"Dunia ini jahat, entah kau mempercayainya atau tidak, itu tetap kenyataannya. Sangat jahat..."
Mata Rama seketika terbuka ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Liel.
Anak kurus itu segera mengambil posisi duduk dan memandang sekelilingnya. Tubuhnya terasa agak nyeri. Saat ini dia berada di ranjang di kamarnya, sementara Liel duduk di sisinya sambil memandang ke jendela.
Bocah berambut emas itu termenung entah sedang memikirkan apa dengan wajah kosong yang tampak sangat hampa.
Rama memandang sekelilingnya sejenak, dan sungguh dia merasa sangat ganjil dengan penampakan yang ada pada kamarnya sendiri.
Ruang itu sangat polos dan sederhana, mengingat Rama tidak memiliki terlalu banyak barang; hanya ada satu ranjang di dalam, satu kursi, satu lemari dengan cermin di pintunya, satu pintu keluar masuk, juga satu meja laci di samping ranjangnya, serta satu jendela tepat di atas meja laci. Hanya itu.
Namun, pandangan Rama terhenti pada jendela. Cahaya mentari siang masuk melalui sana, dan hembusan angin bertiup lembut ke dalam kamarnya.
Benar-benar aneh rasanya. Dia tidak suka dengan perasaan yang ada dalam dirinya kala itu. Perasaan yang hanya timbul ketika dia sedang sakit. Sebuah rasa yang membuat dunia di sekitarnya menjadi terasa asing.
"Aku sudah membuat kesalahan yang besar banget loh..." Bocah berambut emas itu kembali angkat bicara, sementara matanya masih tertuju pada jendela. "Tapi... Aku berharap semoga keputusanku sudah benar. Aku nggak menyesalinya, kok."
Rama yang tidak mengerti cuma terdiam sambil memandangi wajah kosong Liel.
"Yah, setidaknya menara itu sudah aku hancurin, jadi aku nggak perlu khawatir lagi." Liel tersenyum kecil, namun sorot matanya masih sama. Kosong. "Coba aja kau melihat aksiku tadi. Tadi, tuh, aku benar-benar sangat jengkel pas tahu kalau kau menghilang entah kemana. Pokoknya aku langsung samperin tuh menara, dan langsung ku belah pakai Ragnarok."
"Tunggu, apa?"
"Iya, hanya dengan satu kali tebasan dari Ragnarok saja, menara itu langsung hancur berkeping-keping, lho. Lemah." Liel menyatakan dengan bangga. "Yah, begitulah, kau tahu sendiri kalau aku sangat-sangat nggak suka dengan orang yang macam-macam denganku. Aku... Paling nggak suka diancam."
Hanya saja, bagian terakhir itu benar-benar membuat Rama tersentak kaget. Fakta bahwa Liel telah menghancurkan menara itu kedengaran amat mengejutkan. Bukannya itu tidak mungkin, hanya saja, kenapa?
"Jadi kau menyelamatkan aku lagi, ya?" Rama bertanya sambil kembali menengok ke jendela.
"Ya, tentu saja." Jawab anak bermata emas itu. "Cuma, ya, gitu, hukumannya juga nggak main-main, lho."
Setelah mendengar pernyataan itu, Rama terdiam sesaat sebelum kembali bertanya. "Apa hukumannya?"
"Yah... Aku harus merubah duniamu seluruhnya."
"Hah?" Bertambah satu hal gila lagi yang masuk ke dalam telinga Rama dan mengendap dalam otaknya. "Maksudnya?"
"Segala hal yang berhubungan denganku, akan dihapus dari ingatanmu. Dan bisa dibilang, ini akan menjadi kali terakhir kita bertemu." Liel menjelaskannya dengan santai. "Tapi tenang saja, kau simpan saja semua pusaka yang udah aku kasih ke kamu, buat jaga-jaga. Kecuali Kunci Pedang Perak, pusaka yang lainnya hanya boleh kamu pakai dalam keadaan saja."
"Kok... Gitu, sih?" Rama kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapi situasi yang satu ini. Dia hanya, bingung. Satu-satunya yang dirasakannya kala itu cuma hembusan angin yang bertiup pelan dari luar jendela.
Ini terlalu tiba-tiba. Apa yang harus dilakukannya?
"Yah, mau bagaimana lagi." Liel mengangkat bahu. "Tapi, aku, sih, bersyukur, karena meskipun aku akan menghilang dari duniamu untuk selamanya, namun aku nggak akan pernah melupakanmu. Kau tetap sahabatku, Rama, sampai kapanpun." Liel tersenyum manis.
Akan tetapi, tepat ketika Rama sedang berkutat dengan pikirannya, tanpa diduga Liel tiba-tiba sudah berdiri di depannya, dan bocah bermata emas mengkilap itu menyentuh dahi Rama dengan jari telunjuknya.
"Eh? Apa yang mau kau lakukan?" Rama terkejut.
"Pesanku cuma satu, Rama; hiduplah dengan bahagia, oke?"
Lalu apa yang terjadi selanjutnya, ketika Rama mengedipkan matanya, di detik itu pula, Rama sadar bahwa segalanya telah, berubah.
"Lho...?" Suara kecil itu keluar dari bibir Rama tanpa ia kehendaki. Ia merasakan sensasi kebingungan yang ekstrem. Kepalanya berdenyut tak karuan, dan pandangannya sedikit buram.
"Kenapa... Bagaimana... Tunggu, apa yang sebenarnya terjadi? Aku ngapain di kamar...?" Di tengah-tengah momen yang amat mengherankan dan memualkan itu, Rama berusaha melirik pada arloji kecil hitam yang ada di atas meja laci di sampingnya. Matanya berkunang-kunang. Waktu telah menandakan pukul tiga sore, namun anehnya, Rama sama sekali tidak mengingat apapun yang telah terjadi hari ini.
Demi Tuhan, Rama bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa-apaan perasaan ganjil yang tengah membanjiri dirinya kala itu? Kenapa ia bisa sampai merasakan hal seperti ini? Apa alasannya? Kenapa bisa ia tidak mengetahuinya?
Seakan-akan, ia telah kehilangan segalanya.
Angin dingin berhembus melalui jendela, dan sungguh, hembusan itu benar-benar terasa sangat asing bagi Rama. Seolah dunia ini telah berubah.
Rama bangkit berdiri dan berjalan ke jendela. Anak kurus itu lalu menarik keluar sebuah kunci perak yang berbentuk seperti pedang dari kantong celananya dan menatapnya dengan heran.
"Kunci ini, kan, punyaku... Tapi... Bagaimana bisa?" Bocah itu bergumam pelan sembari menoleh lagi keluar jendela. "Aku bingung banget." Ia menggenggam kunci itu erat-erat, bersandar pada jendela, dan menatap dunia di luar sana. Langitnya biru cerah dan angin tak berhenti bertiup lembut menerpa wajahnya. Rasanya nyaman namun asing.
"Hmm... Kok, aku lelah banget, ya." Mata Rama yang semerah darah tampak berpendar, namun pandangannya kosong tanpa arti, layaknya seseorang yang telah kehilangan jiwanya.
—PROLOGUE: Keajaiban, Kenyataan & Teror - SELESAI—