Seperti kesepakatan sebelumnya, Pak Tejo, si kepala desa sudah memutuskan untuk memundurkan satu atau dua hari pagelaran ebeg. Setidaknya aku sudah tau kapan tepatnya aku harus bersiap-siap dengan anggotaku.
"Loh, Min, katanya mau pergi sama Pak Lurah?" tanya bapak begitu, Pak Tejo pulang dari rumah kami.
"Kata siapa, Pak?"
"Bapak denger sendiri. Wong dari tadi bapak ngumpet di belakang pintu kok."
"Astaga Bapaaaak, jadi Bapak nguping obrolanku sama Pak Tejo?"
"Ga ada salahnya kan? Bapak kan penasaran, sejauh apa hubunganmu dengan Pak Lurah."
"Bapak, aku sama Pak Tejo ga ada hubungan spesial, ibaratnya ini cuma hubungan kerja. Pak, Pak Tejo masih punya istri loh. Bapak rela, kalau aku dipanggil pelakor sama orang sekampung?"
"Ya bukan begitu Min … Bapak cuma mau lihat kamu bahagia. Bapak ingin kamu menikah lagi. Apa kamu mau selamanya jadi dukun ebeg? Ingat janji Bapak, kalo kamu menikah, Bapak akan lepaskan ilmumu."
"Ya kalau mau dilepaskan, lepaskan aja sekarang Pak, kenapa harus menunggu aku untuk menikah dulu. Aku pernah gagal dengan Mas Parno, aku ga ingin gagal yang kedua kalinya. Sudahlah Pak, aku ngabarin anak-anak dulu buat persiapan latihan."
Aku malas sekali berdebat soal pernikahan dengan bapak. Bapak orangnya tidak sabaran. Serba grusa-grusu. Sama ketika dia menurunkan ilmunya padaku. Bapak tidak berpikir panjang apa dampaknya buat aku. Soal budaya Banyumasan, memang bapak sudah tidak bisa ditawar. Nguri-uri (melestarikan) budaya Banyumasan adalah harga mati baginya.
"Bapake kaya kue lah, nyong mumet temen mikiri lanangan! " (1)
Sambil ngedumal, aku pergi menaiki motor bututku. Seperti biasa, aku dan timku berkumpul di sanggar milik bapak. Disana biasanya kami latihan sebelum mengadakan pagelaran ebeg. Sebenarnya, kami jarang latihan, kecuali untuk acara Suronan*, kami benar-benar menggarapnya dengan sungguh-sungguh. Tahun baru Jawa menurutku dan kepercayaanku sangatlah penting.
"Jo, anak-anak udah pada tau kan, siang ini latihan?"
"Tau kok, tadi udah kukabari semua."
"Yaudah, tiga puluh menit kutunggu, kalo sampe ga pada dateng, tak celukna indhang sisan!" (2)
"Owalah ..., Min, Min yang sabar sedikit loh, jadi orang kok begitu amat .Kegrusa-grusuan bapakmu apa ya di wariskan juga?"
Ternyata sifat gegabah (grusa-grusu) bapak memang sudah dikenal oleh semua anggota paguyuban ebeg, khususnya oleh kelompok Wahyu Turonggo Kembar. Meski begitu, mereka sangat menghormati keberadaan bapak yang memang jadi sesepuh di kelompok teesebut. Bapak adalah salah satu penimbul ebeg yang cukup terkenal. Bapak juga mewarisi dari kakek tentang ilmu tersebut. Memang itu adalah ilmu turun menurun di keluarga kami.
"Halaaah ... ini pada kemana sih, niat latihan ga sih. Kalau bukan buat acara Suronan, aku juga ga minta kalian buat latihan."
Aku mulai bosan menunggu terlalu lama dan bertele-tele. Hampir saja aku pergi, tiba-tiba, aku dikejutkan oleh kedatangan Pak Tejo bersama anak-anak lain.
"Selamat ya ...."
Aku yakin, saat itu wajahku merah padam, seperti kepiting rebus. Rupanya timku sedang menyiapkan sebuah acara kejutan. Ya, hari itu adalah hari ulang tahunku. Aku sendiri tidak pernah merayakan ulang tahun selama hidupku. Ini adalah kali pertama buatku.
"Kamu mau kemana? Marah ya?"
Pak Tejo menggodaku di depan anak-anak kelompok.
"Jadi kalian sengaja mengerjaiku, ya?"
Spontan aku menoleh ke arah Joni, dia satu-satu timku yang paling kalem.
"Jadi kamu bersekongkol dengan mereka Jo? Ga nyangka aktingmu sebagus ini, Jo!"
Aku melempar sendal jepit yang tengah kupakai. Satu ke arah Joko dan satunya ke arah anak-anak yang lain.
"Wis to Min, aja kesuh bae, niate kan apik, gawe surprise. Aja kesuh bae, cepet tua. Ndang diiris rotine." (3)
Karena rasa tidak enak dengan Pak Tejo, aku mengurungkan niat marahku semakin membabi buta. Tapi, biar saja, akan kubalas keisengan anak-anak. Akhirnya, sore itu kami tidak jadi latihan, karena ada acara kecil-kecilan yang sudah direncanakan Pak Tejo untukku.
"Besok, ga ada yang telat lagi! Semua harus tepat waktu. Kita ga punya waktu banyak sebelum pagelaran. Terutama tim gamelan tuh, jangan sampai ada salah-salah lagi. Soalnya acaranya kan sakral. Buat tim penari, jaga kekompakan. Atur ritmenya, apa lagi ya?"
"Buat penimbul, jangan marah-marah terus! Kasian timnya, nanti jadi stress. Nanti yang dateng malah indhang yang lain lagi. Kan repot!"
Aku melirik Pak Tejo, sambil membatin atas tingkahnya, "Apa Pak Tejo sedang menggodaku? Frontal banget, justru aku yang merasa ga enak hati kalo begini. Pasti mereka bakalan ngomongin aku setelah ini."
Pak Tejo paham betul bagaimana pekerjaanku berikut resikonya. Meski kami beda kepercayaan, toleransi kami sangatlah tinggi. Aku adalah penganut paham Animisme. Sedangkan Pak Tejo beragama Islam. Sebagian besar timku juga memiliki paham yang sama denganku. Termasuk keluargaku. Mereka semua adalah penganut paham Animisme.
Aku sangat mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar), mempunyai jiwa yang harus dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia lain. Selain jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat itu, kepercayaan yang kuanut juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan seperti babi atau harimau.
Aku pun sedikit banyak paham bagaiamana tentang ajaran Islam, seperti agama yang dipercayai Pak Tejo dan sebagian besar masyarakat di sekitarku. Menurutku, Islam itu agama yang sangat toleransi.
"Min ... kok ngelamun, mau aku anterin pulang ga?"
"Aku bawa motor loh Pak Tejo. Itu," jawabku sambil menunjuk dimana letak motorku.
"Lah, dimana motorku, kok ga ada!"
Aku kebingungan, padahal sebelumnya aku yakin betul sudah mengunci motorku.
"Mbak Mini ... motornya kupinjam ya, pulangnya minta diantar Pak Lurah dulu!"
"Ah sialan!" batinku.
"Gimana? Mau jalan kaki aja?" Pak Tejo masih saja berusaha membujukku agar mau diantar olehnya.
Sanggar bapak lumayan jauh dari rumah. Jika naik motor saja, hampir setengah jam, bayangkan jika aku harus jalan kaki sampai rumah. Lagi pula hari sudah cukup gelap. Soal mahluk halus aku tidak pernah takut, tapi bagaimana kalau di jalan aku ketemu begal?
"Iya aku mau diantar."
Akhirnya aku memutuskan untuk diantar Pak Tejo.
"Diantar siapa?"
"Pak Tejo, emang ada orang lain lagi selain kita berdua disini?"
"Maaaas Te-jo!"
"I-iya, itu maksudku."
Aku dibonceng menggunakan motor tigernya. Rasanya sangat mendebarkan. Bukan karena aku menyukai Pak Tejo, melainkan aku takut, bagaimana tanggapan orang tentangku setelah ini.
"Pak, eh maksudku Mas Tejo, aku harap ini yang pertama sekaligus terkahir ya, aku ga enak sama keluargamu, sama istrimu!"
"Tenang aja!"
Bagaimana aku bisa setenang dia. Aku mendengus kesal.
***
Pukul 09.00 WIB
Seperti kesepakatan hari kemarin. Pukul sembilan tepat, semua tim sudah berkumpul di sanggar bapak. Kali ini bapak ikut mendampingi kalian. Katanya momen spesial jangan di lewatkan. Sejak, ilmunya diturunkan padaku, sebenarnya bapak sudah tidak aktif lagi di dunia ebeg. Hanya sesekali mengawasiku saja. Bukan karena ilmu penimbulnya sudah tidak ada lagi, tapi tenaga bapak yang sudah terlalu tua untuk menyeimbangkan antara indhang yang akan masuk dan pulang. Terkadang, kekuatan mereka tidak bisa dikendalikan lantaran masih mau menempel pada si empunya badan. Ini seringkali terjadi. Dan hal ini lah yang menjadi tantangan bagi penimbul (dukun ebeg) sepertiku saat sedang ada pertunjukan. Tak jarang, penonton pun ikut kesurupan ketika acara ebeg sedang dalam puncaknya.
"Yuk, formasi lengkap, kan?"
Serentak mereka menjawab. Semangatnya luar biasa. Ini adalah salah satu alasanku betah berlama-lama menjalani profesi ini. Segerombolan anak muda yang saling bahu membahu melestarikan dan menjaga budaya Banyumasan.
"Yok, tap ... tap ... tap!"
Aku ingin membakar semangat mereka. Totalitas dalam latihan akan berbanding lurus dengan pelaksanaan pagelaran yang berunjung sukses.
"Iya mak ... iya!"
Aku akan berubah menjadi emak mereka kala latihan, aku berubah menjadi guru mereka saat pementasan dan aku menjadi teman dan sahabat mereka selain dua kegitan itu. Latihan dimulai dari penabuh gending, kemudian diikuti sindennya kemudian kekompakan para penarinya.
"Jangan ada yang sampai masuk!"
Biasanya, saat latihan pun terkadang ada yang sampai kerasukan karena saking asiknya mengikuti iringan gending dan lagu-lagu yang dibawakan oleh sinden kami. Namun tidak banyak kasusnya, tidak seperti saat pagelaran ebeg. Sekitar 6 jam, aku dan teman-teman latihan. Durasi yang sama dengan pagelaran ebeg yang sesungguhnya. Sekitar pukul lima sore kami selesai latihan. Bapak menepuk pundakku begitu teman-teman pulang.
"Kenapa Pak?"
"Ada yang mau ikut kamu Min."
"Owh!"
"Udah bapak suruh pulang, ayo kita pulang, udah ada yang keganggu!"
Aku sudah biasa dengan hal seperti ini. Sudah jadi makananku sertiap hari, mendengar hal-hal yang seperti itu. Terlebih pasca latihan dan pagelaran. Pasti ada saja yang mau ikut pulang. Sebelum kami meninggalkan sanggar bapak, ada seseorang yang memanggilku. Bapak menunda menyetarter motornya. Aku menengok ke arah suara.
"Pak Tejo."
"Siapa Nduk?"
"Pak Lurah, Pak!"
Begitu tau siapa yang memanggilku, bapak langsung menyuruhku turun dari motor dan segera menemuinya.
"Pak Tejo manggil saya?"
"Mas Tejo!"
"Oh, iya, begitu maksudku. Ada apa Mas Tejo?"
"Latihan kalian udah beres?"
"Udah, ini aku sama bapak udah mau pulang. Kenapa?"
"Pak, Mini dipinjem dulu sebentar, apa boleh?"
"Tentu boleh Pak Lurah, silakan."
Aku sedikit kesal dengan basa basinya Pak Tejo. Kenapa harus memakai kiasan dipinjam, seperti sebuah barang aja. Sama saja dengan bapak, dia seperti sedang menjual anaknya dengan harga obral. Kalau sudah dalam posisi begini, aku sudah tidak punya alasan lain untuk menolaknya. Dan bapak sudah meninggalkanku saja, tanpa iya dariku. Ah, sebegitu tidak berharganya aku untuk bapak.
"Min, aku mau ngajak kamu ke rumah. Mau ya?"
"Mau ngapain Mas Tejo?"
"Udah ... ikut aja!"
Ternyata itu bukan pertanyaan dan aku memang tidak bisa menolaknya.
"Kamu baru pertama kali ke rumahku, ya?"
Aku hanya mengangguk saja. Hatiku berdebar sungguh, takut kena semprot istrinya, terlebih orangtuanya. Pak Tejo mengajakku masuk. Rumahnya sangat bagus dan mewah untuk seukuranku. Cocok jadi rumahnya seorang kepala desa.
"Mau apa ya, Pak Tejo ini. Kenapa juga aku harus di ajak kesini?" gumamku saat Pak Tejo meninggalkanku sendiri di terasnya.
Tidak berapa lama, Pak Tejo keluar bersama istrinya. Dia didorong menggunakan kursi roda. Sebenarnya dia wanita yang sangat cantik, tapi sekarang kondisinya kulitnya keriput dan kering, meski sebenarnya usianya masih muda, sama sepertiku. Rambutnya sepertinya mengalami kerontokan parah karena kulihat tinggal beberapa helai saja. Pak Tejo mengenalkan istrinya padaku.
"Ini istriku, Min. Maaf dia menolak untuk kupakaikan kerudung."
"Nggih Pak ...." (4)
"Miniii ... aku udah cerita banyak pada istriku tentangmu, tentang hubungan kita. Dia tidak keberatan. Aku membawamu kesini atas izin istriku. Jadi, kamu ga perlu khawatir akan ada omongan miring tentang ini."
"Maksudnya gimana?"
"Istriku udah mengizinkan aku untuk dekat denganmu. Selama dia masih ada, dia hanya butuh dirawat saja. Umurnya tidak akan lama lagi. Hitungan hari, dokter sudah memvonisnya."
"Begini Mas, Mbak ... bukankah di agama kalian mengajarkan tentang hal ini. Umur, jodoh dan rezeki sudah ada yang mengatur?"
"Iya, kami paham betul tentang hal ini Min ...."
Istrinya Pak Tejo seperti ingin mengatakan sesuatu, dia memberikan kode pada suaminya. Pak Tejo segera meresponnya. Dia mendekatkan telinganya ke mulut istrinya. Ucapannya sangat pelan, hanya dia dan Pak Tejo yang bisa mendengarnya. Pak Tejo mentransfer perkataannya padaku.
"Min, kata istriku, kamu bersedia pindah agama ga?"
Duniaku seakan runtuh mendengar permohonan dari istri Pak Tejo. Dia terang-terangan mengizinkan suaminya berdekatan dengan wanita lain dihadapannya. Bisa jadi ini adalah permintaan pertama dan terakhirnya untukku.
"Aku harus jawab apa?" batinku.
Keringatku mulai menetes tanpa sepengetahuan mereka.
"Maaf Mas, aku belum bisa ngasih jawaban sekarang. Ini masalah kepercayaan. Sudah turun menurun, dari leluhur, buyut hingga aku, generasi terakhirnya. Ini persoalan yang ga bisa kuputuskan sepihak. Paling tidak aku harus minta pendapat dari bapak."
"Iya, aku tau, silakan pikirkan baik-baik."
Suasana menjadi kaku, aku tidak berani bertatapan mata dengan istri Pak Tejo. Namun, sesekali aku melirik istrinya. Tidak tega rasanya melihat kondisinya yang sudah begitu. Pasti mereka sudah pasrah. Kudengar Pak Tejo sudah mengobatkan istrinya ke berbagai rumah sakit terbaik. Bahkan sudah pernah sekali operasi di Singapura. Mungkin ini batasnya, saatnya menyerahkan hidupnya kepada yang memberinya hidup.
"Kalo begitu, aku pulang dulu Mbak, Mas ..."
"Aku antarkan Mini dulu, ya?" Pak Tejo meminta izin dulu pada istrinya. Dia mengizinkannya.
"Ga usah Mas, aku udah WA Joko buat jemput aku disini. Biar Mas Tejo tetap dirumah untuk menemani istrinya."
"Min ...."
"Mas Tejo, umur istrimu bisa jadi ga akan lama. Temani dia selagi ada."
Akhirnya Pak Tejo mengalah. Beruntung Joko datang lebih cepat dari dugaanku. Dia memberikan kode klakson panjang.
"Nah ... itu Joko. Aku pulang ya, Mas?"
"Hati-hati ya, bilang sama Joko, jangan ngebut!"
Aku berjalan ke arah Joko. Sengaja tidak berpamitan pada Pak Tejo. Tidak taunya, dia malah mengikutiku dari belakang.
"Jo ... jangan ngebut, pastikan Mbak Mini sampai di rumahnya dengan keadaan selamat. Kamu jangan pulang sebelum dia masuk ke dalam rumah. Ngerti?"
"Nggih Pak Lurah. Saya permisi dulu ...."
KAMUS NGAPAK
1. Bapak begitu loh, aku pusing memikirkan laki-laki
2. Kupanggilkan arwah sekalian
3. Udah Min, jangan marah terus, niatnya baik, bikin surprise. Jangan marah-marah terus, cepat tua. Segera dipotong kuehnya
4. Iya, Pak
*acara bulan Suro yang sering dilakukan di daerah tersebut