Pagi itu Sinta bangun seperti biasa. Melakukan ibadah di pagi hari sebelum menghabiskan waktu sendiri di kamar mandi. Ia memiliki kebiasaan yakni berkutat dengan toilet setiap pagi. Setelah urusannya selesai, ia akan datang ke ruang makan untuk membantu Bunda menyiapkan sarapan. Walau sebenarnya yang lebih banyak ia lakukan adalah mencicipi makanan tiada henti.
"Aduh, Ta. Bunda sudah goreng ayam tadi, baru saja sebentar Bunda ke kamar mandi, semua ayam sudah lenyap. Mereka hidup lagi atau kamu culik ke perutmu?"
"Mereka kabur ke perutku." Kata Sinta sambil mengusap-usap perutnya.
"Lebih baik kamu mandi dulu. Nanti jika sarapan sudah siap, Bunda akan panggil kamu."
"Airnya dingin. Mandinya nanti saja."
"Kan bisa pakai air hangat."
"Iya, tapi percuma jika ada air hangat, sebab Sinta belum ada niat."
"Kalau memang belum ada niat untuk mandi, setidaknya kamu tunggu dan duduk saja di meja makan. Biar lauk yang sudah Bunda siapkan tidak kamu culik ke perutmu."
"Maaf, Bunda. Tapi lebih enak di sini. Di sana, walaupun namanya adalah meja makan, ia tak bisa dimakan. Kalau di sini, Sinta bisa makan lebih cepat." Sinta berkata sambil menunjuk ke arah meja makan.
"Lalu yang benar adalah bukan lauknya aku culik ke perut, tapi dia sendiri yang kabur ke perutku. Dia takut jika saat Bunda kembali dari kamar mandi, Bunda menggoreng dia lagi. Dia terlalu takut dengan minyak goreng panas, jadilah aku sebagai anak yang baik, aku tawarkan dia untuk bersembunyi ke dalam perutku." Tambah Sinta sambil terkekeh.
"Salah, bukan dia. Tapi mereka. Kamu bukan hanya memakan satu ayam, tapi tiga ayam, Ta." Kata Bunda yang membuat Sinta tertawa.
Dari arah depan, terlihat Ayah yang memasuki ruang makan.
"Nanti kamu jadi pergi dengan Ruri?" Tanya Ayah kepada Sinta.
"Jadi. Tapi aku belum tanya kami akan pergi jam berapa."
"Berangkat naik bus atau dijemput Saka?"
"Soal yang satu itu juga belum tahu, Ayah. Sinta tanya dulu." Kata Sinta sambil berjalan menuju kamarnya.
Bunda dan Ayah yang melihat Sinta berjalan ke arah kamarnya pun saling bertatapan. Bunda tersenyum ke arah Ayah dan Ayah tersenyum ke arah Bunda dengan memberi isyarat menggunakan jempol yang terangkat.
Sudah menjadi kebiasaan Sinta yang selalu mengganggu acara sarapan. Dirinya memang membantu Bunda memasak, tapi dirinya juga meminta bayaran yang setimpal dengan memakan lauk atau masakan yang sudah disiapkan terlebih dulu. Kebiasaan Sinta itu tak jarang justru memperlambat waktu sarapan, sehingga mau tak mau Bunda atau Ayah harus mencari cara lain untuk membuat Sinta berhenti memakan masakan sarapan sebelum waktu sarapan bersama dimulai.
Waktu itu setelah Sinta pergi ke kamarnya, ia menghubungi Ruri untuk bertanya pukul berapa mereka akan pergi.
"Ri, jadi kan ya hari ini?"
"Iya, jadi. Tapi ada perubahan rencana, deh."
"Perubahan rencana gimana?"
"Kemarin aku bilang kalau kita akan beli kue untuk Banu. Tapi sepertinya bukan kita yang akan beli, melainkan kalian. Kamu dan Saka."
"Kenapa begitu?"
"Banu mengajakku untuk makan-makan bersama dengan keluarganya di rumahnya pukul sembilan. Jika kita mengikuti rencana sebelumnya, kita pastinya memerlukan waktu lebih untuk mencari kue. Dan di jam sepagi itu, sepertinya toko kue belum buka."
"Kamu sudah bicara dengan Saka soal ini?"
"Belum, Banu baru saja memberi tahu tentang undangannya. Jadi aku berniat untuk memberimu kabar terlebih dulu."
"Banu memang suka dengan hal-hal yang merepotkan orang lain. Biar aku saja yang bicara dengan Saka." Ruri terkekeh mendengar ucapan Sinta.
"Kalau begitu aku telepon Saka dulu, ya."
"Sebentar, Ta. Nanti setelah kamu dan Saka selesai membeli kue, langsung saja pergi ke rumahku. Setelah selesai acara makan-makan di rumah Banu, pasti Banu akan mengantarku pulang. Jadi, nanti kita akan memberinya kejutan di sana. Jangan lupa beli bahan-bahan dekorasinya, ya. Aku minta tolong juga untuk dipasangkan." Kata Ruri dengan terkekeh.
"Tenang saja. Aku akan menghias ruang tamu rumahmu seindah mungkin, sesuai dengan kepantasan Banu."
"Untuk uangnya, aku sudah siapkan di rumahku. Minta saja ke Ibu, jadi kamu bisa mengambilnya sebelum membeli kue."
"Biar pakai uangku dulu. Kasihan Saka jika harus bolak-balik."
"Baiklah. Kalau aku pergi ke rumah Banu pukul sembilan, kira-kira selesai acara makan-makan pukul sebelas sampai pukul dua belas. Kalian bisa mulai membeli perlengkapan pukul sepuluh. Maaf merepotkan dirimu dan Saka."
"Santai saja, Saka dan aku sangat mengerti. Kalau sudah tidak ada tambahan lagi, aku akan menelepon Saka."
"Iya, Ta. Terima kasih, ya."
"Sama-sama, sudah seharusnya sahabat saling membantu."
Setelah itu Sinta pun segera menelepon Saka. Dirinya memberi tahu Saka tentang perubahan rencana mereka dan mereka sepakat untuk mulai mencari bahan-bahan kejutan ulang tahun Banu pukul setengah sepuluh, setengah jam lebih cepat dari saran waktu yang diberikan Ruri. Sebab jika mereka berangkat pukul sepuluh, mereka pasti akan punya waktu yang sedikit untuk mencari bahan dan menghias.
"Kita beli bahan-bahan di pusat perbelanjaan, kan?"
"Iya. Kita beli bahan-bahan untuk dekorasi dulu, saja. Lalu setelah selesai, kita beli kuenya." Kata Sinta kepada Saka.
"Iya, mau berangkat sekarang?" Sinta mengangguk dan segera naik ke atas boncengan motor Saka.
Saka melajukan motornya menuju ke pusat perbelanjaan. Butuh sekitar waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana dan saat mereka sampai, Sinta bingung harus mendekorasi ruang tamu Ruri seperti apa.
"Sa, kamu ada ide untuk menghias ruang tamu Ruri?"
"Aku belum berpikir sejauh itu. Oh iya, kamu sudah beli hadiah untuk Banu?" Pertanyaan Saka membuat Sinta semakin bingung.
Selama setengah jam mereka hanya duduk di kafetaria, sebab masih bingung memikirkan ide dekorasi untuk Banu.
"Aku punya ide." Kata Sinta pada akhirnya.
Setelah beberapa menit hanya duduk-duduk, mereka telah memperoleh ide untuk mendekorasi ruang tamu Ruri. Rencana untuk membeli kue setelah membeli bahan-bahan dekorasi sirna sudah.
"Kita berpencar saja agar lebih cepat. Aku yang akan membeli kado untuk Banu sekaligus beli kue, kamu beli dekorasi. Bagaimana?" Tanya Sinta.
"Boleh. Tapi kamu tidak apa-apa pergi sendirian?"
"Oke. Tenang saja, Sa. Aku bisa mengatasi ini. Kalau sudah selesai kita bertemu di tempat ini lagi ya." Kata Sinta sambil berjalan meninggalkan Saka untuk membeli kado serta kue ulang tahun.
Sesuai dengan kesepakatan, Sinta dan Saka berpencar. Mereka berjalan menuju arah yang berlawanan untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan. Saka pergi ke toko yang menyediakan bahan-bahan dekorasi. Ia membeli balon, tirai foil, tulisan selamat ulang tahun, dan konfeti yang bernuansa biru dan silver. Sinta pergi untuk membeli kado dan kue ulang tahun.
"Mbak, ini kuenya mau ditulis tulisan apa?" Penjual kue berkata kepada Sinta, ia pun mendiktekan tulisan yang ditulis di atas kue.
Setelah semua selesai, barulah mereka bertemu di tempat yang sudah ditentukan.
"Aku tidak bisa menemukan pinata yang sesuai dengan tema dekorasi kita." Pinata adalah salah satu dekorasi ulang tahun yang memuat bermacam-macam permen yang nantinya akan dipukul dengan mata tertutup.
"Tidak ada yang menjual pinata atau bagaimana?"
"Ada, tapi bentuknya tidak cocok."
"Memangnya bentuk apa sehingga tidak sesuai?" Saka pun segera mengajak Sinta ke toko yang menjual pinata supaya ia bisa melihatnya sendiri.
Lalu setelah sampai, terlihat berbagai bentuk pinata terpajang di sana. Ada bentuk unicorn, bintang, putri duyung, boneka, dan masih banyak lagi yang semuanya berwarna-warni.
"Ya, memang tidak sesuai. Tapi aku suka yang unicorn." Pada akhirnya mereka membeli unicorn untuk tambahan dekorasi.
"Kue dan kadonya aman?"
"Ya." Kata Sinta dengan menunjukkan kue ulang tahun yang dibelinya kepada Saka.
Saat Saka melihat kue ulang tahun yang dibeli Sinta, ia tertawa kencang.
Kegiatan belanja bahan-bahan ulang tahun untuk Banu selesai dilakukan. Waktu itu mereka segera pergi menuju rumah Ruri untuk menghias ruang tamu miliknya. Dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk mempersiapkan dekorasi di ruang tamu Ruri. Lalu setelah semua siap, Sinta segera menghubungi Ruri, Ruri pun memberi tahu jika saat ini mereka masih mengobrol di rumah Banu, entah sampai kapan. Hingga setelah adzan Zhuhur, suara motor Banu terdengar di depan rumah Ruri.
"Eh, itu mereka sudah datang!" Seru Ibu Ruri dan yang lain kelabakan berlarian menuju ruang tamu.
"Kamu tidak langsung pulang, kan?" Suara Ruri terdengar dari arah depan.
"Tidak kok."
"Yaudah, yuk masuk!" Terdengar suara langkah kaki mereka mendekati pintu. Lalu saat pintu rumah terbuka lebar, Sinta, Saka, dan orang tua Ruri berteriak, "Kejutan!"
"Selamat ulang tahun!"
"Surprise!"
Semua berpandangan lalu berkata secara bersamaan, "Tidak kompak!" Dan semua orang pun tertawa.
Banu yang melihat semua dekorasi dan kejutan yang diberikan sangat terkejut dan bahagia. Dirinya tak menyangka jika mereka mempersiapkan kejutan untuk dirinya. Belum reda keterkejutan Banu, Sinta mengarahkan konfeti ke arah Banu dan mengeluarkan suara bising khas konfeti.
"Kamu sengaja, ya? Di mana-mana, konfeti itu diarahkan ke atas. Bukan ke orang." Kata Banu yang membuat semua orang kembali tertawa.
"Selamat ulang tahun Banu!" Seru Ibu Ruri.
"Selamat ulang tahun!" Seru satu per satu orang yang ada di sana.
"Terima kasih! Aku tidak menyangka akan diberi kejutan."
Kemudian semua orang pun bernyanyi lagu selamat ulang tahun untuk Banu. Saka menyalakan lilin ulang tahun lalu Ruri mengambil kue itu dan membawakannya ke Banu. Lagu selamat ulang tahun pun segera berganti menjadi lagu tiup lilin.
"Buat permintaan dulu." Kata Ruri kepada Banu dan Banu pun memejamkan mata untuk mengucap doa.
Setelah memanjatkan doa, Banu meniup lilin ulang tahun.
"Pasti ini ide Sinta." Kata Banu sambil menunjuk tulisan di atas kue ulang tahunnya.
Disana tertulis tulisan yakni cie, tua. Tidak ada tulisan nama Banu, tidak ada tulisan selamat ulang tahun.
"Aku hanya ingin kue ulang tahunmu menjadi lebih realistis dan tak biasa." Banu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Banyak sekali tawa yang tercipta di hari itu. Tak hanya Banu yang bahagia, namun juga orang-orang yang merayakan ulang tahunnya. Dan tawa itu berlanjut ketika Banu mendapat giliran untuk membuka kado.
"Ini pasti dari Sinta." Banu berkata demikian sebab dirinya telah membuka kado dari Ruri, Saka, dan orang tua Ruri. Hanya satu kado yang tersisa dan bisa dipastikan jika kado tersebut adalah pemberian dari Sinta.
Ketika Banu membukanya, ia melihat sebuah buku yang masih tersegel rapi dengan plastik pembungkusnya. Setelah membaca judul buku itu, ia sangat yakin jika memang ini adalah kado dari Sinta.
"Sudah kubilang berkali-kali, aku tak berminat mengikuti obsesimu terhadap Bimasena, Ta." Ruri dan Saka tertawa setelah membaca judul buku yang Sinta berikan sebagai hadiah ulang tahun kepada Banu. Buku Mahabarata, kisah kesukaan Sinta.
"Membaca akan menambah pengetahuanmu, Nu. Kisah Mahabarata ini adalah kisah yang penuh dengan darma kehidupan, jika kamu membaca ini, pasti kamu lebih tahu tentang bagaimana caranya bersikap dengan baik dan bijak." Selain banyak tawa, banyak pula gelengan kepala sebagai respon dari kelakuan Sinta.
"Kamu ingin aku membaca buku setebal ini?"
"Ya."
"Lebih baik aku menggunakan buku ini untuk menimpuk kepalamu supaya sadar jika kamu sama saja denganku. Jika kamu berbicara kepadaku bahwa buku ini penuh dengan darma kehidupan, tentu untuk orang yang sudah membaca buku ini, kamu lebih paham. Kamu saja tidak menjadi lebih baik dan bijak bahkan setelah berkali-kali membaca buku ini."
Sinta hendak menimpali perkataan Banu saat Ruri berkata, "Banu benar." Dan ia melihat Saka juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mungkin memang Sinta sama menyebalkannya dengan Banu dan tak ada yang bisa mengubah mereka.
Setelah menyelesaikan acara membuka kado, saat ini dilanjutkan dengan acara memukul pinata. Pinata telah diletakkan oleh Saka dan Sinta di halaman belakang rumah Ruri.
"Ini anak siapa yang ulang tahun?" Tanya Banu dan Ruri tertawa.
"Kami sudah cari pinata yang sesuai dengan tema dekorasi, tapi tidak ada pinata yang sesuai. Jadi aku pilih saja pinata unicorn yang ini, soalnya aku suka."
"Aku juga suka, Ta." Kata Ruri.
Tawa Saka semakin nyaring ketika dilihatnya ekspresi pasrah milik Banu.
"Ya sudah, berikan aku penutup mata dan pemukulnya." Saka pun memberikan Banu penutup mata dan pemukul pinata.
Setelah persiapan selesai, Banu bersiap-siap untuk memukul pinata.
"Tunggu dulu, Banu harus jalan dari sini dan harus berputar beberapa kali." Kata Sinta sambil menyeret tubuh Banu ke tempat yang lebih jauh dari posisi pinata dan memutar tubuh Banu beberapa kali.
"Sudah, sudah. Mau putar tubuhku berapa kali?" Tanya Banu dan Sinta hanya terkekeh.
Setelah selesai diarahkan pada jarak tertentu dan diputar beberapa kali, Banu terdiam untuk beberapa saat sambil menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia merasa pusing akibat diputar-putar oleh Sinta.
"Ke kanan, Nu!" Seru Saka saat Banu mulai berjalan.
"Terus, maju terus!" Ruri ikut bersorak.
"Awas! Berhenti, Nu! Ada paku! Hati-hati! Daerah banyak anak kecil, minggir! Awas! Ada mobil! Pak Polisi, ada maling! Banu maling, Pak!" Seru Sinta dengan semangat.
"Berisik!" Teriak Banu tak mau kalah dan semua tertawa.
Banyak sekali sorak sorai yang ditujukan kepada Banu sebelum pada akhirnya ia sampai di depan pinata. Dirinya memukul beberapa kali pinata tersebut hingga membuat sorakan semakin nyaring. Tubuh unicorn itu telah menjadi dua dan memuntahkan begitu banyak permen.
Setelah tubuh unicorn itu terbelah, mereka menikmati permen-permen yang keluar dari dalamnya. Mereka duduk di kursi belakang rumah Ruri dan mengobrol tentang banyak hal.
"Ruri berbicara denganku soal kejadian kemarin." Kata Banu kepada Sinta.
"Seharusnya kamu melihatnya sendiri, Nu. Sangat seru."
"Ya, dari ceritanya saja aku bisa membayangkan seringaian yang kamu berikan ke adik kelasmu itu." Kata Banu sambil tertawa.
"Memangnya kamu tahu dia siapa, Ta? Maksudku, nama si adik kelas itu."
"Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu, dia adalah adik kelas yang tidak jadi menjadi kekasih Reksa."
"Tidak jadi?" Tanya Saka.
"Ya, Reksa pernah berbicara kepadaku tentang adik kelas yang terobsesi dengan dirinya. Jadi awalnya, si perempuan ini yang menghubungi Reksa terlebih dulu. Karena Reksa yang, ya, seperti yang kalian tahu, dia suka meladeni perempuan-perempuan yang mendekati dirinya. Jadilah ia merespon si adik kelas yang satu itu. Si adik kelas itu mengira jika Reksa juga memiliki rasa yang sama dengan dirinya. Tapi kemudian yang ia dapat adalah Reksa yang meninggalkan dirinya dan Reksa yang dekat denganku."
"Lalu karena itu dia melabrakmu?" Tanya Banu.
"Tidak, dia tidak melabrakku. Ia hanya menyindirku bersama dengan teman-temannya."
"Menyindirmu? Wah, pasti mereka berpikir jika tindakan itu tidak akan beresiko besar. Tapi ternyata mereka salah." Kata Banu dengan tertawa.
"Mungkin saja."
"Memangnya mereka menyindirmu seperti apa?"
"Mereka berbicara tentang diriku yang genit ke setiap lelaki dan yang ditinggalkan akibat kurang pantas untuk dipertahankan, berbicara tentang kegiatan kita menonton futsal, tentang Reksa yang mentraktir kami makan, dan bahkan dia juga berbicara hal yang salah tentang Saka."
"Kenapa mereka berbicara tentang Saka? Memangnya apa yang mereka bicarakan?" Tanya Banu dengan heran.
"Mereka bilang jika Saka suka padaku."
Jawaban Sinta membuat suasana senyap beberapa saat sebelum Saka berkata, "Bagaimana jika yang mereka katakan adalah hal yang benar?" Tanya Saka kepada Sinta.
Pertanyaan Saka membuat Ruri dan Banu menatapnya terkejut sedangkan Sinta menatapnya dengan tatapan bingung.