Anasthasia memejamkan matanya, ia menarik napas dan menghembuskannya berulang kali, memusatkan pikirannya pada satu hal yaitu energi alam. Sudah satu jam lamanya ia berdiam diri di padang rumput belakang rumah Nyonya Hudston, suasana sangat tenang, ia seakan bisa mendengarkan suara angin dan aliran darahnya. Nyonya Hudston memintanya untuk mendapatkan konsentrasi dan mencoba sihirnya pada sebongkah batu seukuran mobil paman Gothe yang menjadi pembatas ntara padang rumput dengan bukit yang ada di belakang rumah Nyonya Hudston. Pikiran Anasthasi menjadi kosong, ia tidak memikirkan apapun, begitupula dengan perasannya yang tidak merasakan apapun, kekecewaannya, ingatan tentang pamannya, semuanya menghilang begitu saja seolah semua itu tidak pernah ada. Saat itulah Anasthasia merasa yakin akan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, seolah energi baru masuk ke dalam dirinya dan mengendalikan pikirannya. Anasthasia membuka mata, dan menatap tajam bongkahan batu besar yang ada di depan "Perdere" gumam Anasthasia. BOOOOM! Seketika bongkahan batu itu pun hancur menjadi puing-puing kerikil yang berserakan ke segala arah. Para Vileta, yaitu sejenis burung pemakan permen berwarna biru muda berterbangan dari atas pohon Perkusi. Terkaget dengan suara ledakan yang muncul. Hans dan Nyonya Hudston berlari dari dalam rumah, mereka menghampiri Anasthasia yang sedang tersenyum puas melihat usahanya membuahkan hasil. Anasthasia membalikan badannya saat mendengar derap langkah kaki yang datang. "Kalian lihat itu!" Ujar Anasthasia sembari menunjuk ke arah tempat dimana bongkahan batu yang menjadi targetnya itu meledak. "Aku berhasil Hans! Aku berhasil meledakan batu itu dengan sihirku!" Ujar Anasthasia kegirangam, bola matanya nampak berbinar, ia berlari ke arah Hans dan Nyonya Hudston lalu memeluk mereka. "Aku sangat senang!" Ujar Anasthasia lagi. Nyonya Hudston menepuk punggung Anasthasia dengan lembut, ia ikut bahagia melihat kemajuan yang telah berhasil didapatkan oleh Anasthasia. "Aku ikut senang melihatnya Tuan Puteri. Namun, latihanmu masih panjang. Kau harus mempelajari mantra penyembuhan, perpindahan tempat, penyamaran, dan pengaturan cahaya, masih begitu banyak harus kau pelajari" ujar Nyonya Hudston. Anasthasia melepaskan pelukannya, perkataan Nyonya Hudston langsung membuatnya kembali lemas. Mempelajari satu sihir saja sudah sangat sulit, apalagi banyak, puluhan, atau bahkan ratusan! Mengingat ketebalan dari kitab sihir yang diberikan padanya saja sudah bisa membuat Anasthasia tahu tentang betapa banyaknya sihir yang harus ia kuasai sebagai calon pemimpin para penyihir di Negeri Valendis. "Terimakasih karena sudah mengingatkanku, Nyonya Hudston. Tapi, alangkah baiknya jika kita merayakan keberhasilanku sekarang!" Ujar Anasthasia. "Tidak. Ini terlalu awal untuk melakukan perayaan. Asal kau tahu saja, ilmu sihir yang baru sajq kau kuasai itu adalah ilmu dari sihir dasar yang sudah dikuasai oleh para balita di Valendis. Mana bisa kami merayakan keberhasilanmu dalam melakukan sihir sederhana seperti itu. Terlebih lagi, lihatlah!" Hans menunjuk sebatang pohon yang ambruk. "Kau menghancurkan pohon di sekitar batu, itu artinya sihirmu belum stabil. Jika ini adalah peperangan, maka kau bisa saja membahayakan kawanmu yang ada di dekat lawan," jelas Hans. Semangat Anasthasia langsung pudar begitu saja. Ucapan Hans yang selalu blak-blakan itu sungguh membuat harga diriny terluka, meskipun begitu ucapan Hans memanglah benar. Terlalu dini untuk merasa bangga dan merayakan pencapaiannya. "Sudahlah. Sudah! Lagipula Puteri Anasthasia sudah sangat bekerja keras, jadi sebaiknya kita beristirahat sebentar, kebetulan saja aku sudah membuatkan kue dari buah Astrougus, kau pasti akan suka, Puteri!" Ucap Anasthasia. "Buah Astrougus?" Tanya Anasthasia. Lagi-lagi ia mendengar istilah asing di telinganya, ia bahkan belum berhasil mengingat nama-nama hewan di Valendis, kini dia masih harus mengingat nama-nama buah dan tanamannya. Memikirkannya saja sudah membuat Anasthasia kelelahan. Anasthasia menghela napas, "Haaaah. Buah macam apa lagi itu?" Tanya Anasthasia. Nyonya Hudston tersenyum. Ia menggenggam tangan Anasthasia dan Hans "Relinquere" ucapnya. Seketika mereka bertiga sudah tiba di dapur rumah Nyonya Hudston. Wangi asam langsung tercium oleh hidungnya. Nyonya Hudston berjalan menghampiri meja makan, ia memotong sebuah kue dan membaginya pad beberapa piring kecil. Lalu ia menghampiri Hans dan Anasthasia lagi yang masih berdiri di ambang pintu. Nyonya Hudston menyerahkan piring berisikan potongan kue "Ini dia kue yang ku buat, makanlah! Kue ini bisa mengembalikan tenaga kalian yang telah hilang," ucap Nyonya Hudston. Anasthasia mendekatkan kue itu ke wajahnya, ia langsung mengernyit, bau asam itu ternyata berasal dari kue yang dibuat oleh Nyonya Hudston. Ansthasia langsung merasa mual dan tak berselera makan. "Aku tidak bisa memakannya" ucap Anasthasia. Nyonya Hudston nampak kecewa dengan ucapan Anasthasia "Mengapa? Apa Puteri Anasthasia tidak menyukai makanan buatanku? Dari kemarin nampaknya Puteri tidak menyentuh makanan yang ku buat sedikitpun," ujar Nyonya Hudston. "Dia hanya belum terbiasa dengan makanan disini. Jika dia lapar pun pasti akan langsung memakannya tanpa mempedulikan lagi perihal selera makan," timpal Hans sembari mengunyah kue buatan Nyonya Hudston dengan lahap. Anasthasia mengamati Hans. Bisa-bisanya Hans makan dengan lahap di saat dirinya sedang kelelahan. Batin Anasthasia. Meskipun begitu, Anasthasia berterimakasih pada Hans karena mau berbaik hati memberikan alasan yang masuk akal pada Nyonya Hudston. "Bernarkah begitu Puteri? Jika benar, maka ini adalah situasi yang gawat," ujar Nyonya Hudston. Anasthasia mengerutkan dahinya, "Apanya yang gawat?" Tanya Anasthasia. "Tenagamu akan terkuras habis saat menggunakan sihir, jika kau tidak makan, maka energimu akan terserap oleh sihir lalu seketika..." Nyonya Hudston terdiam, ia nampak ragu untuk meneruskan ucapannya. "Seketika kau akan mati, seperti ayahmu," timpal Hans. Nyonya Hudston mencubit Hans, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aw, kenapa? Apa aku salah mengatakan kebenarannya?" Ujar Hans. Tak ada yang salah dari ucapan Hans, hanya saja timingnya tidaklah tepat. Sudah ada banyak hal yang dikhawatirkan oleh Anasthasia, dan sekarang ia harus mengkhawatirkan nyawanya lagi hanya karena selera makannya yang hilang selama di Valendis. Sungguh sial! "Hm kau bisa menggunakan sihir untyk memunculkan makanan yang kau mau, jika kau tidak ingin mati hanya karena menahan lapar. Tapi sayangnya kau belum menguasai ilmu sihir itu. Haaah," ujar Hans. Mata Anasthasia melebar, ia seolah mendapatkan ide dari ucapan Hans barusan. " Hei, kau kan bisa menggunakan sihir itu untukku!" Balas Anasthasia. Hans menggelengkan kepalanya "Tidak. Untuk menggunakan sihir itu, aku harus bisa mengetahui bentuk dan rasa dari makanannya, dan ya kau tahu sendiri bahwa aku belum pernah mencicipi makanan yang ada di dunia manusia" balas Hans. Kali ini Anasthasia yang menghela napas. "Dengan terpaksa aku harus memakan makanan disini jika ingin tetap hidup ya," ujarnya dengan lemas. "Ya tentu saja. Aku sarankan kau mempelajari ilmu sihir penciptaan lebih awal, agar kau bisa menggunakan sihir untuk membuat makanan" balas Hans dengan seepihan kue yang menempel di sekitar mulutnya. ***** "Apakah terdapat naga di desa lain yang menghilang?" tanya Hans pada Nyonya Hudston. Nyonya Hudston menghela napasnya dengan berat sembari menggengam telapak tanfannya sendiri di atas meja teras halamannya yang mengarah ke tempat Anasthasia melakukan latihan, Nyonya Hudston memperhatikan Anasthasia, sudah beberapa kali gadis itu mengayunkan tongkatnya mencoba memecahkan batu atau pepohonan hingga tepat sasaran namun hasilnya nihil, Anasthasia tidak pernah bisa melakukannya hingga saat itu "Ya, ada beberapa naga yang hilang di beberapa desa, dan sudah pasti akan diapakan naga-naga yang mmereka curi itu." Nyonya HUdson menatap wajah Hans dengan dalam "Hans..." panggilnya lirih. Hans seketika mengangkat wajahnya dan balas mnatap Nyonya Hudston, tersirat ketakutan di mata tua milik Nyonya HUdston "Kau pasti sangat mencemaskannya an takut bahwa ia tidak akan bisa memimpin peperangan, kan?" tanya Hans, menebak. Nyonya HUdston menggelengkan kepalasembari menutup matanya "Bukan begitu Hans, aku hanya belum merasakan keingin membunuh atau mengalahkan dari gadis itu, kau tahu kan bahwa perasaan semacam itu adalah hal yang sangat berpengaruh dalam perang?" ujar Nyonya Hudston "Ya, kalau begitu kita hanya perlu memberikan motivasi padanya, mungkin kita bisa membawa pamannya dan menjadikannya sanderaan" balas Hans sembari tertawa kecil PLAAAATAK Kepala Hans seketika dipkul oleh tangan keriput Nyonya udston "Kau tidak boleh melakukan hal yang kasar terhadap seorang puteri" balas nyonya Hudston. Hans terkekeh "Aku hanya bercanda" balsnya ***** "Hei," panggil Hans, Anasthasia berhenti mengayunkan tongkatnya, ia mennegok ke arah sumber suara, Hans dengan dada bidangnya yang begitu mempesona, membuat wajah Anasthasia menjadi bersemu merah "Kau seharusnya memakai baju, kaos atau jubahmu di cuaca yang dingin seperti ini" ujar Anasthasia, gugup. Hans manatap dirinya sendiri, iamerasa tak ada yang salah dengan dirinya "Hmmm memangnya kenapa? Aku selalu merasakan hangat di tubuhku karena aku adalah manusia serigala, lebih baik kau khawatirkan saja dirimu sendiri karena jika kau belum juga bisa mengasah kemampuan sihirmu maka kau akan diharuskan untuk tetap tinggal disini karena tidak ada yang bisa membukakan pintu portal untukmu" ujar Hans. "Haaah" Anasthasia menghela napasnya dengan nelangsa "Aku harus bagaimana agar kekuatanku bisa berkembang dengna cepat?" tanya Anasthasia seorang diri "Kau haus mengisinya dengan makanan yang berasal dari duni ini, rsakan lah energi alamanya dan--" "Hans, apakah di sekolah ada yang tahu bahwa kau menjalani kehidupan dua dunia seperti ini?" tanya Anasthasia memotong ucapan Hans. Hans tertawa dengan keras "Kenapa juga mreka perlu tahu? Tidak ada yang tertarik dengn kehidupanku di duniamu, aku benar-benar tidak suka karena mereka harus menjadi manusia yang tidak berperasaan pada sekitar, padahal manusia menjadi istimewa karena perasaan yang dimiliki olehnya" ujar Hans. Anasthasia menghela napas panjang. "IKutlah denganku ke dalam huta Anasthasia, kau harus mengembangkan kekuatan dalam dirimu dengan langsung terjun melawan para monster yang ada di dalam hutan disana" ujar Hans. Anasthasia menggelengkan kepalanya dengan mantap "TIdak, aku sama sekali tidakk ingin masuk ke hutan itu apalagi melawan monster katamu? Yang ku inginkan adalha pulang kembali ke rumah dan bertemu dengan pamanku, bukan menjadi penyiir ulung. Itu semua adalah keinginanmu bukan aku Hans!" balas Anasthasia sembari berlalu pergi. Udara terasa semakin dingin menusuk, Anasthasia memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangannya lalu masuk ke dalam rumah nyonya HUdston yang hangat. ***** Dion sibuk membaca buku di dalam rumahnya, wajahnya yang tampan terlihat begitu menawan saat melihat isi bacaan yang dibaca olehnya. BRAAAAK Dion langsung terperanjat kaget kala sebuah suara dentuman keras dari pintu yang dibanting terdengar secara tiba-tiba. Dion menutup bukunya lalu beridri, ia mengambil langkah cepat untuk mencapai ruang depan dari rumahnya yang begitu luas. Dion mndapati sosok Betsy bersama dengan saudara kembangnya tengah sibuk beradu mulut. "Untuk apa kalian datang kemari?" tanya Dion secara langsung. Betsy mengatupkan mulutnya lalu enjentikkan jarinya dan seketika Dion bergerak ke arahnya s esuai dengan apa yang dipikirkan oleh Betsy. "Hei Dion, sepertinya kau semakin bertambah tampan saja tiap harinya" ujar betsy sembari berdesis seperti ula, matanya yang hijau mengamati Dion dengan seksama, ular dari balik jubah Betsy keluar lalu ikut memandangi Dion yang nampak begitu tenang. Betsy tertwa dengan keras "Kau mau tahu apa yang dikatakan olehh ularku Dion?" tanya Betsy secara riba-tiba. "TIdak" balas Dion dengan singkat, ia sama sekali tidak tertarik dengan isi pikiran dari ular bodoh yang selalu menempel pada Betsy. Betsy lagi-lagi tertawa dengan keras "Ya mau bagaimanapun sikapmu sekarang, kau pasti akan sangat senang karena pada akhirnya aku berhasil menemukan dan mengumpulkan banyak naga dari berbagai desa" ujar Betsy. Dion hanya menoleh sedikit ke arah Betsy "Aku tidak peduli" balas Dion sembari memejamkan matanya, ia memusatkan pikirannya llau urat-urat di tubuhnya muncul dan menonjol ke permukaan kulitnya, mata Dion berubah wenjadi warna putih ke abuan, ia berdiai lalu merentangakan tangannya ke samping dan sihir Betsy pun tidak berpengaruh lagi padanya "Aku ingi menemui ayahku, apa kalian ingin ikut?" tanya Dion namun Betsy secara refleks menggelengkan kepalanya "Tidak, aku belum berani dengan yang mulia raja Villian disaat misi yang ia berikan belum juga selelsai" balas Betsy dengan sedih. Dion menoleh ke arah Alex yang semenjak tadi hanya berdiam diri seperti seseorang yang sedang brsedih "Kau sendiri bagaimanaAlex? Apakah kau juga samaseperti sadari kembarmu?" tanya Dion kemudian. Mata Alex langsung menyipit, ia menatap Dion dengan kesal "Tentu saja kita berdua berbeda, dan kau pun dengan kami adalah mahluk yang berbeda, jadi kenapa aku harus menuruti perkataanmu hah?" ujar Alex sambil mengepalkan tangannya, gram. Dion tertawa kecil "Tentu saja karena ayahku adalha Raja iblis sekaligus pimpinan ayahku langsung, mungkin kau bisa saja tiak menurut padaku karena menganggapku lemah, bukankah begitu?" ujar Dion sambil tersenyum dengan ngeri, ia berjalan pergi menjauhi Alex dan Betsy "Aku titpkan rumah ini pada kalian ya" ujar Dion sebelum akhirnya ia menghilag dari hadapan Betsy dan juga Alex. "Apakah itu kekuatan seorang immortal? Berpindah kemanapun dengan cepat?" gumam Betsy Alex nampak kesal saat melihat saudara kembarnya itu terus-terusan mengagum Dion padahal mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun. "Kau harus berlatih untuk menahan gerak wajahmu Be, karena perasaanmu nampak jelas dari wajahmu hingga lwan bisa saja dengan mudah menerobos dinding dan membac pikiranmu itu" ujar Alex Betsy memalingkan wajahnya kesal sambil menyilangkan tangan di daddanya "Aku tidak peduli, toh lawan kita lebih lemah dari pada diriku" balas Betsy dengan angkuh