Di tempat lain, Xavier berjalan terburu-buru di lorong markas Tim Akas. Setelah berjalan cukup lama dan melewati dua belokan, dia tiba di sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Xavier segera mengetuk pintu itu.
"Tok… tok… tok… Yudanta kau di dalam?", tanya Xavier.
Xavier mengetuk pintu kamar Yudanta. Tapi sayang, pintunya tertutup dan tidak ada balasan dari dalam kamar. Sepertinya, Yudanta tidak ada di kamarnya.
"Tok… tok… tok… Yudanta kau di dalam? Aku pinjam setrika", panggil Xavier.
Tentu saja, tidak ada yang menjawab dari dalam kamar Yudanta. Xavier melihat gagang pintunya. Ternyata pintu tidak terkunci. Karena Xavier terburu-buru, dia membuka pintunya lalu masuk ke dalam kamar. Benar, tidak ada orang di kamar itu. Yudanta sekamar dengan Raefal.
"Yudanta masih makan di bawah, ya. Aku ambil setrikanya dulu, deh. Nanti aku ke bawah untuk cari Yudanta", batin Xavier.
Kamar Yudanta sangat rapi. Tidak ada satupun barang selain bantal yang berada di atas kasur. Selimutpun dilipat rapi di atas lemari. Semua barang pribadi dimasukkan ke dalam lemari. Xavier segera mencari setrika di dalam lemari.
Setelah membuka beberapa pintu lemari, Xavier menemukan setrika Yudanta. Di atas setrika itu ada tulisan dari tinta hitam. Tertulis nama Yudanta di setrika itu. Xavier melihat tulisan tangan dari Yudanta.
"Sepertinya aku kenal dengan bentuk a seperti ini", kata Xavier.
Setelah mendapatkan setrika, Xavier segera menutup pintu lemari dan keluar dari kamar Yudanta. Baru keluar ruangan beberapa langkah, Xavier bertemu dengan Yudanta. Xavier mengangkat setrika yang dibawanya ke atas.
"Yudanta, aku pinjam setrikanya, ya?" kata Xavier.
"Ok, Baiklah. Nanti kalau sudah selesai, tolong kembalikan lagi, ya!", balas Yudanta.
"Ok, siap", balas Xavier.
Istana Amayuni, Tahun 1349
Jenderal Yoshi masuk ke dalam aula utama dalam istana Amayuni sore ini. Dia sudah melepas baju zirahnya. Dia hanya memakai seragam tim Akas biru yang bersih dan rapi. Dia berjalan mendekat pada Raja Ehren yang sedang berdiri di samping kanan singgasananya dan membelakangi Jenderal Yoshi.
"Tentang apa ini?" tanya Raja Ehren.
"Saya ingin melaporkan sesuatu Yang Mulia", kata Jenderal Yoshi.
Setelah berasa di jarak yang cukup dekat, Jenderal Yoshi berhenti. Saat Jenderal Yoshi berhenti, Raja Ehren kembali duduk di singgasananya. Jenderal Yoshi segera membungkuk untuk memberikan hormat segera setelah Raja Ehren duduk.
"Silakan", kata Raja Ehren.
"Bolehkah kita berbicara di ruang kerja anda saja, Yang Mulia", kata Jenderal Yoshi.
"Woww… lihatlah! Orang ini adalah satu-satunya orang yang berani memerintah Raja", kata Raja Ehren sambil menunjuk Jenderal Yoshi dengan kelima jarinya.
"Maaf, Yang Mulia! Saya hanya ingin berbicara berdua saja dengan anda, Yang Mulia", kata Jenderal Yoshi.
Raja Ehren menghela napas sejenak. Dia melihat semua orang di sekitarnya dari atas singgasana. Dia berpikir sejenak.
"Baiklah", jawab Raja Ehren.
Raja Ehren mulai berjalan menuruni tangga singgasananya. Melihat itu, Jenderal Yoshi bergeser tiga langkah ke kiri dan memutar badannya ke arah kanan. Dia segera mengikuti Raja Ehren di belakangnya saat Raja sudah berada di lantai bawah. Mereka berjalan beriringan untuk masuk ke ruangan kerja Raja.
"Silakan duduk", ucap Raja sambil menunjuk sebuah kursi.
Jenderal Yoshi segera duduk di kursi yang ditunjuk Raja Ehren. Raja Ehren duduk di depannya. Raja menatap kedua mata Jenderal Yoshi. Awalnya Jenderal Yoshi menunduk. Seakan tahu dia sedang dilihat, Jenderal Yoshi segera mengangkat kepalanya dan menatap mata Raja Ehren dengan mantap.
"Jadi ada apa?" tanya Raja Ehren.
"Informasi kita sudah bocor", lapor Jenderal Yoshi sambil menyerahkan sebuah kertas.
"Kita???", tanya Raja Ehren dengan sinis.
Raja Ehren mengambil kertas yang diberikan oleh Jenderal Yoshi. Dia membolak-balikkan kertas sebelum membukanya. Setelah puas memeriksa bagian luar lipatan kertas, beliau membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.
"Hanya ada satu lembaga yang bisa menggunakan kertas ini", kata Raja Ehren.
"Ya. Anda benar, Yang Mulia. Ada pengkhianat di sini", ucap Jenderal Yoshi.
"Yang tahu bahwa ada patroli di Desa Kaliko adalah aku, tim Akas, dan mungkin beberapa penjaga. Pengkhianatnya tidak mungkin terlalu jauh dari sini", kata Raja Ehren.
"Maksud anda pengkhianatnya berasal dari tim Akas? Tidak mungkin", kata Jenderal Yoshi tak percaya.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Kerajaan ini dipenuhi orang ambisius. Orang-orang yang rela melakukan apapun untuk menang. Segala jenis skenario bisa saja terjadi", kata Raja Ehren.
"Apapun?", ucap Jenderal Yoshi.
"Benar. Apapun", jawab Raja Ehren dengan mantap.
"Apapun yang terjadi. Saya percaya bahwa tidak ada anggota tim saya yang sepicik itu", ucap Jenderal Yoshi.
"Kalau ternyata ada. Bagaimana?", balas Raja Ehren.
"Saya akan membuka mata dan membuka hati selebar-lebarnya", jawab Jenderal Yoshi.
Markas Tim Akas, Tahun 1349
Suara retakan arang dan panas terdengar di sebuah ruangan. Arang itu mengeluarkan asap yang cukup tebal untuk dilihat. Bau gosong tercium jelas di ruangan itu. Di ruangan itu ada Xavier yang sedang menyetrika bajunya dengan setrika arang. Sambil menyetrika, dia melamunkan banyak hal.
"Di mana ya aku melihat bentuk a seperti ini?", batin Xavier sambil membuka tutup pegangan setrika yang tertulis nama Yudanta.
Tiba-tiba, Xavier teringat sesuatu. Tapi dia menyangkalnya. Dia melanjutkan proses setrika bajunya. Namun pemikiran itu terus mengganggu konsentrasinya.
"Tidak mungkin. Tidak mungkin Yudanta yang menulis surat itu. Tidak… Tidak… Ini terlalu jahat. Yudanta terlalu periang untuk melakukan ini", batin Xavier.
Tiba-tiba muncul bau gosong yang menyengat. Bau gosong itu tercium di hidung Xavier. Awalnya biasa saja. Lalu semakin lama, baunya semakin menyengat dan berhasil membuyarkan pikiran Xavier.
"Bau apa ini?", batin Xavier sambil mengendus dan mengikuti sumber bau.
"Aaaargh… Tidak!!!", teriak Xavier lalu mengangkat setrika segera.
"Ohhh… Aissh… Seragamku bolong. Padahal nanti mau dipakai patroli. Yang lain belum dicuci pula", ucap Xavier kesal.
"Ada apa, Kak?" tanya suara dari belakang Xavier.
Mendengar ada yang bertanya dari belakangnya, Xavier segera menoleh ke belakang. Ternyata, dia Dimas. Dimas tinggal sekamar dengan Xavier.
"Sudah lama kau di sana?" tanya Xavier.
"Saya baru masuk. Tadi aku dengar dari lorong Kak Xavier berteriak. Saya kira ada apa-apa. Jadi langsung masuk ke sini", jawab Dimas.
"Maaf. Eh… Kamu punya dua stel seragam yang bersih?", tanya Xavier.
"Iya, ada", jawab Dimas.
"Aku pinjam seragammu, ya? Seragamku bolong", pinta Xavier dengan menunjukkan bagian bajunya yang bolong. Dia menatap Dimas dengan tatapan melas.
"Waduh… kok bisa bolong begini? Lagi melamun apa, Kak? Nglamunin cewek ya?", ejek Dimas.
"Aaiish… yang benar saja. Eh… lihat deh tulisan ini. Apa kamu teringat sesuatu?", tanya Xavier sambil menunjukkan nama Yudanta di atas pegangan setrika.
"Sebentar. Sepertinya saya pernah melihat tulisan ini", jawab Dimas.
Dimas berusaha mengingat di mana dia melihat tulisan ini. Setelah berpikir sejenak, dia teringat dengan tulisan pada kertas yang dia temukan di pelabuhan.
"Bentuk huruf a-nya mirip dengan huruf a yang ada di surat kemarin. Jangan-jangan, Kak Yudanta…", kata Dimas kaget.
"Ssssttt… kita harus pastikan ini. Jangan bilang siapa-siapa dulu. Cukup kita berdua saja yang tahu", ucap Xavier.
"Bagaimana kalau kita laporkan ini ke Jenderal Yoshi?" usul Dimas.
Dimas dan Xavier sepakat untuk melapor ke Jenderal Yoshi. Mereka membungkus setrika Yudanta yang masih panas. Tentu saja, mereka membuang arang yang ada di dalam setrika sebelum dibungkus. Setrika itu dibalut dengan seragam Xavier yang robek.
Dimas membentangkan kain gendong. Xavier meletakkan setrikanya dalam kain gendong itu. Dia juga meletakkan beberapa pakaian kotornya ke dalam kain itu. Terakhir, kain itu diikat dan diselampirkan di bahu Xavier. Xavier dan Diman saling memandang dan mengangguk. Kemudian, mereka keluar untuk menemui Jenderal Yoshi.
Jenderal Yoshi tidak ada di kamarnya dan di ruangannya. Seorang anggota tim Akas bilang kalau Jenderal Yoshi masih di istana Amayuni menemui Raja Ehren. Xavier dan Dimas sepakat untuk menyusul ke sana. Mereka menuruni anak tangga. Di lobi lantai satu, mereka bertemu Yudanta.
"Mau ke mana?" tanya Yudanta.
Wajah Xavier dan Dimas langsung pucat karena kaget. Xavier segera menenangkan diri dan menjawab pertanyaan Yudanta.
"Seragamku bolong. Aku mau beli seragam baru", jawab Xavier.
"Beli seragam? Kenapa kau membawa buntalan sebesar itu?", tanya balik Yudanta.