"Sudah jelas, silahkan keluar."
"Belum pak. Alasannya tidak masuk akal."
Disini posisi mencekam, penuh emosi baik dari pihak satu dan dua.
Pukul setengah tujuh pagi, sesuai obrolan semalam dengan putra. Seluruh anak klub musik, berdiri tepat berhadapan wakil kepala sekolah. Entah, kemana kepala sekolah mereka.
"Bel sebentar lagi, masuk kelas masing-masing."
"Gak akan."
Mutlak dari salah satu anggota, tambah jawaban anggukan dari yang lain. Memberontak untuk menuruti perintah. Hingga bisa dapat sedikit keadilan.
"Karena nilai, klub mau dibubarkan, rasanya aneh pak."
"Bagian mana aneh? Nilai kalian jelek, sekolah bisa semakin dicap buruk. Paham?"
Wakil kepala sekolah, tumpu dagu sama tangan yang ada diatas meja. Berhadapan dengan seluruh anak klub musik, ada total anggota sepuluh orang, cukup dikit.
"Nilai hanya dikertas pak, kebanggaan semata."
"Lalu, apa kebanggan kalian?"
Hening, hanya udara yang mengisi, tak satupun yang berani kembali menyuarakan.
"Apa klub musik sudah ada prestasi?"
"Sudah pernah membawa piagam?"
"Tidak ada kan. Kalian hanya membolos, nilai jelek, bermain musik tidak karuan, menyusahkan, tau?"
"Sudah, fokus nilai dan tujuan saja. Ini akhir putih abu kalian. Selanjutnya akan hadapi masa depan."
Dilihat dari sini, jelas Aris sebagai ketua, kesal, berusaha meredam emosi agar tidak semakin buruk.
"Bagaimana kalau musik bagian dari masa depan?"
Ada senyum remeh keluar begitu anak perempuan berdiri bagian belakang menyuarakan pertama kali, Zara.
"Sudah bapak tanya, apa musik kalian sudah ada membawa prestasi?"
"Belum, bukan?"
Sepuluh detik sepi, kembali tercipta suara dari ketua kembali.
"Jika nilai alasannya,"
"Kita semua dapat nilai memuaskan disemester pertama ini, klub tidak dibubarkan?"
Semuanya menjadi lain begitu Aris mengeluarkan kalimat diatas dan berkatnya dapat seluruh mata memandang dengan fokus dirinya.
"Jangan buang-buang waktu Bapak, yang hasilnya saja sudah jelas,"
"Kalian tidak akan berhasil. Hanya bikin kepala Bapak sakit."
"Kalau sakit ke rumah sakit Pak."
Tolong ingatkan Karel, agar tidak membawa lelucon renyah ke dalam suasana serius seperti ini. Bahkan kakinya sudah diinjak Evan, lelaki jangkung yang berdiri sebelahnya.
"Mencoba, tidak ada salahnya."
Ada suara tidak diundang hadir, oh rupanya yang ditunggu, ibu kepala sekolah Banara. Sedikit cercah harapan terbit begitu dengar kalimat yang masuk tiba-tiba.
"Jadi, Bu?"
"Saya sudah dengar permasalahan dari awal, jadi Saya lihat perkembangan nilai kamu dan kawan-kawan ya."
Wah, rasanya senyum jadi mudah pelan-pelan.
Ruang musik jadi tujuan mereka, setelah berakhir dengan ucapan terimakasih besar terhadap kepala sekolah. Bukan kelas yang jadi tujuan, karena bel istirahat sebentar lagi dan rasanya tanggung.
Tenang, mereka tidak bersantai, ada gumpalan awan mikir. Terutama manusia dipojok ruangan, Aris.
"Siapa yang bisa?"
"Aku bodoh."
"Aku juga, bisaku cuma main gitar saja."
"Ranking terakhir dikelas aku."
Iya, ada berdebat sedikit disini, tentang siapa yang mau mengajari mereka untuk bisa menunjang nilai. Tidak ada yang bisa diharapkan, sayangnya.
Aris memperhatikan dari pojok sambil pegang gitar kesayangan. Dipikirnya, paling-paling yang bisa mengajari disini hanya Putra, itu juga hanya bisa bahasa inggris saja.
Tunggu, bukannya sekolah sebelah terkenal cerdas. Aris diam, perlahan suara debat diruang musik tidak tertangkap. Ada ide sekilas mampir.
"Hei."
Aris berdiri menuju ke tengah, agar bisa didengar semua. Mulai bersuara kembali begitu semua fokus sudah diambilnya.
"Anak sekolah sebelah terkenal cerdas, tau?"
Anggukan dan suara 'iya' jadi yang memenuhi ruangan begitu ada pertanyaan.
"Minta tolong dengan mereka saja."
Hening. Saling menatap ada tanda bingung disetiap wajah.
"Siapa yang mau, memang?"
"Ada sepupu gue disitu, mungkin mau."
Evan, manusia berambut jabrik ikut bersuara.
"Halah, bawa-bawa sekolah sebelah, mau pendekatan bukan?"
Sahabat Aris sejak kecil memang paling mengerti dirinya. Pepatah lama, sambil menyelam minum air. Itu prinsip Aris. Jadi, hanya tersenyum dengar pernyataan Karel. Karena, nyata tak bisa dibantah.
"Berarti, kita jadi minta bantuan anak sebelah?"
"Iya, tenang saja, nanti gue bilang ke sepupu."
"Gue juga bantu."
Ini Aris yang bicara.
"Bisa memang?"
Nada remeh terdengar dari pertanyaan Karel, ah kawannya memang seperti itu, seperti dukung tidak dukung.
"Oh, mudah, tenang."
Semoga.
;
"Siang."
Hampir saja ada umpatan keras keluar dari Kana, untung bisa ditahannya.
"Gila ya? ini lingkungan sekolah."
"Aku tau. Ada yang mau aku sampaikan, tapi."
"Nekat sekali, gila beneran, pergi sana."
"Gila buatmu."
Kana memutar bola mata jenuh.
Posisi disini sebenarnya cukup berbahaya. Aris yang menerobos masuk sekolah Kana, waktu makan siang, jelas buat Kana emosi. Dia ketua osis disini, disiplin dan membuat aman sekolah jadi tujuan tentu. Dan bisa-bisanya sekarang diperpustakaan tempat untuk Kana menenangkan diri, ada satu manusia yang buat emosi memuncak. Memang Aris tidak masuk kedalam sekolah, hanya diluar jendela perpustakaan. Tapi cukup bahaya.
"Pergi sana, aku juga mau pergi."
Menutup buku tapi tertahan oleh tangan Aris, ada satu tatapan lesu disana dan satu tatapan tajam, saling pandang.
"Dengar dulu, kalau pulang sekolah kamu pasti pergi."
"Dan dengan cara ini, juga bikin aku mau pergi."
Usap kasar wajah sekali, mukanya merah, entah kenapa, bukan malu pastinya, tapi lelah.
"Dengar sekali saja."
Nada lemas yang sebelumnya tidak pernah ditunjukkan, akhirnya malah terpampang didepan Kana.
"Apa?"
Berpikir sejenak, mungkin tidak ada salah mendengarkan sebentar, lagi kalau ditolak bisa-bisa Aris semakin nekat. Misalnya langsung datang ke ruang kelas.
Senyum jadi memenuhi Aris, begitu lihat Kana kembali duduk dibangku pojok perpustakaan, suasana cukup tenang, iya, sebelum Aris datang.
"Aku anggota klub musik, tau?"
Angguk saja, sebenarnya Kana tidak pernah tau. Kana tidak tau apapun tentang Aris.
"Malam kemarin ada informasi, klub musik mau dibubarin. Dan pagi ini semua anggota datangin kepala sekolah, minta penjelasan,"
"Katanya, karena nilai. Jadi, anggota bikin kesepakatan, kalau nilai naik klub gak jadi bubar. Dan boleh bertahan."
Oke, dengar ada kata nilai dari kalimat Aris, Kana jadi tau tujuan utama Aris nekat kesini.
"Jadi, karena itu anak-anak termasuk aku mau minta tolong, selaku kamu anak paling pintar disini."
Duh, kan benar saja. Kana malas berurusan seperti ini.
"Gak mau."
Hening sejenak, kerutan muncul didahi Aris, mulutnya juga terbuka kecil sedikit.
"Kenapa? Kamu suka belajar, bukan."
"Dan aku gak suka ajarin orang lain."
"Bukan orang lain, aku dan kawan-kawanku."
"Iya, orang lain. Aku gak kenal."
"Belum kenal, kalau sudah kenal asik, pasti."
"Aku gak mau kenal sama kawan-kawanmu."
"Kenapa?"
"Kelakuan pasti sama persis kamu. Gak mau, bikin sakit kepala."
Aris diam dengar penjelasan Kana. Satu sisi cukup sakit dengar pengakuan Kana, artinya selama ini Aris bikin Kana sakit kepala, begitu?
"Sudah, dengarin saja perintah awal, kalau memang sudah disuruh bubarin ya bubarin saja,"
Jeda sejenak, Kana ambil nafas dalam.
"Karena nilai katamu, benar itu. Fokus saja sama masa depan yang jelas, main musik kan memang tidak berguna."
Aris usap wajah kasar, lagi. Tapi kali ini beda, ada emosi marah didalamnya setelah dengar ucapan Kana, terutama bagian kalimat terakhir. Bahkan tadi mau meledak sedikit, tapi batal begitu lihat ada yang salah dari Kana sekilas, tatapannya sedih. Atau mungkin perasaan Aris saja.
Hening, gak ada yang mau buka obrolan atau ajakan lagi dari Aris sampai ada suara dari sebelah cukup jauh dan samar-samar, mungkin Aris ketauan satpam.
"Yasudah, aku pergi, datang lagi, nanti."
Aris pamit, langsung lari begitu saja entah kemana dan lewat mana, semoga tidak ketauan, itu semoganya Kana yang diam-diam diharapkan.
Bukan apa, hanya agar dirinya juga selamat.
;
Dikelas Kana hilang fokus, hilang pergi kemana pikirannya. Mungkin kejadian tadi siang, kata-kata kejamnya terutama. Sumpah, Kana gak sadar bicara seperti itu, hanya bagaimana dia ikut kebawa emosi kalau dengar kata musik, walau musik sebenarnya juga sempat menghidupkan dia.
"Kesambet nanti."
Alka memang selalu tau kalau Kana terlihat beda, terutama sekarang sejak selesainya waktu makan siang.
"Enggak apa, ada pikiran aneh saja lewat."
"Apa?"
Bimbang jelas ada dihati Kana, antara mau memberi tau kejadian siang tadi atau tetap ada dipikirannya sendiri, entah sampai kapan.
Tiga menit diam, Alka sudah sibuk sendiri, bolak-balik lihat buku tugas, biar kelihatan ada kegiatan saja dan terlihat pintar, itu seingat Kana waktu ditanya kenapa suka bolak-balik buku.
"Alka, aku mau omong."
Bulat, akhirnya Kana pilih cerita siang tadi ke Alka, siapa tau dapat solusi. Cerita mengalir, hampir habis waktu sepuluh menit, untung kelas lagi jam kosong, super jarang bisa seperti ini.
Alka simak baik-baik, dia dapat emosi Kana dari raut wajah saat cerita, menarik buat Alka. Disana kelihatan Kana sebenarnya mau bantu, tapi mungkin satu sisi ada ego? atau apa, gatau.
"Jadi?"
"Ih, tanggapannya begitu saja? Aku udah cerita panjang-panjang."
Jawaban Alka cuma mengedikkan bahu, sambil lanjut bicara.
"Ya aku harus bagaimana? pilihannya ada di kamu, Kana."
Kana diam, iya benar, pilihan ada di dia, tapi bukannya tadi sudah ditolak, memang tidak apa, lagi kenapa bisa dia jadi bimbang.
"Kalau mau ambil saja. Beruntung dapat kawan baru."
"Aku takut itu, aku gak pandai berbaur, kalau mereka gak suka bagaimana?"
"Belum bertemu, udah nilai saja."
"Jangan pikir apa yang memang belum terjadi, cuma ketakutan kamu, lawan ayo."
Kalau dipikir benar, ada pikiran sekilas lewat sejenak, tentang Kana yang belum punya satu kawan selain Alka, sisanya hanya karena kebutuhan saja, karena buat Kana, berteman itu menyeramkan, semua ada topeng.
Biarin Kana berpikir, Alka pergi dari posisi awal, dengan tujuan balkon sekolah, lalu duduk santai senderan dibangku, sekedar lihat anak-anak kelas sebelah memperebutkan bola sana sini untuk dapat satu gol.