Chereads / Earth Light / Chapter 2 - KELUAR

Chapter 2 - KELUAR

Gelap-gelap-gelap, aku tidak dapat melihat apapun di sekitarku.

Kemudian, dari kegelapan itu muncullah sosok yang sudah sangat kurindukan. Entahlah, ada perasaan rindu saat aku menatap mata dan rambutnya.

"A-ayah?" bahkan di dalam mimpi pun aku tergagap.

"Light, aku tahu kamu dilahirkan untuk sebuah takdir yang sangat besar," suara ayahku agak aneh, atau memang diriku saja yang sudah melupakan bagaimana suaranya?

"Takdir semacam apa? Aku tidak ingin menyakiti orang lagi, aku bukanlah seorang pembunuh," Suaraku agak memudar, mungkin karena aku mulai menangis, aku yang sudah lama tidak bertemu dengannya lagi.

"Ingatlah bahwa kamu dilahirkan untuk berjuang bukan dan bukan untuk menyerah," sosok ayahku mulai memudar lalu hilang menjadi asap ditengah kegelapan itu.

"Gaaah," Aku mencoba membuka mataku untuk kembali ke dunia nyata.

"Dimana ini?" Aku terbangun di sebuah ruangan yang cukup hangat.

Dari perasaan hangat yang dapat aku rasakan ini, sepertinya aku terbaring beberapa meter dari sebuah tungku api. Aku mulai melirik ke sekitar, di sebelahku ada sebuah meja makan yang cukup panjang, dan aku sedang berbaring di sebuah kursi kayu yang cukup panjang.

Rumah ini cukup menarik, konstruksinya yang terbuat dari kayu-kayu berbatang tebal yang ditumpuk dan dijejer rapih, entah bagaimana cara membuatnya, aku tidak pernah tahu bagaimana caranya menyambung balok-balok kayu besar ini menjadi sebuah rumah utuh.

"Rumah yang aneh," kataku.

"Aneh?! Maaf saja ya! Huh, untung saja ada aku, coba kalau tidak, kamu mungkin sudah dimakan sama monster-monster yang ada di hutan!" Suara lantang seorang perempuan terdengar dari arah dapur.

"Eh, ada orang?" tanyaku polos.

"Tidak ada kok! Aku ini hanya peri hutan yang tersesat dirumah ini," ucapnya marah.

"Maaf maaf, ngomong-ngomong makasih ya, disekitar sini ada monster? Ini dimana?" Aku merasa seperti lalat di tengah gurun, tidak tahu dimana dan tidak tahu mau kemana.

"Maaf? Hufth, aku maafkan kali ini saja, dan ini adalah hutan Anklogia, disini banyak sekali monster-monster aneh, yah, aku menemukanmu tersangkut ranting–ranting di sungai, beruntung sekali monster-monster itu tidak melihatmu, jika sampai mereka melihatmu, mungkin dirimu sekarang sudah berada di dalam perut mereka dan mulai meleleh."

Perempuan ini kata-katanya tajam sekali, belum lagi dia sepertinya suka sekali berbicara.

"Eh, bisakah kamu kesini? Disini sangat sepi dan agak menyeramkan," Pintaku kepadanya, berada di tempat asing ini sendirian tidak membuatku nyaman.

"Ya … baiklah, kamu suka sup?"

"Ya, favoritku," Sebenarnya aku tidak terlalu suka sup, aku mengatakan itu hanya untuk membalas kebaikannya, walaupun aku tau pujianku tidak akan berarti banyak setelah apa yang ia lakukan kepadaku.

Suara derap kaki mulai terdengar dari arah dapur, sebuah pintu yang memisahkan ruanganku dan dapur terbuka dan muncullah sosok seorang perempuan cantik dengan mata biru, rambutnya yang panjang dan berwarna silver, ia menggunakan baju daster panjang dan sepertinya juga seumuran denganku.

Aku membatu atau lebih tepatnya terpatnya terpaku, terdiam seperti orang yang barusan tersengat listrik.

"Terus menatapku seperti itu dan mungkin sup ini tidak sengaja akan tumpah ke wajahmu."

"Ahaha langit-langitnya indah," Ucapku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Ah, kenapa aku malah memanggilnya kesini? Sepertinya ini sebuah kesalahan besar, ya walaupun rupanya sangat menawan, tapi, rasanya dia punya aura mengerikan yang mengelilingi tubuhnya.

"Oh ya, supnya, ini untukmu, katakan bagaimana rasanya?" Ucapnya sambil menyodorkan semangkuk sup hangat kepadaku. Jujur saja, aroma supnya yang harum langsung membuat perutku menggerutu, dan yah pada kenyataaannya aku memang benar-benar lapar.

"Aku coba dulu ya," Aku mulai menyuapkan sup itu ke mulutku. Awalnya rasanya biasa saja, namun, aku dapat merasakan sebuah rasa aneh yang membuatku ketagihan.

"Enak kok, boleh aku tambah lagi?"

"Tambah? Kamu menyukainya? Baguslah" Dia terseyum, indah sekali senyumannya.

"Kalau boleh tau, bahan-bahan sup ini apa saja?" Tanyaku penasaran.

"Hmm, empat sendok darah segar, dua otak Orc, dan yang terakhir, satu mangkuk cacing, ya itu saja."

Spontan saja aku langsung mencoba memuntahkan makanan yang baru saja aku makan.

"Hahaha, aku hanya bercanda kok."

"Aku bisa saja mati tersedak gara-gara itu tau!" Padahal baru saja bangun, aku sudah disuguhi tingkah aneh seperti ini.

"Itu balasanmu karena menghina rumahku."

"Bukannya aku sudah minta maaf?" Tanyaku.

Ia lantas menjulurkan lidahnya, tanda dia mengejekku, tapi, tindakan itu membuatku semakin tersipu dibuatnya.

"Kembalilah tidur untuk memulihkan tubuhmu," dia berkata sembari tersenyum dan mengambil mangkuk sup yang barusan aku gunakan.

Semilir angin lembut tiba-tiba saja berhembus dan tanpa aku sadari, aku sudah tertidur pulas.

Seperti biasa mimpiku aneh, dikejar-kejar oleh kaum Zortar dan ada monster-monster aneh yang membantuku, namun, setelah mereka membantai kaum Zortar mereka malah balik menyerang kearahku.

"Monster labil!" Teriakku.

"Gah!" Erangku, aku terjatuh dari sofaku.

Kepalaku pusing dan punggungku sakit, benar-benar cara bangun yang fenomenal.

Akupun mencoba bangkit dari tempatku terjatuh tadi dan mulai beranjak keluar untuk menghirup udara segar. Saat aku sedang duduk di tangga teras, aku mulai menyadari hal-hal yang aneh tentang tempat ini. Pertanyaan seperti bagaimana mungkin ditengah hutan ada seorang gadis cantik yang tinggal sendirian dan tidak ada yang tahu? Atau siapa yang membuat rumah ini? Atau kenapa ia tinggal sendirian dan bisa hidup sampai sekarang? Padahal, disekitar sini katanya ada banyak monster?

Meskipun begitu, pemandangan hijau pohon-pohon dan jejeran rumput hijau disini memang sangat indah. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain dan mendapati perempuan itu sedang menyirami pot-pot tanaman menggunakan sebuah gembor, tidak hanya menyiram, tapi sepertinya ia juga menyihir pot-pot itu.

Seketika setelah air yang keluar dari gembor menyentuh tanah di permukaan pot, sesuatu mulai tumbuh, sebuah tunas, lalu menjadi batang, lalu terus tumbuh hingga sebuah bunga terbentuk dan mekar dengan sempurna. Masing-masing pot diisi oleh bunga-bunga dengan warna yang berbeda, ada yang berwarna merah, putih, kuning, pink, dan ungu, sungguh tempat yang sangat menyenangkan untuk dilihat.

Aku berdiri dan berjalan mendekati perempuan itu.

"Hai, apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku.

Sebuah pertanyaan bodoh, padahal sedari tadi aku memandanginya menyirami tanaman, mungkin ini alasan aku masih belum mendapatkan pasangan.

"Hmm? Oh, bukan apa-apa, hanya mengurus taman," Ucapnya sembari menyirami pot-pot yang masih terlihat kosong.

"Itu … sihir macam apa yang kamu gunakan?" Aku harap pertanyaanku barusan tidak menyinggung perasaannya.

"Ya, semacam sihir penumbuh tanaman, taman ini sendiri sudah berumur 400 tahun lamanya, sekarang hanya aku yang tersisa untuk mengurus taman ini," Ucapnya sambil memandangi bunga-bunga yang terus tumbuh dengan ajaib dari pot-pot yang kosong itu.

"Hmm … oh iya, aku belum mengenalkan diriku ya, namaku Earth Light, panggil saja aku Light" Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku benar-benar memperkenalkan diriku di depannya.

"Ya, aku tau namamu Light, namaku Narth Celline, panggil saja aku Celline."

"Ah, Celline ya, salam kenal." Dia tahu namaku? Memangnya dimana ini? Dekat dengan LordBart?

"Aku masuk dulu ya kedalam, kepalaku mulai pusing," Tiba-tiba saja kepalaku rasanya seperti sedang diputar-putar.

"Ya baiklah, semoga beruntung," Balasnya.

Eh, Semoga beruntung, apa maksudnya barusan?

Aku mulai membalikkan tubuhku dan berjalan kembali menuju ke rumah Celline.

Hmm, Rumahnya? Gumamku.

Eh, dimana rumahnya? Berpindah? Hilang? Ditelan bumi? Dimakan Monster?!

Aku akui reaksiku barusan terlalu berlebihan, tapi, dimana rumah itu? Bukannya tadi masih disini?

Sayup-sayup aku dapat mendengar suara Celline datang dari arah belakang.

"Rthpo Sendumpro Kreto" Setelah suara itu berhenti, angin lembut mulai datang dan menyelimuti tubuhku.

Angin yang tadinya lembut ini mulai berputar-putar semakin cepat dan semakin lama angin itu menjadi semakin kencang, sampai-sampai rasannya udara yang biasanya aku hirup telah direnggut begitu saja oleh pusaran angin ini. Kepalaku terasa semakin pusing, hampir saja aku terjatuh pingsan kalau aku tidak mencoba untuk terus tetap sadar dan berdiri.

"Eh, rumahnya, muncul kembali?" Tanyaku setengah sadar dan kesulitan untuk berdiri tegak.

"Hanya beberapa orang yang bisa melihat rumah ini, mantra barusan adalah mantra khusus agar kamu bisa melihat rumahnya."

"Berarti aku spesial ya?"

"Sudahlah, mari masuk ke dalam?" Ajaknya ramah.

Perempuan yang dingin ya dia, sepertinya akan sulit untuk bisa berteman dengannya, semoga saja dia tidak terus bersikap seperti ini terus kepadaku.

Selagi berjalan kembali ke rumah Celline, aku lantas memandangi langit biru yang ada jauh di atas kepalaku ini, bayangan tentang medan perang kembali terlintas di kepalaku, mereka yang gugur sambil memegang senjata mereka, mereka yang berusaha untuk melawan sekuat tenaga, serta mereka yang melarikan diri untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, sekarang ini, apa yang sedang terjadi dengan mereka?

Sesaat setelah sampai di dalam rumah Celline, aku langsung melangkahkan kakiku ke kursi panjang di ruang tengah untuk kembali tidur, kepalaku rasanya masih sakit.

Hari-hariku setelahnya hanya dihabiskan di dalam rumah tersebut, sesekali aku keluar untuk melihat dan berkunjung ke taman, tapi, aku selalu merasakan rasa pusing yang cukup kuat hingga memaksaku untuk kembali masuk ke rumah Celline dan tidur di kursi panjangnya.

Hari berubah menjadi minggu, minggu berubah menjadi bulan, dan akhirnya bulan berubah menjadi tahun, aku seakan tidak bisa lepas dari rumah ini. Namun, karena itu juga hubungan antara aku dan Celline sudah menjadi semakin dekat, tapi, rasa sakit di kepalaku masih belum menghilang dan rasa sakit ini tidak menunjukkan tanda akan kesembuhan.

Aku jadi penasaran, apakah Celline memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit juga? Mirip seperti bagaimana ia mempercepat pertumbuhan bunga-bunga yang ada di tamannya, ia mungkin juga dapat mempercepat proses penyembuhan penyakitku.

"Ha, aku tidak mungkin membuang-buang tenagaku untuk sihir semacam itu, bodoh." Suara yang sangat kukenal datang dari pintu depan.

"Eh, kamu bisa mendengar apa yang aku pikirkan?" tanyaku.

Rasanya, Celline seperti sebuah sosok yang terus berada di belakang tirai sebuah pertunjukan, sedikit demi sedikit aku dapat menyingkap tirai itu, namun, dirinya selalu berhasil menyembunyikan dirinya ke bagian teater yang lebih gelap.

"Yah, Setelah aku ditinggalkan sendirian disini, aku mempelajari banyak hal, dan itu termasuk sihir," balasnya.

"Lantas bagaimana-" belum selesai aku berbicara, ia sudah memotong perkataanku.

"Tidak, aku tidak menggunakan sihir sama sekali, para peri hutan dan pohon Tyrant melindungiku dari para monster, setidaknya sampai sekarang." Matanya menerawang, seolah-olah mengingat kejadian di masa lalu.

Sesuatu tentang alasan ia kini sendirian, tentang orang tuanya, tentang dirinya.

Eh, aku tau darimana semua itu?

Raut wajah Celline lantas berubah murung.

"Hmm, sepertinya kamu mulai mengingat beberapa hal ya." Ucapnya sembari berjalan ke dapur.

Aku tertegun bingung, mencoba untuk menggali memori-memori milikku. Kelam-gelap-penuh darah dan pembantaian, hanya itu yang kuingat, tapi, aku yakin ada sesuatu yang hilang.

Layaknya kilatan cahaya, ingatanku mulai terbentuk, kepalaku rasanya semakin sakit, namun, ingatan-ingatan itu terlihat semakin jelas, wajah ayahku, wajah orang-orang yang ada di sekitarku, wajah mereka yang dipenuhi dengan rasa takut, teriakan panik di kejauhan, aku yang memegang sebuah belati, dan monster-monster yang sedang mencabik-cabik tubuh manusia. Aku melangkah maju dan mengulurkan tanganku, sebelum aku dapat mencapai mereka, dunia tiba-tiba berubah menjadi hitam.

Narta mustan gano!

Suara milik Celline itu seakan menggema di kegelapan ini, mencoba untuk meraihku.

Aku terbangun, nafasku tidak teratur, jantungku rasanya dapat meledak kapan saja.

Mimpi? Yang barusan itu hanya mimpi?

Celline? Apakah ini ada hubungannya dengan Celline?

"Selesai juga, selamat pagi pangeran tidur," Sapa Celline.

Selesai? Apa yang selesai?

"Aku tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan, tapi, kutukan yang ditanamkan kepadamu cukup kuat, pernah mendengar tentang Crento?"

"Crento? Apa itu?" tanyaku penasaran, suaraku masih lemah.

"Itu adalah sihir kutukan kejam yang membuat penderitanya sakit terus menerus, bahkan banyak yang frustasi dan akhirnya mengakhiri hidup mereka, katanya mereka merasa kematian jauh lebih baik daripada hidup terus dalam penderitaan seperti itu."

Jadi, selama dua tahun belakangan ini itu alasan dibalik rasa sakit di kepalaku ini? Lalu mimpi barusan?

"Mimpi apa?"

"Entahlah … sekarang aku sudah terlalu mengingatnya lagi."

Mimpi baru saja aku alami tiba-tiba saja menjadi buram dan sulit untuk aku ingat kembali.

"Mungkin itu hanya sekedar mimpi, sudahlah jangan terlalu dipikirkan."

Sepertinya Cellline menyadari wajahku yang penuh dengan kebingungan dan berusaha untuk menghiburku.

"Eh, ah, iya, terima kasih karena telah menolongku," balasku dengan nada sopan, mencoba untuk menghargai apa yang sudah ia lakukan kepadaku. Kalau diingat-ingat, ini berarti kali kedua dia telah menolongku.

"Itu bukan apa-apa, kau tahu, seluruh keluargaku, kecuali aku, mati dikarenakan kutukan tersebut, walaupun tidak secara langsung, tapi, kutukan itu telah merenggut mereka dariku. Aku yang pada saat itu tidak memiliki kekuatan, namun, tidak dapat melindungi mereka." Raut wajah menyedihkan yang sama seperti sebelumnya, sebenarnya, apa yang terjadi?

"Nah! Sekarang, kamu dapat kembali ke kaummu, kabar terakhir yang aku dengar jabatanmu telah digantikan oleh orang lain, jadi apa keputusanmu?" Celline mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, sepertinya memang belum saatnya untuk aku tahu apa yang terjadi di masa lalu Celline.

"Aku yakin mereka sudah menggantikanku sedari lama, tidak mungkin ada kerajaan yang membiarkan panglima peragnnya hilang dan tidak mengisi jabatannya, apalagi disaat perang seperti ini, mengenai keputusanku, aku ingin membalas kebaikanmu, aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untukmu, tapi, jika kamu ada permintaan, katakanlah padaku."

"Permintaan ya, kalau begitu, bawa aku keluar dari tempat ini." Kali ini wajah Celline berubah serius, matanya menatap tajam kearahku, mata yang dipenuhi dengan harapan.

"Kamu yakin? Perjalanannya tidak akan mudah."

"Tidak ada perjalanan yang mudah bukan? Aku tahu itu, apapun halangan itu, aku rasa aku dapat menghadapinya."

"Kalau itu keputusanmu, baiklah, akan aku terima, namun, sebelum itu, apakah kamu memiliki senjata? Pisau, pedang, palu, atau apapun itu, asalkan bukan ranting pohon, aku memerlukannya untuk di perjalanan."

"Punya, Aku mendapatkannya dari pohon Tyrant tadi pagi, dia mengatakan inilah saatnya pedang ini digunakan setelah mendengar kalau aku akan keluar dari tempat ini."

Jadi dia sudah merencanakannya, untuk keluar dari tempat ini, untuk alasannya kenapa, aku sepertinya tidak perlu tahu, aku hanya perlu membawanya bersamaku.

"Pedang ini cukup aneh karena terbuat dari kayu, tapi, ia dapat berubah sesuai keinginanmu, terimalah." Dia menyodorkan pedang itu sembari tersenyum kepadaku, aku tidak mengerti senyum untuk apa itu, tetapi entah kenapa rasanya dibalik senyumnya itu ada sesuatu yang membuatku cemas.

"Jadi, apa kamu tahu jalan keluar dari hutan ini?" Tanyaku.

Aku yang hanya bisa berdiam di rumah ini selama dua tahun jelas tidak tahu apa-apa diluar dari taman yang Celline miliki.

"Ya, aku tahu beberapa yang aman, jadi kita ingin kemana?"

"Bukankah kamu yang berkata kalau kamu ingin di bawa keluar dari tempat ini? bagaimana kalau kamu yang menentukan tujuan kita?" Lagipula aku yakin sosokku di LordBart sudah dianggap mati semenjak hari dimana aku hilang di medan perang.

"Hmm, aku sendiri belum pernah keluar dari hutan ini, meskipun aku dapat mengingat banyak rute, namun, rasanya menakutkan jika harus berkelana sendirian."

Masuk akal, kalau ia dari dulu memiliki keberanian, sudah sedari lama dia akan pergi meninggalkan hutan ini.

"Pemikiranmu benar sekali."

"Berhentilah membaca pikiran orang, tidak sopan."

"Oh ayolah, kekuatan ini tidak bisa aku kendalikan."

"Hmm, kalau begitu bagaimana kalau ke Kerajaan LordBart? Aku harap aku masih diterima disana." Aku juga sebenarnya jarang berkelana kemana-mana, yang aku tahu hanyalah Kastil LordBart sebagai ibukota kerajaannya, dan aku menghabiskan hidupku di tempat itu.

"Baiklah, kalau begitu, ayo! Tunggu apa lagi?"

Celline lalu beranjak ke kamarnya dan bersamanya ia membawa keluar sebuah tas besar.

"Tas ini berisi semua kebutuhan kita, baju zirah milikmu juga ada di dalam sini."

"Kamu sudah benar-benar siap untuk pergi ya."

"Tentu saja! Kesempatan seperti ini tidak datang begitu saja, jadi mana mungkin aku melepaskannya begitu saja."

"Bagaimana kalau aku tadi menolak permintaanmu?"

"Aku akan terus memaksamu sampai kamu mau, lagipula, aku sudah menyelamatkanmu dua kali bukan? Tidak sopan sekali rasanya jika kamu menolak permintaanku begitu saja."

Perempuan ini benar-benar berbahaya, aku harus berhati-hati di dekatnya.

"Berbahaya? Aku penasaran dimana kamu melihat bagian berbahaya itu dari diriku," Ucapnya dengan wajah polos.

"Tingkahmu yang dapat dengan mudah mengubah ekspresimu, semuanya, rasanya, aku masih tidak tahu banyan tentangWmu."

"Sayang sekali sekarang kamu harus terjebak bersamaku."

"Setidaknya itu memberikanku lebih banyak waktu untuk mengenalmu lebih jauh."

Aku hanya dapat berdoa kepada Dewa dan Dewi untuk memberkati perjalanan kami, karena aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah bersamanya.

Celline beranjak ke pintu depan dan keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya sembari membawa tas yang berat ini.

"Lewat sini." Dia menuntunku menuju ke sebuah jalan setapak, jalan yang terlihat seperti jalan biasanya. Di sisi kiri dan kanannya hanya ada pemandangan hijau pohon-pohon, pada beberapa kesempatan aku mendapati peri-peri hutan yang berkeliaran untuk mencari bahan makanan, kalau dipikir-pikir sebenarnya apa yang mereka makan? Daun mint? Entahlah, tapi, mereka berkeliaran kesana kemari dari satu bunga ke bunga lainnya, mirip seperti kupu-kupu, hanya saja lebih indah.

Entah kenapa ada sebuah perasaan nostalgia saat aku melewati jalan ini, sayangnya, aku tidak dapat mengingat alasan perasaan ini muncul.

Di kejauhan, aku dapat melihat beberapa monster yang lalu-lalang mengitari hutan, untungnya jarak mereka masih cukup jauh dari sini.

"Jadi bagaimana caramu menghilangkan kutukan yang tertanam di tubuhku?"

"Oh itu, kamu ingat sup yang setiap hari kamu makan itu?"

"Ah iya, pagi ini kita juga sarapan sup itu juga, jadi aku jelas masih ingat."

"Sup itu berisi ramuan yang dapat menggerus kutukan itu, hanya saja tidak ada waktu pasti bagi kapan kutukan itu akan benar-benar hilang, ada yang beberapa hari, ada yang beberapa bulan, dan kasus sepertimu, hingga bertahun-tahun."

"Bagaimana kamu bisa tahu itu?"

"Karena dulu aku dapat menyembuhkan salah satu keluargaku, namun, itu cerita untuk lain hari."

"Lalu mantra yang kamu ucapkan sebelumnya?"

"Ah, itu langkah terakhir untuk menghilangkan kutukan itu, mantra yang aku ucapkan itu hanya dapat berfungsi pada saat energi kutukan sedang lemah."

Sedang lemah? Pada saat itu kepalaku sakit sekali, sangat sakit sampai-sampai aku pingsan di tengah-tengah rasa sakitnya.

"Paradoks rasa sakit, energi kutukan yang tidak seharusnya meningkatkan rasa sakitnya tiba-tiba saja bertingkah seperti itu, kamu kira karena apa?"

"Apa?"

"Ia sedang berusaha untuk mendapatkan pijakannya lagi di tubuhmu, ia sudah tidak punya banyak energi lagi, jadi ia mengerahkan semua energinya untuk tetap berada di dalam tubuhmu."

"Menarik."

"Ahaha iya, menarik, kamu menderita selama kurang lebih dua tahun dan kamu malah berkata menarik?"

"Entahlah, aku hanya lega rasa sakitnya sudah berakhir."

"Begitukah? Aku senang mendengarnya."

Celline terus menyusuri jalan setapak ini, keindahan hutan mulai berubah menjadi tempat yang terlihat menyeramkan.

Sebuah dahan pohon tiba-tiba berayun dan berhenti di depan kami.

"Ah halo Yava." Ucap Celline sambil memegang ranting dari dahan itu.

Aku lalu mendengadah ke atas, menatap pohon besar ajaib yang memiliki nama ini.

Wujudnya mirip sekali seperti pohon-pohon biasa, tetapi, aku dapat melihat ada sepasang mata dan sebuah mulut yang berfungsi dengan baik, matanya itu lalu menatap Celline dan diriku secara bergantian.

Jadi ini yang dinamakan Tyran, benar-benar mengesankan. Pohon yang benar-benar hidup dan bernafas, aku penasaran, apakah dia makan juga?

"Aku hanya dapat berkata, hati-hatilah dalam perjalananmu Ine, dan kamu, manusia kecil yang baru saja aku temui, aku percayakan Ine kepadamu, sedikit saja kamu apa-apakan dia, pedang yang kamu pegang sekarang akan menyayat lehermu sebelum kamu menyadarinya," Suara Tyran itu terdengar dalam dan menakutkan.

"Terima kasih, saya akan menjaganya sekuat tenaga."

"Aku pegang kata-katamu itu." Celetuk Celline.

"Sekali lagi, terima kasih karena sudah percaya padaku."

Tyran itu mengayunkan dahannya kembali ke atas, membuka jalan setapak di depan kami.

Dari jalan ini aku dapat melihat batas luar pohon-pohon hutan ini, sebentar lagi kami sepertinya kami akan keluar dari tempat ini.

Setelah keluar dari hutan Anklogia, kami langsung disambut oleh pemandangan padang rumput hijau yang sangat luas.

Kami lalu melanjutkan langkah kami ke jalan yang berbelok-belok dan akhirnya sampai di sebuah Danau. Celline lalu memutuskan untuk beristirahat disini sejenak, kami sudah berjalan cukup jauh dari bibir hutan, dan tentu saja kami mulai kelelahan, belum lagi aku yang membawa tas berat ini sendirian.

Kami duduk di dekat mulut danau, Celline mengambil botol dari dalam tas dan mengisinya dengan air dari danau.

"Hei, seberapa jauh lagi kita akan berjalan?" Tanyaku sambil memegang lututku.

"Sekitar 2 hari, kenapa?"

Dua hari? Bukankah itu cukup lama? Sebentar, kenapa dia tau lama perjalanan padahal dia sendiri belum pernah keluar dari hutan?

"Aku sering berbicara dengan Tyran, jadi aku tahu lama perjalanan ke berbagai macam tempat."

"Kamu sering berbicara dengan pohon itu? Terdengar menyedihkan."

"Maksudmu hidupku menyedihkan?"

"Tidak, hanya terdengar menyedihkan."

"Lebih menyedihkan lagi orang yang bahkan sakit kepala setiap beranjak dari sofaku."

Kadang aku lupa kalau dia tipe perempuan yang bermulut tajam.

Kita sudah berjalan cukup jauh, tapi, Celline tidak terlihat lelah, mungkin lututnya terbuat dari baja atau yang semacamnya.

"Baja? Kalau begitu kamu mau menguji kebenarannya dengan kepalamu?" Ucapnya dingin.

"Kepalaku sudah cukup menikmati rasa sakit dari kutukan sebelumnya."

"Tenang saja, aku yakin lutut bajaku ini tidak akan melukaimu."

"Haah, coba saja kalau begitu." Aku rasanya tidak punya energi untuk melawan perkataannya. Kelelahan ternyata dapat membuatku terlihat sangat menyedihkan seperti ini.

"Ahaha, untuk apa aku melukaimu lagi setelah menyembuhkanmu? sudahlah, kita nikmati saja pemandangan danau ini." Tawanya yang manis membuat suasana diantara kami kembali tenang.

Airnya yang jernih membatku dapat melihat ikan-ikan yang berenang di dalamnya, angin yang melintas dengan lembut, rerumputan berwarna hijau yang mengelilinginya, serta langit biru tanpa awan yang menaungi kami, pikiranku tenggelam dalam keindahan yang ada di depanku ini.

"Kamu tidak apa-apa Light?" Sepertinya dia menyadariku yang sedang melamun ini.

"Hmm? Ah ya, tidak, aku tidak apa-apa, sedang melamun saja."

"Melamun? Bukankah biasanya melamun itu juga berpikir? Tapi aku tidak mendegar apa-apa."

"Haha baguslah, aku juga sudah lelah dengan kamu yang terus membaca pikiranku, mungkin aku harus lebih sering melamun disekitarmu."

"Jahatnya, padahal aku sudah lama tidak berbicara dengan manusia dan kamu malah memilih untuk diam begitu saja?"

Sebenarnya aku sedang menikmati pemandangannya, itu saja.

Celline tidak menjawab, ia mengalihkan pandangan matanya ke arah danau di depan kami ini, sekali lagi keadaan menjadi hening dan hanya ada suara rumput yang saling bergesekan.

Siang itu Celline memasak makanan menggunakan bahan-bahan yang ada, menggunakan api unggun kecil yang dibuat dari ranting dan bebatuan yang ia rangkai menjadi sebuah tungku kecil.

Kami lalu menghabiskan waktu sampai sore menyapa.

"Jadi sekarang apa? Kita lanjutkan perjalanan?" Tanyaku ragu, melihat hari yang sudah beranjak semakin gelap.

"Benar juga, baiklah, kita bermalam disini saja."

"Disini?!" Perempuan ini sepertinya sudah benar-benar kehilangan akalnya.

"Hmm, kenapa? Ada masalah?"

"Tempat ini terlalu terbuka, lagipula kita tidak memiliki tenda, aku tidak masalah tidur di rerumputan ini, tapi, bagaimana kalau ada monster yang menyerang?" Setidaknya itu sebagian dari kekhawatiranku keluar dari mulutku.

"Monster-monster itu tidak akan menyerang kita kok."

"Kamu terlihat begitu yakin."

Wajahnya terlihat serius, walaupun dia sekarang sedang tersenyum, ada kesan lain di balik senyumannya itu, pada saat seperti inilah aku paling takut dengan sosoknya.

"Tentu saja aku yakin, bagaimana mereka bisa menyerang kalau mereka tidak bisa melihat kita?"

"Crato Esmerald Menfaso Sunfira"

Sebuah mantra, kali ini apa?

Semilir angin yang berhembus lembut mulai menerpaku, seperti sebelumnya, semakin lama, angin ini berubah menjadi semakin kencang, aah, benci sekali aku dengan mekanisme sihirnya ini, sekali lagi aku kesulitan untuk bernafas, mungkin lebih tepatnya nafasku ditarik paksa dari dalam tubuhku, anginnya terus berputar semakin kencang hingga akhirnya ia tiba-tiba berhenti begitu saja.

"Sudah selesai?" Tanyaku terbaring, suaraku lemah sekali.

"Yap!" Ucapnya sambil menepuk kedua tangannya.

Memangnya ini apa? Pertunjukan sulap? Apakah aku juga harus bertepuk tangan yang meriah?

"Haha tidak, tidak, mantranya sudah selesai, kita sekarang tidak bisa dilihat oleh orang lain ataupun monster."

Sulit untuk mempercayainya, karena aku masih bisa melihat Celline di depan mataku dan aku juga masih dapat melihat diriku sendiri.

"Aku berkata untuk orang lain kan?"

"Iya iya, aku percaya," Ucapanku terdengar seperti seseorang yang sudah putus asa, yah, itu tidak salah sih, pandanganku sekarang sudah mulai kabur, dan sebelum aku dapat berbicara lagi, sudah kehilangan kesadaranku.

Aku kembali memasuki alam mimpi, kali ini aku berada di tengah kerumunan orang, mereka terlihat sedang berkumpul karena ada suatu acara, aneh, aku melihat seluruh pasukan kerajaan LordBart terdiam lesu dengan muka yang murung. Aku mencoba untuk bertanya ke orang-orang yang ada disekitarku, namun, mereka hanya menatapku sekilas dan tidak menjawabku, semuanya terdiam.

Aku terus mencari tahu, berlari-lari ke arah yang tidak menentu, sampai akhirnya aku menemukan sebuah tulisan besar yang bertuliskan Selamat Tinggal Earth Light Semoga Kamu Tenang Disana.

Saat aku melihat tulisan itu, rasanya darahku berubah menjadi dingin, aku terduduk di jalanan tanah, kepalaku terasa ringan, namun, dipenuhi oleh suara-suara yang datang dari kerumunan, suara tangis yang sendu, suara lembut yang memanggil namaku, serta lantunan lagu indah yang hanya dinyanyikan, lagu yang lembut itu rasanya terngiang semakin keras dan semakin keras di telingaku, ah, betapa mengerikannya lagu ini sekarang.

Seseorang yang mengenakan baju zirah mewah keluar dari pintu istana, ia adalah yang mulia Raja.

"Selamat tinggal Light, kami semua akan mengingat jasa-jasamu, kami harap kamu dapat tidur dengan tenang di alam sana, dan sebagai pengganti Light, aku akan menunjuk orang ini untuk menggantikan sosoknya, aku harap ia pantas menggantikan sosoknya." Yang mulia menunjuk ke seseorang yang berdiri di belakangnya.

Orang yang ditunjuk mempunyai perawakan tinggi, gagah, dan terlihat bijaksana, ditambah lagi dia masih muda, kalau dilihat cukup dekat dia mempunyai rambut berwarna merah terang dan panjang, ia terlihat dapat diandalkan, aku senang bisa melihat bibit baru tumbuh di dalam prajurit kerajaanku.

Dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap dan sekarang aku berada di tengah-tengah medan pertemuran, aku melihat kaum Ablec dan Zortar bertemu hantam, kaum Ablec dapat menjatuhkan banyak musuh, namun, korban dari sisi mereka juga tidak sedikit, tentu saja ini karena sihir kaum Zortar yang sangat efektif membuat musuhnya kewalahan.

Pertarungan ini terjadi di depan gerbang kaum Ablec, kaum Zortar sudah bertindak semakin agresif saja semenjak kematianku, semakin lama pertempuran ini berlangsung, kaum Ablec semakin terdesak tepat di depan gerbang kayu mereka, alhasil, prajurit dari kaum Zortar akhirnya berhasil mencapai gerbang tersebut, semuanya terjadi begitu cepat, pasukan yang berada di dalam mencoba menahan gerbang agar tidak bisa dibuka oleh kaum Zortar, namun, fisik mereka sekarang terlalu lemah untuk menghalau serangan dari prajurit musuh tidak dapat menahan serangan kaum Zortar, tidak lama, gerbang kayu itu akhirnya dapat dibuka paksa.

"Ah, untunglah, hanya mimpi," Ucapku sambil mencoba bangun dari tempatku tertidur tadi, Celline masih tertidur pulas disebelahku, aku mulai melirik ke sekliling dan dapat menemukan jejak-jejak kaki monster tepat beberapa meter dari tempat kami tertidur, sepertinya sihir Celline benar-benar bekerja.

"Celline, bangun, kita harus melanjutkan perjalanan kita lagi." Aku mengguncang punggung Celline.

"Apakah sudah pagi?" Tanyanya dengan suara rendah.

Aku mendongkak ke langit, warna birunya yang cerah menandakan kalau ini sudah tidak lagi pagi, mungkin sedang beranjak ke siang hari.

"Lebih dekat ke siang mungkin." Aku mulai meregangkan tubuhku.

"Ya baiklah, haah, bagaimana tidurmu?" Ucap Celline sambil menguap.

"Mimpi buruk."

"Begitukah? Sayang sekali, padahal yang kamu lihat itu bukan mimpi."

"Jadi itu kenyataan?"

"Fragmen dari kenyataan lebih tepatnya, sihirku belum sekuat itu untuk memperlihatkan keseluruhan dari kenyataan di dunia ini."

Bukankah itu sihir yang cukup kuat? Bahwa kamu bisa memperlihatkan sebagian dari kenyataan yang terjadi di dunia ini, walaupun kamu sendiri tidak dapat terlibat langsung dengan kenyataan itu.

"Kurang lebih, hanya saja, sihir ini hanya memperlihatkan kenyataan berdasar dari kekhawatiran subjek dari sihir ini."

"Ah, jadi itu kenapa mimpiku memperlihatkan hal-hal itu ya."

"Begitulah, dari kemarin aku melihat wajahmu penuh dengan kecemasan, setidaknya ini yang dapat aku lakukan untuk menghilangkan rasa khawatirmu itu."

Diluar dari perkataannya yang biasanya tajam dan pedas, Celline merupakan seorang perempuan yang tetap lembut dan peka terhadap keadaan orang lain.

"Terima kasih pujiannya." Ucapnya dengan senyum lembut.

Aku jadi tersipu malu sendiri, tidak tahu harus menjawab apa, aku berdiri dari tempatku dan mencuci wajahku dengan air danau. Celline mengikutiku, ia lalu duduk disampingku dan tidak berbicara apa-apa.

Aku berusaha untuk tidak berpikir apa-apa dan menatap pantulan wajahku di air danau, riak airnya yang lembut membuat wajahku bergerak dan kadang menghilang dari pandanganku.

Aku yang sekarang sudah mati, aku yang sekarang sudah tiada, apakah kembali ke kastil LordBart merupakan keputusan terbaik? Apakah mereka akan menerimaku dengan baik? Setelah meninggalkan pasukanku begitu saja, apakah aku akan baik-baik saja?

Tangan lembut Celline menyentuh rambutku dan mengusapnya dengan perlahan, perasaanku kembali tenang dan rasanya pikiran-pikiranku tadi juga tersapu oleh tangan lembutnya.

"Terima kasih," Ucapku.

"Tidak apa," Balasnya.

Hari-hari kedepan tidak akan mudah untukku, tapi, bersamanya, mungkin beban-beban itu akan lebih ringan jika kami bawa berdua.