Chereads / "EBEG" Jin Penari / Chapter 1 - Proposal

"EBEG" Jin Penari

🇮🇩Jentik_lentik_008
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Proposal

Tok ... tok ... tok

"Kulonuwun (1)" ucapku sambil menenteng sebuah proposal pengajuan kegiatan di kantor desa.

" Monggo-monggo (2), silakan duduk dulu, ada keperluan penting sepertinya. Biasanya rekannya yang tindhak (3) kantor, Bu." Seseorang petugas kantor desa menyuruhku masuk dan duduk di salah satu kursi yang sudah disediakan.

"Nggih (4) ... mau ngobrol sebentar sama Pak Lurah, ada?"

"Sebentar nggih, Bu, sedang ada tamu di dalam.

Sekitar 15 menit aku menunggu giliran untuk bertemu dengan Pak Lurah. Pak Tejo namanya. Sambil melihat-lihat papan pengumuman yang ada di depan kantor desa, aku menemukan sebuah pengumuman yang cocok dengan proposal yang hendak kuajukan pada beliau. Sebuah proposal kegiatan untuk awal bulan Suro. Memang sejak dulu, sebelum aku dilahirkan, kebiasaan melakukan sebuah acara di awal Sura seperti hal yang wajib.

"Monggo Bu, ditunggu Pak Lurah di dalam."

"Maturnuwun, Kang."

Aku masuk ke kantor Pak Tejo tanpa alas kaki. Memang tidak dianjurkan untuk melepasnya, tapi rasanya tidak sopan sekali memasuki sebuah ruangan dengan memakai alas kaki.

"Nuwunsewu (5) Pak Tejo, biasa ini lah Pak. Rutinan Suro."

Pak Tejo tertawa lebar. Sebelum aku menjelaskan lebih lanjut, sepertinya beliau ini sudah paham dengan maksud kedatanganku.

"Ya ... ya ... ya," jawabnya sambil manggut-manggut.

"Mbok ora usah nganggo kaya kie Yu, Yu. Nyong ya mesti ngerti maksude rika. Mbok langganan?" (6)

"Tidak apa-apa Pak, ini juga sebagai rutinan kelompok kami."

Kemudian suara kami memenuhi ruangan kepala desa. Mungkin beberapa pegawai desa yang lain merasa penasaran dengan apa yang sedang kami lakukan, sampai-sampai suara kami bergema di ruangan itu.

"Sapa kae Kang?" (7) tanya seorang pegawai desa yang ada di sebelah ruangan itu.

"Biasa, Bu Mini lah, sapa maning. Pak Tejo tulih naksir karo Bu Mini. Jajal ngonoh, mesti proposale tembus. Nek liane ya mesti ditolak." (8)

"Proposal ebegan ya?" (9)

"Ya mesti!" (10)

Sepertinya memang sebagian warga Purwokerti sudah tau tentang rumor kedekatanku dengan Pak Tejo, si kepala desa yang jago foto. Memang, kami beberapa kali jalan bersama. Aku yang seorang janda kembang menjadi rebutan para lelaki di kecamatan Purwokerto.

"Pak Tejo mbok esih nduwe bojo?" (11)

"Esih, anu mriyangen. Dela maning tulih dadi duda, cocok karo Bu Mini. Aku ya gelem karo Bu Mini, tapi kae sing ora gelem karo aku."(12)

Bayangan mereka dan sebagian besar warga kampung memang sudah sampai sejauh itu. Kadang aku merasa serba salah. Padahal aku memang selalu bersikap baik dan sopan pada siapa pun. Terlebih kepada Pak Tejo, beliau ini adalah kepala desa, sudah pasti semua warganya akan menghormatinya. Sikapku yang terlalu ramah dan terbuka kadang disalah artikan.

"Ehm ...." Aku keluar dari ruangan Pak Tejo, mereka yang sedang bergosip pun segera bubar. Ada yang berpura-pura mengetik, memungut kertas, melipat undangan, bahkan ada yang dengan cekatan mengambil sapu dan lap pel untuk menutupi malunya.

"Permisi Pak, Bu, pamit, sudah selesai urusan saya."

"Monggo ... nderekaken." (13)

Rasanya, telingaku sudah kebal dengan hal seperti ini. Bagiku, ini adalah makanan setiap hari. Kubiarkan mereka berpendapat tentangku. Apa pun yang mereka pikirkan tentang aku, terserah. Yang tau siapa dan seperti apa diriku adalah aku dan Tuhanku. Aku menuju parkiran motor. Kunyalakan sepeda motor legendarisku. Bukan tidak mampu untuk membeli motor keluaran terbaru. Menurutku selama kendaraan itu masih bisa melaju dan mesinnya normal, semua aman. Belum butuh anggaran untuk menggantinya.

Aku yang kini hidup sendirian, setelah suamiku menceraikanku 5 tahun yang lalu. Kami belum memiliki keturunan, karena pada waktu kami bercerai, usia pernikahan kami masih seumur jagung. Diusia pernikahan yang mau menginjak satu tahun, dia melayangkan gugatan cerainya. Alasannya sangat tidak masuk akal bagiku. Tapi, daripada setiap hari harus makan hati, kuturuti saja apa maunya. Aku menikah di usia 19 tahun pada waktu itu. Sedang usia mantan suamiku saat itu 30 tahun. Sangat jauh memang, tidak jarang kami berbeda selera, mulai dari makanan, gaya berpakaian dan cara menanggapi masalah. Aku yang terlalu muda, masih senang bermain-main dan belum terlalu mementingkan keturunan dari sebuah pernikahan. Sebaliknya mantan suamiku yang sudah berkepala tiga selalu mendesakku agar cepat hamil.

Pernikahan kami adalah hasil perjodohan kedua orangtua kami yang seprofesi. Orangtua kami sama sama seorang dukun ebeg. Mereka terhimpun dalam satu paguyuban yang sama "Paguyuban Ebeg Banyumasan".

"Menikahlah dengan Mas Parno, dia adalah jodoh yang tepat buatmu, Min."

Itu adalah pesan terakhir dari ibuku sebelum meninggal. Ibu meninggal seminggu setelah pernikahanku dengan Mas Parno. Dia tidak sempat melihatku hidup bahagia dengan Mas Parno. Namun ternyata, aku pun tidak begitu bahagia hidup bersamanya. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai TNI waktu itu. Dia jarang dirumah karena sering bertugas di luar Jawa. Jadi alasan kami belum punya momongan, salah satunya karena kami jarang bersama.

Orang-orang menyebutku janda tentara. Mereka membenarkan keputusanku bercerai dengan Mas Parno pada waktu itu, bahkan hingga sekarang. Selama setahun pernikahan kami, kami hanya bertemu selama 6 kali dalam setahun itu. Mas Parno libur bertugas 3 hari per dua bulan. Akhirnya setelah bercerai, kini aku mewarisi pekerjaan orangtuaku melestarikan budaya Banyumas, yaitu ebeg. Aku tidak pernah malu dengan pekerjaanku. Banyak yang mencibirku, namun ada juga yang turut mengapresiasi karya-karyaku bersama kelompok.

"Sayang-sayang, perempuan ayu, pinter, putih, tinggi, kaya kamu cuma jadi dukun ebeg. Kalo kamu mau bisa jadi suaminya orang kaya loh, Min."

Sering sekali aku mendengar kata-kata seperti itu. Sama seringnya seperti ejekan yang menjulukiku janda kembang. Bukan kemauanku menjadi janda, toh aku tidak pernah menganggu rumah tangga mereka. Aku tidak pernah mengganggu siapa pun. Kadang, menjadi dukun ebeg, memberiku kesempatan untuk melepaskan emosiku, aku bisa berpura-pura kesurupan untuk mengelabuhi bahwa aku sedang marah. Tapi selama aku diwariskan kemampuan tersebut oleh bapak, hanya sekali aku menggunakan kesempatan itu. Dan aku tidak ingin mengulanginya. Sekarang fokusku adalah "Nguri-uri Budaya Banyumasan", masalah jodoh kuserahkan pada Tuhan.

"Ada Tuhan yang mengatur jodohku, biarkan saja, aku juga tidak pernah menutup diri untuk orang yang mau dekat denganku. Siapa pun berhak, siapa pun punya kesempatan ke dua."

Itu yang selalu kuucapkan, kala ada omongan yang kurang enak didengar persoal jodoh. Sejauh ini, hanya Pak Tejo yang terang-terangan mendekatiku. Padahal dia sudah beristri, istrinya sedang sakit, sudah hampir 3 tahun lamanya. Konon, tinggal menghitung hari saja. Aku sama sekali tidak berniat untuk menggantikan posisi istrinya. Biar saja orang selalu menjodoh-jodohkan kami. Tapi baik aku dan Pak Tejo jarang terpancing emosi. Usia Pak Tejo lebih muda dari mantan suamiku, umurnya kira-kira lebih tua 4 tahun dari umurku yang sekarang. Biar muda, dia sangat bijak. Sudah dua tahun, aku bekerja sama dengan beliau. Pengajuanku untuk mengadakan pagelaran ebeg selalu di apresiasi olehnya. Dua kali peringatan bulan Suro, pihak desa selalu menggunakan tarian ebeg yang kukelola, namanya Ebeg Wahyu Turonggo Jati. Padahal masih ada ebeg-ebeg lain yang sama bagusnya. Beberapa acara hajatan juga sering menyewa pertunjukan ebegku sebagai hiburannya.

Makin kesini, aku makin suka dengan kesenian asal daerahku, Banyumas. Kesenian Ebeg Banyumas masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia tahun 2022. Kesenian tradisional dari Banyumas ini, masuk sebagai 10 nominasi terbaik penerima Anugerah Pesona Indonesia (API) Award 2022 kategori Atraksi Budaya. Bagaimana aku tidak bangga dengan hal ini.

Ebeg juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2021 lalu, dan kesenian ini bakal bersaing dengan 9 kesenian dari daerah lain pada ajang yang menginjak penyelenggaraan ketujuh tahun ini. Kesenian ebeg yang masuk dalam kategori seni pertunjukkan yang sangat populer di Banyumas. Bisa dikatakan, kesenian ini memiliki daya tarik tersendiri.

"Mbak ... Mbak Mini!" teriak seseorang begitu aku sampai di halaman rumahku.

"Ada apa, Mas?"

"Dicariin bapak!"

"Lah ... kaya kue tok ngorong-ngorong, ujarku ana apa!" (14)

Aku biasa ngedumal seperti itu, saat ada orang yang tiba-tiba memanggilku seolah-olah ada hal penting dan genting yang terjadi. Aku bergegas ke belakang rumah. Tempat favorit bapak adalah kolam guramehnya di belakang rumah. Kolam itu menjadi saksi bisu bapak bersama almarhumah ibu kala itu. Mereka sering menghabiskan waktu berdua, berangan-angan menimang cucu dari rahimku.

"Pak, mencari aku?"

"Iya, darimana kamu, Nduk* (15)?"

"Abis ketemu pak lurah di kantor desa, ada apa to Pak, tumben nyariin mini?"

"Sudah beres urusan proposal ebeg?"

"Sudah disetujui, seperti biasa."

"Pak Tejo itu demen sama kamu loh Min. Diterima saja lamarannya. Lumayan jadi istri lurah, kalo kamu jadi istri lurah, bapak bebaskan ilmumu. Biar bapak cari pengganti yang lain. Bapak rela kok."

"Huus! Bapak itu ngomong apa sih, Pak Tejo kan masih ada istrinya. Aku ga mau jadi istri ke dua, Pak."

"Lah, mau sampai kapan kamu menjadi janda? Bapak sudah gerah denger omongan tetangga."

"Tutup kuping aja kalo gitu. Aku yang ngejalanin aja santai, Pak. Bapak ga usah musingin aku, nanti kan ada jodoh yang tepat buat aku. Kalo bapak udah ga ada obrolan lain, aku pergi."

"Ealaaah Nduk .... Nduk!"

Terpaksa aku meninggalkan bapak sendirian di pinggir kolam. Aku tau maksud bapak baik, tapi aku tidak mau diburu-buru. Aku tidak mau gagal yang kedua kalinya. Cukup Mas Parno yang pernah menyinggahi hatiku dan pada akhirnya gagal.

"Maafin aku ya Pak, kalo udah waktunya, pasti ya aku menikah."

Aku masuk dalam bilik kamarku yang sederhana. Kuambil album foto pernikahanku. Seperti membuka luka lama, aku tidak sanggup melihatnya. Kulemparkan album foto itu ke dalam kolong. Memang aku sudah berusaha melupakan Mas Parno, tapi sesulit itu aku melupakannya. Tidak lebih mudah saat aku belajar untuk mencintainya.

"Ah menyesal aku melihat album foto itu, harusnya kubakar aja semua kenangan itu!"

Aku mengambil album itu di kolong, kubakar semua fotoku bersama Mas Parno.

"Biar semua kenangan itu kubakar. Sudah ga ada gunanya lagi aku menyimpannya."

Satu per satu kulepaskan foto dari albumnya. Dua lembar halaman terakhir, tanganku terhenti.

"Ini kan foto saat pertamaku menjadi dukun ebeg. Rasanya waktu cepat berlalu."

Kuambil semua foto pada dua halaman terakhir di album foto tersebut.

"Mendingan ini yang kusimpan, sebagai cerita buat anak cucuku nanti," gumamku sambil meninggalkan sisa pembakaran yang masih menyala.

Kuletakan foto-foto tersebut dalam sebuah tas selempangku yang biasa kupakai saat beraksi. Aku merebahkan tubuhku yang penat. Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah nomer tak dikenal menelponku ,"Siapa ya?"

"Aku Tejo."

"Oh Pak Tejo, nuwunsewu, saya belum punya nomernya Pak Tejo. Saya kira siapa, ngomong-ngomong ada apa, Pak Tejo nelpon saya?"

"Keluarlah sebentar, aku di depan rumahmu."

Aku menutup telponnya dan menghampiri Pak Tejo.

"Bagaimana dia bisa tau nomerku? Pasti bapak!"

Lagi-lagi aku berburuk sangka pada bapak. Padahal belum tentu bapak yang memberikan nomerku pada kepala desa. Padahal, itu hal yang sangat mudah baginya untuk menemukan data warga sepertiku, jangankan nomer telepon, ukuran sepatu saja bisa didapatnya dalam hitungan menit. Kulihat Pak Tejo sedang mengobrol bersama bapak. Mereka terlihat sangat akrab.

"Apa seperti ini sikap seorang kepala desa terhadap warganya. Apa cuma sama bapak dia bisa tertawa lepas begitu?" gumamku.

"Mini, sini!" Bapak memanggilku.

Tanpa harus dipanggil bapak pun sebenarnya aku memang hendak menemui Pak Tejo. Karena sebelum ini, beliau sudah menelponku.

"Ya Pak."

"Siang Pak Tejo, ada apa ya?" tanyaku basa basi.

"Kalo di luar jam kerja, panggil aja Tejo, jangan Pak, kesannya terlalu tua."

"Ta-tapi ... apa itu tidak terlalu sembrono?"

"Kalo begitu panggil Mas Tejo aja," sela bapak.

"Nah iya, setuju sama bapak."

"Nggih, M-Mas Tejo."

Rasanya kaku sekali dengan panggilan itu. Buatku, Pak Tejo adalah sosok pemimpin desa, yang mau bagaimanapun cara memanggilnya tetap tidak merubah pandanganku padanya.

"Pak, nuwunsewu, saya ada perlu dengan putri bapak, sebentar."

"Oh iya-iya. Silakan Pak Lurah, kalo begitu bapak ke belakang dulu."

Tinggalah aku berdua dengan Pak Tejo di teras rumahku. Aku khawatir akan ada gosip yang beredar lebih panas lagi setelah ini. Aku tidak mau merusak hubungan sebuah keluarga, terlebih ini adalah keluarga seorang pejabat desa.

"Min, apa aku mengganggu waktumu?"

"Sama sekali tidak. Apa Pak Tejo ada keperluan penting, sampai harus mampir ke rumah?"

"Mas Tejo!"

"Mas Tejo ...." Aku mencoba meralat kesalahan kecilku.

"Nah.... Jadi gini, sebenernya ga penting juga sih. Tapi juga ga bisa dibilang ga penting."

"Soal?"

"Pelaksanaan ebeg."

"Kenapa? Apa ga bisa?"

"Bukan begitu, kayaknya harus diundur. Gimana, apa ga masalah?"

"Kalo boleh tau, kenapa ya Mas Tejo?"

"Aku ada undangan buat ikut prosesi sedekah laut di Cilacap."

"Oh begitu, yaudah, ga apa-apa Mas Tejo."

"Kita gelar di tanggal 2 atau 3 nya ya?"

"Iya."

"Em ...."

"Ada lagi yang mau disampaikan, Mas?"

"Apa nanti malam kamu ada acara?"

Aku menggeleng, perasaanku mulai tidak enak. Sebaiknya aku mencari alasan agar Pak Tejo segera pulang, sebelum para tetangga melihat kami yang sedang mengobrol di luar jam kerja kelurahan.

KAMUS BANYUMASAN

1. Permisi

2. Silakan

3. Pergi / Berangkat

4. Iya

5. Permisi

6. Ga usah pakai beginian, Bu. Aku udah tau maksudnya. Kan langganan

7. Siapa itu, Pak?

8. Biasa, Bu Mini lah, siapa lagi. Pak Tejo kan suka sama Bu Mini. Liat aja, pasti proposalnya diterima. Kalo yang lain, sudah pasti ditolak.

9. Proposal untuk kegiatan kesenian ebeg

10. Sudah pasti

11. Pak Tejo masih punya istri kan?

12. Masih, sakit-sakitan. Sebentar lagi juga jadi juga, cocok dengan Bu Mini. Aku juga mau sama Bu Mini, tapi dia yang ga mau sama aku

13. Silakan ( hati-hati )

14. Lah, begitu saja teriak, kirain ada apa!

15. Sebutan untuk anak perempuan