Sesuai janji seminggu lalu. Sebagai sesama penyuka buku kini Alka dan Kana mendatangi toko buku dalam mall yang kebetulan baru dibuka tiga hari lalu dan mengadakan diskon besaran.
"Kana kesitu ya."
"Iya, kumpul dikasir kalau sudah, seperti biasa saja."
Kana angguk menanggapi perintah Alka, perlahan kakinya berjalan menjauh dari titik awalnya bersama Alka tadi.
Sibuk membolak-balik buku, memberi fokus penuh pada buku-buku yang ada di hadapannya. Tak sangka suara yang cukup dikenal dari empat bulan lalu, terdengar jelas disampingnya.
"Sendiri, Kana?"
"Its saturday?"
Bukannya menjawab, Kana hilang fokus, melihat tulisan di kaos berwarna hitam dengan bertuliskan 'Monday' cukup besar, hampir memenuhi.
"Kamu, dari belahan mana, Kana?"
Aris mengangkat kaosnya, tepat pada bagian tulisannya.
Raut aneh juga bertanya terlukis diwajah Kana.
"Tidak tau band monday?"
Oh, sial.
"Oh? Aku tau, aku, aku juga tau lagu mereka, ada--"
Kebiasaan Kana saat salah ataupun malu, nada bicara jadi gugup.
"Bukan."
Aris memotong pembicaraan.
"Apa?"
"Bohong, kaos ini aku ambil asal tadi."
Double sial, Kana tertipu, bahkan merah jadi yang menguasai penuh warna wajah Kana.
Lihat saja, bagaimana Aris menertawakan kebodohan Kana. Rasanya ingin menghajar, tapi takut-takut dia dibawa satpam keluar, karena membuat ribut.
Hela nafas, mencoba menahan semua, Kana berjalan pergi, meninggalkan Aris yang masih sedikit tertawa.
"Jangan marah."
"Berisik."
"Pertanyaan aku belum dijawab tadi, sendiri?"
"Berdua sama Alka."
Hanya deheman kecil dari Aris yang didapat Kana, entah salah atau benar, tapi sempat curi pandang sekilas, Kana lihat ada hal yang beda dari Aris, begitu dirinya sebut nama Alka.
Cemburu?
"Dia teman, Alka teman aku, itu saja."
"Ho, iya."
Apa ya, rasanya menyebalkan, Aris tiba-tiba mendadak diam. Dan Kana sadar entah apa tujuan dirinya beberapa detik lalu, buat apa dia menjelaskan siapa itu Alka. Seakan Kana peduli dengan Aris.
"Sendiri atau berdua juga?"
"Sendiri. Tapi aku lihat kamu dari luar, jadi aku ikut masuk ke sini. Jadi kita berdua kan?"
"Terserah."
Kepalang lelah, Kana memutar bola mata, tipikal Aris, selalu mencoba merayu walau tidak nyambung.
"Suka baca buku?"
Aris sepertinya memang tidak ingin Kana fokus dengan buku-buku didepannya atau bagaimana. Selalu melontarkan kalimat yang siap memecah fokus.
"Suka."
"Aku juga."
"Buku?"
"Bukan, suka kamu."
Lancar dan terlalu gamblang, Aris jadi malu total. Bahkan karenanya ada sedikit senyum remeh dibibir Kana, berniat mengusili.
"Sok nge gas, aslinya malu telak kan. Dasar."
Kana bilangnya begitu, padahal diri sendiri juga jelas malu. Kelihatan jelas dari telinganya yang memerah, tapi tidak mau ngaku. Kepalang gengsi.
Dan setelahnya, pembicaraan dua puluh lima menit, habis. Berjalan memisah dengan tujuan berbeda, Kana yang menemui Alka, Aris yang pergi mencari keperluan lain.
Tapi rasanya seru ya, berbicara tanpa topik yang jelas, bahkan dua puluh lima menit habis dengan pembicaraan yang tidak terpotong atau terjeda. Seandainya Alka tidak menunggu, mereka bisa menghabiskan waktu setengah hari didalam.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Oh? Enggak apa, senang aja, aku bisa beli buku ini."
Ada kebohongan dalam kalimat Kana, walau tidak sepenuhnya. Benar, Kana senang karena bisa membeli buku yang dirinya mau dari hasil sendiri, tapi hanya 40 persen.
Sisanya? Ada pada toko buku bagian rak novel, buku-buku sebagai saksi bisu.
Alka percaya, dirinya mengangguk menanggapi. Setelahnya tidak ada yang spesial diantara mereka. Hingga suara Alka pecah dalam keheningan jalan menuju parkiran motor, setelah membuka pesan yang berbunyi sepuluh detik lalu.
"Kana, pulang sendiri ya?"
"Kenapa?"
Kana pasang raut tidak suka sekilas dan Alka menangkap jelas.
"Aku panggil taksi, mau?"
"Iya, tapi kenapa?"
"Aku ada perlu, maaf."
"Kemana?"
Kana mendengus, lihat Alka tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan. Dan akhirnya Kana mengalah, lagi. Tidak berniat bertanya lebih lanjut.
"Yaudah, gapapa."
"Aku pesan taksi ya?"
"Aku bi--"
Ucapan Kana terpotong dengan mudah, dengan suara deru motor juga kalimat yang entah mengapa terlihat menyebalkan untuk Kana .
"Mahal, buang uang. Kalau ada yang gratis, kenapa?"
Aris pelakunya, sedikit ada gaya tengil terpampang, cukup memuakkan bila dilihat lama untuk Kana.
"Oh, boleh."
Tunggu, Kana sepertinya salah pendengaran, apa kata Alka. Serius, kawan kecilnya rela menaruh dia dalam kandang buaya?
"Apa? Hemat uang, benarkan."
"Kamu waras? Aku bisa mati kalau ketauan ibu."
Nada Kana sedikit naik ada emosi didalamnya, jelas. Yang dituju hanya senyum kecil, mau bagaimana, dirinya memang tidak bisa mengantar Kana karena ada keperluan.
"Kalau begitu, antar dia sampai gang saja ya, Ris."
Kana semakin merengut, dirinya diam, Kana memberi alasan dan Alka akan memberi jalan keluar, terlihat kalau Alka memang berniat memberi Kana menjadi santapan pada buaya didepannya.
Terpaksa sangat, Kana menaiki motor yang sebelumnya tak pernah Ia naiki, terlihat tidak nyaman dan aman, sebab motor Aris tidak sama seperti motor pada umumnya yang biasa terlihat.
Tentu, CBR 650 F, kesayangan Aris kedua, setelah Bunda. Kana ketiga.
"Sudah?"
"Hm."
"Nanti bisa jatuh, pegangan."
"Sudah."
"Kemana."
"Belakang motor."
Aris angguk kecil, yaudah mau bagaimana, dirinya tidak bisa memaksa atau menawarkan Kana berpegang pada dirinya. Bisa dihajar habis.
Dengan ucapan dadah kecil dari Alka yang dibalas senyum kecut, jadi akhir.
Aris membawa motornya cukup hati-hati membelah Bandung dengan angin sore serta hiruk pikuk kehidupan, ditambah gadis incarannya dibelakang, rasanya Aris ingin membekukan waktu, bukan lagi sementara tapi selamanya.
Ini pengalaman paling baik selama empat bulan mendekati Kana.
;
"Sampai sini saja?"
"Iya."
"Masih jauh?"
"Sudah dekat, sudah disini saja, kalau ketauan Ibu, bukan cuma kamu yang habis, aku juga."
Aris mengangguk, bisa apa kalau sudah diperintahkan Kana. Memutar arah guna kembali, sedikit teriakan namanya, buat Aris tak jadi melaju.
Ada hening sebentar, terlihat Kana susah mengucap hal yang ingin ia keluarkan.
"Ada apa?"
"Makasih?"
Suara cukup kecil, kepalang malu, untungnya suasana sekitar sepi, jadi bisa ditangkap jelas ditelinga yang dituju.
"Itu ucapan atau pertanyaan?"
Ada nada jahil disana, buat Kana merengut, sial, dirinya sudah bersusah payah, tapi mungkin dirinya sendiri merasa, suara yang dibuatnya tadi lebih seperti pertanyaan dibanding pernyataan.
Aris ketawa kecil, lihat Kana yang kelihatan mau ajak dirinya saling hajar.
"Iya, terimakasih kembali. Senang bisa antar kamu."
Dan setelahnya deru motor yang sekarang mulai akrab ditelinga Kana, hilang, kembali membelah Bandung sore hari.
Duh, kok ada pikiran sekilas lewat, kalau Aris keren.
;
Putra:
Sudah dengar, belum?
Larut malam, niat ingin mengistirahatkan diri, terganggu sejenak adanya tampilan pesan dua menit lalu, Aris cukup tertarik.
Aris:
Belum, apa?
Putra:
Heboh, satu sekolah.
Oh, enggak. Tepatnya diklub musik aja.
Lagi, lo darimana aja?
Hilang begitu satu hari penuh.
Aris:
Cari angin.
Putra:
Makan angin? masuk angin lo.
Aris:
Ada tolak angin.
Jangan merembet, heboh soal apa?
Putra:
Klub musik kesayangan kita.
Mau dibubarin, katanya.
Lihat pesan kalimat terakhir ada emosi bergejolak dalam hati, apa ya, kesal sekali. Klub musik itu, kebanggannya, satu-satunya hal yang Ia bisa selain menganggu. Bakat dan mimpinya ada disitu. Bahkan keluarga yang Ia anggap.
Aris:
Kenapa?
Putra:
Alasannya belum tau, besok tau.
Anak-anak ramai-ramai ke ruang kepala sekolah besok pagi, mau cari keadilan.
Lo harus ikut.
Aris:
Jelas.
Malam itu, niat awal Aris berubah, ingin mengistirahatkan diri terbuang entah kemana, berganti dirinya yang sibuk memikir, bagaimana cara mereka menang dari kepala sekolah.
Masalahnya, permasalahan pun Aris tidak tau.