"Kalian sama sekali nggak tahu apa itu penyesalan. Bahkan meskipun itu bukan dosa, tapi, itu tetap menghantuiku dengan cara yang tak bisa kumengerti... Rasanya itu membuatmu berpikir kalau kau dikutuk oleh Tuhan." Ujar remaja berseragam putih-biru itu.
"Penyesalan?" Rama berbisik pelan. Dia penasaran, penyesalan macam apa yang membuatnya jatuh pada titik ini?
Mata hitam legamnya terpaku pada menara menjulang yang tampak sangat jauh itu.
Jujur, Rama sendiri merasa tak nyaman dengan keberadaan remaja SMP itu. Mengingat ini juga merupakan pertama kalinya ia bertemu dengan manusia lain yang juga memiliki kisah aneh yang mirip dengannya.
Mata remaja itu memancarkan kesedihan yang teramat sangat dan seakan menunjukkan kalau ia sudah lama terpuruk dalam rasa putus asa yang luar biasa.
Padahal tadi Rama sempat mengira kalau dia adalah anak berandalan, tapi sepertinya dugaannya salah.
Dia jelaslah memiliki kisahnya sendiri.
"Bukannya aku mau ikut campur, tapi menara itu sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Kak." Cika angkat bicara. Gadis kecil bermata biru itu mulai berkeringat dingin lagi. "Kakak memang bisa mendapatkan apa yang Kakak inginkan di puncaknya, tapi itu bakalan susah banget, loh. Salah sedikit saja, Kakak bisa mati."
Entah kenapa tiap kali mendengar kata "mati" itu selalu membuat Rama merinding. Bahkan, Cika menyebutnya begitu saja seakan itu adalah hal yang wajar.
"Aku nggak peduli." Remaja itu masih bersikukuh dengan keputusannya. "Pilihanku saat ini cuma dua; hidup seperti mati, atau aku bisa berusaha. Nggak ada pilihan lain lagi."
Entah kenapa Rama jadi merinding setelah mendengar kata-kata anak itu. Seakan-akan dia sudah pernah melalui jalan yang amat berat.
Meski begitu, sepertinya itu memang benar. Hidupnya pasti tidak sederhana seperti anak-anak SMP pada umumnya, karena jika tidak begitu, maka tidak mungkin ia bisa melihat Cika dan menara itu saat ini juga.
Ia mampu melihat seperti Rama, dan itu adalah bukti kalau ada yang salah dengan kenyataan hidupnya.
"Ngomong-ngomong, aku Juardi Prasetyo. Panggil Juar aja." Remaja itu berbalik menoleh memandang Rama dan Cika.
"Eh... Aku Rama, dan ini Cika." Balas Rama yang masih keheranan.
"Jadi, aku boleh ikut dengan kalian kan?" Juar bertanya sekali lagi. "Aku udah benar-benar nggak peduli lagi dengan yang lainnya. Yang paling penting sekarang, adalah menara itu."
"Ah, tanya Cika kalau soal itu, soalnya aku juga belum tahu banyak." Jawab Rama ragu-ragu.
"Hmm... Aku juga ngga punya hak buat melarangmu sih. Cuma, gerbang menara itu sebenarnya masih belum terbuka saat ini." Cika menjelaskan. "Soalnya kalau menurut cerita dulu-dulu, gerbangnya itu biasanya terbuka dua belas hari setelah kemunculannya."
"Berarti... Tinggal tujuh hari lagi kan?" Juar tampak berpikir keras. "Baiklah kalau begitu." Katanya lagi dengan wajah yang penuh keyakinan.
"Jadi, apa yang kau akan kau lakukan sampai saat itu tiba?" Rama bertanya. Pasalnya, dia masih penasaran dengan niatan anak itu soal masuk ke menara. Bahkan, siapapun bisa tahu hanya dengan melihat wajahnya, kalau Juar sepertinya sangat serius dengan pilihannya itu.
"Ya, untuk saat ini, aku akan terus membunuh makhluk-makhluk hitam itu, agar aku menjadi lebih kuat." Ungkap remaja itu.
"Makhluk hitam? Maksudnya Dosa?" Rama bertanya pada Cika. Mengingat kemarin-kemarin dia pun selalu memanggil mereka dengan sebutan itu.
"Dosa? Jadi begitu ya cara kalian menyebut mereka." Juar bergumam pelan.
Tiba-tiba saja, kilatan cahaya emas timbul dari tangan kanan Juar, lalu dalam sekejap mata sebuah pedang emas yang bersinar terang muncul begitu saja dalam genggamannya.
Rama dan Cika dibuat tercengang oleh pemandangan itu. Pasalnya, pedang itu benar-benar terlahir dari cahaya murni, dan itu sangatlah indah. Itu amat berkilauan dan ajaib, sampai-sampai Rama saja berhasil dibuat kehabisan kata-kata.
"Kau... Bukannya itu kekuatan Pedang Mentari?" Cika tampak syok ketika melihat kenyataan itu dengan matanya sendiri.
"Aku tidak tahu apapun soal apalah itu. Intinya, aku bisa melakukan ini dari tahun lalu... Sejak ayahku meninggal." Juar berbalik ke belakang lagi dan kembali memakukan pandangannya pada menara itu.
Rama masih di ambang kebingungannga. Dia sama sekali tidak bisa memahami situasi ini. Segalanya terlalu tiba-tiba.
"Ngomong-ngomong, apa sebenarnya Pedang Mentari yang kamu maksud itu?" Rama bertanya pada Cika.
"Ah... itu adalah salah satu kemampuan unik yang membuat seseorang bisa menciptakan pedang dari cahaya itu sendiri. Dan konon, penggunanya akan semakin kuat selama matahari masih ada." Jelas Cika yang berkeringat dingin.
Meski kedengarannya sederhana, tapi itu jelaslah kemampuan yang terhitung gila. Pasalnya, anak itu akan semakin kuat selama mentari masih bersinar di langit.
Kekuatan anak itu bisa dibilang sama gilanya dengan kunci meteor atau kunci petir milik Rama.
"Ya sudahlah, kalau begitu aku mau pergi dulu." Juar melepaskan genggamannya, dan pedang cahaya itu pun hilang seketika seakan-akan itu memang tidak pernah ada.
"Eh? Kamu mau ke sekolah?" Cika bertanya.
"Nggak lah. Lagian sekarang juga masih jam lima." Ia mulai berjalan meninggalkan lapangan itu menuju ke suatu lorong tak jauh dari dana. Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba terhenti seolah ia baru saja teringat akan satu hal. "Oh, kalian mau ikutan nggak?"
"Loh? Kakak mau pergi kemana emangnya?" Rama terkejut.
"Aku mau pergi ke sarang yang dipenuhi makhluk-makhluk hitam itu. Kalau nggak salah, tadi kalian menyebutnya Dosa, kan? Aku mau ke tempat mereka berkumpul. Dekat doang kok." Ajak Juar acuh tak acuh.
"Sarang, ya?" Cika tersenyum tipis. "Bagaimana kau bisa tahu tentang itu?"
"Yah cuma kebetulan aja kok. Soalnya setiap kali aku ke sana, pasti makhluk-makhluk itu juga selalu ada di sana. Mereka sangat banyak, berkerumun seperti semut. Makanya aku menyebutnya Sarang." Jelas Juar.
"Sungguh kebetulan yang aneh. Soalnya kami juga memanggil tempat semacam itu dengan sebutan itu." Cika mulai berjalan menyusul Juar, dan Rama pun mengikut. "Oh iya Juar, sudah sejauh apa kamu masuk ke dalam Sarang itu?"
"Hmm, Sarangnya kayaknya lumayan luas sih. Toh aku sendiri pun nggak pernah masuk terlalu dalam. Paling aku berhenti cuma sampai depan gerbang doang. Soalnya aku datang ke sana cuma buat melawan makhluk-makhluk hitam itu aja."
"Berarti, selama ini, disana kamu cuma melihat Dosa aja kan?"
"Yap."
Suasana di lorong itu masih senyap. Rumah-rumah berjejer rapi di sepanjang jalan, dan hanya segelintir orang saja yang terlihat sudah mulai mengawali hari mereka. Itupun, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang lanjut usia, sementara yang muda-mudi saat ini mungkin tengah bersiap untuk kerja atau sekolah.
Entah kenapa pemandangan ini terasa cukup aneh di mata Rama.
Semua orang ini menjalani kehidupan mereka seakan tak ada yang aneh dengan dunia ini. Segalanya berjalan seperti biasa di sekitar mereka, seakan tak ada satupun keajaiban yang tersisa.
"Eh, tapi sarang itu apa lagi?" Rama membisikkan pertanyaannya pada Cika.
"Sarang, itu adalah sebutan untuk tempat-tempat yang sudah ada sejak zaman kuno dan nggak tercatat di dalam peta. Tempat berbahaya yang hampir tidak pernah terjamah oleh makhluk hidup, tempatnya seperti labirin, dan biasanya, Dosa juga selalu bersembunyi di sana saat matahari sedang terbit. Dan oh, di dalam Sarang juga kadang ada makhluk-makhluk buas yang berbahaya dan benda-benda berharga loh." Jelas Cika.
"Ah..." Perasaan Rama jadi terasa tak enak ketika mendengar tentang itu. Sepertinya, kini dia harus bertarung.
"Astaga, kamu tenang aja deh. Lagian, kamu juga punya Pusaka gila itu kan? Aku jamin, selama kamu punya benda itu di tanganmu, kamu nggak akan tergores sedikitpun kok. Lagian, aku juga ada kan? Dan Juar pun punya kekuatan yang tak juga tak kalah gilanya loh." Cika tersenyum lebar. "Pokoknya, semuanya akan baik-baik aja deh. Percaya aja." Gadis kecil itu mengacungkan jempolnya.
Setelah sepuluh menit berjalan, mereka pun akhirnya sampai di depan sebuah rumah tua sederhana yang tampaknya sudah lama tidak ditinggali.
"Bau..." Cika berkomentar.
Rumah itu dipenuhi oleh aroma busuk yang menyengat, dan ada banyak botol minuman keras yang berhamburan dimana-mana. Sepertinya rumah ini sering dipakai oleh para pemabuk untuk berkumpul.
Juar menuntun mereka menuju ke dalam salah satu ruangan yang merupakan kamar tidur, mengingat ada satu ranjang usang di situ.
Anak itu lalu menggeser ranjang itu dengan dorongan ringan, dan di lantai tepat di bawah ranjang itu ternyata terdapat sebuah lubang misterius dan tampak cukup menyeramkan.
"Aku nggak menyangka kalau ada Sarang yang belum tercatat di kota ini." Ujar Cika. "Kamu ini termasuk beruntung banget loh Juar."
Rama mengintip ke dalam lubang itu, di dalamnya ada tangga kayu yang menjurus jauh ke dalam kegelapan di bawah sana, dan juga ada banyak kecoak yang merayap di situ.
"Eh... Aku takut kecoak." Ungkap Rama dengan wajah datar.
Namun, Cika dengan mudahnya mengatasi permasalahan itu hanya dengan menjentikkan jarinya dan membuat api muncul membakar semua kecoak itu hingga menjadi abu.
Rama dan Juar heran dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka berdua kini melihat Cika dengan tatapan ngeri.
"Apa? Tadi kamu bilang kamu takut kecoak kan?" Cika mengingatkan lalu gadis itu pun bergerak lebih dulu dan masuk ke dalam lubang itu. "Aneh, aku nggak bisa merasakan keanehan apapun dari dalam lubang ini."
Setibanya mereka di dasar lubang itu, Cika kembali menjentikkan jarinya dan membuat empat bola api muncul mengambang di sekitar mereka untuk menerangi tempat itu.
Tempat itu merupakan sebuah goa luas yang kosong. Dan terdapat pula sebuah gerbang besi tak jauh di depan mereka.
"Jadi, kalian ini semacam penyihir ya?" Juar mengeluarkan isi pikirannya.
"Eh? Aku nggak kok." Rama berkomentar. "Aku manusia juga kayak Kakak. Tapi kalau Cika sih iya."
"Hey, kalian bersiaplah." Cika angkat bicara. Suaranya dingin dan wajahnya tampak serius. "Aku bisa merasakannya... Sepertinya ada ratusan Dosa di balik gerbang itu... Dan kayaknya ada juga sesuatu yang lain." Gadis kecil itu menarik pedang baja dari sarungnya yang tergantung di pinggang kanannya, lalu mengeratkan ikatan perisai di lengan kirinya.
Sementara itu, Rama juga langsung mengeluarkan Kunci Pedang Perak miliknya, Jhodas.
Lengan kiri Rama lenyap seketika setelah ia menggunakan kunci itu di telapak tangan kirinya, dan di waktu yang bersamaan, sebilah pedang perak yang cantik tiba-tiba muncul entah dari mana dan terbang ke dalam genggaman tangan kanan anak itu.
"Apa-apaan..." Juar awalnya sempat terlihat syok ketika melihat kekuatan Rama. Mata remaja itu terpaku pada lengan kiri Rama yang lenyap tanpa bekas. Namun, dia buru-buru menggelengkan kepalanya, dan segera memanggil cahaya untuk membentuk Pedang Mentari di tangannya.
"Baiklah. Ayo." Cika memimpin paling depan. Gadis kecil itu melangkah maju dan membuka gerbang itu tanpa keraguan.
Ya, dan benar saja, terdapat goa yang lebih luas lagi di balik gerbang itu.
Goa yang dipenuhi oleh ratusan sosok hitam pekat yang siluetnya berbentuk persis macam manusia yang berselimutkan api hitam membara.
Mereka memenuhi setiap sudut goa itu, bahkan ada yang sampai hinggap di dinding dan langit-langit goa.
Dosa.
Akan tetapi, ketika menyadari keberadaan Rama, Cika, dan Juar, Dosa-dosa itu pun akhirnya terbangun dan mulai berlari menuju ke arah tiga anak itu seperti sekelompok singa kelaparan yang melihat seekor anak rusa tak berdaya.
Makhluk-makhluk itu menggila seperti sedang kerasukan.
"Tunggu, ini cuma perasaanku aja, atau memang jumlah mereka hari ini lebih banyak dibanding kemarin-kemarin?" Juar heran.
"Aku tahu kamu takut, Rama, tapi jangan berhenti mengayunkan pedangmu, oke?" Cika mengingatkan.
Meski Rama sempat diam membatu karena panik dan takut, tapi, dia akhirnya memaksa kakinya untuk bergerak, dan tangannya untuk mengayunkan pedangnya.
Pertempuran dimulai.
Cika menyelimuti pedangnya dengan cahaya biru yang nampak seperti air, dan gadis kecil itu mengayunkan pedangnya dengan lihai seperti seorang yang tengah menari.
Dia bahkan bisa melompat sangat tinggi, dan bergerak dengan sangat ringan dan cepat layaknya kilat. Sungguh pemandangan yang tak manusiawi.
Sedangkan Juar tampaknya tak ada masalah. Setiap tebasan pedang cahayanya membelah setidaknya sekitaran lima dosa dengan mudahnya. Caranya bergerak pun bisa dibilang cukup lincah, namun dalam taraf yang masuk di akal, tidak seperti Cika tentu saja, yang menandakan kalau remaja itu memang sudah sering melakukan hal semacam ini.
Sementara itu, Rama berusaha untuk melakukan semampunya. Ia menggenggam gagang pedangnya erat-erat di tangan kanan, dan mengayunkannya dengan sekuat tenaga pada Dosa yang menerjang ke arahnya.
Setiap kali ia mengayunkan pedangnya, cahaya perak raksasa yang berbentuk seperti pedang juga selalu muncul mengikuti alur pedangnya, dan menumbangkan setidaknya puluhan Dosa di tiap tebasannya.
Ketika ia mengayunkan pedangnya dari kiri ke kanan, pedang cahaya itupun melakukan hal yang sama, muncul lalu lenyap. Dan ketika ia mengayun dari atas ke bawah, pedang cahaya itu pun muncul dan hilang lagi. Persis seperti bayangan dari pedang di tangan Rama.
Selama setengah jam, ketiga anak itu terus menerus mengayunkan pedang mereka untuk menumpas semua Dosa itu, hingga akhirnya, mereka pun berhasil memenangkan pertempuran.
Sekarang sudah tak ada satupun Dosa yang tersisa, yang ada hanyalah ratusan batu permata yang seukuran dengan kuku jari yang tergeletak di mana-mana.
"Hah... Hah... Hah..." Rama terengah, dan keringan dingin mengalir di sekujur tubuh bocah itu sampai-sampai membuat seragam merah-putihnya basah kuyup.
Juar pun terengah, tapi dia tidak tampak kelelahan, seolah-olah baginya ini hanyalah olahraga.
Namun, yang paling hebat adalah Cika. Tak ada yang berubah darinya, dari awal pertempuran sampai sekarang, dia terlihat tidak kelelahan sama sekali.
Rama sungguh dibuat keheranan.
Anak itu menatap pedang perak di tangannya dengan tatapan kosong.
Ini adalah pertempuran besar pertamanya, dimana ia benar-benar bisa mati kalau ia sampai melakukan satu kesalahan kecil saja.
Tak ada Liel yang melindunginya.
"Astaga..." Rama berusaha mengatur napasnya. "Aku berhasil melakukannya." Rama memandang sekelilingnya. Seulas senyuman kecil terbentuk di bibirnya. "Tapi ngomong-ngomong, bagaimana dengan batu-batu permata kecil ini?"
"Tinggalkan semua Batu Neraka itu. Ini belum selesai loh." Ucap Cika. Ia menjentikkan jarinya untuk memunculkan lebih banyak bola api guna menerangi seluruh tempat itu.
Jauh di depan sana, ada sebuah gerbang lain yang ukurannya jauh lebih besar. Gerbang itu berwarna hitam gelap layaknya malam, dengan sebuah batu ungu raksasa bercahaya yang menempel di bagian tengahnya.
"Kayaknya ada Iblis di balik gerbang ini..." Cika memberitahu sambil melangkah maju menuju gerbang itu.
Meski Juar juga tampak terkejut mendengarnya, tapi dia tetap mengikuti Cika tanpa berkomentar.
Rama pun melakukan hal yang sama, walaupun ia sempat ragu setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Cika barusan, tapi anehnya, kakinya malahan ikut melangkah menuju gerbang itu.
Jujur, jauh di dalam hati kecilnya, anak itu tahu kalau ia tidak seharusnya berjalan ke sana. Ia sadar, namun, Rama terus melangkah.