Sepertinya dunia memang selebar daun kelor, bagaimana tidak, dua insan yang bertemu karena sebuah insiden, lagi-lagi dipertemukan dalam satu ruangan, ya ruangan yang hanya ada mereka berdua, mungkin perang dunia akan segera dimulai.
"Apa kabar Nona?" ucap Andrean lagi penuh tanda tanya, tatapannya sinis, tak ada senyum yang tersungging di wajah tampannya itu.
"Tu, Tuan, ehh maksud saya, anda siapa?"
Seketika Naya menjadi gagap, timbul pertanyaan di kepalanya, siapa manusia ini sebenarnya, kenapa ia ada di kantor ini, dan mengapa di ruangan ini, tepatnya di ruangan orang nomor satu di perusahaan ini.
"Nampaknya kamu memang tidak tahu siapa saya Nona, dibagian apa kamu bekerja, hah?!"
Suara Andrean mulai meninggi, mungkin salah satu hobinya memang berteriak, batin Naya.
"Sa... Saya di bagian manajemen pak," lagi-lagi Naya menjawab dengan gagap, ia mulai mengingat sesuatu, tempo hari Milea memang pernah mengatakan kalau direktur yang lama akan segera pensiun, dan mungkin ini lah CEO yang baru yang di katakan oleh sahabatnya itu.
Satu-satunya penerus perusahaan terbesar di kotanya siapa lagi kalau bukan Andrean Varro Martadinata, putra tunggal dari Danu Wicaksono Martadinata, direktur yang lama.
"Oh, sudah berapa lama kamu bekerja di perusahaan ini?" Masih dengan tatapan sinis dan wajah yang seram Andrean terus memperhatikan Naya.
"Hampir 4 tahun, Pak," jawab Naya masih dengan terlihat gugup, entah apa yang akan terjadi padanya, mungkin saja dia akan segera diusir ataupun dipecat dari perusahaan itu.
Naya terus berkutat dalam pikirannya, mengingat yang dihadapinya sekarang adalah bos dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja selama ini.
"Apa kamu masih mau bekerja di sini?" Tiba-tiba pertanyaan Andrean semakin membuat Naya gugup.
"Masih Pak, tolong jangan pecat saya, saya minta maaf atas kejadian tempo hari, saya benar-benar tidak sengaja pak," ucap Naya dengan suara yang sedikit bergetar, bagi Naya bisa bekerja disebuah perusahaan besar merupakan kebanggaan tersendiri, terlebih lagi bagi mamanya.
Walaupun Naya belum menikah, tapi paling tidak sang mama masih bisa membanggakan sang anak di depan ibu-ibu arisan dengan bekerja di perusahaan itu.
"Heh, kamu tau kesalahan kamu apa kan?"
"Tahu pak, saya sudah membuat ponsel bapak jatuh."
"Kamu yakin cuma itu saja kesalahan kamu,?"
"Ii... iya pak." Naya menjawab dengan ragu-ragu.
"Oh, ternyata kamu belum mau jujur, bukannya kamu sudah cukup lama bekerja di sini, tapi sebagai seorang karyawan harusnya kamu membiasakan diri untuk berkata jujur." Kali ini Andrean berkata dengan sedikit menyindir.
"Maksud bapak apa?" jawab Naya seolah-olah tidak tahu.
"Maksudnya apa kamu bilang?
Apa perlu saya memanggil polisi sekarang?"
Ancam Andrean sambil berteriak, tampak kemarahan di wajahnya, apa lagi saat dia melihat rekaman CCTV yang diberikan oleh pihak cafe, saat mengetahui kalau Naya juga yang telah menabrak mobilnya membuat Andrean semakin marah, apa lagi sekarang Naya tidak berkata jujur, semakin membuatnya emosi.
"Sekali lagi saya mohon maaf pak, saya tak sengaja, tolong maafkan saya pak."
Berkali-kali Naya mengucapkan kata maaf, ia sungguh takut kalau Andrean akan memecatnya.
"Kamu tau berapa harga mobil saya? Meskipun kamu bekerja seumur hidup di perusahaan ini, kamu takkan mampu membeli mobil seperti itu!"
Bentak Andrean lagi dengan sombongnya, ia tak memikirkan apakah Naya akan tersinggung dengan kata-katanya itu.
Belum ada jawaban dari Naya, mulutnya terasa berat untuk berkata, baru kali ini dia di hina seperti itu, namun tak ada gunanya menjawab karena ia tau kesalahannya.
"Kamu tahu kerugian saya berapa untuk memperbaiki mobil itu?" untuk mengganti kaca spionnya saja gaji kamu sebulan itu tidak cukup." Lagi-lagi Andrean menyombongkan diri.
Sedangkan Naya masih terdiam, berdiri mematung mendengarkan bosnya yang sedang mengomel, persis seperti mamanya kalau lagi marah.
"Kamu masih mendengarkan saya?"
"Iya pak."
"Kenapa diam?"
"Maaf pak, saya harus bagaimana sekarang,?" Saya janji akan bertanggung jawab, tapi tolong beri saya waktu untuk mengumpulkan uang dulu."
Naya memberanikan diri untuk memberikan solusi.
"Oh ya, kamu yakin bisa mengembalikan semua kerugian saya?"
Andrean menantang Naya, sebenarnya ia bukan tipe laki-laki yang perhitungan, apa lagi mau meminta kerugian dari Naya, bagi orang kaya sepertinya, ini hanyalah masalah sepele, Andrean hanya kesal karena Naya tidak berterus terang dan lari dari tanggung jawab, tujuannya hanya ingin menggertak Naya.
Naya masih terdiam, ia tak tahu harus berkata apa, mendengar harga kaca spion mobil bosnya saja tidak sebanding dengan gajinya sebulan, membuatnya nyalinya menciut, padahal bagi Naya dengan gajinya sebulan itu saja sudah sangat besar baginya, ia masih bisa memberi uang saku untuk sang mama, masih bisa menabung, dan juga shoping ke mall tiap minggunya.
Naya tak bisa membayangkan berapa total kerugian yang harus ia bayar, mengingat mobil yang di tabraknya itu sudah penyok.
Mungkin sekarang ia harus menyisihkan semua uangnya untuk ditabung, itu pun kalau ia belum dipecat, Naya sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Permisi pak Andrean, sebentar lagi meeting akan segera di mulai." kata salah satu asisten pribadi Andrean.
"Baik, saya akan segera ke sana," ucap Andrean sembari bersiap-siap.
"Urusan kita belum selesai, silahkan kembali bekerja," kata Andrean sambil beranjak pergi dari ruangan itu.
Naya hanya mengangguk, mulutnya tiba-tiba terkunci, ia pikir Andrean akan memecatnya tadi, meski begitu ia masih bisa bernafas lega.
"Jadi namanya pak Andrean, orang kaya tapi sombong," ucap Naya bergumam sambil terus berjalan menuju ruangannya.
"Eh ini anak, panjang umur lo, baru aja gue omongin, lama banget Nay cuma ngantar berkas doang," celetuk Milea ketika melihat Naya sudah kembali lagi ke ruangan.
"Ngantarnya sih gak lama Mil, cuma dengerin omelannya aja yang lama." Naya menjawab dengan lesu, terlihat ia tak bersemangat.
"Omelan? Lo di omel sama pak Hendra ya Nay,?" Tanya Milea sambil menerka.
"Bukan, tapi sama bos baru kita."
"Maksud lo pak Andrean?" Kali ini Naya mengangguk.
"Kok bisa Nay?" Milea terlihat penasaran sambil mendekat ke arah sahabatnya itu.
"Mati gue Mil, gue harus gimana sekarang,?" Naya belum menjawab, semakin membuat Milea bertanya-tanya sendiri.
"Coba lo ceritain dulu deh Nay, gue gak ngerti maksud lo." kembali Milea menatap Naya dengan pandangan yang aneh.
"Mil, itu bos kita ternyata orang yang udah gue ajak ribut kemarin waktu di cafe, pertama waktu di parkiran gue gak sengaja udah nabrak mobilnya, karena lagi buru-buru makanya gue belum cari siapa pemilik itu mobil, terus waktu gue ke toilet, gue nabrak orangnya Mil, terus ponselnya jatuh, gue bener-bener apes Mil, gue udah ngata-ngatain dia kemarin, gue harus gimana sekarang Mil, cepat atau lambat mungkin gue akan di pecat sama itu bos," celoteh Naya panjang lebar, wajahnya terlihat cemas, sedih karena mengingat hal itu.
"Yang sabar ya Nay, gue minta maaf gara-gara gue lo jadi kena masalah sama pak Andrean, jangan khawatir ya Nay, pak Andrean gak mungkin setega itu mecat lo, apa lagi kinerja lo bagus selama bekerja di perusahaan ini, gak pernah terlibat masalah lagi," ucap Milea berusaha menenangkan.
"Iya, sekali terlibat masalah itu sama pak Andrean langsung." Lagi-lagi Naya terlihat sedih.
"Udah, positive thinking aja ya Nay, mudah-mudahan pak Andrean gak sejahat itu sama lo," ucap Milea lagi, sebenarnya ia juga takut kalau sampai Naya dipecat, karena ia juga belum tahu direktur barunya itu seperti apa.