Perpustakaan umum yang ternyata memiliki nama Diamond of Languange ini menjadi tempat dengan kunjungan terbanyak dari Lareina selain sekolah dan rumahnya semenjak ia bertransformasi menjadi remaja berusia 17 tahun. Hanya dengan empat kali kunjungan, gadis itu sudah hafal betul tata letak perpustakaan ini.
Lareina dan Sean berpencar untuk mencari buku referensinya masing-masing karena mereka mendapatkan bagian dan materi yang berbeda untuk tugas makalah mata pelajaran geografi ini. Lareina menumpuk beberapa buku tebal ditangannya. Ia memanfaatkan komputer yang terletak di samping rak yang ada dihadapannya untuk mencari letak buku yang ia inginkan. Setidaknya, ia tidak perlu mencari judul buku tersebut berdasarkan abjadnya di ratusan rak yang ada di perpustakaan ini.
Lareina menggerutu ketika melihat letak rak buku yang ia inginkan terdapat di lantai dua, sedangkan ia sudah berada di lantai empat. Lift yang disediakan sebagai fasilitas pun tak kunjung sampai ke lantai tempat ia berada. Dengan terpaksa, Lareina menggunakan kedua kaki jenjangnya untuk turun sebanyak dua lantai.
"Aduh, tinggi banget raknya," gerutu Lareina kesal.
Gadis itu meletakkan tangannya dipinggang sembari celingak-celinguk mencari keberadaan tangga yang biasa digunakan untuk meraih buku yang berada di rak atas. Sebenarnya rak tersebut tidak terlalu tinggi, tetapi tingginya hanya 165 CM, setidaknya butuh seseorang dengan tinggi 180 CM untuk meraih rak tersebut.
"Mau gue bantuin?"
Lareina menoleh ke arah sumber suara yang ada dibelakangnya. Betapa terkejutnya ia ketika sosok yang sangat familiar baginya. Sosok itu adalah Devin. Mantan kekasihnya.
Lareina menganga saking terkejutnya, "Devin?"
Pria yang dipanggil dengan nama Devin itu pun sama terkejutnya dengan Lareina. "Lo tau dari mana nama gue Devin? Lo kenal gue?"
Lareina lupa. Lupa bahwa ia sedang berada di tahun 2013. Terlebih lagi tahun 2013 di dimensi atau universe lain. Devin di dimensi ini jelas-jelas tidak mengenalnya. Ia juga tidak ingat bahwa ia pernah bertemu Devin di tahun 2013 di dimensi aslinya.
"Gak. Gak kenal," jawab Lareina singkat.
Devin tertawa kecil karena bingung, "Oh. Oke. Masih gue mau bantuin?"
Lareina menatap Devin. Mantan kekasihnya itu terlihat lebih muda dari sebelumnya. Tentu saja, mereka semua menjadi sembilan tahun lebih muda dari usia sebelumnya.
Semenjak kembali ke masa remajanya, ia hanya bertemu dengan keluarganya sebagai orang yang ia kenal sebelumnya. Bahkan dengan Radithya pun, ia tidak terlalu dekat di kehidupan sebelumnya. Ia cukup terkejut karena bertemu dengan orang yang familiar dengannya.
Devin melambaikan telapak tangannya ke wajah Lareina, "Halo? Kok ngelamun?"
Lareina kembali tersadar dari lamunannya lalu menggeleng, "Gak perlu. Gue bisa sendiri."
"Bisa sendiri? Lo pendek gitu?" sindir Devin.
Lareina menatap sinis Devin. Ia sudah kesal dengan kenyataan bahwa ia bertemu mantan yang menyelingkuhinya, ditambah dengan sindiran yang ia dapatkan. Jika ini bukan di perpustakaan yang mengharuskan pengunjungnya untuk tidak berisik, ia sudah memaki pria yang ada dihadapannya ini.
"Lareina," sahut Sean yang datang ke arahnya dengan membawa keranjang buku.
Sean melirik ke arah Devin dan Lareina bergantian, "Temen lo?" tanya Sean pada Lareina.
"Bukan. Gak kenal," balas Lareina.
"Oh. Gue tungguin dari tadi di lantai delapan tapi lo gak dateng-dateng. Masih cari buku?"
Lareina mengangguk lalu menunjuk ke arah sebuah buku yang terletak pada rak bagian atas, "Ambilin," pinta Lareina sembari mengerucutkan bibirnya tanpa sadar.
Sean terkekeh melihat tingkah Lareina yang terlihat seperti anak kecil lalu mengacak-acak rambut gadis itu gemas, "Kalo cuma minta diambilin, kan, bisa chat gue," ujar Sean kemudian meraih buku yang ditunjuk oleh Lareina.
Setelah mendapat buku yang diinginkannya, Lareina terburu-buru menarik Sean untuk mencari tempat duduk di lantai delapan. Meninggalkan Devin sendirian yang telah menyaksikan adegan manis dari Lareina dan Sean.
Sesampainya di lantai delapan, Lareina dan Sean memilih untuk duduk bersebelahan di meja persegi panjang yang terletak di tengah ruangan. Keduanya mengeluarkan laptop mereka masing-masing dan mulai membaca buku-buku tebal yang mereka telah bawa.
Pandangan Sean terfokus pada layar laptop dan buku secara bergantian. Pria itu ahli dalam melakukan multitasking. Sedangkan Lareina hanya menatap buku dengan tatapan kosong. Buyar sudah niatnya untuk menyicil tugas makalah hari ini.
Sekeras apapun Lareina berusaha untuk fokus, ia tidak bisa berbohong bahwa pikirannya tertuju pada kemunculan Devin di kehidupan barunya. Lareina pertama kali bertemu Devin pertama kali di tahun 2015. Dua tahun dari sekarang. Ia tidak memiliki ingatan bahwa pernah bertemu Devin di masa sekolahnya.
Lareina menghela nafas beratnya sembari memijat keningnya karena rasa pening yang menimpanya. Ia yakin, pertemuannya dengan Devin ini tidak akan terjadi sekali saja. Bagaimana pun caranya, besar kemungkinannya bahwa ia akan kembali bertemu dengan mantan kekasihnya itu.
Dikarenakan terus menerus mendengar helaan nafas Lareina, Sean kehilangan fokus belajarnya. Ia menoleh ke arah gadis disampingnya yang sedang melamun.
"Rei, kenapa? Ada materi yang lo gak ngerti?" tanya Sean berbisik.
Lareina yang masih tenggelam dalam lamunannya itu tidak bergeming. Beban pikirannya terlalu banyak sehingga tidak dapat mendengar bisikan Sean.
Sean yang kebingungan karena tidak digubris oleh Lareina pun mendekatkan wajahnya ke wajah Lareina, menyisakan jarak sekitar lima sentimenter di antara mereka.
"Woy!" sahut Sean sedikit mengencangkan volume suaranya.
Lareina yang akhirnya tersadar pun terkejut karena keberadaan wajah Sean yang terlalu dekat dengannya. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali lalu menelan ludahnya karena panik akan jantungnya yang sedikit lagi mau meledak.
Gadis itu pun mendorong tubuh Sean agar menjauh darinya, "Apaan sih, bikin kaget aja."
"Lagian, gue panggil gak dijawab-jawab," balas Sean kembali ke posisi duduk awalnya.
"Kenapa ngelamun, hah? Sampe gak kedengeran suara gue. Susah?" lanjut Sean bertanya.
Lareina menggeleng, "Enggak. Gak susah. Gue bisa kok."
Sean melihat ke arah layar laptop Lareina yang menunjukkan layar putih kosong, menandakan bahwa gadis itu belum mengetik apapun. Pria itu mengambil salah satu buku dalam tumpukan buku yang dipinjam oleh Lareina dan membukanya.
"Kalo bingung, ngomong aja. Gak usah gengsi. Sini gue bantuin cari bahan materi makalah lo," ujar Sean.
Lareina menarik kembali buku yang sedang dibaca oleh Sean dengan paksa, "Lo ngerendahin gue? Lo pikir gue gak bisa ngerjainnya?" tanya Lareina meninggikan suaranya.
Pandangan pengunjung perpustakaan yang berada di lantai delapan semua tertuju pada Lareina. Sean dengan sigap berdiri dan meminta maaf kepada pengunjung lain karena kebisingan yang dibuat oleh Lareina.
Sean kembali duduk di kursinya lalu membalikkan kursi Lareina agar berhadapan dengannya, "Ini di perpustakaan, Rei. Kok lo teriak-teriak sih? Berisik dan ganggu orang tau gak? Lo gak malu apa diliatin sama pengunjung lain tadi?" ucap Sean setengah berbisik.
Lareina terdiam. Ucapan yang dilontarkan oleh Sean kurang lebih sama dengan apa yang diucapkan oleh Devin ketika gadis itu meninggikan suaranya di bioskop. Ia kembali teringat oleh kenangan masa lalunya bersama Devin.
Sean merasa bersalah karena memarahi Lareina. Padahal ia tahu bahwa gadis itu indipenden san paling tidak suka direndahkan, meskipun tidak ada satu pun niat yang tersirat untuk merendahkan Lareina ketika ia menawarkan bantuan tersebut.
"Sorry. Gue gak maksud marahin lo. Gue cuma kaget aja kenapa lo marah-marah. Gue cuma pengen bantuin lo," jelas Sean.
Lareina kembali menggeleng, "Iya, gue tau maksud lo. Gue yang minta maaf dah."
Sean memperhatikan raut wajah Lareina yang terlihat murung, "Gara-gara cowok tadi ya? Siapa sih dia?"
"Man-," Lareina memotong ucapannya sendiri sebelum kata 'mantan' terucap dari bibirnya.
"Gak. Gak kenal," sambung Lareina.
"Beneran gak kenal?"
Lareina melihat Sean yang mengintrogasinya dengan tatapan curiga pun sedikit panik, "Lo peka banget sih jadi orang," gumam Lareina yang terdengar oleh Sean.
"Emangnya gue lo?" sindir Sean.
Lareina menatap Sean dengan tatapan malas lalu berusaha membuat jawaban karena sulit untuk berbohong kepada pria dihadapannya ini. "Mirip seseorang yang gue kenal. Mirip doang. Gak usah dipikirin."