Chereads / EDEN: Deus Ex Machina / Chapter 15 - XIV: Siap Atau Tidak, Dunia Berubah

Chapter 15 - XIV: Siap Atau Tidak, Dunia Berubah

"Ketika seseorang sudah siap untuk berjuang, maka ia juga harus siap untuk merasakan bagaimana sakitnya ketika menghadapi luka." Ujar Cika yang berdiri di depan pintu gerbang raksasa itu, sementara Rama dan Juar berdiri di belakangnya.

Permata ungu yang berada di tengah gerbang hitam itu berpendar memancarkan kesan yang ajaib yang sedikit menakutkan.

"Poseidea." Cincin Cika bersinar, air pun muncul membungkus seluruh tubuhnya, lalu ketika air itu jatuh ke tanah, kini Cika pun muncul lagi dalam balutan baju zirah baja berwarna biru gelap, dengan trisula yang menggantikan pedang di tangan kanannya.

"T-Tunggu... Bagaimana dia melakukannya?" Juar bertanya pada Rama karena saking kagumnya dengan penampilan kekuatan Cika. "Kekuatannya Cika itu apa sih?"

"Yah, pada dasarnya semua itu sihir. Tapi kekuatan Cika yang paling hebat itu sih air. Kamu nanti akan terbiasa kok." Balas Rama sambil memandang Juar dengan tatapan datar.

Padahal tadi katanya sudah setahun ia bisa mengeluarkan cahaya emas itu, tapi aneh juga rasanya, karena baru sekarang Juar benar-benar melihat keajaiban yang lain selain miliknya sendiri.

Apakah itu artinya dia selama ini tidak mempedulikan keajaiban yang lain dan cuma fokus untuk menjadi lebih kuat dengan mengalahkan Dosa di tempat ini?

Maksud Rama, ada begitu banyak hal aneh di luar sana. Itu ada dimana-mana. Itu bahkan bisa langsung di temukan di balik pintu, juga di antara pepohonan, di sungai, di langit, di rumah-rumah, bahkan di lubang kecil di tanah.

Jika kau memang bisa melihat keajaiban, maka kau akan menemukannya seakan-akan itu cuma batu krikil. Akan tetapi, Juar benar-benar tampak kebingungan, seolah dia tidak tahu apapun tentang semua itu.

"Jadi, apa sebenarnya yang kamu lakukan sejak kamu bisa menggunakan kekuatan cahaya itu?" Rama bertanya.

"Yah, aku berlatih lah." Jawab Juar. "Aku terus latihan agar jadi lebih kuat, karena aku yakin pasti ada alasannya kenapa aku bisa memiliki kekuatan ini. Toh, satu-satunya bentuk yang bisa aku buat dengan cahaya itu hanyalah bentuk pedang saja. Pedang Mentari..."

Juar mengangkat tangan kanannya ke depan perutnya dan memandangi cahaya yang berbentuk persis seperti pedang yang sedang ia genggam.

Rama bertanya-tanya, bagaimana rasanya memegang cahaya? Bahkan, apakah itu benar-benar ada rasanya?

"Emangnya selama ini kamu nggak pernah ketemu dengan orang-orang lain yang punya kekuatan juga?" Rama bertanya lagi dengan mata yang terpaku pada pedang yang menyilaukan itu.

"Sejauh ini sih nggak pernah." Ungkap Juar sambil mengingat-ngingat. "Kalian berdua adalah yang pertama." Juar menoleh memandang Cika. "Itu berarti... dunia lain itu memang beneran ada kan?"

Rama bingung harus menjawab apa sekarang.

"Baiklah." Cika mengambil ancang-ancang, lalu melemparkan trisulanya pada batu permata ungu yang ada di gerbang itu.

Batu permata itu hancur seketika dan berubah menjadi debu-debu halus, sementara trisula gadis itu menancap di gerbang itu.

Tak lama kemudian, gerbang itu pun ikut runtuh dan melebur menjadi debu, menunjukkan kegelapan yang ada di baliknya, dan trisula Cika yang tadinya menancap di situ terjatuh.

Namun, tepat sebelum trisula biru itu terantuk menyentuh tanah, senjata itu tiba-tiba saja langsung melayang dengan sendirinya ke genggaman Cika layaknya seekor anjing peliharaan.

"Baiklah, baiklah, dia datang." Cika menatap kegelapan di depan mereka dengan waspada sambil mengambil langkah mundur, dan Rama serta Juar pun ikut mengikutinya. "Begini, tergantung situasinya, aku akan tetap berusaha melindungi kalian sebisaku. Sementara itu kalian bantu aku dengan mencoba untuk tidak membuat diri kalian terbunuh. Bagaimana?" Cika memperingati dengan serius.

Ada sesuatu yang berjalan keluar dari kegelapan itu.

Awalnya, Rama sempat mengira kalau ada semacam monster raksasa di dalam sana, mengingat ukuran gerbang itu sangat besar, tapi apa yang keluar dari sana rupanya hanyalah sesosok makhluk aneh yang berdiri tegap layaknya manusia.

Sosoknya tinggi dan tubuhnya dibalut oleh zirah baja hitam yang tampak sangat keras, serta ada sebilah pedang besar di tangan kanannya.

Namun, ada satu hal penting yang membuat Rama bertanya-tanya sekarang.

Satu hal yang teramat sangat penting dibanding apapun saat ini juga.

"Dimana... Kepalanya?" Suara itu keluar dari mulut Juar. Remaja itu tampak syok bukan main.

Makhluk itu tidak memiliki kepala.

"Wah, lihat apa yang kita temukan disini... Dullahan..." Cika tersenyum kecil sambil mengeratkan genggamannya pada trisulanya, dan mengambil posisi siap untuk bertempur. "Baiklah. Seperti yang kubilang tadi, kalian berusahalah agar tidak terbunuh, oke?"

Cika menyelimuti trisulanya dengan cahaya biru, lalu dengan satu sentakan kaki yang kuat, Cika langsung menerjang menuju ke arah makhluk itu bagaikan kilat yang menyambar bumi.

"Loh!" Rama dan Juar memekik bersamaan karena kaget dengan tindakan Cika. Angin serasa bergetar ketika gadis kecil itu melesat, dan debu-debu berterbangan dengan liar karenanya.

Namun, meskipun Cika berhasil membuatnya terdorong mundur sedikit, tapi makhluk itu–Dullahan tetap berhasil menahan serangan gadis kecil itu dengan pedang besarnya, hingga menciptakan suara dentingan tajam yang melenting dengan amat nyaring.

Akan tetapi, Cika tidak berhenti sampai disitu.

"Aqua!" Gadis itu membuat empat buah trisula dari air, dan trisula-trisula itu mengambang di sekitarnya mengikuti perintah Cika.

Cika melompat mundur untuk menjaga jarak, lalu pada isyarat tangannya, keempat trisula itu pun melesat bagaikan anak panah menuju ke arah Dullahan itu.

Dullahan itu berhasil menghancurkan trisula yang pertama, yang kedua, juga yang ketiga dengan pedangnya, namun sayangnya gerakannya terlalu lambat untuk menangkis trisula yang keempat.

Trisula yang terakhir sukses menghantam si Dullahan dan membuatnya terlempar ke belakang. Meski begitu, itu masih belum cukup untuk mengalahkannya.

Dullahan itu kembali bangkit berdiri dan kini adalah gilirannya untuk melesat dan menerjang menuju ke arah Cika.

Gerakan kakinya tak kalah cepat dari Cika, dan dalam sekejap mata, ia sampai di hadapan gadis kecil itu dengan pedang yang dalam posisi siap membelah Cika menjadi dua bagian.

"Astaga!" Rama berteriak dalam ketakutan yang teramat sangat.

Akan tetapi, malangnya nasib Dullahan itu tidak semakin membaik. Pusaran air yang bentuknya bagaikan pelindung muncul di sekitar Cika dan melindunginya dari pedang Dullahan.

Lalu, tanpa membuang-buang kesempatan yang ada, Cika cepat-cepat menciptakan lebih dari sepuluh trisula air, dan kemudian, satu per satu trisula itu mulai melesat menghantam si Dullahan, dan terus membuatnya terdorong mundur ke belakang.

Walau tentu saja semua trisula yang terbuat dari air itu tetap tidak berhasil menembus zirah si Dullahan, jadi, Cika pun tanpa pikir panjang memutuskan untuk melemparkan trisula di tangannya sebagai serangan yang terakhir.

Diiringi teriakkan yang penuh kemenangan, Cika melempar senjatanya dengan segenap kekuatannya.

Hingga akhirnya, Cika berhasil mengalahkannya, dan memenangkan pertempuran.

Sebuah lubang kosong tercipta di perut Dullahan itu. Trisula Cika benar-benar menembus zirahnya dan melubangi tubuhnya.

"Itu luar biasa..." Gumam Juar takjub. "Meski kesannya kayak nggak masuk akal, tapi gerakannya benar-benar hebat. Kok bisa dia bergerak seperti itu?"

"Kalau kata sahabatku sih, asalkan kamu terus latihan, nanti juga kamu pasti bisa seperti itu kok." Ungkap Rama. Dia ingat betul dengan apa yang dikatakan oleh Liel dulu. Anak bermata emas itu pernah bilang kalau semua orang yang bisa melihat keajaiban adalah makhluk yang tidak memiliki batasan.

"Melompat tinggi, bergerak dengan sangat cepat, juga kekuatan yang kuat. sahabatku bilang, kita hanya perlu berusaha untuk jadi seperti itu."

"Ya, kalau begitu aku hanya perlu berlatih lebih giat lagi kan?" Juar terlihat termotivasi saat ini. Senyuman terbentuk di bibirnya.

Kini, makhluk itu jatuh berlutut, dan tubuhnya perlahan-lahan mulai melebur menjadi debu-debu cahaya.

Detik demi detik berlalu, dan akhirnya, si Dullahan itu lenyap seutuhnya, menyisakan sebuah bongkahan batu permata merah gelap yang seukuran kepalan tangan orang dewasa.

Cika mengambil batu itu lalu memandanginya sesaat sebelum ia memasukkannya ke dalam tas kecil yang melingkar di pinggangnya.

Dari jauh Rama hanya terdiam menyaksikan pemandangan itu. Anak itu teringat akan satu hal.

Dullahan itu, juga para Dosa, serta makhluk berzirah emas yang dibunuh Liel beberapa hari lalu, mereka semua melebur menjadi debu ketika mati, dan cuma menyisakan sebuah batu permata saja.

"Nah, masalah terbesarnya udah selesai." Ujar gadis kecil itu. Zirah birunya meleleh menjadi air dan lenyap. Begitu pula dengan trisulanya yang kini telah kembali ke wujud asalnya; sebilah pedang baja tua. "Sekarang, waktunya kita cari tahu apa sebenarnya yang dijaga oleh Dullahan itu." Katanya sembari mengalihkan pandanganya pada terowongan gelap di depan sana.

Ketiga anak itu kini berjalan bersama-sama memasuki terowongan yang tampak gelap dan amat panjang itu.

Dalam perjalanan mereka menyusuri lorong itu, pikiran Rama anehnya malah jadi kosong, dan pandangannya cuma tertuju pada bola-bola api yang dipanggil oleh Cika yang mengambang di sekitar mereka.

Dia masih merasa ganjil dengan situasi ini.

Tak lama kemudian, mereka pun akhirnya tiba di ujung lorong itu, dan mendapati sebuah ruangan kecil yang berisi satu meja yang rapuh, toples-toples kaca yang menyeramkan, berbagai macam senjata seperti pedang, belati, dan sejenisnya, juga beberapa benda antik nan aneh yang entah apa, serta rak lemari tua yang dipenuhi buku-buku usang.

Rama yang kodratnya selalu penasaran pun mulai meraba satu per satu benda-benda yang ada di sana, begitu pula dengan Juar, juga Cika yang sibuk melihat-lihat buku di rak itu.

Rama melepaskan pedang di tangan kanannya, dan ketika pedang itu lenyap, tangan kirinya pun muncul kembali bersamaan dengan timbulnya kilatan cahaya putih.

"Eh?" Juar yang melihatnya keheranan.

"Lihat apa yang ada di sini. Semua buku-buku ini berisikan tentang kisah-kisah kuno dari berbagai benua." Cika menilik buku-buku itu dengan serius. "Berapa usia buku-buku ini? Dan sejak kapan Sarang ini dibuat? Siapa yang membuatnya...?"

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Juar sambil melirik arlojinya. "Sudah mau jam tujuh, lho. Aku harus ke sekolah." Juar membuka genggaman tangan kanannya, dan pedang cahayanya pun lenyap.

Karena petualangan yang menegangkan ini, Rama sampai lupa kalau ia juga harus ke sekolah. Sungguh, dunianya jadi terasa berbeda setiap kali dia terlibat dengan kejadian-kejadian semacam ini.

"Ah, iya, aku lupa." Kata Cika yang tersenyum kecut. "Baiklah, kalau begitu ayo kita masukkan semua benda-benda yang ada di sini ke dalam tas sihirku." Ujarnya sembari memasukkan buku-buku tebal itu satu per satu ke dalam tas di pinggangnya, dan Rama pun ikut melakukannya dengan memasukkan toples-toples kaca dari rak lainnya.

Juar melongo sebentar ketika melihat pemandangan itu. Sudah jelas kalau ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin semua benda itu bisa muat di dalam tas mungilnya? Padahal, satu buku itu saja ukurannya dua kali lebih besar dibanding tas itu.

"Hey, Kak, jangan melamun. Ayo cepat bantu aku." Ucap Cika yang berhasil membuat Juar tersadar. Remaja itu pun segera ikut membantu mengepak barang-barang disana. "Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut denganku untuk menilai semua barang-barang ini, oke?"

"Ah, baiklah." Jawab Rama tanpa pikir panjang. Toh, dia sendiri tidak pernah punya kegiatan apapun setelah sekolah. Namun, apa maksudnya dengan menilai?

"Oke, nggak masalah." Ujar Juar yang juga tampak tak keberatan sama sekali. "Soalnya aku masih perlu belajar lebih banyak lagi tentang semua ini."

"Hmm... Atau mungkin lebih baik nggak usah aja kali, ya?" Ungkap Cika yang sambil menggaruk-garuk dagunya. "Soalnya aku nggak enak sama kalian. Kalian ini kan masih masih manusia–"

"Kamu nggak usah merasa kayak begitu. Toh aku tadi sudah bilang, kan? Kalau aku akan melakukan apa saja demi menebus penyesalanku." Kata Juar serius.

"Ah, begitu, ya?" Ucap Cika ragu-ragu.

Sepertinya anak lelaki itu benar-benar serius dengan tekadnya itu, dan entah kenapa Rama jadi merasa aneh setelah mendengarnya.

Selama ini, bisa dibilang kalau ia sudah hidup dengan damai dan tentram berkat bantuan Liel. Semuanya berjalan dengan mulus hingga saat ini.

Namun, dia juga memiliki penyesalannya sendiri, dan itu berhubungan dengan kedua orang tuanya.

Ya, mungkin dia memang harus mengatakan kebenarannya pada Liel. Lagi pula, apa yang perlu ditakutkan?

Setelah selesai memindahkan semua barang-barang yang ada di dalam goa itu ke dalam tas sihir milik Cika, mereka pun keluar dari goa kecil itu, menuju ke goa luas tempat mereka bertempur tadi melawan para Dosa. Di situ masih ada ratusan permata mungil yang bergeletakan dimana-mana.

Cika mengacungkan tangannya kedepan lalu mengucap, "[Callar: Batu Neraka]," dan kemudian, semua batu permata itu pun langsung melayang masuk ke dalam tas sihir Cika begitu saja.

"Keajaiban itu memang luar biasa banget kalau dipikir-pikir." Juar terkagum.

"Ini cuma sihir sederhana, kok. Nggak usah sampai segitunya juga, kali." Ucap Cika sambil tersenyum kecil. "Baiklah, ayo kita keluar."

Namun, tepat setelah mengatakan itu, tiba-tiba saja terjadi sesuatu yang tak terduga.

Ada suatu cahaya yang timbul dari bawah kaki Rama dan Juar.

"Lho?"

Cahaya itu dengan cepat naik ke atas dan memerangkap kedua anak itu di dalamnya.

"Apa ini?" Rama meraba cahaya di sekelilingnya dan ia merasa seperti sedang menyentuh permukaan air, hanya saja itu keras layaknya dinding. Cahaya itu tak bisa ditembus.

"Hey, Cika, apa ini sihirmu juga?" Juar bertanya sambil meraba cahaya itu.

"T-Tunggu sebentar!" Cika seketika menjadi panik luar biasa. Dia memanggil zirah biru serta trisulanya dan mulai mencoba menyerang cahaya yang mengurung kedua anak itu.

"Apa-apaan!" Juar berteriak.

Rama awalnya sangat terkejut sampai jantungnya serasa hampir copot ketika ia melihat Cika yang tiba-tiba menyerangnya.

Akan tetapi, cahaya itu malah memantulkan serangan Cika, dan membuat gadis itu terpental ke belakang.

"Astaga! Bagaimana mungkin!?" Cika memutar kepalanya dengan liar seakan mencari sesuatu. Gadis kecil itu menggila tanpa alasan yang jelas.

"Apa yang sebenarnya terjadi!?" Juar bertanya dengan panik.

"Menara itu memanggil kalian!" Gadis kecil itu menjerit.

Mata Rama terbuka lebar, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Tidak..." Rama juga mulai mencoba untuk keluar dari cahaya itu, tapi itu benar-benar tidak bisa dilewati.

Cika terus mengedarkan pandangannya layaknya monster kelaparan, tapi ia tampaknya tidak menemukan hal aneh yang lain di tempat itu.

Namun, Rama tiba-tiba menyadari sesuatu.

Ada setangkai bunga kuning yang tumbuh di dekat dinding goa, dan entah kenapa, bunga itu seolah memberi kesan yang sangat aneh di mata Rama.

"Cika... Lihat bunga di sana." Ujar Rama sambil menunjuk ke arah bunga itu.

"Bunga!?" Cika menoleh pada arah yang ditunjuk oleh Rama. "Itu dia!" Gadis kecil itu langsung melesat dengan sekuat tenaganya menuju ke tempat bunga itu berada.

Akan tetapi, tepat sebelum Cika menghancurkan bunga itu, kilatan cahaya yang amat terang dan menyilaukan tiba-tiba muncul dan membuat pandangan Rama menjadi putih seutuhnya.

Tapi Rama tahu kalau dirinya masih hidup, jadi dia berusaha untuk mendapatkan pengelihatannya kembali dengan mengedipkan matanya beberapa kali.

Ia terus membuka dan menutup matanya berkali-kali, sampai akhirnya setelah ia bisa melihat kembali, anak itu pun sadar kalau sekarang ia sudah berada di tempat yang berbeda.

Bahkan mungkin di dunia yang berbeda.