganiknya.

"Apa kamu ingin mati?"

Aleta berbisik sambil menggertakkan giginya untuk menyembunyikan giginya yang bergetar.

"Aku tidak."

Pria itu menggelengkan kepalanya dengan tampilan lemah.

Aleta memalingkan kepalanya kebelakang yang masih terdengar suara Kent lalu menatap ular yang berada didepannya yang sudah menjadikan mereka sebagai mangsanya disaat mereka sudah berada diwilayah teritorial ular berbisa itu.

Jika mereka maju mereka akan memasuki sarang harimau lalu mereka tidak memiliki kesempatan untuk keluar hidup-hidup dan dibelakang mereka ada seekor serigala yang mengejar mereka dengan ganas yang bisa membuka mulutnya kapan saja.

Menggertakkan giginya dengan keras, Aleta mulai membuat pilihan dengan cepat karena maju dan mundurnya mereka, mereka tidak punya pilihan.

Maju untuk mati dan mundur juga untuk mati.

"Dengar..."

Aleta menarik napas dalam-dalam dan mulai berbisik kepada pria yang ada disebelahnya.

"Aku tidak tahu mengapa kamu mencoba menyelamatkanku. Tapi jika kita maju kita akan mati dan mundur juga kita akan mati tapi dengan kesempatan untuk keluar hidup-hidup, bagaimana kamu akan memilih?"

Pria itu menatap Aleta dengan terkejut lalu dia menatap ular yang dia takuti dan memutar kepalanya kebelakang dia melihat juga samar-samar bisa  melihat pria gila yang dia sama-sama menakutkan yang telah mereka ikuti selama delapan tahun tapi masih hidup.

Menggertakkan giginya pria itu mulai membuat keputusan lalu memandang Aleta dengan tegas. Aleta menganggukkan kepalanya lalu bergumam.

"Setelah aku mengatakan tiga kita lakukan."

Pria itu menganggukkan kepalanya dengan lemah dan masih memasang wajah pokernya.

Kenapa harus aku yang menemukannya?!

Penjahat dihati pria itu telah berguling-guling dan menangis dengan sedih.

Aku hanya sedang liburan mengapa aku yang menemukannya terlebih dahulu?!!

Arghh!!!

Pria itu masih memiliki rentetan yang hidup dibenaknya dan menangis dengan sedih.

"Satu..."

"Dua..."

"Tiga!"

Aleta dan pria itu saling memandang dan berbalik dengan cepat.

Sshht!

Ular yang ada didepan mereka sudah membuka mulutnya dengan lebar lalu menyusul Aleta dan pria itu dengan tubuhnya yang besar dan panjang.

Kent yang sedang berada tidak jauh dari tempat Aleta dan pria itu bersembunyi kini dia mendengar suara napas yang terengah-engah dan langkah kaki yang kacau yang membuatnya menatap tempat persembunyiannya mereka dengan seringai diwajahnya.

Tapi saat berikutnya seringai lebar diwajahnya membeku karena dia melihat Aleta dan seorang pria yang tidak tahu siapa itu sedang berlari dengan cepat dan melewatinya lalu disudut matanya dia melihat seekor ular berbisa yang sebesar dua atau tiga meter mengejar dibelakang mereka.

"Fuck!"

Kent berlari cepat dengan kaki panjangnya dan hampir menyusul Aleta yang sudah berada didepannya.

"Kamu membawa pria besar ini?!"

Kent mengeluarkan pistolnya yang mencoba menembak Aleta sambil berlari.

Duar!

Aleta sedikit tersandung dan hampir saja mengenai peluru yang akan mengenai kakinya.

"Paman kamu masih memiliki pikiran untuk membunuhku?!"

Aleta berlari dengan cepat sambil berteriak kepada Kent yang masih mencoba membunuhnya tapi yang menjawabnya adalah tembakan lain.

Aleta berguling karena dia merasakan perasaan krisis dihatinya hingga peluru itu meleset tidak mengenai kepala Aleta.

Sedikit merangkak dan berlari kembali Aleta menghembuskan napas dengan lega karena hampir saja peluru itu mengenai kepalanya.

"Paman kamu memaksaku!!!"

"???"

Kent berhenti yang membuatnya terkena cambuk ekor ular yang sedang mengejar mereka.

"Hiss!"

Wajah Kent menjadi pucat dan berlari kembali dengan kaki yang pincang lalu dia melebarkan matanya dan menatap Aleta dengan tidak percaya dimatanya.

Pria itu juga yang sedang berlari memutar kepalanya dan melihat pemandangan yang sama dari Kent yang membuat matanya melebar dan mulutnya ternganga karena sangat terkejut.

Aleta mengeluarkan pistol yang selalu dia sembunyikan dan menarik amunisi yang penuh lalu mencondongkan pistol yang ada ditangannya ke kepala Kent.

"Kapan kamu memiliki senjata?!"

Kent dan pria itu berteriak secara bersamaan.

"Nyonya, Nyonya. Apa yang sedang kamu lakukan? Itu sangat berbahaya..."

Pria itu berteriak dengan cemas pada Aleta yang masih berlari dan memfokuskan matanya pada Kent yang sedang berlari untuk mencoba membidiknya agar tidak melesat.

"Kamu..."

Kent menghindari cambukan ekor ular yang mengikuti mereka lalu dia juga mengeluarkan pistolnya dan mulai menekan pelatuknya.

Duar!

Duar!

Suara pistol yang ditarik bersamaan membuat ular yang mengikuti dibelakang mereka dengan semangat sangat tersinggung karena manusia ini mengabaikannya.

Ini sangat tidak termaafkan!

Mereka juga harus memberikan hak untuk ular juga!

Ular itu mencambuk ekornya dengan keras dan membuka mulutnya dengan lebar.

Aleta menyentuh bahunya yang sedikit mati rasa lalu dia menundukkan kepalanya dan menatap bahunya yang berdarah dengan wajah pucat.

"Gan! Ini berdarah!"

Pria itu mulai mendekati Aleta yang mencoba mengobati luka dibahu Aleta tapi sebelum tangan pria itu akan menyentuhnya Aleta mundur beberapa langkah untuk menjauh dari pria itu.

"Biarkan aku membalutnya!"

Mata pria itu kini menunjukkan kecemasan.

"Tidak perlu."

Aleta menggelengkan kepalanya dengan lemah lalu dia memiringkan kepalanya untuk melihat Kent yang juga terkena peluru yang dia tembakkan tapi melarikan diri.

"Awas!"

Aleta mendorong pria itu dengan keras lalu menarik pelatuknya saat ular berbisa itu membuka mulutnya lebar-lebar.

Duar!

Peluru itu memasuki mulut ular berbisa dan menembus kepalanya yang membuat tubuh ular itu bergoyang lalu terjatuh dengan lemah.

Sebuah darah ular terciprat kewajah cantik Aleta yang membuatnya terlihat mendebarkan dengan kecantikan dan keanehan yang menyatu dengan sempurna dari darah yang ada diwajah cantiknya dan baju putih seragamnya.

Tapi matanya yang terlalu tenang dan darah itu membuatnya terlihat seperti hantu apalagi dipegunungan yang sunyi dan sepi selain serangga-serangga yang berbunyi dan hewan-hewan buas yang mengintai.

Kaki pria itu menjadi sedikit lemah bahkan matanya mulai sedikit merah bahkan kesadarannya menjadi sedikit kacau.

Mengapa?

Itu karena saat dia sedang liburan dan bersantai dia mendapatkan tugas dari bosnya yang sudah lama tidak aktif. Sebagai seorang inteligen yang hanya mengatur informasi untuk Elvano, dia hanya memiliki fisik yang sedikit lebih baik dari manusia biasa karena kecintaannya yang selalu mendaki gunung tertentu.

Lalu dia juga melihat ancaman (meskipun untuk semua bawahan bosnya) jika tidak menemukan Nyonya (bawahan-bawahan Elvano sudah menganggap Aleta sebagai Nyonya dari Tuan mereka yang sedikit gila) tubuh merekalah taruhannya.

Tubuh mereka akan menjadi makanan anjing entah itu hidup atau mati. Lalu saat dia akan melakukan tugasnya, secara tidak sengaja dia menemukan Nyonya itu dalam keadaan dikejar oleh pria paling berbahaya didunia yang semua orang kira sudah mati tapi masih hidup dan menendang.

Saat mereka sedang bersembunyi dari Kent (pria ini tidak membawa persiapan apapun karena menemukan Aleta juga secara tidak sengaja) mereka menemukan ular besar yang berbisa. Pria itu takut pada ular karena dia pernah dilempar ke tumpukan ular oleh bosnya yang berhati dingin itu yang masih kanak-kanak (Elvano).

Itu adalah kelemahan terbesar dan rasa malu dalam hidupnya. Dan kini dia hampir saja menjadi santapan ular yang dia takuti dan benci, jika bukan karena Aleta dia akan mati disini tanpa tulang yang tersisa.

Tapi!

Keadaan Aleta juga menakutinya! Selain seperti hantu yang mengembara dipegunungan pada malam hari, dia merasa cemas dengan luka dibahu Aleta.

"Bagaimana aku akan menjelaskannya..."

"Bagaimana..."

"Menjelaskan pada siapa?"

Aleta menyipitkan matanya dengan berbahaya dan bertanya dengan suara dingin.

"Bosku!"

"..."

Melihat Aleta hanya terdiam dia semakin cemas.

"Itu Elvano! Elvano! Nyonya biar aku membalut lukamu terlebih dahulu, oke? Jika tidak, bau darah ini akan menarik perhatian hewan-hewan buas itu."

"..."

"Oh, Nyonyaku! Bos hanya menginginkan mu yang hidup dan sehat! Bagaimana pria itu menjadi gila ditempat saat menemukanmu dalam keadaan seperti ini?! Dia tidak hanya akan membuat tubuhku menjadi makanan anjingnya aku pasti akan menjadi makanan ikan-ikan ganas yang dia pelihara!"

Sudut mulut Aleta berkedut melihat pria yang masih keadaan lemas kini melompat-lompat karena cemas lalu dia berbicara dengan lemah sambil mengulurkan tangannya.

"... Biarkan aku sendiri yang membalutnya."

Pria itu memberikan tas yang hanya berisi makanan dan minuman, perlengkapan untuk mendaki dan P3K ketangan Aleta yang terulur.

"Berbalik. Jaga aku."

"Oke!"

Setelah melihat pria itu berbalik dan tidak lagi menatapnya, Aleta mengendurkan tubuhnya yang tegang lalu dia mengeluarkan pisau dan P3K yang ada didalam tas, lalu dia juga mengeluarkan air minum pria itu untuk membasuh darah yang ada di bahunya agar tidak terinfeksi.

Aleta membuka baju seragamnya yang berlumuran darah dan sobek, untung saja dia memakai kaus lagi selain bra. Aleta mengambil pisau militer dan menundukkan kepalanya untuk fokus untuk mengeluarkan peluru yang tersangkut dibahunya.

"Hissh..."

Aleta tersentak saat peluru itu telah berhasil dia keluarkan tapi yang membuat bahunya sakit adalah dia tidak sengaja memotong dagingnya sendiri.

Kapan dia menderita keluhan seperti ini saat dia bersama Elvano bahkan dia selalu dijaga dengan hati-hati oleh Elvano dan menaruhnya dipuncak hatinya dan tidak pernah akan membiarkannya mendapatkan keluhan seperti ini.

Mata Aleta menjadi merah dan sedikit terisak pelan.

Aku merindukanmu, Xavier.

"Apa kamu tidak apa-apa?!"

"Tidak. Jangan berbalik!"

"Oh. Oke, oke."

Dengan suara bergetar Aleta berteriak dengan kesal pada pria itu yang mengganggu kerinduan singkat pada Elvano.

Tangannya yang bergetar Aleta dengan cepat membuka air bersih dan membasuhnya keluka yang ada dibahunya yang masih mengeluarkan darah lalu dia menerapkan obat untuk lukanya yang berdarah dan membalut luka itu dengan perban dengan cepat dan cekatan.

Dahinya masih bercucuran dengan keringat dingin karena rasa sakit karena daging yang dia cungkil sendiri tapi Aleta masih dengan cepat memakai baju seragam putihnya yang sudah berlumuran darah dan sobek.

"Sudah."

"Sangat cepat?!"

Pria itu berbalik dan menatap Aleta dengan tidak percaya.

"Ya."

Aleta menganggukkan kepalanya, dia mengikat rambutnya yang berantakan lalu menggulungkannya dan mengabaikan bahunya yang kembali mengeluarkan darah.

"Ayo cepat ini sudah semakin malam. Hewan-hewan itu mungkin benar-benar akan kemari."

"Oke."

Pria itu mengambil tasnya dan berjalan dengan cepat untuk menjadi pemandu Aleta agar bisa keluar dari pegunungan yang berbahaya.

"Apakah ini masih sangat lama?"

Aleta sedikit mengeluh saat mereka masih saja belum keluar dari pegunungan ini yang sudah hampir dua jam berlalu tapi belum saja keluar.

"Nyonya ini sebentar lagi."

Pria itu juga merasa lelah setelah kejadian sebelumnya terjadi.

"Tunggu, ini hanya sebentar lagi..."

Aleta mencerutkan bibirnya dia sudah sangat kelelahan dan lapar. Dia ingin mandi, dia sudah merasa tidak nyaman karena lengketnya darah dan keringatnya sendiri apalagi dia juga sudah berguling-guling ditanah.

Dia merasa sangat kotor, Aleta sudah merasa sedikit tidak tahan dengan tubuhnya yang kotor, sakit dan bau.

"Aku merindukan kasur dan selimutku..."

Memikirkan kasur dan selimutnya yang lembut, empuk dan hangat membuat wajah Aleta memiliki ekspresi kerinduan.

Dia tidak ingin memikirkan orang-orang yang masih mengkhawatirkannya dia sudah merasa lelah dia hanya merindukan kasur dan selimutnya.

Meskipun ini terdengar tidak berperasaan tapi dia hanya ingin tidur! Baru dia bisa memikirkan semua itu.

Wajah pria itu juga menunjukkan kerinduan. Dia juga merindukan kasurnya yang empuk dan lembut dan selimutnya yang hangat. Dia hanya ingin tidur dan memulihkan hatinya yang sedih dan terluka setelah kejadian ini yang membuatnya sedikit sakit.

"Oh iya!"

"?"

Pria itu menatap Aleta dengan bingung.

"Dari tadi kamu tidak memperkenalkan dirimu, aku tidak tahu harus memanggilmu apa? Dan kita sudah melalui hidup dan mati bersama jika dihitung, kamu menyelamatkanku dan aku menyelamatkanmu kita impas dan tidak ada lagi hutang budi diantara kita."

Pria itu menganggukkan kepalanya.

"Jadi siapa namamu?"

"Namaku Aaron, Aaron Ramsey Howard."

"Aaron. Karena kamu lima tahun lebih tua dariku bisakah aku memanggilmu Kakak."

Pria itu, tidak, sekarang pria itu yang disebut Aaron merasa sedikit melayang dan menganggukkan kepalanya saat mata kuning cerah itu menatapnya dengan sedikit harapan.

"Kak Aaron."

"Ya."

"Hehehe."

Itu lucu.

Aaron menggosok kepala Aleta dengan sayang. Lalu dia tersenyum konyol diwajahnya yang tampan karena sekarang dia akan memiliki adik meskipun itu bukan kandung, tapi adik ini notabenya adalah Nyonya dari Tuan mereka.

Untung saja Aleta tidak melihat senyum konyol karena kegelapan yang menutupi wajah mereka jika tidak karakter Aaron yang dingin tapi penakut akan runtuh.

"Kita sampai. Aku akan mengantarmu kerumah sakit dulu."

Aaron berjalan dengan cepat karena akhirnya mereka bisa keluar dari pegunungan itu dan dalam suasana hati yang baik dia melembutkan suaranya.

Tapi Aleta menatap kosong pada wajah saudara barunya yang bisa sebanding dengan Elvano apalagi rambut dan mata birunya yang sama.

"Ada apa?"

Mata biru Aaron yang penuh kecemasan tersembunyi membuat hidung Aleta sedikit sakit karena itu mengingatkannya pada Elvano.

"Nyonya. Nyonya ada apa denganmu?"

Aaron sedikit panik melihat mata Aleta yang merah seolah-olah dia akan menangis dan harus bingung harus melakukan apa.

Melihat tingkah Aaron membuat Aleta sedikit membaik dan mengusap air mata yang sudah berjatuhan dimatanya.

"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit merindukan Xavier."

"Ya?"

Aaron menatap kosong pada pada Aleta yang kini mempunyai senyum tipis diwajahnya lalu dia menepuk jidatnya dengan keras.

"Ada apa?"

Aleta menatap aneh perilaku saudara barunya yang menepuk jidatnya sendiri.

"Aku melupakan untuk menelpon bos!"

Aaron berjalan sedikit menjauh dari Aleta dengan sadar lalu menyambungkan ponselnya untuk menelpon Elvano.

Drrt... Drrt...

"Halo..."

Aaron hanya merasakan tulang punggungnya bergetar yang menjalar dari kepala hingga ujung ekornya dan membuatnya secara tidak sadar menegakkan tubuhnya dan sedikit menundukkan kepalanya seolah-olah Elvano berada didepannya.

Kenapa?

Itu karena suara Elvano sangat menakutkan. Suaranya yang biasanya hanya dingin kini dia juga merasakan kegilaan yang tertahan dalam suaranya seolah sedang menahan kewarasan yang berada diambang batas terputus.

"Bos... Bos..."

"Cepat katakan sesuatu!"

"Aku... Aku sudah menemukan Nyonya."

"..."

Napas yang berada di seberangnya menjadi sedikit kasar lalu suara benda yang berjatuhan berhenti.

"Dimana dia?"

"Dia ada bersamaku."

"Tunggu... Tunggu... Kirimkan aku lokasimu."

Melihat telepon yang sudah dimatikan, Aaron berjalan mendekati Aleta yang sudah menunggu bosan.

"Bagaimana?"

Aleta menatap Aaron dengan tatapan bersemangat.

"Dia akan datang."

Aleta menganggukkan kepalanya.

"Ayo kita kerumah sakit dulu. Lalu datang kerumah ku."

"Hm!"

Aleta menganggukkan kepalanya dan menatap Aaron dengan tatapan terimakasih.

"Terimakasih."

"Tidak perlu."

Aaron melambaikan tangannya dengan tampilan mudah lalu dia berkata dengan lembut.

"Karena tanpaku kamu juga bisa melarikan diri dari Kent."

"... Tapi setidaknya ada yang menemaniku."

Aleta tersenyum kecil lalu memeluk Aaron.

"Terimakasih saudaraku."

Setelah mengatakan itu dia melepaskan pelukannya dari Aaron.

Sedangkan pikiran Aaron menjadi kosong saat Aleta memeluknya dan berkata saudaraku dengan suara manis.

"Tidak apa-apa."

Aaron memalingkan kepalanya dan menutupi wajahnya dengan tangannya untuk menutupi rona merah diwajahnya.

.....

Disisi lain.

Disebuah ruangan besar yang berantakan, Elvano yang dalam keadaan kacau dengan cepat berjalan menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan dibaju dengan rapi, Elvano melihat dirinya dicermin. Dengan wajah semakin pucat, matanya yang ungu memerah, bibir yang pucat ini mencerminkan penampilan hantu meskipun dia berpakaian rapi.

Elvano berjalan keluar dari kamarnya dan menarik satu persatu pelayan dan bertanya soal penampilannya.

"Apakah ini bagus?"

Pelayan yang ditarik sempat ketakutan lalu saat matanya menatap wajah Elvano dia hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat.

Melihat ketakutan dimata pelayan itu, Elvano merasa sedikit kesal lalu menarik kembali pelayan yang lainnya.

"Bagaimana dengan penampilanku?"

"Bagus, bagus!"

Elvano menatap pelayan yang hanya mengangkat kepalanya dan meliriknya dan tidak pernah melihatnya lagi dan bertanya dengan muram.

"Apa menurutmu itu bagus jika kamu hanya menundukkan kepalanya?"

Pelayan itu hanya bisa mengangkat kepalanya dengan ketakutan lalu berkata dengan suara bergetar.

"Tuan... Tuan... Penampilanmu sangat bagus."

Elvano hanya mendorong pelayan itu kebelakang dan berjalan menuruni tangga dimana Fei Ran dan Nathan berada saling berhadapan.

Saat Elvano menemukan pelayan yang melewatinya dan lihat dia selalu menakuti pelayan itu.

Wajah Elvano semakin muram saat melihat pelayan-pelayan itu yang tidak berguna.

"Vano. Kamu sudah tenang?"

Fei Ran dan Nathan berdiri lalu menghampiri Elvano dengan cemas dan menatapnya dari atas kebawah.

"Apakah penampilanku bagus?"

Fei Ran dan Nathan berhenti melihat Elvano dari atas dan kebawah.

"Vano kamu tidak akan menjadi gila?"

Fei Ran hanya bertanya dengan cemas lalu Nathan mendorong Fei Ran ke belakangnya.

"Bagus, bagus."

"Itu bagus."

Wajah muram Elvano sedikit mereda lalu menghela napas lega dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.

"Vano mau kemana?"

"Menemui Quenby."

"Kami akan ikut."

Fei Ran dan Nathan saling memandang dan mulai mengikuti Elvano.

"Tidak."

"Kami akan tetap ikut."

Elvano menatap Fei Ran dan Nathan dengan dingin. Fei Ran tidak takut dengan tatapan dingin dan berbisa dari Elvano karena dia sudah kebal dikehidupannya sebelumnya tapi Nathan tidak, dia sudah mundur selangkah karena merasa kedinginan.

"Vano aku takut kamu akan menjadi gila di jalan."

"Fei Ran kamu pikir aku akan menjadi gila?!"

Elvano menatap Fei Ran dengan muram.

"Tidak."

Fei Ran menggelengkan kepalanya dan berkata dengan pelan dan serius agar Elvano bisa mengerti.

"Aku tidak ingin kamu kehilangan kendali Vano. Bagaimana jika Aleta ketakutan saat melihatmu kehilangan kendali?"

"..."

Wajah Elvano menjadi semakin pucat dan mata ungunya berubah-ubah dengan berbahaya yang membuat Fei Ran sedikit ketakutan. Elvano yang seperti ini membuat Fei Ran tidak tahu harus melakukan apa.

Nathan bergidik melihat tatapan Elvano lalu dia menarik Fei Ran yang hampir melompat dengan berbahaya dari kematian dan berkata dengan senyum gugup.

"Ayo pergi, pergi. Kami tidak akan menghalangi."

Menurunkan matanya dia melepaskan tangannya yang berada dikenop pintu lalu berbalik dengan dingin.

Fei Ran menatap kenop pintu yang sudah berubah bentuknya dengan berkeringat dingin lalu bergumam.

"Kapan dia memiliki kekuatan yang sangat kuat...?"

"Itu selalu ada."

Nathan yang mendengar gumaman Fei Ran hanya menggosok rambutnya dengan keras karena pusing.

"Bagaimana...?"

"Aku tidak tahu. Hanya saja dia selalu bisa menahan kekuatan itu seolah-olah itu sangat mudah."

Nathan berbalik pergi lalu masuk kembali kekamarnya dan meninggalkan Fei Ran sendirian diruang tamu.

Pelayan-pelayan yang bersembunyi kini keluar dengan tenang dan mengerjakan kembali tugas-tugas mereka tanpa banyak bicara.

"Apakah itu sangat menakutkan...?"

Fei Ran mengernyitkan keningnya karena dia melihat penampilan mereka yang ketakutan, dia melupakan bahwa orang-orang disini tidak pernah dibaptis oleh Elvano yang gila daripada orang-orang didunia sebelumnya yang selalu hidup dalam kekacauan dan ketakutan dari nama Alvaro.

"Ya sudah! Nathan aku akan pergi!"

"Kemana?"

"Tempat aku bekerja!"

"Ha! Itu hanya rumah sakit jiwa!"

"Itu juga termasuk pekerjaan!!!"

"Ya, ya, ya. Menjaga orang yang sakit jiwa."

"..."

"Pergi-pergi!"

"Kalau begitu aku pergi dulu!"

Fei Ran berjalan pergi menuju rumah sakit jiwa dan meninggalkan Nathan sendiri dirumah besar itu.

Yang tidak diketahui Fei Ran adalah Nathan menatap kepergiannya dari balik jendela lalu bergumam.

"Pria ini benar-benar tidak takut mati..."

-

-

-

-

[Bersambung...]