Bab. 25
Rumah Williams.
Alvaro menatap rumah yang kosong dan sepi dengan terkejut.
"Ibu!"
"Ayah!"
"Paman! Bibi!"
"Kakek!"
"Nenek!"
"Varo pulang! Kalian dimana?"
Alvaro mencari rumah yang kosong dengan panik lalu dia melihat kepala pelayan yang sedang membereskan rumah dan berlari menuju kearahnya.
"Paman Sam dimana mereka?"
Kepala pelayan Sam menatap Tuan Mudanya dengan kasihan lalu dia berjongkok dan mengusap kepala Alvaro dengan pelan.
"Mereka pergi."
"Ah... Kemana?"
"Mereka sedang liburan."
"Tapi kenapa mereka tidak membawa Varo."
Alvaro menundukkan kepalanya lalu dia menatap kepala pelayan dengan mata sedih.
Sam menurunkan matanya lalu berkata secara halus.
"Tuan Muda sedang bersekolah jadi mereka tidak bisa membawamu."
"Bukankah sepupu-sepupu ku pergi bersama mereka."
"Uhh... Tuan Muda jangan sedih, oke? Paman memberikanmu permen ya~ jika kamu makan permen, sedih mu akan menghilang karena rasa manis yang ada di lidah akan membuat mu merasa bahagia kembali."
Alvaro menatap permen yang ada ditangan kepala pelayan dan mengambilnya dengan bingung lalu dia mencobanya, setelah itu mata biru laut dalam Alvaro menjadi sangat cerah.
"Paman ini sangat manis!"
Sam tersenyum dan memberikan wadah besar yang berisi banyak permen didalamnya.
"Ini untukmu."
"Terimakasih Paman!"
Saat Alvaro akan pergi dia menghentikan langkahnya dan menatap Sam dengan senyum manis.
"Paman meskipun mereka tidak menyukaiku dan membenciku, Varo akan bekerja keras agar mereka bisa menyukai ku dan Varo juga bisa merasakan dan mendapatkan kasih sayang mereka jadi teman-teman disekolah tidak akan mengatakan bahwa Varo adalah anak yang ditinggalkan. Jadi terimakasih paman atas permennya yang membuatku menjadi sangat senang dan bersemangat. Selamat tinggal paman~"
Sam tertegun dan matanya menjadi merah karena Tuan Mudanya adalah anak yang sangat baik dan tidak pernah mengeluh meskipun emosinya yang selalu berubah-ubah.
Alvaro menyenandungkan lagu dengan langkah yang ringan dia berjalan menuju kamarnya karena dia sedang dalam suasana hati yang sangat baik.
Menyimpan wadah yang berisi banyak permen dimeja dia bergumam.
"Varo akan mengambil satu setiap bulan agar aku bisa bekerja keras untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari mereka, tapi jika permen ku habis..."
Mata biru laut dalam Alvaro menjadi gelap sejenak lalu dia kembali tersenyum cerah dan pergi untuk mengerjakan tugas yang sekolah berikan.
Gambar itu berubah kembali sebelum Elvano merespon.
"Apa yang harus lakukan...?" Bocah berumur 11 tahun menatap permen yang hanya tersisa setengahnya dengan sedih.
"Aku sudah mencoba semua cara kenapa mereka belum juga menyukaiku...?"
"Kenapa kalian hanya menyukai Vira, bagaimana dengan ku?"
"Varo telah membuat banyak prestasi agar kalian bisa bangga padaku. Tapi kenapa..? Bisakah kalian memberikan sedikit senyum untukku?"
Elvano menatap ruangan yang berbeda dari sebelumnya karena sekarang ruangan ini memiliki banyak piala, atau penghargaan-penghargaan yang luar biasa yang disimpan di empat lemari disudut ruangan lalu menatap bocah yang sangat kesepian didepannya dengan sedikit rasa sakit dimatanya, mungkin karena mereka terhubung dia bisa merasakan perasaan kesepian dan keputusasaan didalam hatinya yang membuat Elvano merasa sedih. Dia mencoba mengulurkan tangannya tapi tangannya melewati tubuh bocah itu yang membuat Elvano tertegun.
"Tidak Varo! Kamu pasti bisa melakukannya!" Alvaro menyemangati dirinya sendiri dan membuat senyum percaya diri.
Alvaro berjalan keluar dari kamarnya lalu dia melihat kakeknya yang sedang duduk disofa dengan tenang membaca dokumen yang ada ditangannya.
"Kakek!"
Felix menatap cucunya yang berlari kearahnya dengan tidak persetujuan dimatanya karena perilakunya yang tidak terkendali.
"Ada apa?"
"Kakek, kenapa kalian tidak menyukaiku?" Alvaro memberanikan dirinya untuk menatap kakeknya yang sedang menatapnya dengan ketidaksenangan dimatanya.
"Kasih sayang...?"
Felix tertawa terbahak-bahak dan menatap Alvaro yang memiliki kepercayaan diri bahwa keluarga ini ada karena kasih sayang, lalu dia berpikir agar cucunya bisa dengan cepat mewarisi perusahaannya dari tangan anaknya yang bodoh (ayah Alvaro) dia membuat senyum lembut.
"Siapa yang Varo katakan tidak menyukaimu?"
Melihat kakeknya yang tidak marah karena perkataannya, Alvaro menarik ujung baju Felix dengan pelan.
"Varo hanya merasakan kalian tidak menyukaiku"
"Mengapa?"
"Kenapa kalian selalu menatap ku dengan dingin?" Alvaro menatap Felix dengan bingung.
Felix membeku lalu dia menyipitkan matanya karena perasaan cucunya ini terlalu tajam dan berkata dengan pelan.
"Itu karena mereka tidak bisa mengatakan bahwa mereka menyayangi mu, mereka merasa malu."
"Malu...?"
"Ya... Malu. Mereka malu untuk mengatakannya."
"Ah..."
"Jika Varo ingin mendapatkan perhatian mereka kenapa Varo tidak belajar dari kakek?"
"Oke! Terimakasih Kakek!"
Felix menatap kepergian Alvaro dengan tenang.
Alvaro yang kembali kekamar dengan perasaan senang lalu menatap langit-langit kamarnya dan bersenandung untuk menyanyikan lagu tidur untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian.
"Kakek kita akan kemana?" Alvaro melihat jalan yang mereka lewati dengan bingung.
"Perusahaan."
"Apakah itu tempat Kakek bekerja?" Alvaro menatap Felix dengan tatapan bersemangat.
"Ya.."
"Lalu nenek?"
"Nenekmu sedang pergi keluar negeri."
"Kapan dia akan kembali."
Felix mengerut keningnya karena berisik tapi dia masih menjawab pertanyaan Alvaro.
"Tahun depan."
Alvaro berhenti berbicara karena dia melihat kerutan di dahi kakeknya.
Gambar itu terus berubah.
Alvaro menekukkan kakinya dalam keadaan berlutut sambil menundukkan kepalanya dan tidak bersuara.
Ctak!
Ctak!
Ctak!
Ctak!
Suara cambuk yang menyentuh tubuh terdengar diruangan sepi dan kosong.
"Apa kamu tahu kesalahanmu Varo?" Suara tua yang lembut terdengar diruangan itu tapi tangannya yang mengayunkan cambuknya sangatlah keras.
Ctak!
Ctak!
"Aku tahu Kakek..." Dengan suara serak dan bergetar Alvaro mengakui bahwa semua itu adalah kesalahannya meskipun dia tidak tahu apa yang dia lakukan salah.
"Cucuku kamu harus bisa hidup dengan sempurna jangan seperti ayahmu yang ceroboh itu. Varo adalah kebanggaan Kakek jadi teruslah seperti ini." Felix menatap Alvaro dengan bangga karena cucunya ini sangat pintar dan mudah diatur dari pada anaknya yang masih membutuhkannya untuk mengatur perusahaan itu, dan mereka selalu bertengkar untuk hak waris seolah-olah dia akan mati.
Alvaro menatap Felix yang menatapnya dengan bangga dan senyum diwajahnya dengan tatapan bersinar dia mengabaikan bahwa Kakeknya ini telah menyiksanya.
"Benarkah kakek?"
"Ya. Varo akan selalu menjadi kebanggaan Kakek."
Alvaro berdiri dan memberikan Felix senyum manis lalu dia menurunkan senyumnya dan berkata kepada Felix dengan tertekan.
"Tapi mereka masih tidak menyukaiku."
"Varo harus bisa membuat perusahaan kakek menjadi lebih baik, mungkin mereka akan menatapmu dengan bangga." Felix mengubah pembicaraan.
"Varo, besok adalah ulang tahunmu apa kamu ingin pergi ke suatu tempat atau ada yang kamu inginkan?"
Alvaro menekukkan matanya dengan bahagia.
"Bisakah kakek mengajakku ke taman bermain?"
"Varo maafkan kakek karena besok kakek tidak akan bisa menemanimu karena akan ada pertemuan dari perusahaan."
Senyum diwajah Alvaro membeku lalu menganggukkan kepalanya.
"Tidak masalah kakek. Kalau gitu bawakan Varo kue ulang tahun, oke?"
"Oke."
Alvaro kembali tersenyum dan pergi untuk mengobati luka yang ada dipunggung nya.
"Paman Sam!"
Saat dalam perjalanan kembali ke kamarnya Alvaro melihat Paman Sam yang sedang berbicara dengan seseorang dan berlari menuju kearahnya tapi sebelum dia akan berbicara dengan Paman Sam dia merasakan cahaya dingin dimatanya lalu kepala Paman Sam terbang dan darahnya mengenai wajahnya yang kaku.
Orang itu berbalik pergi meninggalkan Alvaro yang menatap tubuh Paman Sam yang kehilangan kepalanya dengan tatapan kosong.
Ah...
Darah...
Paman Sam...
Dengan wajah kosong dia menuju kepala Paman Sam dan mengambilnya untuk memasangkan kembali pada lehernya yang kosong.
Uh...
"Paman bangun, apa kamu sedang bercanda denganku?" Dengan wajah kaku Alvaro memanggil kepala pelayan Sam yang kini sudah tak bernyawa.
"Paman..."
Mata Alvaro menjadi merah, dia tahu jika Paman Sam sudah mati tapi dia tidak ingin mengakuinya.
"Paman bangun..."
"Paman.. hiks.. hiks.."
Lingkungan yang sepi tidak membuat seseorang menyadari bahwa seseorang telah mati disini dan seorang anak kecil sedang memeluk kepala yang terlepas dari tubuh sambil menangis.
Setelah beberapa menit Alvaro menarik tubuh Paman Sam dan menguburkannya dibelakang rumah dengan mata merah dan bengkak bahkan dia melupakan bahwa tubuhnya sedang terluka dan mengeluarkan darah karena menarik luka yang masih mengeluarkan darah.
"Paman kenapa kamu meninggalkanku?"
"Apa kamu sudah tidak menginginkan Varo lagi?"
"Paman..."
Suara Alvaro menjadi serak dan dingin bahkan matanya menjadi gelap.
"Paman jika kamu ingin pergi, pergi saja."
...
Alvaro menunggu Kakeknya diruang tamu sambil menatap jam yang terus berdetak.
Tapi kakeknya yang belum juga pulang menurunkan semangat Alvaro yang sedang menunggu kue ulang tahunnya.
Jam terus berdetak hingga menunjukkan pukul 00.00 malam, Alvaro melihat kearah pintu dengan kecewa karena kakeknya yang belum juga pulang, tapi pada akhirnya dia berbalik pergi menuju kamarnya.
Gambar berubah kembali.
Alvaro menatap semua yang ada disekitarnya dengan dingin tapi tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya berhenti dan mendengar suara itu.
"Apa kamu tahu, tubuh tuan kecil penuh dengan cambukan."
"Apa?! Apa keluarganya menyiksanya?!"
"Tidak! Kamu tahu aku telah bekerja disini selama beberapa tahun tapi dalam beberapa bulan ini wajah bos selalu tersenyum untuk membanggakan cucunya yang sangat pintar dan mengabaikan wajah Tuan Andrian yang gelap."
"Bukankah tuan kecil adalah anaknya Tuan Andrian?"
"Ck, keluarga itu adalah keluarga orang gila. Mereka ada hanya untuk kepentingan mereka dan tidak akan pernah memiliki kasih sayang yang mendasar untuk anggota keluarganya sendiri, apalagi anak pertama mereka yang tidak diinginkan."
"Lalu apa masalahnya dengan tubuh tuan kecil yang terluka dengan bos?"
"Bos selalu menuntut semuanya dengan sempurna, apalagi tuan kecil yang diajarkan secara pribadi olehnya kamu tahu..."
"Apa karena itu..."
"Yah..."
"Aku merasa kedinginan, apasih yang membuat tuan kecil masih menatap bosnya dengan tatapan berbinar dengan kagum..? Segitu dengan jelas bos sudah menyiksa anak dibawah umur untuk menuntutnya menjadi sempurna."
"..."
Alvaro membeku lalu berbalik pergi seolah-olah dia tidak pernah mendengar suara-suara itu.
[Sudah aku katakan, kakek mu membohongimu.]
[Berkali-kali kami sudah mengatakannya, mereka tidak akan pernah memberikan kasih sayang dan cinta mereka untukmu, kenapa kamu sangat terobsesi dengan kasih sayang palsu itu..?]
"Diam!"
Elvano menatap dengan bingung karena Alvaro yang berteriak diudara karena dia tidak pernah melihat ada seseorang disekitarnya.
Alvaro menarik napas dalam-dalam dan pergi, tapi disudut matanya dia melihat Fei Ran sedang menyantap sarapan kecil yang ada disudut ruangan yang membuatnya menghampiri Fei Ran yang masih tenggelam dengan rasa kue-kue yang dia makan dan tidak menyadari bahwa Alvaro ada dibelakangnya.
"Fei, kenapa kamu bisa ada disini?"
"Uhuk! Uhuk!"
Fei Ran tersedak dan mengambil minum yang ada dimeja dan menelannya dengan cepat.
"Kenapa kamu bisa ada disini..?"
Fei Ran bertanya balik pada Alvaro sambil melotot marah.
"Ini akan menjadi perusahaan ku cepat atau lambat."
"Ha! Seolah-olah ini adalah milik keluargamu."
"Ini milik kakekku."
Jawaban Alvaro membuat Fei Ran membeku lalu merangkul bahu Alvaro dan memberikan senyum manis dan terbaiknya.
"Kamu tahu makanan mu disini sangat enak, bisakah kamu memberikan koki itu padaku?"
Alvaro menatap Fei Ran dan memalingkan kepalanya dan menjawab dengan kosong.
"Tidak."
"Ah..."
Fei Ran merasa kecewa karena temannya ini tidak bisa memberikan koki yang membuat kue yang sangat lezat padanya.
"Tapi..."
"Tapi apa?" Fei Ran menatap Alvaro dengan harapan dimatanya.
"Jika kamu menjadi bawahan ku kamu akan bisa mendapatkan kue sebanyak apapun yang kamu mau."
"Sial! Emang aku bodoh, tapi..."
Alvaro menatap Fei Ran dengan tenang.
"Oke! Kamu harus memberiku gaji yang tinggi."
"Um. Kalau begitu aku pergi."
"Dah~ Varo."
Gambar kembali berubah.
"Ayah, ibu, kenapa kalian tidak menyukaiku?"
Alvaro menatap ayah dan ibunya yang sedang bermain dengan adiknya dengan senyum cerah diwajah mereka yang membuatnya sedikit iri.
"Karena kamu bukan anak yang kami inginkan."
Alvaro membeku lalu dia tidak ingin menyerah dengan jawaban yang kurang memuaskan dari mereka.
"Ayah, ibu kenapa? Aku sudah membuat keluarga ini bisa bangga dengan prestasi yang aku dapatkan, tapi kenapa kalian tidak memberiku sedikit saja senyum diwajah kalian."
"Bukankah kamu sudah mendapatkannya." Andrian menatap anaknya sambil menggertakkan giginya karena kesal.
"Apa?" Alvaro menatap kosong pada ayahnya yang sedang menatapnya dengan marah.
"Bukankah kakek mu sudah memberikan itu padamu. Kamu selalu saja mendapatkan perhatian dari kakek mu dan membuatnya melupakan dan mempermalukan anaknya didepan umum."
Andrian mendengus dingin dan kembali bermain bersama putrinya yang lucu.
"Ck, kamu sudah ingin mengambil apa yang sudah seharusnya menjadi milik ayahmu, bukankah kamu ini anak yang sial."
Mendengar perkataan ibunya yang sangat sinis, Alvaro menatap mereka dengan sedikit dingin dimatanya lalu menatap adiknya yang menerima banyak cinta dari orang tuanya dengan cemburu.
"Pergi."
Alvaro berbalik pergi dan tidak ingin melihat mereka untuk saat ini.
...
"Paman, Bibi kenapa kamu tidak menyukaiku?"
Alvaro bertanya pada Paman dan Bibinya yang sedang menonton TV.
Bibi Alvaro menyeringai dan berkata dengan tajam.
"Kamu tahu kenapa? Karena tradisi keluarga ini akan membuat semua kekayaan yang ada akan menjadi milik putra anak pertama dari pemilik rumah ini."
Paman hanya mendengus dingin dan tidak ingin memperhatikan Alvaro.
"Tapi aku tidak menginginkannya. Aku hanya ingin kasih sayang dari keluarga ini."
Bibi Alvaro tertawa terbahak-bahak bahkan menepuk suaminya yang ada disebelahnya karena menurutnya perkataan Alvaro itu sangat lucu.
"Kasih sayang? Cinta..? Kamu bermimpi untuk mendapatkan itu.... Hahahaha~ Alvaro, Alvaro kamu sangat lucu, disini tidak pernah ada yang namanya cinta dan kasih sayang. Kamu tidak akan pernah mendapatkan itu karena kamu tinggal disini, kami disini berkumpul hanya untuk tanggung jawab yang sesuai posisi kita jadi apa yang kamu inginkan tidak akan pernah terkabulkan dalam hidupmu sampai kamu mati. Hahahaha~"
Bahkan Paman Alvaro tersenyum dan tertawa kecil.
Wajah Alvaro menjadi pucat dan berbalik pergi, meninggalkan tawa lucu yang melayang diruang tamu.
Saat Alvaro dalam perjalanan untuk pergi sepupu-sepupunya yang baru saja pulang bermain menatapnya dengan tatapan menghina.
"Anak yang tidak dinginkan, kenapa kamu ada disini?"
"Anak tidak diinginkan?"
"Ya, orang yang tidak akan pernah bisa masuk kedalam keluarga Williams, dia hanya menjadi alat untuk keluarga ini menjadi lebih berkelas karena otaknya yang sangat pintar yang bisa membuat siapapun menjadi bangga karenanya."
"Apa kamu merasa bangga?"
"Kamu lucu! Aku tidak akan pernah bangga untuknya karena itu akan membuat semua orang membandingkan ku dengannya. Tapi aku tidak merasa marah karena dia adalah anak yang tidak diinginkan oleh siapapun, jadi untuk apa aku iri dan cemburu padanya."
"Hahahaha"
Alvaro mengabaikan penghinaan yang sepupunya katakan dan pergi dengan kepala tertunduk.
Gambar itu berubah.
Elvano menatap dengan bingung karena disini sangat gelap bahkan dia yang telah mengembangkan mata yang bisa melihat dalam kegelapan sedikit tidak nyaman karena ini terlalu gelap.
"Aku seharusnya tidak melahirkan mu!"
"Alvaro! Kami tidak akan pernah memberikan apa yang kamu inginkan, kenapa kamu tidak melepaskan obsesi yang tidak jelas ini?!"
"Berhenti itu sakit!"
"Varo berhenti oke? kakek akan menemanimu untuk pergi ke taman bermain dan memberikanmu kue ulang tahun yang kamu inginkan."
"Ah!"
"Ughhh..."
"Berhenti!"
"Hehehehe, hahahaha ~ Ah.. aku sudah tidak menginginkan kasih sayang dan cinta kalian lagi. Lalu aku harus bagaimana kakek...?" Alvaro menutup wajahnya dan tersenyum lebar dengan tatapan gila dimatanya.
"Alvaro aku membencimu!"
"Seluruh dunia akan membencimu!"
"Ah... Benci aku...? Kenapa?"
"Tidak akan pernah ada orang yang bisa mentoleri mu! Mereka akan membenci dan mengutuk mu! Bahkan mungkin jika kamu mati mereka akan merayakannya dengan bahagia!"
"Diam!"
"Hah... Hah.. hah.." Suara napas yang berat membuat Alvaro menjadi tenang dan berkata dengan malas.
"Yah... Jika itu sebelumnya Varo pasti akan memikirkan ini, tapi Varo merasa bosan, Varo bahkan sudah berencana untuk menghancurkannya. Ini bagus bukan, mereka tidak akan pernah membenciku dan bisa menemaniku selamanya dalam diam, oke? Jika mereka tidak bisa diam atau melawan, aku akan membuatnya menjadi boneka dan mempertunjukkannya dalam teater terbesar didunia."
"Kamu gila!"
"Ya, ya, ya aku gila, aku gila karena kalian!" Alvaro berteriak histeris dan berkata dengan marah.
"Aku... Aku hanya menginginkan kasih sayang kalian... Kenapa kalian tidak bisa mengabulkan sesuatu yang mudah."
"Tapi kalian dengan mudahnya memberikan kasih sayang dan cinta itu pada Vira?! Varo merasa cemburu padanya, kenapa dia bisa mendapatkan kasih sayang dan cinta dari kalian saat dia tidak pernah merespon akan kasih sayang dan cinta yang kalian berikan?!"
"Kalian mengabaikan ku selama bertahun-tahun, kalian juga yang selalu mencoba untuk membunuhku.. kenapa?!"
"Aku tidak menginginkan harta itu! Aku sudah menanggung penghinaan dan simpati dari semua orang yang selalu saja menatapku kemanapun aku pergi! Musuh kalian membenciku dan selalu membuat konspirasi yang bisa membunuhku apapun yang terjadi! Varo lelah! Aku hanya ingin menghancurkan semuanya, semua bukti yang pernah ada tentang keberadaan ku.. tapi..."
Aku masih menyukai dan membenci dunia ini.
Aku tidak ingin dunia ini hancur, yang aku ingin hancurkan adalah manusia-manusia itu, mereka terlalu munafik. Bahkan jika dia tahu bahwa semua orang tidak jahat dan munafik tapi itu hanya sedikit dan itu juga bukan milikku.
Aku hanya ingin seseorang bisa menoleransi ku, menjaga ku dengan tulus, mencintai ku, dan segala sesuatu nya yang hanya bisa menjadi milikku dan spesial hanya untukku dan dia juga bisa menemaniku hingga akhir selamanya.
Kenapa itu sangat sulit...
Elvano yang mendengar kata hati Alvaro membeku dan menatap Alvaro yang sudah keluar dari tempat yang sangat gelap dengan berlumuran darah. Bocah yang berusia 12 tahun itu kini menangis disudut ruangan dalam diam yang membuat Elvano tertekan dan mencoba memeluknya karena umurnya hanya tiga tahun lebih muda darinya.
Alvaro mengangkat kepalanya dan menatap Vira yang menatapnya dengan ketakutan lalu berdiri dan mengangkatnya.
Alvaro mengeluarkan ponselnya
"Bawa adikku kerumah ku."
"Baik Tuan."
Alvaro datang menuju kamarnya dengan kepala menunduk. Saat dia masuk ke kamarnya dia berdiri didepan meja dan menatap wadah besar yang kini kosong yang seharusnya berisi permen dengan tenang.
"Habis.."
"Ya. habis... seperti aku yang membunuh mereka semua. Paman Sam kamu berbohong padaku. Permen itu manisnya hanya bisa bertahan sebentar setelah itu akan terasa pahit. Paman kenapa kamu harus pergi meninggalkan Varo ditempat dingin dan sepi..."
Kali ini gambarnya berputar dengan sangat cepat.
Elvano kini menatap Alvaro yang sudah berusia 25 tahun dengan kaget. Wajah ini dan wajah dalam ingatannya menjadi tumpang tindih hanya saja jika ingatan sebelumnya memiliki mata yang penuh kebencian, kemarahan dan rasa sakit maka mata Alvaro sekarang membuat jantungnya bergetar.
Mata itu terlalu kosong, dingin, suram dan gelap bahkan dia yang sudah gila merasa ketakutan akan matanya yang terlalu tidak manusiawi bagaikan patung tak bernyawa yang bisa bergerak dan melihat semuanya dengan dingin dan tak tersentuh.
Elvano juga kini sekarang bisa mendengar kutukan, jeritan, kemarahan, kesenangan, dan kesedihan yang melayang diudara dengan mata yang rumit.
[Apa pilihanmu...?]
Apa?
[Kamu pilih, karena dia akan mati dalam kecelakaan pesawat karena bawahan nya akan membunuhnya.]
Apa pilihan nya?
[Kembalikan dia pada dunia yang seharusnya dia berada atau biarkan dia mati disini dan jiwanya akan menghilang dan hanya kamu yang bertahan meskipun itu hanya kesadaran yang tersisa.]
Aku ..
Elvano menatap Alvaro yang sedang mengerjakan dokumen yang menumpuk di mejanya dengan fokus.
Alvaro menutup matanya dan berkata dengan kosong didalam hatinya.
"Seseorang biarkan aku mati."
Elvano menurunkan matanya dan mencoba mengusap kepala Alvaro dengan pelan dan berkata pada orang itu yang sedang menunggunya membuat pilihan.
Biarkan jiwa ku kembali kemana tempat yang seharusnya dia berada.
[Kamu yakin? Jika kamu memberikan kesempatan ini, kesadaran mu akan tertelan oleh nya.]
Ya, karena aku adalah dia dan dia adalah aku jadi untuk apa aku harus membuat pilihan karena aku atau pun dia adalah satu.
[Hahaha~ aku tahu kamu akan membuat pilihan ini. Jadi aku akan memberikan hadiah untukmu. Selamat menjalani kehidupanmu yang ke tujuh karena ini yang terakhir bagimu untuk bereinkarnasi, selamat tinggal~]
Apa?
Kesadaran Elvano tertelan saat Alvaro yang mati dalam ledakan pesawat.
-
-
Seorang remaja terbangun dengan sakit kepala yang parah dan pusing yang menghantamnya karena berbagai ingatan yang tercampur yang membuatnya bingung, remaja itu berdiri sambil bergumam dan memegang kepalanya.
"Siapa aku...?"
Dengan tubuh yang bergoyang, remaja itu tidak sengaja menabrak kaca yang ada disebelahnya dengan keras. Tapi dia mengabaikannya dan menginjak pecahan kaca itu dan menepuk kepalanya dengan keras karena dia merasakan penglihatannya berputar.
"Dimana..?"
Remaja itu menyipitkan matanya tapi pemandangan yang ada didepannya selalu buram yang membuat wajahnya menjadi gelap. Selain sakit kepala yang parah dan tidak mengetahui siapa dia, dia kini tidak bisa melihat dengan jelas yang membuatnya sangat kesal.
Seseorang mendobrak pintu dengan keras.
"Xavier!"
"Kak Vano!"
Suara wanita dan pria yang khawatir dan panik membuat remaja itu mengangkat kepalanya tapi yang pertama kali dicari adalah suara wanita itu. Setelah dia mencari dimana suara itu berasal dia melihat bayang buram yang menghampirinya dengan mata kuning yang cerah yang kini menatapnya dengan khawatir.
Ah....
Siapa...?
Aleta melihat Elvano memiringkan kepalanya dan menatapnya dengan ragu dengan mata yang tidak fokus apalagi dia sedang berdiri diantara pecahan kaca yang membuat kakinya berdarah dan membuat Aleta tertegun dan berlari menghampiri dan mencoba menariknya.
Tapi remaja itu menghindari tangan yang akan menyentuhnya dan menatap wanita yang sedang tertegun.
"Kamu siapa..?"
"Kakak!"
Gallendra mencoba menyentuh Elvano dan menariknya dari pecahan kaca yang menembus kakinya.
"Jangan sentuh aku."
Remaja itu mundur beberapa langkah dari mereka. Jadi yang Arfian lihat saat masuk adalah wajah Aleta yang tertegun dan Gallendra menatap Elvano dengan tidak percaya.
"Ada apa?"
"Fian, Kak Vano ngak mengingat gue dan Leta." Dengan suara bergetar Gallendra menatap Arfian dengan mata berkaca-kaca.
"Enggak inget..?"
Arfian membeku dan menatap Elvano yang kini memiliki wajah waspada dan menatap sekitarnya dengan asing.
Menatap wajah Aleta yang pucat, Arfian bertanya dengan ragu.
"Leta kenapa si Vano bisa seperti ini..?"
"Gue juga ngak tau.." Aleta menundukkan kepalanya.
"Tapi sebelumnya dia hanya demam dan aku sudah mengompresnya."
Gallendra mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelpon ibu dan ayahnya yang sedang berlibur dirumah.
Remaja itu melihat wanita yang ada didepannya merasa sedih dan menyalahkan dirinya sendiri membuatnya mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala wanita itu dengan pelan.
Drttt.... Drrrrtt...
"Halo.. Lendra ada apa?"
"Bu.... "
Mendengar suara Gallendra yang akan menangis membuatnya panik.
"Sayang ada apa? Shht, jangan menangis, oke? Katakan pelan-pelan apa yang ingin kamu katakan."
"Bu.... Kak Vano..."
Nyonya Chelsea dengan wajah pucat bertanya dengan panik.
"Ada apa dengan Vano?!"
"Dia tidak mengingatku, bahkan dia tidak mengingat Leta.."
"Apa?! Bagaimana ini bisa terjadi?! Tunggu! Kirimkan alamat rumahnya dan kami akan pergi dengan dokter."
"Yahh..."
Nyonya Chelsea menarik Tuan Damian dengan wajah pucat yang membuatnya mengerut keningnya dalam kebingungan.
"Apa yang Lendra katakan?"
"Lendra berkata Vano tidak mengingatnya."
"Apa?!"
Saat mereka sedang terburu-buru akan pergi sebuah mobil berhenti didepan mereka yang membuat mereka terkejut. Tuan Raditya, Nyonya Helena dan Daniel yang baru saja datang menatap Damian dan Chelsea yang memiliki wajah pucat sambil terburu-buru dengan aneh.
"Kakak, kalian apa pergi kemana?"
"Daniel...?"
Damian menatap kedatangan mereka dengan terkejut tapi yang membuatnya sangat terkejut adalah Daniel yang ada bersama ibu dan ayahnya.
"Ya... Kalian akan pergi kemana?"
"Pergi kerumah Aleta."
"Gadis kecil yang manis itu?"
"Ya."
"Damian dokter sudah berada dijalan."
"Ayah, ibu Daniel ayo kita pergi."
"Untuk apa kalian pergi ke sana?" Raditya menatap aneh pada anaknya yang panik.
"Vano.." Chelsea memeluk Nyonya Helena dengan tubuh bergetar.
Elvano, orang yang bisa membuat keluarga Dirgantara bergetar dan panik karena kejadian sembilan tahun yang lalu masih membuat mereka trauma.
"Kalau begitu ayo pergi!"
-
-
-
-
[Bersambung....]