"Saya tidak mau tau, dalam waktu 24 jam pelakunya harus segera ketemu!"
Cecar Andrean memberi perintah kepada satpam di cafe itu, ia tidak main-main dalam hal ini, mengingat yang dirusak adalah salah satu mobil kesayangannya.
"Baik Pak, akan kami usahakan secepatnya, sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya,"
ucap salah satu perwakilan dari pemilik cafe.
Setelah mendapat jawaban, Andrean pun bergegas pergi dengan menggunakan mobil sportnya yang lain, tentu saja tak kalah mewah dengan mobil yang sudah di tabrak Naya, memang tak butuh waktu lama bagi Andrean untuk menyelesaikan masalahnya, jika mobil yang satunya rusak, maka mobil yang lain pun akan segera datang, namanya juga orang kaya, gonta ganti mobil itu hal yang biasa.
Masih di tempat yang sama, Naya yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, bisa sedikit bernafas lega saat melihat Andrean sudah pergi, setelah dirasa aman, barulah Naya keluar dari persembunyiannya, meski di hatinya terbesit rasa khawatir bahwa ia dalam masalah besar, tapi paling tidak untuk sementara ini dia bisa bebas dari laki-laki yang ia sebut ganas dan kekanak-kanakkan itu.
"Andai saja gue tolak permintaan Milea kemarin," sesal Naya sambil memasang wajah yang gusar. Menyesal pun kini sudah tak ada gunanya, ia harus bersiap dengan segala konsekuensinya.
Keesokan harinya, Naya seperti biasa tengah sibuk bersiap-siap untuk berangkat kerja, setelah kemarin ditimpa berbagai macam kesialan, Naya berharap semoga hari ini menjadi awal yang baik baginya untuk bekerja.
Dengan menggunakan seragam kerja, tak lupa pula dengan sedikit polesan make up di wajahnya, serta menjinjing sebuah tas berwarna hitam, semakin menunjang penampilan Naya dalam mengais pundi-pundi rupiah.
Menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan besar merupakan kebanggaan tersendiri bagi Naya, sebab tidak mudah untuk bisa bergabung, terlebih lagi orang-orang yang bekerja di sana harus memiliki sikap disiplin dan juga bertanggung jawab.
Perusahaan real estate Martadinata, tbk. merupakan perusahaan terbesar di kotanya, tempat di mana Naya bekerja selama ini, gedung yang berdiri kokoh itu mulai tampak ramai, disibukkan dengan aktifitas orang yang sibuk lalu lalang.
Namun ada pemandangan yang tak biasa bagi Naya, seketika ia dikejutkan dengan penampakan sesosok manusia yang sepertinya ia kenal, bukan hantu atauvpun mahkluk astral lainnya, namun sesosok manusia yang telah mengajaknya perang mulut waktu di cafe kemarin.
Siapa lagi kalau bukan Andrean, laki-laki tampan namun tak setampan hatinya, begitulah penilaian Naya.
"Tapi, kenapa laki-laki ganas itu kemari? Apa keperluannya?!"
Naya bergumam sambil terus memperhatikan ke mana Andrean pergi. Ia berharap kalau laki-laki itu tidak sedang mencarinya, lagi pula itu hal yang mustahil, tidak mungkin pria itu mencarinya dan tahu kalau ia bekerja di perusahaan ini, pikirnya lagi sambil berlalu menuju ruang kerjanya.
"Pagi Nay, gimana kemarin lancar gak?"
Celetuk Milea ketika melihat kedatangan sahabatnya itu.
"Lancar apa'an, itu cowok datang aja enggak, yang ada gue dapat masalah sama cowok gak jelas kemarin." Naya menjawab dengan nada kesal kala mengingat keributannya kemarin.
"Cowok gak jelas, maksudnya?" Milea segera mendekat ke arah sahabatnya itu, masih bingung dengan kata-kata Naya.
"Super duper gak jelas, nyebelin, kekanak-kanakkan, amit-amit gue sama itu orang," jawab Naya ogah-ogahan.
"Jadi maksud lo, cowok yang mau dikenalin sama mas Heru kemarin gak jadi dateng ya Nay?" Milea kembali bertanya memastikan kalau laki-laki yang suaminya rekomendasikan untuk Naya itu memang tidak datang.
"Iya Mil, kalo aja itu cowok ngabarin lebih cepat kalau gak bisa dateng, kan gue gak perlu repot-repot dateng ke cafe itu, terus ketemu sama manusia setengah singa yang sangat nyebelin itu," omel Naya dengan kesal jika mengingat laki-laki itu lagi.
"Kok mas Heru gak ngabarin gue ya Nay, apa dia lupa?" ucap Milea heran, tanpa tahu siapa laki-laki yang Naya maksud itu, melihat Naya yang begitu kesal saja sudah membuat Milea takut untuk bertanya lagi.
"Ya mana gue tau Mil, sebel gue, heh." Naya mendengus.
"Sorry ya Nay, ntar gue tanya mas Heru kenapa itu cowok sampai gak dateng." Milea jadi tak enak hati dengan Naya, apa lagi Naya terlihat begitu kesal.
Mendengar ucapan sahabatnya itu, Naya hanya mengangguk, ia sadar jika sahabatnya juga sudah berusaha untuk mencarinya gebetan.
"Nay, disuruh pak Hendra ke ruangannya," pinta salah satu rekan Naya yang juga kebetulan dari ruangan pak Hendra.
Pak Hendra adalah kepala bagian dari tim manajemen di perusahaan itu, lebih tepatnya adalah seorang manajer.
"Ya Sil, makasih," sahut Naya kepada rekan kerjanya itu yang bernama Cesil, yang juga sama-sama satu tim dengan Naya dan Milea.
Naya pun segera beranjak dari tempat duduknya, tak lupa ia membawa berkas yang berisi beberapa dokumen penting yang harus di tanda tangani oleh pak Hendra.
Kebetulan ruangan pak Hendra berada tepat di pojokan, untuk menuju ke sana harus melewati beberapa ruangan, setibanya di ruangan pak Hendra Naya langsung menyerahkan dokumen tadi tanpa harus menunggu aba-aba dari pak Hendra.
Dengan menggunakan kacamatanya, pak Hendra langsung mengecek kembali isi dokumen tadi, dan sesekali ia terlihat mengangguk, sebagai tanda kalau hasil pekerjaan Naya sangat bagus.
Memang Naya dikenal sangat tekun dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas yang telah di berikan.
"Tolong sekalian kamu serahkan berkas ini langsung ke atasan untuk segera di tanda tangani," kata pak Hendra sambil memberi perintah.
"Baik pak, saya langsung ke ruangan presdir ya, Pak?" Tanya Naya lagi memastikan, mengingat biasanya ini adalah tugas Stefi sang sekretaris yang sangat cerewet dan terkenal sok di perusahaan itu.
"Iya," jawab pak Hendra singkat.
"Baik pak, terima kasih," ucap Naya lagi sambil berlalu pergi, pak Hendra menjawab dengan mengangguk. Naya hanya mendengus melihat tingkah pak Hendra yang tanpa basa basi itu.
"Makanya cepet tua, hidupnya terlalu serius," gumam Naya pelan.
Sesampainya di depan ruangan direktur, Stefi sang sekretaris judes itu langsung melirik ke arah Naya dengan tatapan sinisnya, seperti perusahaan itu bagaikan miliknya saja.
"Eits, mau main masuk aja lo, gak liat gue lagi di sini," ucap Stefi dengan ketus.
"Ehhh, sorry gak liat gue, kirain gak ada orang tadi," Naya menjawab dengan nada yang tak kalah ketusnya.
"Siapa suruh lo main masuk aja tanpa seizin gue, apa lo gak tau kalo di sini kawasan gue, jangan main nyelonong aja lo," kali ini Stefi berkata dengan sombongnya seraya meletakkan kedua tangannya di pinggang, seakan mau mengajak berkelahi.
"Duuhhh takut gue, hei Nona Stefi gue di suruh sama pak Hendra buat nganter berkas ini langsung sama pak direktur, berani lo nentang pak Hendra," Naya menantang Stefi dan seketika membuat sekretaris yang sombong itu terdiam, mengingat pak Hendra termasuk orang yang sangat berpengaruh di perusahaan itu, tak ada yang berani menentang perintahnya.
Tanpa pikir panjang Naya dengan gontainya masuk ke dalam ruangan direktur, disertai dengan tatapan sinis dari Stefi.
Meski sudah lama bekerja, namun bisa di hitung pakai jari sudah berapa kali Naya memasuki ruangan itu, sebab bukan sembarang orang yang bisa masuk ke sana, dengan langkah hati-hati Naya berjalan menuju meja di mana tempat orang nomor satu di perusahaan itu duduk, terlihat sang direktur duduk dengan posisi membelakangi, hanya bagian kepalanya saja yang terlihat.
"Permisi Pak, ini berkasnya sudah siap," ucap Naya sambil meletakkan berkas di atas meja.
"Ya, terima kasih," kata sang direktur seraya memutar kursi di mana tempat ia sedang duduk.
Betapa kagetnya direktur itu ketika melihat Naya, begitu pun dengan Naya yang tak kalah kagetnya, sampai-sampai mulutnya ternganga saat melihat sosok pria yang tengah ada di hadapannya kini.
"Sepertinya kita pernah bertemu Nona." seketika suara sang direktur membuat Naya gelagapan, yang tadinya berdiri mematung kini seakan mencari tempat untuknya berpegangan, rasanya seperti mau pingsan dan jantung pun berasa ingin copot dari tempatnya.
"Oh Tuhan! Kuharap ini hanyalah mimpi, siapa pria ini sesungguhnya," batin Naya berbisik dalam hati.