"Rindu atasmu
menjelma baju-baju
menjadi bedak dan gincu
pun gagang pintu
yang kukenakan, kupoles, dan kusentuh.
Rindu atasmu menjamur
semakin subur
meski berkali-kali kukubur."
Saka dan Reksa yang berkelahi kala itu tak hanya menyisakan luka di wajah masing-masing, namun juga luka di batin masing-masing. Luka ini timbul akibat adanya teror serta ancaman yang menyangkut Sinta. Sejak perkelahian, tak satu pun dari mereka yang bertegur sapa. Reksa juga tidak mendekati Sinta seperti dulu lagi, mungkin juga karena dirinya tahu jika Sinta saat ini sedang dekat dengan seseorang. Yakni sahabatnya sendiri, Saka. Di hari-hari berikutnya pun sama, tak ada sedikit pun yang membahas tentang perkelahian waktu itu atau teror apapun yang menyangkut Sinta. Sepertinya memang Reksa memilih untuk diam.
Reksa mungkin menilai jika Saka adalah lelaki yang tahan banting, sebab saat dirinya tahu sebuah fakta jika Saka menerima teror yang sama, bahkan dengan ancaman yang lebih berat sebab berkaitan langsung dengan Sinta, dirinya tetap saja mendekati Sinta. Mungkin juga karena sejak awal dirinya sudah dekat dan bersahabat baik dengan Sinta, Saka juga terkenal sebagai orang yang rela melakukan apapun demi sahabatnya. Apalagi sebagai orang yang Saka cintai, tentu dirinya tak akan membuat teror atau ancaman itu sebagai sebuah ketakutan yang harus ia hindari. Ia justru lebih gencar di dalam mendekati Sinta.
Acara jalan-jalan ke bazar buku kala itu mengundang acara jalan-jalan yang lain. Seusai membeli buku di sana, mereka melanjutkan perjalanan menuju kafe terdekat untuk membeli makanan. Seperti sebelumnya saat di bazar buku, mereka berdua bercakap-cakap dengan akrab. Tawa sering kali menyusup di antara percakapan mereka sehingga rona kebahagiaan terlihat kentara di wajah keduanya. Sinta menikmati waktunya berdua dengan Saka, Saka pun berlaku demikian. Tentu sebagai seseorang yang menyukai Sinta, dirinya senang telah menghabiskan waktu berdua, apalagi waktu yang mereka berdua habiskan adalah waktu yang menyenangkan.
"Saat aku pulang nanti, Bunda pasti kembali bertanya hal yang sama." Kata Sinta saat mereka menghabiskan makan di kafe.
"Pertanyaan apa?"
"Soal kencan atau bukan."
Saka meminum minumannya terlebih dulu sebelum menjawab perkataan Sinta, "Kalau begitu jawab saja bukan, sebab saat ini memang kita belum berkencan. Ini adalah latihan sebelum nantinya kita berkencan."
Sinta tertawa, "Aku baru tahu jika kencan ada latihannya."
"Tentu saja ada. Kita memang sering menghabiskan waktu berdua, tapi itu hanyalah waktu yang dua orang sahabat habiskan, bukan sepasang kekasih." Kata Saka yang mengundang tawa keduanya.
Perputaran waktu dari sore ke malam tak terasa, waktu itu setelah pergi ke dua tempat yang berbeda, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Sinta sampai di rumah ketika jam dinding menunjukkan angka sekitar pukul delapan malam.
"Saya pamit pulang dulu, Tante, Om. Maaf sudah mengajak pergi Sinta terlalu lama." Kata Saka saat berpamitan dengan kedua orang tua Sinta.
"Oh, justru ini terlalu cepat, Nak. Kami kira Om yang harus menjemputnya di bazar, sebab Sinta merengek padamu untuk membeli begitu banyak buku. Om berencana akan menjemputnya pukul sembilan." Kata Ayah.
"Ah, seharusnya tadi kamu meninggalkanku di sana, Sa. Kan nanti aku bisa membeli lebih banyak buku, sebab aku akan meminta Ayah membelikan diriku buku ketika Ayah datang menjemputku di tempat bazar."
"Kalau begitu, Ayah akan menjemputmu ketika acara bazar sudah tutup saja. Sehingga hanya tersisa kamu yang duduk sendirian di sana." Kata Ayah diikuti tawa oleh Bunda dan Saka.
Saka pun segera pulang ketika mereka selesai mengobrol. Sinta, Bunda, serta Ayah masuk ke dalam rumah dan melanjutkan mengobrol di dalam.
"Beli berapa banyak buku?" Tanya Bunda.
"Tidak banyak, hanya delapan."
"Jika melihat ketebalan buku dan beratnya kantong plastik yang kamu bawa, itu jumlah yang banyak, Ta. Jika orang lain yang membeli buku di acara bazar buku, mungkin mereka hanya membeli dua atau tiga buku." Sahut Ayah.
"Ya, sayangnya Sinta ini bukan orang lain, Yah. Tapi anak Ayah dan Bunda." Kata Sinta sambil terkekeh.
Sinta mengambil langkah kakinya menuju ruang perpustakaan milik keluarganya. Ia hendak menata buku yang baru saja ia beli. Sinta melihat judul buku dan meletakkannya di rak yang benar, sebab semua buku yang ada di ruangan ini diurutkan berdasarkan abjad, supaya tidak kesulitan saat hendak mencarinya.
Sekembalinya Sinta dari menata buku, Bunda dan Ayah masih duduk di ruang tengah.
"Kamu sudah makan malam atau belum?" Tanya Bunda kepada Sinta.
"Sudah, tadi setelah dari acara bazar buku, Saka mengajakku untuk makan di kafe."
"Jadi, kamu tetap yakin jika ini bukanlah kencan?" Tanya Bunda.
Sinta tertawa sebab dugaannya benar, "Bukan, kata Saka, jalan-jalan kali ini bukanlah kencan, melainkan masih sebuah latihan."
"Kenapa begitu?" Kini giliran Ayah yang bertanya.
"Sebab kami adalah dua orang sahabat, bukan sepasang kekasih." Mereka bertiga tertawa.
"Oh, iya. Bunda lupa bertanya kepadamu atau Saka tadi." Kata Bunda dengan memasang ekspresi wajah yang serius.
"Pelipis kiri Saka, kenapa ada luka di pelipisnya?"
Ayah ikut menambahkan, "Iya, tadi Ayah juga melihatnya."
"Aku dan Ruri sangat terkejut tadi pagi atas luka di pelipis Saka. Bukan hanya aku dan Ruri saja, tapi seluruh teman sekelas." Kata Sinta sambil duduk di kursi yang ada di ruang tengah.
"Kami bertanya tentang luka itu, Bunda dan Ayah tahu kan jika Saka punya seorang kakak laki-laki? Bunda dan Ayah juga tahu kan jika Sinta sering bercerita tentangnya?"
"Prada yang suka bermain dengan perasaan perempuan?" Tanya Bunda memastikan.
"Iya, tapi bukan yang itu. Kakak Saka itu sering terlibat dalam masalah perkelahian. Ia sering berkelahi hanya karena seorang perempuan."
"Oh, iya." Kata Bunda dan Ayah bersamaan.
"Nah, Saka bercerita jika kemarin kakaknya berkelahi di rumah mereka dengan temannya. Saka yang mencoba memisahkan keduanya tidak sengaja terkena pukulan teman kakaknya itu."
"Oh, Ayah kira karena dirinya berkelahi."
"Nah!" Seru Sinta yang membuat kedua orang tuanya terkejut.
"Tadi pagi Sinta juga mengira hal yang sama dengan yang Ayah katakan. Tapi justru Ruri marah-marah kepadaku." Kata Sinta sedih.
"Tentu saja, mana mungkin Saka berkelahi." Kata Bunda.
"Ucapan Bunda sama seperti ucapan Ruri."
"Itu sudah pasti, Bunda bukan sepertimu yang suka menuduh orang lain yang tidak-tidak. Bunda kan lemah lembut dan baik seperti Ruri." Kata Bunda sembari mengusap kedua pipinya.
"Memang Bunda kira Sinta bukan anak yang baik juga?"
Ayah berkata dengan bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar tidur, "Kamu anak yang baik, Nak. Hanya saja ada kata tidak yang mendahului kata baik."
Bunda tertawa kencang dan mengikuti langkah Ayah menuju kamar tidur, sehingga menyisakan Sinta yang menggerutu di ruang tengah.
Bazar buku telah terlewatkan, selanjutnya Sinta melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Semua terasa tak ada kendala sedikitpun, kegiatan biasa seperti mengganggu Bunda membuat sarapan, menonton televisi atau film kesukaan, serta membaca buku pun terlewati dengan lancar. Selain kebiasaan itu, Sinta memiliki kebiasaan yang hanya segelintir orang yang tahu, seperti kedua orang tuanya dan juga Ruri. Ruri yang bersahabat baik dengan Sinta sejak kecil itu membuat dirinya tahu banyak tentang Sinta, begitu juga sebaliknya. Suatu ketika, jumlah orang yang tahu tentang kebiasaan Sinta yang satu itu akhirnya bertambah.
Hari ini mata pelajaran bahasa Indonesia ditutup dengan pemberian tugas kepada siswa kelas Sinta seperti biasa. Sinta, Ruri, dan Saka mendengarkan dengan seksama.
"PR kalian hari ini adalah membuat puisi untuk dibacakan di pertemuan berikutnya. Satu puisi dengan tema bebas nantinya akan dibacakan satu per satu di depan kelas. Untuk panjang puisi, minimal tiga bait. Selamat mengerjakan." Kata guru bahasa Indonesia saat menutup kelas di hari ini.
"Tugas menulis cerita pendek saja aku hanya menulis fabel, apalagi harus menulis puisi." Gerutu Saka.
"Kita kerjakan bersama saja. Nanti kita akan berguru pada ahlinya." Saran Ruri.
Sinta dan Saka menoleh ke arah Ruri yang berbicara, "Memangnya siapa yang ahli menulis puisi?" Tanya Saka.
"Ini!" Kata Ruri sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah seseorang.
Sinta mengikuti arah jari telunjuk Ruri dan menunjuk dirinya sendiri, "Aku?" Tanya Sinta dan Ruri mengangguk.
"Sinta ahli dalam menulis puisi?" Tanya Saka memastikan.
"Kamu belum tahu, ya? Sinta ini memiliki kebiasaan yang tersembunyi, hanya beberapa orang saja yang tahu. Saat dirinya memegang buku biru dan alat tulis, itu tandanya dia sedang melakukan ritual, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengganggu dirinya."
"Aku belum pernah mendengar itu sebelumnya. Dan buku biru?"
"Ya, buku itu adalah buku yang memuat banyak sekali puisi milik Sinta."
"Aku memang suka menulis puisi, tapi tidak sampai bisa dikatakan sebagai ahli puisi." Sinta membela dirinya.
"Tapi puisimu bagus, kok!" Kata Ruri meyakinkan.
"Aku jadi penasaran, bagaimana jika nanti kita ke rumah Sinta untuk melihatnya?" Saka memberi saran.
"Ide bagus!"
"Ya, kalian boleh ke rumahku nanti. Tapi jangan berharap lebih pada puisiku."
Mereka bertiga sepakat akan pergi ke rumah Sinta nanti. Ruri dan Saka berjanji akan datang sekitar pukul empat sore. Pada saat jam dinding menunjukkan waktu pukul empat sore, terdengar deru motor dari kejauhan yang berjalan mendekat. Suara itu berhenti tepat di depan rumah Sinta.
"Ah, ada Banu." Gerutu Sinta saat tak hanya mendengar suara satu motor, melainkan dua.
"Ta, sepertinya temanmu sudah datang!" Seru Bunda dari lantai bawah.
"Iya, tolong suruh mereka langsung ke kamarku, Bunda!" Kata Sinta suara lantang.
Tak lama setelah itu, terdengar banyak langkah kaki dan suara obrolan mendekat menuju ke kamar Sinta. Sinta menatap tiga orang yang baru saja masuk ke kamarnya itu, saat ia melihat Banu, ia bisa melihat Banu yang menampakkan ekspresi wajah menyebalkan.
"Kudengar di tempat ini ada seorang penyair." Kata Banu menggoda Sinta.
"Kenapa kalian ajak orang yang satu ini?" Tanya Sinta kepada Ruri dan Saka.
"Sebelum kami kemari, aku berkata kepada Banu jika kami ingin pergi ke rumahmu. Banu bertanya ada acara apa, lalu aku menjawab jika kami ingin belajar menulis puisi kepadamu dan ia mengatakan jika ia ingin ikut." Jelas Ruri.
"Tentu saja dia ingin ikut. Memangnya sepasang kekasih harus selalu memberi kabar, ya?"
"Tentu saja! Kalian yang bukan sepasang kekasih saja saling memberi kabar jika ada sesuatu, tentu aku dan Ruri yang merupakan sepasang kekasih tak mau kalah dengan kalian yang hanya merupakan dua orang sahabat."
"Oh begitu, aku sempat mengira jika Banu adalah ketua RT di rumah Ruri, sebab ia harus tahu segala hal tentang Ruri 24 jam penuh."
"Jika aku adalah ketua RT, kamu pasti seorang tetangga bak CCTV yang super julid." Kata Banu tak mau kalah.
Tentu sebagai sahabat sekaligus pacar yang baik, Ruri mencoba untuk menyudahi acara debat antara Sinta dan Banu. Saka? Dirinya hanya tertawa sejak tadi.
"Hei, ayolah. Kita fokus pada tujuan kita kemari."
"Memangnya apa tujuan kalian kemari?" Tanya Sinta.
"Tentu saja untuk belajar menulis puisi kepadamu." Kata Ruri.
"Jika kalian belajar dariku, aku tak punya metode atau cara khusus di dalam menulis puisi. Sebab aku hanya menulis apa saja yang terlintas."
"Tak masalah, yang penting PR bahasa Indonesia kami selesai."
"Jangan lupa juga dengan buku biru itu." Sahut Saka pada akhirnya. Ia sepertinya sangat penasaran dengan buku biru milik Sinta itu.
"Kamu boleh melihatnya saat sudah menyelesaikan PR puisimu." Kata Sinta.
Ruri dan Saka pun mengeluarkan kertas dan juga pena. Mereka mulai untuk menulis puisi dengan meminta saran dari Sinta. Sinta menjelaskan banyak hal tentang puisi.
"Tentukan dulu tema yang ingin kalian tulis."
"Pikirkan beberapa kata kunci, lalu kembangkan itu."
"Pilihan diksi sangat penting."
"Jangan terpaku pada satu objek saja, kalian harus memperluas sudut pandang di dalam menulis puisi."
Sinta mengarahkan kedua sahabatnya dengan baik. Meskipun dirinya berbicara jika ia tak memiliki metode khusus di dalam menulis puisi, nyatanya ia bisa mengarahkan kedua sahabatnya dengan langkah-langkah yang jelas dan urut. Terkadang ia membenarkan, terkadang pula ia menambahkan, banyak kegiatan yang mereka lakukan berjam-jam sampai pada akhirnya Ruri dan Saka menyelesaikan pekerjaan rumah milik mereka.
"Sebenarnya aku tak suka jika orang lain membaca puisi-puisi di dalam buku biruku ini, sebab rasanya malu sekali. Puisi adalah caraku berekspresi, jadi jika sampai terbaca oleh orang lain, rasanya mereka menelanjangi otak dan tubuhku." Kata Sinta kepada ketiga orang di hadapannya itu.
"Tapi, Ta. Tak perlu malu, sebab puisimu sangat indah. Kamu saat ini mungkin merasa malu, karena kegiatan menulis puisi milikmu ini adalah kebiasaanmu yang tersembunyi. Tak banyak orang tahu."
"Mungkin. Bunda berkali-kali menyarankanku untuk mempublikasikannya dan mengikuti kelas-kelas puisi yang nantinya bisa mengembangkan bakatku, tapi rasanya aku belum terbiasa untuk itu."
"Ya, itu ide yang bagus. Jika memang kamu malu, kamu bisa memakai nama samaran saat kamu menulis puisi. Banyak penyair yang melakukan itu." Kata Saka.
"Kalian berdua, kalian kan belum pernah membaca puisiku sebelumnya, aku akan menunjukkan puisiku kepada kalian. Tapi aku minta kalian untuk memberi komentar, kesan, atau apalah itu. Supaya aku tahu lebih banyak lagi pendapat orang lain mengenai puisiku." Kata Sinta sambil berjalan mengambil buku biru miliknya.
Sinta memberikan buku birunya kepada Saka dan Banu untuk mereka baca. Selama beberapa menit, halaman demi halaman terbuka, puisi demi puisi terbaca.
"Puisimu indah dan tak monoton di satu tema saja. Dari awal kubaca, terlihat banyak sekali perkembangan di dalam caramu menulis." Kata Banu setelah ia membaca beberapa puisi di buku puisi yang dipegang oleh Saka.
"Ya, aku mencoba untuk menemukan gaya menulis puisi milikku sendiri." Kata Sinta sambil terus menunggu Saka berkomentar. Dilihatnya Saka masih asyik di dalam membolak-balikkan kertas di sana. Ia terlihat fokus di dalam membaca puisi Sinta.
Saka menutup buku biru milik Sinta dan menatap langsung manik mata Sinta, "Aku suka." Kata Saka singkat, padat, dan jelas.
"Hanya itu?" Tanya Sinta kepada Saka.
"Tentu tidak, menyukaimu dan segala hal yang berhubungan denganmu bukan sekedar hanya. Sangat sulit untuk tidak menyukaimu dan segala hal tentangmu. Aku menyukainya." Kata Saka dengan mantap.