Chereads / Earth Light / Chapter 3 - BUKU

Chapter 3 - BUKU

"Yah, setidaknya aku tidak benar-benar mati."

"Mereka tidak tahu itu Light."

"Benar juga."

"Maka dari itu, sebaiknya kita berangkat secepat mungkin."

Perkataan Celline ada benarnya, semakin cepat aku kembali ke kastil, semakin cepat pula aku dapat menghilangkan pikiran-pikiran buruk ini dari dalam kepalaku.

"Memangnya kapan aku pernah salah?"

"Ahaha, nyaris tidak pernah."

Candaan-candaan murahan yang dilemparkan olehnya seperti ini yang kadang dapat membuat perasaanku tidak karuan.

Hari yang menenangkan, rasanya aku ingin hari ini untuk tidak pernah berakhir, setidaknya untuk saat ini saja.

"Kamu lihat gunung disana Light?"

"Iya, kenapa Celline?"

"Kita akan menuju kesana hari ini, setidaknya, kita harus sampai kesana malam ini."

"Bukankah itu terlalu jauh?" Melihat jaraknya saja rasanya lututku berdenyut-denyut menolak untuk berjalan sejauh itu.

"Tapi itu jalan paling cepat kata Yava, apa kamu memiliki saran yang lebih baik?"

Walaupun rasanya aku pernah ke hutan Anklogia, tapi, aku sama sekali tidak bisa mengingat tentang mengapa, apa yang aku lakukan disana, dan bagaimana aku bisa sampai disana.

"Jadi itu tidak kan?"

Aku mengangguk pasrah.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo berdiri!" Celline berdiri riang, ia terlihat bersemangat untuk melanjutkan perjalanan.

Kami mulai berjalan kedalam hutan, meninggalkan danau indah itu di belakang.

Kami berdua lalu mulai meninggalkan jalan setapak yang awalnya kami ikuti, walaupun ada jalan tanah, namun, jalannya sulit sekali untuk diikuti karena kebanyakan bagiannya sudah ditutupi oleh rerumputan, disini hanya Celline harapanku.

Kami berjalan seakan tanpa arah, namun, Celline terus melangkah maju dengan penuh rasa percaya diri, sesekali dia berhenti dan terdiam, mungkin untuk mengingat jalan mana yang harus dia pilih, seperti kebanyakan orang, dia mengingat tempat dari sesuatu yang menurutnya menocolok dari tempat itu, contohnya pada saat kami menghadapi sebuah pertigaan sulit, Celline menatap ke beberapa arah dan berkata "lihat disana Light! Yava berkata kalau kita menemui sebuah pertigaan sulit, cari sebuah pohon yang memiliki sepucuk daun merah, dan dari pohon itu berjalanlah ke kanan!" Pengamatan yang mengerikan, sebenarnya apa yang tidak bisa gadis ini lakukan? Rasanya ia bisa melakukan apa saja.

"Aku tidak bisa berkelahi, bukankah aku sudah pernah mengatakannya?" Ucapnya sambil menebas semak belukar yang ada di depan kami.

Kami terus berjalan seakan-akan kami sedang membelah hutan, lebih tepatnya, Celline yang sedang membelah banyak bagian dari hutan di depanku. Tidak sepenuhnya perjalanan kami berjalan lancar, aku dan Celline sempat beberapa kali terputar dan kembali ke tempat yang sama, bukan hal yang menyenangkan memang, tapi, untungnya kami tidak jauh tersesat dan bisa kembali melanjutkan perjalanan.

Hari sudah menjelang malam saat kami sampai di puncak gunung ini, penerangan jalan selama kami menanjak naik hanya mengandalkan cahaya dari bulan purnama.

"Celline, kita sudah sampai di puncak, sekarang apa yang akan kita lakukan?" Aku sudah mulai kesulitan untuk bernafas, rasanya angin di atas sini lebih tipis daripada hutan yang ada di bawah kami.

"Coba kamu lihat kebawah sana," kata Celline sambil menunjuk ke suatu arah.

Aku menengok ke tempat yang Celline tunjuk, dari atas sini aku dapat melihat sebercak cahaya berwarna kuning keemasan, mungkin lentera, atau mungkin sumber cahaya lain.

"Apakah itu artinya kita sudah dekat?" Tanyaku.

"Cukup dekat, mungkin besok pagi kita sudah sampai disana kalau kita terus berjalan."

"Baiklah," Ucapku menyetujui, meskipun terdapat keraguan, mengenai apakah aku masih sanggup berjalan ke tempat itu, ataupun monster apa yang sedang menunggu kami di kegelapan.

Waktu sudah mulai mendekati tengah malam, meskipun ragu, aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

Seperti sebelumnya, Celline masih menuntunku dari depan, lereng gelap yang sulit untuk dilihat ujungnya terus saja muncul di sisi kanan dan kiri kami, membuatku sangat hati-hati saat mengambil langkah ke depan. Meskipun rute ini terlihat sangat berbahaya, di satu sisi ini juga berarti tidak akan ada banyak binatang atau monster yang dapat berkeliaran di sekitar sini, dengan keadaan hutan yang penuh dengan jurang, aku rasa mereka juga akan jauh lebih menyukai untuk berburu di daerah kaki gunung.

Setelah berjalan cukup lama, Selingan sinar mentari yang menembus pepohonan membawa perasaan hangat ke tubuhku, aku yang sedari tadi sudah bergetar kedinginan mulai dapat menenangkan diriku.

"Lihat, kita sudah dekat." Tunjuk Celline.

Sebuah kota, tidak, mungkin sebuah desa, bangunannya yang terbuat dari kayu-kayu yang sudah terlihat berumur dan atap-atap rumahnya yang terbuat dari jerami, tidak salah lagi, ini sebuah desa, aku menghembuskan nafas lega, akhirnya ada tempat untuk beristirahat.

"Haah … Akhirnya." Kedua mata Celline berbinar-binar saat melihat desa itu, bagaimanapun juga, dua hari terakhir bukanlah perjalanan yang mudah, dengan semua tanjakan dan turunan yang curam, aku beruntung karena aku tidak pingsan selama perjalanan ini, begitu pula Celline yang masih berdiri hingga saat ini, sosoknya yang berdiri menghadap matahari benar-benar menakjubkan.

Dengan sisa kekuatan yang kami miliki, kami akhirnya sampai ke desa tersebut, namun, rasanya sedikit aneh. Desa ini sangat sepi, padahal tadi malam rasanya desa ini dipenuhi dengan lentera dan obor dimana-mana, keadaan desa ini terlalu sepi, aku bahkan bisa mendengarkan nafas Celline di sebelahku.

Setelah beberapa saat berada dalam keheningan, dari kejauhan, sayup-sayup aku dapat mendengar suara pedang yang saling bertemu.

"Celline, kamu dengar itu?"

"Dengar apa?"

"Bertahanlah disini sebentar."

Aku berjalan meninggalkan Celline di belakang dan mulai mendekati sumber suara itu.

Meninggalkan Celline sendirian memang bukanlah suatu keputusan yang bijak, ditambal lagi saat mendengar suara pedang yang bertemu di kejauhan, memang ada rasa khawatir, namun, melihat keadaan sekitar kami tadi yang sangat sepi, aku yakin Celline akan baik-baik saja, kesunyian mungkin mengerikan, tapi, manusia yang memegang senjata jauh lebih mengerikan.

Aku akhirnya sampai di sebuah lapangan, ukurannya cukup luas, dan di tengah-tengah lapangan itu sedang ada dua orang yang beradu pedang.

Aku mengamati lebih dekat dan menyadari kalau salah satu dari mereka adalah orang yang aku kenal, untungnya dia adalah orang baik, dengan begitu, setidaknya aku tidak perlu waspada, aku lantas mulai mendekati mereka.

"Garth, lama tidak bertemu." Sapaku.

Kami memang sudah lama sekali tidak saling bertemu, ditambah aku yang menghilang selama dua tahun terakhir, rasanya pertemuan terakhir kami menjadi semakin jauh saja.

Melihat diriku, Garth langsung menghentikan pertarungannya itu dan malah mengacungkan pedangnya ke arahku.

"Dan sekarang aku malah melihat hantu EarthLight, mungkin aku sudah benar-benar gila."

"Hei, aku masih hidup." Ucapku sambil melambaikan tanganku kepadanya.

"Wajahmu, tubuhmu, suaramu, semuanya memang sama seperti Light, namun, semua itu bisa dipalsukan dengan sihir."

"Jadi aku harus melakukan apa agar kamu percaya aku masih hidup?"

Garth melemparkan pedang yang ia pegang ke arahku.

"Bertarunglah denganku."

"Jika memang aku seorang penipu, memberikan pedang bukanlah keputusan yang baik."

Aku mengambil pedang yang tergeletak di tanah itu.

"Yah, itu jika aku lemah, sayangnya aku tidak akan kalah, apalagi dengan orang yang sudah mati."

Arogansi dan kepercayaan dirinya yang tinggi, diikuti dengan teknik pedangnya yang luar biasa, dia sepertinya tidak banyak berubah semenjak kami terakhir kali bertemu.

"Baiklah." Aku menggenggam kuat pedang ini dengan kedua tanganku.

Garth melompat maju dan mengayunkan pedangnya ke arah leherku, untungnya, aku berhasil menangkis serangannya itu. Berbahaya sekali, ia tidak ragu untuk membunuhku, aku lantas menggerakkan kaki kananku dan mencoba untuk menendang Garth di dadanya, ia melompat mundur sebelum aku dapat menyentuh dirinya.

Giliranku untuk menyerang, aku memegang pedangku rendah dan maju dengan perlahan, ini membuat area atas tubuhku rentan serangan, sesuai harapanku, Garth mengayunkan pedangnya ke arah dadaku, sebelum pedang itu dapat mengenaiku, aku menunduk dan menghindari serangannya, ia meleset, posisinya sekarang kurang lebih terkunci, aku mengayunkan pedangku ke arah kakinya, Garth segera mengangkat kaki kirinya itu dan menendang wajahku.

Kepalaku rasanya berdenyut, diriku tersungkur di tanah, sedangkan Garth sudah berdiri kembali, bersiap untuk melayangkan serangan selanjutnya.

Belum, aku belum mau mati disini. Aku segera berdiri kembali, genggaman pedangku melemah, aku masih kelelahan karena perjalanan panjang yang baru saja aku lakukan, aku tidak bisa lagi melakukan serangan seperti sebelumnya.

Aku kembali merendahkan mata pedangku, Garth jelas menyadari ini dan akan mengubah arah serangnya, ia melayangkan serangannya ke arah leherku, sebelum pedang itu mendekatiku, aku sudah merunduk terlebih dahulu, Garth menyesuaikan gerakannya dan menurunkan arah serangannya, aku tidak dapat menghindari serangan ini, namun, ini sesuai dengan rencanaku. Jika aku tidak bisa menyerang seperti biasa, maka biarkan musuh yang datang ke arah pedangku. Aku membalikkan tubuhku, serangan Garth mengenai tas yang aku bawa, ia mencoba untuk menarik pedangnya itu, tapi, ia tidak berhasil, aku menggunakan kesempatan ini untuk memukul tangan kanannya dengan gagang pedangku, Garth melepaskan genggaman pedangnya, aku lantas mendekatkan ujung pedangku ke lehernya.

"Bahkan setelah mati, kamu masih tidak takut dengan kematian ya, aku menyerah." Ucap Garth sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Justru karena aku sudah pernah mati, aku tidak ingin mati lagi," Balasku.

"Bodoh dan berani kadang memang sulit untuk dibedakan ya?" Canda Garth.

"Haha, aku menerima seranganmu karena di dalam tas ini ada baju zirahku." Aku melepaskan pedangku dan melemparnya ke tanah. Aku lalu melepaskan tasku dan mencabut pedang Garth yang masih tersangkut di tas yang aku bawa.

Terdapat robekan kecil pada baju zirah yang aku bawa, untungnya pedang itu tidak dapat menembusnya. Sayangnya, kini di tas Celline terdapat sebuah robekan yang menganga besar akibat pertarunganku.

"Hmm, ini benar-benar baju zirahmu, maaf aku sudah tidak sopan."

"Tidak apa, lagipula sudah seharusnya kamu waspada dengan orang yang tiba-tiba saja mengaku menjadi seseorang, apalagi jika orang itu sudah mati selama dua tahun."

Garth membuka tangannya lebar, aku lantas merangkul tubuhnya erat.

"Selamat datang kembali," Ucapnya lembut.

Kata-kata Garth terasa hangat di telingaku, rasa rinduku akan interaksi dengan orang lain, rasa rinduku dengan kehidupan yang dulu aku miliki, perasaan-perasaan ini menyerbuku tanpa henti, padahal hanya satu dekapan, tapi, kenapa? Kenapa baru sekarang aku merasakan sosok Garth sehidup ini.

"Kalau saja kamu tahu, tolong kembalikan semua air mata yang aku keluarkan di hari itu."

"Ahah, aku ada disini masih belum cukup?"

"Selamat datang kembali Light, sungguh, aku sangat senang kamu masih hidup."

"Aku juga begitu, senang bisa bertemu lagi denganmu."

Ah, aku rasa semua emosiku pecah di saat ini juga, mataku yang mulai berair dan pelukan dari Garth yang terasa hangat ini membuatku tenang. Semenjak kepergian ayahku, dia adalah satu-satunya sosok ayah yang aku miliki, sikapnya yang kadang keras, namun, diisi dengan perasaan lembut dibalik tindakannya itu, pada akhirnya dialah yang membuatku bisa berdiri dengan bangga membawa baju zirah kerajaan di tubuhku, dialah alasan kenapa aku ingin bertarung, untuk melindungi apa yang aku miliki.

Sebagai seorang panglima, rasanya aku terdengar menyedihkan. Ah, tidak apalah, aku juga sudah bukan seorang panglima lagi, aku yang sekarang hanya seorang laki-laki biasa.

Aku melepaskan pelukanku, "Ngomong-ngomong Garth, tadi siapa yang bertarung denganmu?" Garth mengusap kedua matanya, sepertinya melihat seseorang yang sudah lama mati berdiri di depannya lagi cukup berat baginya, akupun juga begitu saat melihat dirinya lagi.

Aku menepuk-nepuk punggung Garth, mencoba untuk menenangkannya.

"Dia murid baruku," kata Garth sambil memberi tanda kepada muridnya itu untuk datang kesini.

"Namanya Crystal, Kein Crystal, dia keturunan dari kaum Yoru, sama sepertimu."

Kein Crystal ya, matanya yang hitam, rambutnya yang diikat kuncir kuda, serta tubuhnya yang langsing ia, potensi bertarungnya benar-benar tinggi. Pergerakannya saat melawan Garth tadi cukup lincah, walaupun rasanya masih banyak yang rasanya bisa diperbaiki, ia sudah cukup mumpuni untuk bertarung sendirian.

"Kein? Nama keluarga? Aku rasanya pernah bertemu dengan orang yang juga memiliki nama Kein," Ucapku mencoba untuk berkenalan dengannya.

Crystal hanya mengangguk.

Perempuan yang dingin, atau mungkin dia hanya malu berinteraksi dengan orang baru? Tidak, tidak baik menilai seseorang secepat ini, seiring berjalannya waktu aku akan mengenalnya lebih baik, sama seperti aku mulai mengenal Celline lebih jauh di setiap harinya.

Ah iya! Celline! Aku meninggalkannya sendirian di belakang, aku harus cepat kembali menemuinya.

"Tidak perlu." Sebuah tangan menyentuh punggungku.

Celline terlihat sedikit kesal, mungkin karena aku meninggalkannya sendirian begitu saja.

"Benar," Jawabnya singkat.

Rasanya aku tidak perlu lagi berbicara, Celline cukup melihatku dan ia sudah tahu semua yang aku pikirkan bahkan sebelum aku sempat berbicara.

"Jangan begitu, aku juga perlu mendengar suaramu."

Ah, perkataannya yang seperti ini yang kadang bisa membuatku salah mengartikannya.

Garth dan Crystal sedari tadi melihat kami aneh, aku yang hanya diam saja dan Celline yang terus berbicara denganku tanpa aku membalasnya pasti terlihat sangat aneh bagi mereka.

Celline mengalihkan pandangannya ke arah Garth dan Crystal, ia lalu berjalan mendekati Crystal dan menyapanya dengan hangat, sayangnya, Crystal tidak menjawab sapaan dari dirinya itu.

"Hmm, kamu tidak banyak bicara, tapi, dirimu berisik sekali."

"Kekuatanmu cukup merepotkan ya." Tambah Celline lagi.

Crystal terperanjat, wajahnya berubah tanggap, ia juga mengepalkan tangannya.

"Padahal baru saja bertemu dan kamu sudah ingin membunuhku? Hey paman, anak ini kamu ajari apa?" Celline menatap tajam ke arah Garth.

"Ah, maaf dia sebenar-"

"Jadi kalian sedang patroli ya."

"Err begitulah."

"Paman tidak ingat denganku?" Pertanyaan Celline ini sedikit aneh, dia jelas baru saja bertemu dengan Garth, bagaimana mungkin Garth akan mengenalinya?

Garth menatapnya sebentar lalu menggelengkan kepalanya. Tentu saja bukan? Garth tidak mungkin mengenalnya, belum lagi sosok Celline yang hampir tidak pernah keluar dari Anklogia.

"Begitu ya, sayang sekali."

Garth menatapku bingung, sayangnya, sifat Celline memang seperti itu, jadi aku hanya dapat mengangkat kedua bahuku kepada Garth.

Celline berjalan kembali ke arahku, ia lalu memeriksa tas yang aku bawa. Pandangannya langsung disapa oleh sebuah sobekan besar, ia memandang sobekan itu dengan pandangan prihatin. Ah, jangan-jangan tas ini peninggalan keluarganya?

"Iya dan tidak, tas ini milik ayahku dan ini adalah pemberian dari salah satu temannya."

"Maaf."

"Tidak apa, setidaknya kamu masih hidup, aku sudah cukup senang dengan itu."

Sisinya yang lembut ini terus saja menyelamatkan hidupku, tanpa tas miliknya ini, mungkin aku sudah mati untuk kedua kalinya, serangan Garth selalu saja fatal dan berbahaya. Namun, karena itu juga tas miliknya ini rusak seperti ini, rasanya ini jadi tanggung jawabku juga untuk merajut kembali sobekan yang sudah aku buat.

"Biar aku saja, aku tidak ingin tasnya robek lagi jika harus disulam oleh amatir sepertimu."

Lagi-lagi kata-katanya sangat tajam, pergantian sifatnya yang sangat cepat seperti ini kadang membuatku khawatir dengan keadaannya.

"Kalau begitu biar aku temani, hitung-hitung aku belajar sambil menemanimu," Ucapku.

"Terserah kamu, lagipula aku tidak punya hak untuk melarang."

Celline mengambil tasnya itu dan membawanya pergi ke salah satu rumah yang ada di dekat lapangan ini.

"Seleramu aneh juga," Ucap Garth sambil merangkulkan tangan kirinya ke punggungku.

"Dia orang yang menyelamatkanku, tentang suka atau tidak itu urusan nanti." Sayang sekali, aku sudah suka kepada sosoknya semenjak mata kami pertama kali bertemu.

"Jadi sekarang apa rencanamu?"

"Kembali ke Kastil LordBart."

"Itu saja?"

"Apa maksudmu?"

"Tidak, hanya saja, tidakkah kamu ingin kembali menjadi panglima atau semacamnya?"

"Untuk apa? Aku nyaris mati terakhir kali aku menjadi panglima, lagipula sudah ada yang menggantikanku juga kan?"

"Kamu sudah tau? Tapi, bagaimana?"

"Seorang panglima gugur di medan perang, bukankah itu sebuah posisi penting yang harus segera diisi?"

"Masuk akal."

Rasanya tidak nyaman untuk berbohong seperti ini kepada Garth, tetapi, tentang Celline dan kekuatannya, aku rasa akan lebih baik jika tidak langsung aku beritahu semuanya, lagipula lebih menyenangkan jika mengetahui hal-hal seperti itu dengan sendirinya bukan?

"Baiklah, aku akan menyusul Celline dulu, Crystal mau ikut?" Ajakku.

Dia hanya berdiri diam dan menatapku sinis.

"Haha tidak ya, yasudah, aku pergi dulu ya."

Crystal ya, nama yang bagus, diambil dari nama salah satu batu mulia, mungkin orangtuanya menginginkan dirinya untuk menjadi seseorang yang dapat bersinar indah di kemudian hari. Dan aku harap ia juga dapat bersikap begitu kedepannya, sayang saja arti dari nama indahnya itu akan terbuang sia-sia begitu saja jika ia terus bersikap dingin dan mengerikan seperti ini.

"Jangan sok tau tentang namaku dan orang tuaku, dasar orang asing," Ucapannya, suaranya terdengar sangat merendahkan diriku, tapi, aku bahkan tidak berbicara tadi? Sebentar, jadi Crystal juga dapat membaca pikiran? Satu saja sudah cukup, apalagi dua, aku jadi tidak ingin dekat-dekat dengan Crystal.

"Iya iya, aku minta maaf," Ucapku sedikit kesal, bukan karena sikapnya yang dingin, tetapi, lebih ke kemungkinan kalau aku akan bekerja sama dengan dia di kemudian hari.

Aku melanjutkan langkahku ke barisan rumah-rumah yang ada di dekat lapangan ini, mengikuti langkah Celline yang terpahat di tanah berlumpur.

"Celline, dimana kamu?" Pijakan langkah Celline terhenti, sepertinya tanah disini sedikit berbeda dengan jalan yang barusan aku lalui.

"Disini Light," Suaranya sayup-sayup terdengar dari salah satu bangunan tua yang ada di sebelah kananku.

Bangunan ini terlihat sangat tua, kayu-kayunya yang reot, jendelanya yang terbuka setengah, serta debu-debu yang menyembul keluar dari sela-sela jendela itu, sepertinya bangunan ini sudah lama dibiarkan seperti ini.

Dari langit-langit bangunan ini menggantung sebuah plang yang bertuliskan, Perpustakaan Cara.

Kenapa perpustakaan? Apakah ada sesuatu yang Celline cari disini?

Aku membuka pintu kayu perpustakaan ini, suara derit dari pintunya menggema ke segala sudut. Sosok Celline duduk di salah satu meja kayu panjang yang terlihat sudah lama tidak dipakai, beberapa sudutnya yang sudah dikikis oleh rayap membuat meja ini terlihat dapat ambruk kapan saja.

"Celline, aku rasa tas itu sedikit terlalu berat untuk meja ini."

"Tenang saja, walau meja ini ambruk pun tas ini sudah rusak juga semenjak aku membawanya kesini."

Celline sepertinya sedang membaca sesuatu, sebuah kertas panjang yang bertuliskan daftar buku dan penempatannya.

"Tidakkah kamu ingin merajutnya? Memperbaikinya?"

"Benar, tapi, tanpa jarum dan benang, bagaimana aku akan melakukan itu?"

"Dan … itu alasanmu kesini?"

"Mencari benang dan jarum disini? Kamu bodoh?"

"Err lalu apa yang kamu lakukan disini?"

Celline tiba-tiba berdiri dan mulai berjalan ke arah salah satu rak buku, ia lalu menjulurkan tangannya dan mengambil sebuah buku.

Buku yang dipegangnya itu lumayan tebal, sama seperti hal lainnya di tempat ini, buku itu juga dilapisi oleh lapisan debu tebal yang menutupi halaman sampulnya, Celline lalu menepuk-nepuk buku itu, membuat debu-debunya berterbangan ke segala arah.

"Anklogia dan Penyihir Hutan," Celline membaca judul dari buku itu, sementara aku mengibas-ngibaskan tanganku di udara, debu-debu ini rasanya menyesakkan dadaku.

"Sebuah buku dongeng?" Tanyaku bingung, judul buku itu terdengar seperti judul sebuah buku dongeng anak-anak yang biasanya dibacakan sebagai pengantar tidur mereka.

"Terkadang, diantara dongeng, mitos, dan legenda, ada kebenaran yang terselip diantara baris-baris kalimatnya."

"Mungkin? Aku tidak pernah membaca hal-hal seperti itu, apalagi mendalami kata-kata yang ada di dalamnya."

"Mungkin itu juga alasan kamu agak bodoh dalam urusan seperti ini."

"Tajam seperti biasanya, jadi, apa yang kamu cari di buku itu?"

"Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Kebenaran-kebenaran kecil."

"Untuk apa? Aku kira kamu keluar dari Anklogia hanya untuk menemaniku?"

"Sebagai seorang panglima perang, atau, lebih tepatnya mantan panglima perang, bukankah kamu terlalu naif? Aku heran kenapa kamu bisa ditunjuk sebagai panglima."

"Karena aku kuat?"

"Sekuat itu sampai hampir mati di medan perang? Jika kamu yang terkuat, aku khawatir dengan keadaan pasukanmu."

"Aku yakin mereka tidak apa-apa," Meskipun aku berkata seperti itu, aku tentu saja khawatir dengan keadaan mereka.

"Aku juga harap begitu."

Celline berjalan kembali ke meja kayu tadi dan mulai membaca buku yang yang dibawanya itu.

Dia sekarang terlihat sibuk membalik halaman demi halamannya, matanya terpaku mengikuti kata demi kata yang tertulis. Lalu sekarang, apa yang bisa aku lakukan? Tas yang dibawanya tadi masih memiliki sobekan besar yang rasanya terus menatapku dengan rasa bersalah.

"Lebih baik kamu keluar mencari jarum dan benang, kamu berisik."

Berisik? Padahal aku tidak berbica- ah, pikiranku ya maksudnya, yah yah, baiklah, aku mengerti.

Mengikuti perintahnya, aku berjalan keluar dari perpustakaan ini, suara deritan pintu kembali terdengar saat aku melangkah keluar.

"Berisik!" Teriak Celline dari dalam perpus, ia sepertinya sangat kesal dengan suara deritan pintu itu, baru kali ini aku mendengarnya marah seperti itu.

"Maaf maaf," Balasku dengan suara rendah.

Aku mulai memasuki rumah-rumah yang ada di sekitar sini, berbeda dengan perpustakaan tadi, rumah-rumah ini terlihat cukup terawat, lemari-lemari dan ranjang tidurnya masih dalam keadaan bagus. Menandakan bahwa sepertinya rumah-rumah ini baru-baru saja ditinggalkan, entah apa alasannya, aku masih tidak tahu, tetapi, jika suatu desa harus sampai dievakuasi seperti ini, berarti ada keadaan mendesak dan berbahaya yang memaksakan mereka untuk pergi dari sini.

Dari barang-barang yang mereka bawa, mereka hanya membawa barang-barang yang penting bagi mereka, seperti pakaian, dan beberapa alat makan yang tidak dapat aku temukan di lemari dan raknya, sedangkan alat-alat masak besar seperti panci dan wajan serta beberapa pisau ditinggalkan begitu saja disini. Aku juga menemukan beberapa bahan makanan yang ditinggal disini, keadaan mereka sudah mulai membusuk karena ditinggalkan begitu saja, kemungkinan besar pemilik rumah baru beberapa hari meninggalkan tempat ini.

Sayangnya, aku tidak dapat menememukan benang ataupun jarum setelah menggeledah rumah-rumah yang ada di desa ini, mengingat seberapa pentingnya selimut dan pakaian di perjalanan yang panjang, ataupun di kamp pengungsian, kemampuan untuk memperbaiki barang-barang tersebut dapat menjadi faktor penentu antara hidup dan mati.

Aku lalu berfikir bahwa mungkin Garth ataupun Crystal memiliki kedua barang itu, mereka juga pasti sudah lumayan lama berada disini. Patroli ya kata Celline tadi, Desa Cara setahuku berada di perbatasan daerah kekuasaan LordBart, aku tidak tahu perang sudah berlangsung sejauh apa, tetapi, jika sudah ada patroli dan evakuasi di desa terluar ini, berarti agresi kaum Zortar sudah semakin mendekat. Dua tahun memang waktu yang cukup lama, terakhir kali pertarunganku dengan mereka berada jauh di luar perbatasan kami, itu juga alasan mengapa aku dapat mengambil keputusan untuk mundur, semakin banyak prajurit yang dapat diselamatkan, semakin baik, tujuan kami tidak pernah untuk menang melawan mereka di luar perbatasan, tetapi, lebih untuk menghambat pergerakan mereka, ini kemudian memberi lebih banyak waktu bagi Kerajaan LordBart untuk memperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan para prajurit untuk bertarung di medan perang, karena sebaik apapun strategi yang kami miliki, tidak akan ada gunanya jika mereka tidak bisa mengangkat senjata untuk melawan musuh yang menyerang.

Jarum dan benang, jarum dan benang, aku harus cari dimana ya? aku sekarang sedang berjalan kembali ke lapangan tempat tadi aku bertarung. Jarakku sudah cukup dekat sekarang, seharusnya dari sini aku sudah dapat mendengar suara dentangan pedang mereka, sayangnya, aku tidak mendengar suara itu lagi.

Saat aku sampai ke lapangan, sosok mereka berdua sudah tidak ada disini, mungkin mereka sedang melakukan patroli ke daerah sekitar. Aku lantas mulai melihat-lihat lagi ke sekitar, ternyata aku menemukan sebuah gubuk kecil yang belum sempat aku periksa, tempat itu terlindungi di balik sebuah rumah yang sedikit lebih besar di depannya.

Aku mulai memasuki gubuk itu, keadaannya jauh lebih mengerikan dari bangunan-bangunan yang sebelumnya aku masuki, tempat ini hanya memiliki satu ruangan dan di dalam ruangan ini ada banyak barang-barang berserakan.

Tempat ini sepertinya digunakan oleh Garth dan Crystal sebagai tempat untuk menyimpan berbagai barang yang mereka gunakan, pedang-pedang yang sudah berkarat, baju-baju zirah dari kulit yang sepertinya baru saja dipakai, serta beberapa anak panah yang diikat menjadi satu, tempat yang terlihat sangat menyedihkan.

Mencari benang dan jarum disini juga sepertinya akan sia-sia saja, walaupun ada, aku tidak punya waktu untuk menyingkirkan barang-barang ini, terutama pedang-pedang tajam yang berkarat itu, aku tidak akan mengambil resiko tergores oleh pedang-pedang tua disini.

Aku menyenderkan bahuku ke kusen pintu, memikirkan harus kemana lagi aku mencari dua benda kecil itu.

"Ack!" Sesuatu yang tajam baru saja menusuk punggungku.

"Mencari ini?" Suara itu, Crystal ya, tapi, bagaimana caranya ia ada disini? Aku tidak mendegar langkah apapun dari belakang dan sedari tadi aku hanya mendengar suara serangga di kejauhan.

Aku membalikkan badanku, benar saja, ternyata Crystal yang tadi menusuk punggungku, ia memegang sebuah jarum kecil dan gulungan benang berwarna putih di kedua tangannya.

"Bagaimana caranya kamu tau?"

"Aku punya caraku, sekarang hush, jangan masuk ke rumah orang tanpa izin."

"Izin ke siapa? Cuma ada kita ini."

"Ya ya, kembali sana ke pacarmu itu, kasian dia ditinggal sendirian lagi."

Benar juga, karena sekarang aku sudah mendapatkan benang dan jarum yang sedari tadi aku cari-cari, sebaiknya aku kembali ke perpustakaan, setidaknya ini yang dapat aku lakukan untuk Celline.

"Yasudah, terima kasih benang dan jarumnya." Ucapku sambil berjalan meninggalkan Crystal di belakang.

Ah, aku lupa kalau aku ingin menanyakan Garth ada dimana, jika aku tau cakupan patroli mereka, mungkin aku bisa membantu. Namun, saat aku membalikkan badanku, Crystal sudah menghilang tidak meninggalkan jejak, perempuan yang sama mengerikannya seperti Celline, tidak, bahkan lebih mengerikan, ia yang dapat membaca pikiran, dan juga dapat muncul dan menghilang begitu saja tanpa aku menyadarinya, setiap jengkal tubuhku berteriak untuk pergi dari tempat ini sejauh mungkin, Crystal bukanlah seseorang yang dapat aku pandang remeh, jika dia mau, mungkin dia dapat memenggal kepalaku sebelum aku bahkan sempat melihatnya.

Aku lantas berjalan kembali ke perpustakaan, saat aku sampai di depan pintu perpustakaan, langkahku terhenti, dari dalam aku dapat mendengar suara-suara gaduh, seperti suara buku-buku yang dilemparkan kesana-kemari.

Aku mencoba mengintip dari jendela yang sudah rusak, aku terperanjat dengan apa yang aku lihat, di dalam perpustakaan terlihat buku-buku yang berterbangan mengelilingi Celline, kursi-kursi kayu terlempar kesana-kemari, serta retakan-retakan kayu juga mulai muncul di dinding bangunan yang sudah reyot ini.

Aku harus segera menghentikannya, jika tidak, bangunan ini akan runtuh kapan saja.

Aku mendobrak pintu depan dengan keras, mungkin sedikit terlalu keras, pintunya langsung terlempar ke sisi lain ruangan.

Angin kuat langsung mendorongku mundur, seakan tidak mengizinkanku untuk melangkah lebih jauh untuk mendekati Celline. Aku memaksakan langkahku kedepan, berjalan dari satu pilar kayu ke pilar kayu lainnya, perlahan namun pasti, aku mulai mendekati sosok Celline.

Dirinya masih memandangi buku yang sama, matanya seakan terpaku membaca kata demi kata buku itu, tidak hanya terpaku, tapi, matanya juga meneriakkan amarah dalam setiap gerakannya. Kekacauan ini pasti ada hubungannya, Celline, apa yang kamu baca? Apa yang telah kamu ketahui?

"BERISIK!!" Satu kata itu cukup untuk membuat keadaan yang kacau ini menjadi semakin mengerikan. Buku-buku yang tadinya hanya berterbangan di sekitar Celline tiba-tiba berhenti, meskipun buku-buku itu tidak memiliki mata, tetapi, entah kenapa rasanya mereka sekarang sedang menatapku tajam.

"Celline tolong berhenti," Pintaku.

Sebuah buku langsung melayang tepat ke arah wajahku, buku itu mendarat mengenai dahiku.

"Ack!"

"Berhenti Celline! Tolong!" Pintaku lagi.

Dahiku mulai berdenyut, rasa sakitnya mulai muncul. Aku berjalan maju lagi, memanfaatkan kesempatan ini untuk mencoba meraih tas yang ada di sebelah Celline, jika aku dapat mengambil senjata mistis yang diberikan oleh Celline, setidaknya aku dapat membela diriku.

Setelah berusaha menembus angin kencang yang terus saja berputar di ruangan ini, tanganku dapat meraih tas itu dan mengambil pedang kayu yang ada di dalamnya.

Pedang yang bahkan tidak tajam ini apakah benar-benar dapat aku gunakan? Tidak, tidak boleh ada keraguan, sebuah pedang hanya sekuat pemegangnya, tidak masalah jika itu sebuah tongkat ataupun pedang besi yang baru saja dibuat, jika pemegangnya tidak lihai dan dipenuhi keraguan, pedang itu akan segera meninggalkan genggaman tangannya.

Aku melirik kearah Celline, giginya menggeretak, senyum manisnya kini berubah menjadi guratan senyum yang mengerikan, aku dapat melihat dengan jelas keempat gigi taringnya dari sini.

Aku masih kesulitan untuk mencoba berdiri tegak, sebuah suara geraman terdengar, barusan itu … Celline?

Lagi-lagi sebuah angin kencang menerpa tubuhku, tapi, kali ini anginnya jauh lebih kencang dari sebelumnya, saking kencangnya hingga aku terlempar ke belakang, menabrak pilar-pilar kayu, dan akhirnya berhenti menghantam dinding kayu perpustakaan.

Aku memegang dadaku, rasanya sakit sekali, ajaibnya, aku masih memegang pedang mistis tadi di tangan kananku. Celline itu, sebenarnya seberapa kuat dirinya?

Kakiku bergetar, menolak untuk berdiri dan menopang diriku. Jika memang aku harus merangkak, maka aku akan merangkak untuk mencapai dirinya.

Meskipun sulit, aku menggerakkan kedua tanganku dan menarik diriku di lantai kayu perpustakaan. Debu-debu dan serpihan kayu terus menabrak wajahku, aku dapat merasakan luka-luka goresan yang mulai muncul di berbagai bagian wajahku. Tidak lama, buku-buku yang tadinya hanya menatapku tajam menyusul untuk menyakitiku, satu per satu buku-buku itu dari yang tebal hingga yang tipis, melemparkan diri mereka ke tangan dan punggungku.

Kepalaku mulai terasa ringan, mataku berkunang-kunang, tubuhku sepertinya sudah mulai mencapai batasnya. Sial, padahal tinggal sedikit lagi, beberapa langkah kedepan dan aku sudah dapat meraih meja Celline.

Sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, dengan sisa tenaga yang aku miliki, aku mengarahkan pedangku ke wajah Celline, membayangkan jika pedang ini dapat menyentuh Celline, akahkah kekacauan ini berhenti?

Sebuah sensasi aneh tiba-tiba muncul di genggaman tangan kananku, aku dapat merasakan sesuatu yang mulai menggeliat, ujung dari pedang kayu itu mulai memanjang dengan sendirinya. Ujung pedang ini terus memanjang dan memanjang hingga ujung tumpulnya itu menghantam dahi Celline dengan cukup kuat, kepala Celline menengadah keatas, Celline lantas terdiam dan hanya memandangi langit-langit perpustakaan.

Angin yang berhembus mulai mereda dan pelan-pelan berhenti, Celline masih terus memandangi langit-langit dengan tatapan kosong, namun, tangan kanannya bergerak dan menutup buku yang ia baca tadi.

Sebuah aura hitam tiba-tiba muncul dan berhenti di samping tubuhku, aura itu lalu mulai berkumpul semakin banyak dan semakin pekat. Sosok Crystal lalu muncul dari balik gumpalan aura hitam tadi, ia menyodoriku sebuah botol yang berisikan cairan berwarna merah.

"Minumlah, kamu akan merasa sedikit lebih baik setelahnya," Ucap Crystal. Dengan enggan, aku menerima botol berisikan cairan misterius itu dan meneguknya habis dalam sekali tegukan, rasanya agak aneh, tidak manis, tidak juga asin, sedikit pahit dan agak masam.

Benar saja, beberapa saat setelah aku meminum cairan aneh tadi, rasa perih dan pegal di seluruh tubuhku berangsur-angsur menghilang. Perang akan jauh lebih mudah jika kami dulu mempunyai ramuan ajaib seperti ini di medan tempur.

"Cukup mengenang masa lalu, sekarang urus dulu Celline."

Aku mencoba untuk berdiri, masih kesulitan untuk berjalan, dibantu oleh Crystal, aku mulai mendekati Celline. Wajahnya masih menengadah keatas, matanya masih mengawang-awang menatap langit-langit, nafasnya teratur, namun, agak sedikit lambat.

"Celline?"

Jari-jari di tangan kanan Celline bergerak, sebuah respon, setidaknya dia masih dapat mendengarku. Dengan perlahan aku mendekatkan tangan kiriku ke tangan kanan Celline, berhati-hati agar tidak membuatnya marah lagi.

Telapak tanganku menyentuh telapak tangan Celline, aku lalu mengusapnya dengan lembut. Celline mencengkram tanganku, membuat tanganku dan tangannya saling terhubung dan terkunci.

"Celline … kamu baik-baik saja?"

Kepala Celline bergerak, matanya kini menatapku sendu.

"Ayah?" Suara Celline terdengar lemah, matanya berbinar-binar.

Ayah? Bukan, aku Light, Celline sepertinya sedang berhalusinasi.

Cengkraman tangan Celline semakin erat, setetes air mata meluncur di pipi putihnya.

Lantai di bawah kakiku mulai bergetar, sesuatu mulai muncul dari sela-selanya.

"Akar tumbuhan? Tapi, kenapa?" Crystal menatapku bingung.

"Jangan tanya aku," Balasku.

Akar-akar yang muncul mulai menggeliat dan tumbuh memanjat keempat kaki meja kayu ini.

Crystal lantas memotong akar-akar kayu itu, ia terlihat ketakutam saat melihat akar-akar itu tumbuh dengan cepat. dan menggunakan pisau kecilnya, Crystal mulai membelah akar-akar yang tumbuh.

"Aku tidak tahu kenapa, tapi, firasatku buruk melihat akar-akar itu," Jawab Crystal, ayunan tangannya menjadi semakin cepat, namun, akar-akar yang tumbuh juga menjalar lebih cepat, mengikuti itu, cengkraman tangan Celline juga semakin menguat hingga tangan kiriku mulai merasa sakit.

"Terlalu banyak, aku tidak bisa menghentikannya!" Suara Crystal terdengar panik, akar-akar itu kini sudah berada di alas meja.

Akar-akar itu mulai berkumpul dan tumbuh menuju ke sebuah titik, dan pada pusat titik itu adalah buku yang tadi Celline baca. Akar-akar itu mulai membungkus bukunya, aku mencoba untuk menghentikannya, namun sia-sia, pertumbuhan akarnya terlalu cepat.

Buku itu sekarang sudah sepenuhnya dibungkus oleh akar tumbuhan, Crystal mencoba untuk menarik buku itu dari alas meja, namun, hasilnya nihil, buku itu tidak bergerak sedikitpun.

Celline menghembuskan nafas panjang, ia lalu memalingkan wajahnya dan menatapku.

"Ahmmh, ah, hei Light, apa kamu sudah menemukan jarum dan benang yang aku minta?" Celline berkata sambil menguap dan meregangkan tubuhnya.

Eh? Itu saja?

"Kenapa memangnya Light?"

"Celline, kamu tidak mengingat apa-apa?"

"Memangnya ada apa?"

"Lihatlah ke sekitarmu."

Celline mulai melihat ke sekitarnya, buku-buku yang berserakan, rak-rak buku yang sudah hancur, dinding-dinding bangunan kayu yang retak, serpihan kaca di bawah jendela, kursi-kursi dan meja yang sudah tidak bisa digunakan lagi.

"Astaga, apa yang terjadi?" Celline terlihat bingung, aku dan Crystal jauh lebih bingung, tentang kenapa ia bisa melakukan sihir sekuat ini, ataupun, kenapa ia bisa tidak mengingat semua yang telah ia lakukan, atau tentang kenapa ia bisa sampai murka seperti ini.

"Aku? Maksudmu aku yang melakukan semua ini Light? Tapi, Kenapa?"

Aku mengalihkan pandanganku ke arah buku yang sudah dibungkus erat oleh akar-akar tumbuhan tadi, Celline juga ikut menatap buku itu.

"Buku ini?" Tanyanya lagi.

"Mungkin, aku tidak tahu apa yang kamu baca, tapi, sepertinya itu telah membuatmu marah besar."

"Memangnya buku apa yang aku baca?"

Aku tidak tahu dan mencoba untuk mengingatnya lagi, karena sekarang, judul buku itu sudah tidak dapat lagi aku lihat.

"Ah, Anklogia dan Penyihir Hutan, benar, terima kasih."

Terima kasih? Kepada siapa? Aku tidak memikirkan judulnya, tidak juga berbicara tentang itu, lalu, apakah Crystal?

"Iya, hmm, bukan Crystal juga sebenarnya, lebih ke bayangan-bayangan miliknya."

"Bayangan?"

"Iya, Crystal … kekuatannya adalah untuk mengendalikan bayangan, wujud mereka mirip seperti manusia, namun, tidak memiliki wajah, agak mengerikan sebenarnya."

"Seperti arwah?"

"Nah itu! Iya, seperti itu."

"Jadi kamu dapat melihat mereka juga Celline?" Tanyaku.

"Melihat dan mendengar, mereka sangat-sangat berisik, aku tidak suka berada disini."

"Kalau tidak suka pergi saja, menambah bebanku saja kalau disini," Balas Crystal ketus.

"Oh ya, lalu, bagaimana cara Crystal dapat membaca pikiranku?"

"Sederhana, diantara bayangannya itu, salah satunya ada yang dapat membaca pikiran." Celline menatap Crystal tajam, seakan menandakan bahwa Celline tau sesuatu tentang bayangan milik Crystal itu.

"Crystal, apakah mau menjelsakan itu atau aku saja?" Celline kembali menatap Crystal sinis.

Crystal menghembuskan nafas panjang lalu menatapku dengan serius.

"Bayangan-bayangaku itu … mereka dulunya adalah manusia."

"Dan caraku untuk mendapatkan mereka adalah membunuh mereka."

Aku terkejut, namun, membunuh bukanlah sesuatu yang baru dalam hidupku, semenjak menjadi bagian dari perang, aku sendiri juga memiliki darah di tanganku ini, semua orang memiliki alasan mereka untuk hidup, begitu juga untuk membunuh, aku mencoba untuk tidak menghakimi mereka, biarkan itu menjadi tugas para penegak hukum.

"Padahal kamu memiliki kekuatan untuk menghukum mereka Light, bukankah terlalu naif untuk selalu menyerahkan urusan itu kepada orang lain?"

"Tugasku ada di medan perang, bukan mengatasi pencurian ataupun pembunuhan berencana."

"Meskipun begitu …"

"Sudahlah, sekarang, apakah kamu ingat apa yang kamu baca di dalam buku itu?"

"Tidak Light, aku hanya mengingat bahwa aku mulai membaca bagian hutan Anklogia dan setelah itu pandanganku semuanya menjadi hitam."

"Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Karena pada saat aku masuk tadi, wajahmu terlihat mengerikan dan penuh amarah."

"Begitukah? Menarik."

"Itu saja?"

"Apa yang kamu harapkan Light? Buku ini juga sudah tidak bisa dibuka lagi."

Crystal terlihat tidak percaya dengan perkataan Celline itu, ia lalu menyayat-nyayat akar yang menyelimuti buku itu.

"Sudahlah, tidak akan berguna."

Sayatan pisau Crystal benar-benar tidak berguna, akar-akar itu sama sekali tidak terbelah, bekas sayatan juga tidak terlihat, akar-akar ini bukan akar biasa sepertinya.

"Kamu benar sekali Light, ini adalah akar magis Lavara, sihir kelas tinggi yang biasanya digunakan untuk mengikat target yang diinginkan, akarnya tidak hanya mengikat kuat, tapi, ia juga tidak dapat dihancurkan, baik dengan senjata, maupun dengan sihir api dan semacamnya."

Bukankah itu sangat hebat?

Tapi, bukannya tadi Crystal dapat memotong akar-akar itu?

"Akar magis Lavara tidak akan dapat dihancurkan jika sudah menyelimuti target yang diinginkan, jika sebelum itu, akarnya masih dapat dicegah."

Masuk akal, tapi, sekali lagi, kenapa? Kenapa Celline sampai memutuskan bahwa buku itu harus diikat menggunakan akar magis?

"Jika aku tahu Light, aku tidak akan duduk bingung disini bersamamu."

"Benar juga, untuk sekarang, buku ini apakah bisa kita bawa?"

Celline melepaskan genggaman tangannya, ia lalu mulai memegang dan mengangkat buku itu, akar-akarnya lepas dengan mudahnya, padahal Crystal tadi sudah mencoba dan buku itu tidak bergeming dari tempatnya. Setidaknya sekarang buku itu dapat kami bawa, mungkin suatu saat aku dapat tahu apa isi dari buku yang Celline baca tadi.

"Kamu akan menunggu sangat lama Light, akar magis Lavara nyaris tidak dapat dibuka, kecuali, jika objek target yang dia ikat juga hancur bersamanya."

"Tidak apa, aku bawa saja dulu, melihatmu penuh dengan amarah seperti tadi, aku penasaran tentang apa yang dapat membuatmu seperti itu."

Celline menyerahkan buku itu kepadaku, buku ini ternyata cukup berat juga, mungkin karena akar-akar yang menyelimutinya ini yang membuatnya terasa berat, atau mungkin juga karena dibalik akar-akar ini, terdapat barisan kata dan kalimat yang hampir menghancurkan perpustkaan tempat aku berdiri sekarang ini.