Hakim memang sudah menyatakan bahwa Putra Mahkota Ehren bukan pembunuh. Namun, berita tentang persidangan sudah penyebar ke seluruh pelosok negeri. Nama Ehren menjadi bahan gunjingan seluruh warga. Bahkan sebagian warga yakin bahwa Putra Mahkota Ehren tidak pantas menyandang gelar raja.
Musim gugur sudah berganti musim dingin. Terlihat dari jendela, turunnya salju pertama. Halaman istana Tirtanu mulai ditutupi salju. Di penjara bawah tanah, Ehren mulai meratapi nasib sial yang menimpanya. Pertama, ibunya meninggal karena sakit. Kedua, ayahnya juga meninggal. Ketiga, dia dituduh membunuh ayahnya. Keempat, ternyata istri yang paling dia sayang malah menyudutkannya dan sekarang menikmati indahnya jabatan penjaga tahta.
Flashback, tahun 1327
"Aku sudah siap", kata Ehren kecil.
"Tolong nurut dengan Paman Alvaro ya! Jangan bermain terlalu jauh! Jadilah anak baik di rumah kakek, ya. Kami akan menjemputmu saat semua urusan sudah selesai. Kami akan menjemputmu secepatnya", kata Raja Cedric.
Kegiatan sarapan pagi bersama sudah dilakukan Ehren. Saat itu, Ehren masih berusia 6 tahun. Raja Cedric meminta Paman Alvaro untuk menitipkan Ehren ke sebuah tempat. Hari ini, Ehren berangkat ke tempat tersebut dan Paman Alvaro yang mengantarnya. Raja harus pergi untuk mendamaikan konflik di suatu wilayah yang jauh dari Kerajaan Tirtanu. Agar keselamatan Ehren lebih terjamin, Ehren dititipkan ke suatu tempat di luar istana. Bagaimanapun juga, Ehren adalah calon putra mahkota.
Paman Alvaro dan Ehren berangkat. Mereka mengendarai kuda dengan sedikit barang bawaan. Sesampainya di sebuah pasar, Paman Alvaro berhenti. Dia ingin membeli sesuatu sebagai bekal untuk perjalanan ke rumah kakek.
"Tolong tunggu di sini, ya! Jangan ke mana-mana! Paman mau beli sesuatu sebentar. Nanti paman ke sini lagi", kata Paman Alvaro.
Ehren membalas perkataan pamannya dengan anggukan. Setelah Paman Alvaro pergi dan pakaiannya sudah tak terlihat lagi, Ehren mulai melihat sekelilingnya. Pasar itu sangat ramai. Ada yang berjualan baju, sepatu, kuas dan tinta, ada pertunjukan tari topeng juga, dan lain-lain. Namun ada satu tempat yang menarik perhatian Ehren. Ehren kecil memandangi tempat itu cukup lama. Tempat itu adalah lapak permen gulali.
Permen aneka bentuk dengan aneka warna berhasil menyita perhatian Ehren. Sesekali, dia menjilat bibirnya dan menghisap cairan mulut yang hampir menetes. Permen cantik itu sangat menggoda. Ehren akhirnya turun dari kuda sendiri dan berjalan ke lapak permen gulali tersebut.
"Silakan dipilih, dipilih, dipilih! Mau beli yang mana, Tuan Muda?", tanya pedagang permen tersebut.
"Aku tidak punya uang", jawab Ehren.
Mata Ehren memindai semua permen yang ada di sana satu persatu. Ada bentuk bunga merah, lumba-lumba biru, merak ungu, dan lain-lain. Namun apa daya, Ehren tidak membawa uang satu koin pun. Jika Paman Alvaro ada di sampingnya, dia bisa meminta Paman Alvaro untuk membelikannya permen.
"Kenapa permen ini warna warni?"tanya Ehren
"Karena diberi perwarna", jawab penjual permen.
"Bagaimana cara membuat permen ini?" tanya Ehren.
"Caranya mudah. Siapkan wadah. Lalu masukkan gula pasir dan air matang. Lalu tambahkan pewarna. Sambil direbus kita aduk hingga mendidih, lalu aduk terus hingga mengental. Kalau sudah kental, kita bentuk menjadi kucing, burung, atau beruang", kata penjual itu.
Ehren kagum dengan cara penjual itu membentuk permen dengan cepat. Sadar dari tadi Ehren memperhatikannya, penjual itu berkata, "Mau coba buat? Ayo, sini saya ajarin".
"Bolehkah?" tanya Ehren.
"Tentu saja boleh", kata penjual.
Ehren mulai mengikuti gerakan tangan penjual permen. Penjual permen juga memperlambat gerakan tangannya agar Ehren bisa mengikuti. Perlahan tapi pasti, Ehren berhasil membuat permen. Tapi jika dijajarkan dengan permen buatan penjual, permen Ehren terlihat lebih berantakan dan bentuknya aneh.
"Lha, kok jelek ya?" Ehren kecewa dengan permen buatannya.
"Kecewa ya? Dulu permen Paman juga seperti itu. Malahan lebih jelek. Tapi tidak apa-apa karena ini pengalaman pertama. Paman percaya, permen keduamu akan lebih bagus lagi dari ini", kata penjual.
Ehren terlihat lebih ceria setelah mendengar itu. Lalu, dia memutar-mutar permennya dan menanyakan harganya. Ternyata, harga permen itu murah. Satu permen dihargai 5 koin perunggu.
"Mengapa paman berjualan permen?" tanya Ehren.
"Dunia ini indah. Ada banyak hal-hal indah di dunia ini dan saya ingin menjadi bagian dalam keindahannya. Itulah mengapa aku membuat permen warna warni yang indah ini", jawab penjual.
"Mengapa paman tidak bekerja di pabrik atau kantor pemerintahan? Kan di sana gajinya besar?" tanya Ehren.
"Aku tidak memiliki tanggal lahir. Ayahku sudah meninggal sebelum aku lahir dan ibuku tidak tahu hari dan tanggal lahirku. Karena tidak tahu tanggal lahir, aku tidak diterima kerja di tempat manapun. Untungnya, masih ada banyak orang baik di sini. Mereka yang membantuku dan mengajarkanku cara membuat permen ini", jawab penjual permen.
"Dunia yang indah itu seperti apa paman?" tanya Ehren.
"Mungkin dunia yang berwarna seperti permen. Mungkin dunia akan indah saat semua orang memegang permen gulali ini dan memakannya", jawab penjual dengan sedikit promosi terselubung.
Paman Alvaro sudah kembali ternyata Ehren tidak ada di atas kuda. Kaget, dia segera memutar kepalanya dan memindai Ehren dengan matanya. Ternyata Ehren ada di lapak permen.
"Ehhreeenn..... Tadi paman bilang apa? " panggil Paman Alvaro yang sudah ada di belakang Ehren. Ehren menengok ke belakang seketika dan menjawab panggilan pamannya dengan senyum nakal tapi wajahnya melas.
"Paman, belikan aku permen dong", pinta Ehren.
Setelah membeli permen, Paman Alvaro dan Ehren segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka cukup jauh. Mereka harus melewati sawah, pemukiman penduduk, hutan, menyebrang sungai, bertemu sawah lagi, dan seterusnya.
Akhirnya setelah perjalanan panjang, tibalah Ehren dan Paman Alvaro di sebuah jalan setapak yang kiri kanannya dipagari bunga-bunga indah beraneka warna. Di dekat ujung jalan ada sebuah rumah sederhana yang bersih dan rapi. Rumah itu terbuat dari kayu termasuk alasnya. Sebelah kiri rumah ada kebun, sebelah kanan ada peternakan, belakangnya ada sungai kecil, dan di depannya ada hutan di atas bukit. Walaupun kecil, itu adalah rumah impian semua orang.
Paman Alvaro dan Ehren, tiba di depan rumah yang diapit kebun dan peternakan. Dia segera mengetuk pintu. Seorang kakek membukakan pintu itu dan mempersilakan mereka untuk duduk. Di dalam rumah itu ada seorang gadis kecil. Hanya ada kakek dan gadis kecil itu di dalam rumah.
Kakek mengajak paman Alvaro untuk berbicara empat mata di ruangan lain. Ehren duduk di ruang tamu untuk menunggu pamannya. Gadis kecil itu duduk di depan Ehren. Tidak ada yang mereka lakukan selain saling memandang. Karena gabut dan canggung, Ehren memulai percakapan.
"Namamu siapa?" tanya Ehren.
"Alatariel. Alatariel Artanis Rin", jawab gadis itu.
"Namamu panjang sekali", kata Ehren.
"Ibuku biasa memanggilku Alta. Kakekku juga memanggilku Alta", jawab gadis kecil itu.
"Alta juga masih kepanjangan. Bagaimana kalau aku panggil, Rin?" tanya Ehren.
"Boleh. Namamu siapa?" tanya gadis itu.
"Ehren. Ehren Enzi Alsaki. Umurmu berapa?", jawab Ehren.
"4 tahun. Kalau umurmu?" tanya balik gadis itu.
"6 tahun", jawab Ehren.
Ternyata, Ehren dititipkan ke rumah kakek dari Alatariel Artanis Rin. Kakek dan ayah Alatariel dekat dengan Raja Cedric. Kakek Alatariel adalah guru dari Raja Cedric. Beliau juga seorang penasihat Raja. Sedangkan ayah dari Alatariel adalah seorang menteri pertahanan dan panglima perang kesayangan Raja Cedric. Ayah Alatariel juga ikut misi bersama dengan Raja Cedric. Oleh karena itu, Rin tinggal di rumah berdua dengan kakeknya.
"Mau permen? Ini permen untukmu!" kata Ehren sambil menyodorkan sebuah permen.
"Terima kasih", kata Alatariel.
Permen itu tidak langsung dimakan, tapi dilihat dan diputar-putar dulu. Dilihat, diputar, dibuka, dijilat, terus baru dimakan. Rasanya enak. Ada rasa manis, asam, asin dalam porsi pas.
"Permennya enak. Boleh minta satu lagi untuk kakek?" pinta Alatariel.
"Permennya cuma ada dua. Yang satu untukmu, satu lagi untukmu", jawab Ehren.
"Kenapa kau memberiku permen?", tanya Alatariel.
"Karena kamu cantik", jawab Ehren.