Malam itu, tidurku jadi tidak nyenyak. Jangankan tidur, sekadar memejamkan maata saja susahnya setengah mati. Lebih susah dibandingkan mengerjakan ujian nasional yang menentukan sebuah kelulusan.
"Gara-gara Mas Tejo, aku jadi susah tidur begini!"
Aku segera membekap mulutku sendiri.
"Kenapa aku jadi nyaman memanggilnya Mas Tejo? Kenapa juga aku masih kepikiran sama dia, juga istrinya."
Jam sudah menunjukan pukul setengah dua pagi. Tapi mataku masih saja terjaga, bahkan masih terasa begitu segar. Padahal aku adalah tipe orang yang gampang sekali tertidur, terlebih kalau kondisi sedang lelah seperti ini. Baru sekitar pukul 4 pagi, mataku terasa begitu berat. Akhirnya aku tertidur. Seperti biasa, pukul enam pagi, bapak akan mengetuk pintu kamarku jika aku belum juga menampakan batang hidungku.
"Min ... Mini ... apa belum bangun?"
Aku masih terlelap dalam tidurku. Baru dua jam yang lalu aku bisa tidur. Biasanya bapak akan mengetuk pintu kamarku lebih kencang dari sebelumnya.
"Duwe anak wadon siji, jam semene urung tangi, esih turu ngebo. Apa memper jan!" (1)
Bapak menyerah dan pergi dari depan kamarku. Sekitar pukul 8 pagi, aku mulai bangun. Kulihat matahari sudah bersinar sangat terang, cahaya hangatnya masuk dari celah-celah tirai kamarku.
"Tumben, bapak ga teriak-teriak," gumamku sambil turun dari ranjang dan mengucir rambutku.
Seperti biasa, sepagi ini, aku malas untuk sekadar menyisir rambutku. Aku lebih suka menggulung atau mengikatnya. Aku mencari bapak di dapur bahkan sampai pinggiran kolam ikannya, tapi tidak ada juga.
"Haduh ... bapak kemana ya, pagi-pagi udah ngilang aja."
Setibanya di ruang tamu, samar-samar aku mendengar seseorang yang sedang mengobrol di teras. Aku penasaran dan mengintip lewat balik pintu.
"Min ...."
Aku kaget dengan sapaannya. Awalnya hanya ingin mengintip untuk mencari tau siapa yang sepagi ini sudah bertamu, tidak taunya malah diajak ngobrol juga. Padahal cuci muka saja belum. Sudah pasti wujudku awut-awutan tidak karuan.
"Kamu baru bangun?"
"A-anu, semalem aku ga bisa tidur, Mas."
"Kenapa? Pasti gara-gara tawaran kemarin itu, ya?"
"Tawaran apa?" Bapak.memoyong pembicaraan karena penasaran.
"Ooh... kamu belum cerita ke bapakmu, Min?"
"Belum sempat."
"Jadi begini, Pak ...."
"Eeh ... Mas Tejo, biar aku aja yang cerita ke bapak masalah ini. Ngomong-ngomong Mas Tejo ada perlu apa, sepagi ini udah bertamu ke rumahku?"
"Ok ga masalah ... oh iya, ini loh, masalah pagelaran ebwg kan sudah pasti dilaksanakan ya, dan untuk waktunya di tanggal 2 Suro. Dari desa, rencananya mau buatkan semacam spanduk gitu. Apa boleh?"
"Haha... Mas Tejo ini aneh loh, yang jadi lurah kan panjenengan (2), ya terserah aja. Aku sebagai warga sekaligus pengisi acara yang bekerja sama dengan desa, manut aja. Mau dibikinkan spanduk, boleh banget. Kalau enggak pun, tidak masalah. Seperti biasa, kami punya spanduk, yang tidak perlu bolak-balik cetak alias spanduk logo timnya kami, begitu Mas."
"Kalau begini, udah sama-sama enak. Nanti kalau kalian punya foto yang lumayan bagus, tolong kasihkan ke kantor ya, biar di edit sama Mas Prabu untuk bikin spanduk. Rencanaku nanti, peringatan Suronan tahun ini harus meriah. Tapi, itu nanti aja bahasnya. Kalau begitu, aku pamit. Jangan lupa, fotonya segera dikirim ya!"
Pak Tejo pergi setelah menyampaikan hal yang bisa dibilang penting, bisa juga tidak.
"Haduh ... haduh, udah pasti Pak Lurah cuma cari alasan untuk bisa ketemu sama kamu, Min."
"Halah Bapak!"
"Oiya, maksud kalian penawaran apa, tadi?"
"Oh itu, yaitu, pokoknya masih ada hubungannya sama kegiatan pagelaran ini, Pak."
Terpaksa aku mengarang cerita, mudah-mudahan bapak mempercayainya.
"Kalo begitu, minta seragam baru aja, Min. Seragam kita itu kan udah kuno, perlu perubahan."
"Halah Bapak! Jangan sok-sokan ngerti hal yang begituan Pak. Bapak ngerti apa soal mode jaman sekarang. Udah pokoknya bapak ga usah mikirin keberlanjutan kelompok ini. Selama aku masih dipercayai buat ngurus kelompok ini, paguyuban ebeg kita ga akan pernah hilang ditelan jaman, Pak."
Bapak tidak menyahuti perkataanku. Tapi dari raut wajahnya, aku sudah bisa menyimpulkan, bahwa bapak merasa lega, kalau kebudayaan ebeg ini akan terus maju dan berkembang. Artinya usahanya melestarikan budaya Banyumasan sukses.
Siang itu, seperti biasa, aku dan teman-teman ke sanggar. Meski tidak ada jadwal latihan, beberapa dari kami sering menghabiskan waktu di sanggar. Sebagian besar dari kami adalah pekerja lepas dan petani. Jadi pemain ebeg bukanlah satu-satu mata pencaharian. Bapakku sendiri adalah seorang petani. Jika tidak ada jadwal latihan dan pagelaran, bapak selalu pergi ke sawah atau kebun untuk bercocok tanam. Penabuh gamelan pun sama, karena rata-rata penabuh gamelan sendiri sudah berumur 45 tahunan bahkan lebih. Lain halnya dengan penari ebeg serta sinden-sindennya. Mereka harus usia produktif antara 17 sampai 35 tahunan. Karena mereka lah yang akan bermain paling ekstrim kala pementasan dimulai. Jiwa dan raga mereka harus lebih kuat dari siapapun. Begitu juga dengan si penimbul ebeg atau dukun ebeg, tidak semua orang bisa mendapatkan ilmu seperti ini. Karena selain ilmu ini diturunkan, si penimbul harus berjiwa bersih dan suci. Karena tugas mereka berat, komunikasi lintas alam. Penimbul ebeg harus menjalin kerjasama yang baik dengan indhang atau arwah yang akan dipanggil.
"Mbak Mini, foto ini cukup? Ga ada foto lain yang lebih bagus dari ini."
Joko menunjukan sebuah foto full team.
"Iya, kamu anterin ini ka Mas Prabu di kantor desa, ya?"
"Apa ga apa-apa?"
"Ga apa-apa gimana?"
"Nanti Mbak Mini ga ketemu sama Pak Lurah dong!"
"Astaga! Jokooo!"
Joko kabur begitu aku mencopot sendal jepitku. Dia sudah tau mau aku lempar.
"Berani-beraninya dia menggodaku seperti itu!"
Tidak berapa lama, Joko kembali, dia tidak sendiri. Ada Pak Tejo di belakangnya.
"Mbak ...."
"Kenapa Jo?"
"Ini lho, ada tamu agung," jawabnya sambil cengengesan.
"Yaudah, tolong bikinkan kopi atau teh untuk Pak Tejo ya!"
"Nggih Mbak Mini...."
"Silakan Pak Tejo, ada apa ya?" tanyaku basa basi, dalam hatiku bertanya, "Kenapa lagi dia, padahal baru tadi pagi ketemuan?"
"Ini ga ada foto yang lebih bagus Min?"
"Itu udah yang paling bagus lho Pak."
"Kalo begitu aku fotoin aja ya, biar spanduk yang dibikin Mas Prabu nanti terlihat sempurna, terlebih untuk foto si penimbul."
"Boleh ... boleh Pak Lurah. Udah lama kami ga difoto dengan gaya yang bagus."
"Joko!"
"Ga apa-apa Min ... betul kata Joko. Jo, kalau begitu panggil semua tim untuk foto sore ini. Sepulang jam dinas, aku akan kesini lagi untuk memotret kalian. Lagi pula, kalo sekarang aku belum bawa kamera, kan."
"Siap, Pak!"
Dalam sekejap, Joko sudah menghilang bak ditelan bumi. Pak Tejo memperhatikanku dalam-dalam. Aku menjadi salah tingkah karenanya.
"Gimana?" bisiknya.
Aku menggeleng, aku belum bisa memberinya jawaban dalam waktu dekat. Itu keputusan besar. Terlebih untuk keluargaku. Jika aku menyetujuinya, aku satu-satunya yang beragama Islam di keturunan keluarga. Artinya aku yang memutus rantai kepercayaan Animisme dalam silsilah keluarga.
"Min ... aku ga perlu jawaban itu sekarang, yang penting siapkan dirimu aja!"
Ambigu sekali kata-kata Pak Tejo. Kenapa juga istrinya menyetujui suaminya mau kawin lagi. Jelas-jelas dirinya masih ada, meskipun pada akhirnya akan mati juga. Bukankah setiap yang hidup juga akan menemui kematiannya?
"Maaf, Mas Tejo ga mau balik ke kantor desa sekarang?"
"Apa kamu ngusir aku?"
"Bukan begitu, Mas. Rasanya ga pas aja, kalau di jam dinas, lurahnya malah sedang berduaan dengan seorang janda di sanggar latihan ebeg Wahyu Turonggo Kembar."
"Istriku ngundang kamu ke rumah."
"Ah masa?"
"Kalau ga percaya, nih chat dari dia. Kamu baca aja!" Pak Tejo memberikan ponselnya.
Tentu saja aku harus memastikannya, agar todak timbul permasalahan di belakang. Ternyata benar, istrinya yang mengundang aku untuk makan siang di rumah mereka. Setidaknya aku punya pegangan kuat untuk menjawab, kalau-kalau ada yang iseng bertanya. Namanya juga manusia, lidahnya tidak bertulang. Pasti gatal jika tidak berkomentar.
"Yasudah, ayo naik!"
Aku dan Pak Tejo berboncengan. Sudah pasti, kami jadi pusat perhatian. Ada yang mendukung, banyak juga yang mencibir. Namanya janda, pasti harus siap dengan segala cibiran tetangga jika ada laki-laki yang mencoba mendekat.
"Mas ...."
"Hmm ...."
Aku mengehela nafas panjang.
"Kenapa?"
Aku bergeleng, mengurungkan niatku untuk melanjutkannya.
"Ga jadi?"
Kali ini aku mengangguk.
Pak Tejo menggandeng tanganku menuju rumahnya, tapi aku menolaknya. Meski istrinya tengah sakit, bukan berarti dia tidak punya mata dan hati. Dia bisa melihatku yang bergandengan tangan dengan suaminya, dia juga bisa merasakan sakit hati akibat ini.
"Mas!" Aku bergeleng, memberi isyarat bahwa aku tidak mau melakukannya.
Untunglah Pak Tejo segera paham. Dia memberikan kesempatan untukku berjalan di depannya. Akhirnya kami berjalan beriringan. Di ruang makan, kutemukan istrinya sudah siap disana. Pak Tejo mengecup kening istrinya di hadapanku. Dia sangat mencintai istrinya, bagaimana mungkin ia akan menduakan istrinya dengan menikah denganku?
"Budhe udah pulang?"
Istri Pak Tejo hanya mengangguk. Rupanya kalau siang hari, budhenya Pak Tejo lah yang menemani istrinya di rumah.
"Apakah dia tau kalau ...?" batinku.
"Min, selain istriku, budheku juga tau rencana kita. Kamu jangan khawatir, ya!"
"Kita? Kamu, Mas!" Aku meluruskan pendapat Pak Tejo.
Dari awal aku tidak pernah merencanakan hal ini sedikit pun. Terlintas saja tidak pernah. Jangankan untuk menjadi istri ke dua, andai ada laki-laki yang datang menjadikanku istrinya satu-satunya saja belum tentu langsung kuterima. Tangan istrinya menyenggolku, aku menunduk ke arahnya.
"Ayo makan."
Kali ini suara istri Pak Tejo terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Situasi makan siang paling tidak enak yang pernah kualami sepanjang hidupku. Seusai makan, Pak Tejo melarangku pulang.
"Min, istriku ingin mengobrol denganmu. Mau ya?"
Sudah pasti aku tidak bisa menolaknya. Meski sebenarnya aku sangat tidak nyaman, namun aku kuatkan hati dan mataku untuk bertatapan dalam waktu yang cukup lama dengannya.
"Maaf Mbak Mini, kita terpaksa ngobrol di kamar. Aku ga bisa duduk terlalu lama. Udah ga kuat."
"Iya, Mbak, aku ngerti. Ada yang pentingkah, Mbak?"
"Kamu sibuk, ya?"
Aku menggeleng. Dia mengangguk.
"Apa kamu kenal dengan Mas Tejo dengan baik?"
"Aku hanya mengenal Mas Tejo sebagai lurah yang baik, sopan, berprestasi dan ga neko-neko. Itu aja, Mbak. Secara pribadi, tidak!" Aku berusaha menegaskan hubungan kami yang memang tidak pernah ada hubungan apa pun.
"Mulai sekarang, kamu harus mengenal Mas Tejo. Percaya sama aku, dia orang baik."
Sungguh, aku ingin menangis di hadapannya. Aku ingin memeluknya.
"Apa Mbak yakin?"
"Aku sadar, hidupku ga akan lama lagi. Aku ga bisa terus bersama Mas Tejo. Biarlah dia bahagia dengan wanita pilihannya. Dan ternyata, itu kamu. Kalau bisa yang seiman ya. Ga masalah sekarang belum, tapi nanti ketika waktunya tiba, itu harus."
Apa wanita ini sudah gila, apakah dia memang sudah tidak ada harapan untuk hidup, sampai merelakan untuk berbagi suami dengan wanita lain. Permainan dunia macam apa ini. Aku baru tau ada yang seperti ini di dunia nyata, selama ini aku hanya melihatnya di layar televisi.
"Mbak ... aku nitip Mas Tejo, ya ...!"
Hatiku runtuh.
Kulihat matanya tiba-tiba tertutup. Aku menjadi gugup karenanya. Kupikir dia sudah diambil, setelah kuperhatikan, hanya tidur. Terlihat jelas dari pergerakan perutnya yang naik turun.
"Bisa-bisanya dia tidur dalam kondiai seperti ini."
Aku keluar dari sarang cinta Mas Tejo dengan istrinya.
"Udah?"
"Istrimu tidur, Mas."
"Ya, memang begitu dia. Pasti karena efek obatnya."
"Oh begitu. Aku pulang ya."
"Kuantarkan, sekalian kita take foto untuk spanduk, Min."
"Hmmm...."
Setibanya aku di sanggar, anak-anak sudah rapih dengan kostum kebanggaan kami.
"Lihat, mereka sungguh-sungguh berniat foto, kan."
"Pasti lah. Kami ga pernah main-main dengan sesuatu."
"Tapi kamu selalu mempermainkan hatiku. Kamu ga pernah serius dengan hubungan ini."
"Bukan begitu, Mas. Ini bukan waktu yang tepat untuk bahas masalah pribadi. Jalan lah lebih dulu. Aku nyusul."
Aku masuk lewat pintu samping. Aku berganti kostum yang memang selalu kutinggal disana. Kupoles sedikit riasan di wajahku. Lalu kuhapus lagi.
"Ini cuma foto spanduk, ga perlu full make up!"
Tiba-tiba seseorang memanggilku dari luar.
"Mbak ... Mbak Mini, ditunggu Pak Lurah!'
"Iya, bentar."
Aku memoleskan lagi bedak dan lipstik merah cabe untuk yang terakhir kalinya.
"Kenapa sih, jadi orang ga sabaran. Wanita kan emang selalu lama kalo berdandan. Bukan cuma aku kok!"
Aku keluar dengan pakaian lengkap beserta aksesorisnya, sama seperti dengan yang lain. Tapi tatapan mata Pak Tejo seolah-olah melihat sesuatu yang aneh, lagi-lagi membuat aku salah tingkah.
"Kenapa to Pak Tejo, kenapa melihatku seperti itu. Ada yang salah ya dengan riasan wajahku atau bajuku terlihat terlalu rame?"
Pak Tejo hanya menggeleng lalu tersenyum.
"Ayune pol." (3)
"Aish.... kukira kenapa."
"Ayo ...ndang selak sore koh. Mengko keburu sambekala, ayo Pak." (4)
"Yang sabar to, sayangku."
Seketika aku membungkam mulutnya. Untung tidak ada yang mendengar, juga melihatku melakukan ini pada seorang kepala desa. Bisa-bisa aku kena timpuk warga sekampung.
KAMUS BANYUMASAN
1. Punya anak perempuan satu, jam segini masih tidur pulas. Ga pantas!
2. Sebutan untuk orang yang di hormati
3. Cantik sekali
4. Ayo buruan, keburu sore loh.
*Sandekala adalah waktu peralihan dari sore ke malam atau menjelang maghrib.