Musim Semi, 1349
3,5 Bulan Setelah Eksekusi Ratu Alatariel
Langit masih gelap namun fajar sudah muncul. Raja Ehren keluar dari kamar lama dengan baju dan rambut yang berantakan. Setibanya di Istana Amayuni, beliau memanggil seorang staf kerajaan.
"Tolong, bawakan aku semua laporan kerajaan mulai dari tahun 1343 sampai 1345. Lalu taruh di ruang kerjaku", perintah Raja Ehren.
"Baik, Yang Mulia", jawab staf itu.
Musim semi yang ditunggu sudah datang. Warga yang datang ke pelabuhan meningkat 3 kali lipat pagi itu. Mereka datang untuk membeli ikan. Ada banyak ikan yang keluar dari persembunyiannya di musim semi.
Dahulu tidak ada tempat khusus pelelangan ikan. Semua perahu nelayan, kapal barang, dan kapal penyebrangan berkumpul dalam satu pelabuhan. Jadi bisa dibayangkan, betapa sesak dan padatnya pelabuhan pada musim semi. Salah satu pelabuhan yang paling ramai adalah pelabuhan desa Kaliko.
"Desa kita sekarang sudah tidak aman", kata seorang perempuan yang sedang mengantri untuk beli ikan.
"Masak sih, Bu? Kok bisa?" tanya perempuan lain yang mengantri juga di belakangnya.
"Hati-hati sekarang ada teror ketuk pintu. Pokoknya kalau sudah malam, jangan keluar rumah. Kalau masih diluar, segera pulang lalu tutup semua pintu dan jendela. Kalau tengah malam ada yang mengetuk pintu, jangan dibuka", jawab ibu di depan.
"Kemarin waktu mau tidur sekitar jam 10, obat nyamuk saya habis. Lalu saya pergi ke toko dekat rumah untuk beli obat nyamuk. Tapi aman-aman saja", kata ibu di belakang.
"Di Desa Kaliko utara, kemarin ada teror ketuk pintu. 10 rumah yang ada di sana diketuk tengah malam. Lalu ada satu orang yang penasaran dan membuka pintu. Keesokan harinya, orang itu ditemukan meninggal di rumahnya. Warga lain yang ada disana ada yang sempat mengintip dari balik jendela. Ternyata, tidak ada orang di sana. Padahal suara ketukannya ada", kata ibu di depan.
"Waduh! Kok seram banget ya, Bu. Nama ibu siapa?", kata ibu di belakang.
"Mauryn. Kalau nama ibu?" ibu di depan tanya balik.
"Aliz", jawab ibu di belakang.
Sesudah berbelanja, Bu Mauryn dan Bu Aliz pulang ke rumahnya masing-masing. Bu Aliz tinggal di Desa Kaliko timur. Bu Mauryn tinggal di Desa Kaliko tengah. Mereka melanjutkan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Malam sudah tiba, Bu Aliz mengantarkan suaminya untuk berlayar mencari ikan. Rumah Bu Aliz dekat dengan pantai. Setelah perahu suaminya berangkat. Dia kembali ke rumah dengan berjalan kaki.
Suasana di malam itu sangat hening. Tidak ada warga lain, hanya Bu Aliz satu-satunya warga yang masih berjalan di luar rumah. Anehnya, pada malam itu juga tidak ada suara burung atau hewan-hewan lain. Suasana hening ini membuat Bu Aliz merinding. Dia segera mempercepat langkahnya agar segera sampai ke rumah.
"Ssssrrrkkk…", tiba-tiba Bu Aliz mendengar suara daun yang menabrak ranting pohon. Padahal tidak ada angin di sana. Jantung Bu Aliz semakin berdegup kencang. Kakinya mulai bergetar. Bulu kuduk nya mulai berdiri. Dia memberanikan diri untuk mengecek sumber suara.
Benar, ada satu ranting yang bergerak sendiri padahal tidak ada angin. Bu Aliz kaget lalu berlari sekuat tenaga. Tiba-tiba, pipi kanan Bu Aliz terasa dingin seperti ditiup angin. Dia menoleh sedikit ke arah kanan, ternyata dia melihat bayangan hitam. "Aaaa...", Bu Aliz berteriak.
Untunglah rumah Bu Aliz sudah dekat. Dengan cepat, Bu Aliz masuk dan mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Lalu dia mengecek jam. "Syukurlah masih jam 8 malam", batinnya. Dia teringat dengan cerita Bu Mauryn tadi di pelabuhan.
"Nak. Jika nanti ada yang mengetuk pintu, jangan dibukakan apapun yang terjadi!" pesan Bu Aliz pada anaknya. Setelah itu, mereka tidur.
"Tok… Tok… Tok…" Bu Aliz terbangun. Dia melihat ke arah jam pasir dan ternyata sudah tengah malam.
"Mungkin ini yang dimaksud Bu Mauryn", batin Bu Aliz. Bu Aliz berpura-pura tidak dengar walaupun ketakutan. Namun sayangnya, semakin lama ketukannya semakin keras. Karena penasaran, Bu Aliz mengintip dari celah dinding kayu. Ternyata, tidak ada siapa-siapa. Seakan tahu sedang diintip, suara ketukan berhenti seketika.
Setelah ketukan berhenti, Bu Aliz kembali tidur. 5 menit kemudian, suara ketukan terdengar lebih keras. Kali ini suaranya seperti kepala yang dipukul-pukulkan ke pintu. Bu Aliz semakin ketakutan. Namun tidak ada yang bisa dilakukan Bu Aliz selain mematikan lampu dan bersembunyi dalam selimut.
Sebuah kapal besar bersandar di pelabuhan Desa Kaliko di malam kejadian teror. Di dalam kapal itu ada banyak kotak kayu besar. Tampak beberapa orang berpakaian ninja sedang memindahkan kotak kayu dari kereta kuda ke dalam kapal.
Di jalanan Desa Kaliko, ada beberapa kereta kuda sedang berjalan. Kereta kuda itu mengangkut kotak kayu misterius sampai penuh. Kereta kuda itu berjalan menuju pelabuhan tempat kapal bersandar. Dibelakang kereta kuda, ada beberapa orang berpakaian sederhana yang lusuh yang mendorong kotak. Tugas mereka ialah memastikan kotak agar tidak jatuh.
Beberapa orang berpakaian ninja hitam mengetuk semua pintu rumah warga untuk memastikan tidak ada orang yang melihat mereka. Ternyata, teror ketuk pintu ini berasal dari pasukan ninja hitam. Mereka melakukan itu demi mengangkut kotak misterius itu. Suara ketukan kepala berasal dari buruh berpakaian lusuh pendorong kotak. Saat para ninja tidak puas dengan kinerja buruh, mereka memukulkan kepala buruh ke kotak kayu.
Seorang pria berjubah biru dongker sedang berjalan menuju dermaga pelabuhan. Dia membawa sebilah pedang yang diikat di pinggangnya dan menggunakan cadar biru juga. Sesampainya di dermaga, dia segera masuk ke kapal pengangkut kotak misterius.
"Bagaimana? Pesananku sudah jadi?" kata pria jubah biru pada seorang yang berpakaian ninja.
Ninja itu mengantarkan pria jubah dongker ke sebuah ruangan. Di sana ada sebuah papan kayu yang dibentuk menyerupai bilik loket wahana permainan. Di tengah-tengah papan polos itu ada lubang yang cukup untuk dimasuki 2 tangan orang dewasa. Pria jubah biru memasukkan beberapa kantung uang ke dalam lubang.
Ternyata di dalam lubang itu ada pria berjubah motif pegasus emas. Pria pegasus emas langsung mengambil semua kantung uang yang dimasukkan ke dalam lubang bilik. Kemudian, dia memberikan 5 botol kaca gelap pada pria berjubah biru dongker. Setelah mengambil 5 botol tersebut, pria berjubah biru pergi.
Pria berjubah biru berjalan melewati jalanan Desa Kaliko yang sangat sepi. Warga terlalu takut untuk keluar rumah di malam hari karena teror ketuk pintu. Tiba-tiba pria berjubah biru berhenti. Dia merasa ada orang yang mengikutinya. Dia segera berlari ke balik pohon kiri jalan. Ternyata ada satu orang di sana.
Pria berjubah biru langsung memukul kepala orang yang mengikutinya. Dia memukul satu kali lalu membuka mulut orang yang mengikutinya. Sebuah botol dikeluarkan dan isinya dituangkan paksa dalam mulut orang yang mengikutinya. Orang yang mengikutinya langsung mengeluarkan busa dan tewas di tempat. Ternyata, isi botol itu adalah cairan sarin.
Pria berjubah biru hanya menuangkan sedikit cairan dari botol. Begitu selesai dipakai, botol itu ditutup dan disimpan lagi. Itu artinya, pria berjubah biru itu membeli cairan sarin botolan dari pria pegasus emas.
Raja Ehren masih berada di ruang kerjanya di istana Amayuni walaupun sudah tengah malam. Dia masih memeriksa semua laporan kerja yang dia minta tadi. Ruang kerja Raja Ehren sangat luas tadinya, sekarang lantainya di penuhi kertas.
Raja Ehren membaca laporan tahun 1343-1345 dengan teliti semuanya. Tiba-tiba dia menemukan lipatan kertas yang terselip di sebuah buku. Di atasnya ada tulisan GB.
"Bukankah ini bahan baku untuk membuat cairan sarin? Kerajaan Tirtanu menjual bahan sarin? Mengapa aku tidak pernah tahu tentang transaksi ini?" batin Raja Ehren.
Pria berjubah biru segera mengendong jasad warga desa itu ke balai desa Kaliko dan meletakkannya di tengah pendopo. Begitu selesai, dia pergi melewati jalanan yang sepi. Setelah kondisi di rasa aman, dia membuka cadarnya. Ternyata pria berjubah biru yang membeli cairan sarin dan membunuh seorang warga desa adalah Yudanta, anggota Tim Akas.