"Mau lewat."
"Gak boleh."
Pagi hari depan gerbang sekolah, ada sedikit keributan tercipta. Aris dan Kana pelakunya, burung-burung kecil jadi saksi. Masih pagi, padahal.
"Bantu aku, tolong."
"Sudah dibilang, itu urusanmu, bukan urusanku."
Bilangnya sih begitu, tapi dari semalam Kana sibuk mikirin tawaran Aris. Bimbang ambil atau tidak.
Ayo ajak lagi.
Halah, dasar gengsi tinggi.
Nyaris melenggang begitu saja, Aris tahan Kana, cuitan burung lewat sebentar. Sampai Aris bersuara.
"Aku turutin mau kamu, semuanya. Termasuk jauhin kamu."
Saling tatap, ada kerutan didahi Kana, tanda tidak suka. Bahkan diakhir kalimat Aris jelas kedengaran lirih. Bukan, bukan maksud Kana dirinya tidak ingin dijauhi, hanya jika ada perjanjian seperti itu, seakan dirinya tidak ikhlas dalam membantu.
"Jangan, jangan begitu."
"Yasudah, iya aku bantu."
Akhirnya, gengsinya turun.
Aris bernafas lega, sukur Kana tidak mengiyakan permintaannya, kalau iya, Aris bisa gila.
"Kalau begitu, pulang sekolah bisa minta waktu sebentar?"
Kana mengangguk kecil, kasih jawaban untuk Aris.
"Terimakasih, selamat belajar, cantik."
Ada kupu-kupu sedikit begitu Aris menekan kata terakhir sebelum kabur, diam-diam senang rasanya.
"Gak ada alasan untuk bengong lagi, kan?"
Alka, seseorang yang memilih untuk menyingkir begitu lihat keributan lima menit lalu yang berakhir damai, untungnya. Dan Alka berdiri tepat disamping Kana, setelah lihat semua. Ada maksud dari pernyataan atau mungkin pertanyaan yang diberi, sederhana, karena semalam dari jendela kecil kamar bisa lihat Kana sibuk mikir permintaan Aris, dan pertama kalinya Aris bisa lihat Kana seperti itu.
Kana mengedikkan bahu, melenggang pergi, ninggalin Alka begitu saja, tanpa jawab apapun.
Tapi tau, hatinya jadi lebih ringan, sedikit-sedikit. Dan ada satu harap kecil yang bersarang.
;
Gugup mampus.
Rasanya seperti anak baru.
Kana terlihat biasa, tapi hatinya takut sekali.
Lebih gugup dibanding harus memberi pidato diantara ribuan murid, bahkan lebih takut dibanding harus berhadapan dengan kepala sekolah. Aduh, Kana mau menghilang saja.
Lagi, bagaimana ada anak sekolah dengan kelewat santainya duduk sender tambah rokok ditangan, dengan tak sengajanya bahkan Kana jelas bisa lihat disudut ada botol berserakan, botol minuman yang tak biasa, ilegal untuk anak seumuran mereka. Kana tau.
Ini sarang preman. Bukan tempat layak pertemuan.
"Hei, sopan sedikit. Ada orang baru."
Tak kenal, tapi rasanya intimidasi perlahan hilang saat manusia berambut pendek, dengan baju rapih satu-satunya. Putra, saat Kana sengaja curi pandang pada name tag terpampang.
"Kana ya? Aris sudah cerita. Fara."
Uluran tangan ada didepan Kana, terlihat ragu mau jabat, perempuan tomboi dengan celana olahraga, rambut acak, dan seragam berkeluaran, terlalu santai untuk ukuran perempuan. Malah laki yang bernama Putra tadi bisa dikata jauh lebih rapih.
"Kana."
Sepuluh detik, mereka berjabat tangan.
"Formal sekali."
"Suka-suka, ini namanya membangun kesan pertama, tau?"
Perdebatan kecil jadi tercipta, begitu laki-laki wajah garang dengan rokok, mengomentari Fara. Bahkan terlihat, manusia-manusia lain biasa saja, malah mendukung untuk saling serang.
Duh, Aris kemana. Kurang ajar, dirinya ditinggal sendiri.
Oh tunggu, mata Kana menangkap, ada satu perempuan yang dari awal cukup tenang, hanya ada tawa kecil dan tidak banyak bicara, bisa dijadikan kawan untuk kedepan. Baru mau berjalan menghampiri, ada suara tidak diundang yang sudah cukup dihafal.
"Sorry, lama."
Aris, yang ditunggu mereka dari awal.
"Lama lo."
Gak dihiraukan, Aris fokus ke Kana, ada senyum kecil. Aduh, ayo jangan salah fokus dulu.
"Ini Kana, tadi siang sudah cerita. Dia yang akan ajarin kita."
Anggukan dari sembilan orang dalam lingkaran jadi yang diterima Aris.
"Yasudah kenalan, saja. Besok baru mulai belajar."
Aris mendudukan diri di bangku kosong yang ada, kaki selonjor kelewat santai. Kana diam memperhatikan.
"Kita tadi sudah kenalan, tapi lagi saja. Fara."
"Askia, Kia aja."
"Afif."
"Evan, panggil sayang boleh."
Begitu bilang seperti itu, Evan jelas dapat tatapan tajam dari ketua klub mereka, kelewat tajam, Evan jadi sedikit ciut.
"Dena, kalau mau tau informasi, tanya gue."
"Halah, informasi mu itu gosip. Bukan pengetahuan tambah ilmu, ada tambah dosa."
"Berisik, lanjut."
"Putra."
"Bayu."
"Karel, sudah gak asing pasti."
Kana diam sebentar, coba ingat-ingat lagi. Akhirnya tau, iya, Karel salah satu kawan akrab Aris yang suka ikut curi-curi waktu untuk intip dia di pagi hari.
"Aku Zara."
Kana senyum, orang terakhir yang berkenalan, Zara namanya, gadis yang tadi mau diajak berkenalan duluan. Bahkan, dari perkenalan sepuluh detik lalu, Kana tau gadis ini beda dari lainnya.
"Oke, sudah semua."
Aris bangun dari duduknya, berlagak seorang bos. Bikin Kana mutar mata, lihat gaya tengilnya.
"Terus?"
"Apa?"
Malah jadi saling tanya didepan.
"Iya, kamu suruh aku kesini untuk apa?"
"Kenalan, mengakrabkan diri, besok belajarnya, kan tadi sudah ku bilang."
Gak sadar mereka jadi tontonan hiburan gratis dalam ruangan.
"Kalian pakai aku-kamu?"
Ini Dena yang tanya, benar ternyata kata Afif, Dena seperti gadis penyuka gosip.
"Pacaran?"
Heboh jelas, begitu ada satu pertanyaan terlontar dari Evan.
"Belum."
"Bukan."
Sama-sama jawabnya, tapi bisa lihat dari jawaban kalau mereka berbeda, yang satu memang setia mengejar, satu memang penolakan.
"Haduh, kasian-kasian."
Aris cuma senyum, Kana sendiri diam, bingung harus apa.
"Normalin, ada orang memang lebih nyaman pakai aku-kamu, gak semua pakai untuk pacar."
Sukur, ada yang waras satu. Kana jadi gak terlalu tersiksa kalau ada Putra. Setidaknya ada yang pemikirannya jelas bisa diandalkan.
"Ayo, aku antar."
"Apa?"
"Pulang, kan sudah selesai."
"Bisa sendiri."
Kana memberi salam kecil, hanya untuk perempuan. Setelahnya melenggang pergi, ninggalin Aris yang diam-diam ikutin dia keluar dari tempat kumpul klub musik. Dan lagi, mereka jadi bahan tontonan gratis.
"Sudah dibilang aku bisa sendiri."
"Tau, aku mau antar ke depan saja."
Jeda sejenak, ada yang ingin diucapkan Aris.
"Makasih lagi, ya."
"Tadi pagi sudah, jangan banyak-banyak makasihnya."
Aris terkekeh kecil. Dan tau, Kana jadi sadar Aris manis saat senyum.
Duh, mikir apa, ini waktu pulang sudah jam lima, jangan sampai orang rumah khawatir.
"Aku duluan."
"Iya, hati-hati, selamat sampai tujuan, cantik."
Hari itu ditutup dari ucapan Aris yang buat Kana terbang sedikit. Dan belahan kota Bandung mungkin akan jadi saksi kisah mereka, yang pelan-pelan tumbuh.