"Devin ganteng banget sumpah. Iya gak?"
"Enggak."
Lareina dan Radithya saling bertukar pandang ketika menjawab pertanyaan Moezza dengan serempak. Bak pinang dibelah dua, setelah mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap opini Moezza secara serempak, mereka pun menghela nafas di waktu yang sama.
Ketiga sahabat itu sedang duduk santai menyesap minuman es di sebuah warung yang terletak di depan gedung bimbingan belajar mereka sembari menunggu dijemput oleh orang tua mereka.
"Dia anak futsal juga ternyata. Mana transferan dari tim besar lagi. Alamat jabatan gue sebagai kapten bisa ilang," protes Radithya memikirkan nasibnya ke depan.
"Gue liat muka dia lagi aja udah eneg. Mana dengan entengnya 'say hi' ke gue. Bangke," ujar Lareina ikut memprotes.
Kali ini Moezza yang melakukan protes, "Lo saudara berdua kenapa sih? Gak suka banget kayaknya sama Devin."
"Eh sebentar, kalo Radit protes, gue ngerti. Tapi kalo lo, Rei, lo punya masalah apa sama Devin? Lo kenal sama dia sebelumnya?" tanya Moezza.
Lareina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu kembali keceplosan. "Gak kenal. Cuma pernah ketemu doang, terus tiba-tiba ngatain gue pendek. Ya emosi lah gue," jawab Lareina tanpa menghilangkan fakta meskipun bukan itu alasan utama ia dengan kemunculan Devin.
Radithya memicingkan matanya curiga, "Ketemu dimana?" tanya Radithya.
"Di perpustakaan."
"Kapan? Kenapa bisa ketemu? Terus ngapain aja?" ucap Radithya menghujaminya dengan pertanyaan. Radithya memang sedikit protektif terhadap sepupu perempuan yang ia rasa seperti adiknya sendiri. Walaupun hanya ada perbedaan beberapa bulan di antara mereka.
"Banyak tanya lo kek detektif. Kemaren, bisa ketemu karena dia juga di perpus, terus gak ngapa-ngapain lah, orang gue gak kenal. Gimana sih?" balas Lareina yang bergantian menghujami Radithya dengan berbagai jawaban.
Radithya hanya merespon jawaban Lareina dengan mengatakan "Oh". Moezza terkekeh melihat kedua saudara sepupu yang selalu bertengkar ini. Sebagai anak tunggal yang tidak memiliki sepupu dekat, Moezza sedikit merasa sirik.
"By the way, kenapa kalo Lareina jalan, main, sampe pulang bareng Sean, gak pernah lo tanyain kek gini? Giliran sama Devin, lo tanya-tanya dah ampe berbusa mulut lo," tanya Moezza penasaran.
Radithya mengusap dagunya, berlagak seperti orang yang sedang berpikir, "Gue percaya sama Sean. Udah gue anggep kayak saudara ipar gue. Gue dukung lo sama Sean, Rei!" ujar Sean sembari mengepalkan kedua tangannya dengan semangat.
Lareina melempar bungkus minuman plastik ke arah Radithya dengan kesal, "Bacot!"