Brak
Pintu depan rumah di tutup dengan keras. Suara hentakan kaki keras melangkah cepat dari depan rumah, menuju kamar atas.
Sebelum menapaki tangga menuju kamar nya, ia menoleh ke kamar adiknya.
Pas sekali ia bertemu pandang ketika menoleh ke kamar, ibunya juga menoleh ke luar pintu kamar.
Nathan langsung membuang muka, lalu bergegas naik menapaki tangga.
"Plak plak plak plak"
Ibunya tersentak dengan suara gaduh dari kaki si anak laki-lakinya.
"Ada apa sih sebenarnya?",
belum sempat menanyakan permasalahan di antara mereka, Aluna telah pulas di pelukan ibunya.
Setelah semalaman suntuk tak henti-hentinya menangis.
Ibunya membaringkan tubuh Aluna, di tutupinya dengan selimut tebal berbulu lembut.
Nampak wajah sang anak begitu kelelahan, terlihat dari tarikan nafasnya kembang kempis di dada.
Setelah mencium kening anak gadis kesayangannya. Sang ibu beranjak menaiki anak tangga untuk menemui kakaknya. Yang baru pulang, di temani kekesalan yang hinggap dalam dirinya.
"Tok tok tok" mengetuk pintu kamar Nathan yang terkunci.
"Nak ,buka pintunya nak. Sebentar mama mau bicara sama kamu"
"Tok tok tok tok " kembali di ketuk karena tak ada jawaban dari dalam.
"Nak, kalian ada apa sih kok bisa jadi gini. Mama gak ngerti?"
Klek.
Gagang pintu memutar, dari balik pintu muncul sang kakak berperawakan tinggi, bermuka masam dan kusut. Seperti malas meladeni ibunya yang sudah berhadapan dengannya.
ibunya memegang wajah tampan anak nya, Tangan lembut itu kembali menjadi obat penenang hati kecilnya yang di sesaki sekelumit masalah.
Nathan terdiam sejenak merasakan hangat kelembutan kasih sayang ibunya yang meresap ke relung hati.
Ia mulai angkat bicara,
"Gimana keadaan Aluna mah?"
"Adikmu sudah tidur di kamarnya"
Emosinya turun drastis berkat tangan hangat sang ibu tercinta.
Kesadaran akan kontrol dirinya juga telah kembali.
Nathan teringat akan tamparan yang di lakukan pada adiknya, dan sekarang malah mengkhawatirkan kondisi sang adik.
"Mah, maafin Nathan ya?"
"Kenapa emangnya?"
"Tadi Nathan sudah terlanjur emosi, tak bisa mengontrol diri Nathan."
"Emmm,, sudah ga usah di pikirkan. Coba jelasin apa yang terjadi?"
" Nathan tadi nampar Aluna mah, Nathan menyesal. Maaf ya mah, gak sengaja"
" kamu berbuat itu pasti ada alasannya kan?"
Nada lembut sang ibu terus terdengar selama perbincangan antara keduanya.
"Nathan sangat sayang pada Mama sama Aluna, gak mau terjadi apa-apa sama kalian berdua."
"Baguslah, itulah anak mama, Terus??"
"Terus, Nathan ngeliat Aluna telah di sentuh oleh laki-laki bajingan mah"
"Apa..!!"
Ibunya sedikit tersentak dengan keterangan yang di jelaskan Nathan. Namun ia masih bersikap bijak. Karena bisa saja omongan anak nya belum tentu benar.
"Pantaslah kamu marah sama adikmu, Mama bangga kamu sangat sayang dan perhatian pada nya, tapi enggak juga harus langsung emosi. Bisa di tanyakan dulu kan, benar apa enggaknya"
"Iya mah, itulah salah Nathan gak mau dengerin Aluna terlebih dulu."
"Lain kali kita bicarakan dulu soal ini bareng-bareng ya nak"
"Iya mah, maafin Nathan sekali lagi."
"Yang sudah terjadi, ya sudah di ambil pelajarannya saja sayang."
"Besok kita bicarakan masalah ini bareng-bareng ya nak."
"Iya mah,"
"Dah, sekarang jagoan Mama juga harus istirahat jangan kalah sama adeknya yang udah istirahat duluan."
"Iya mah"
Anak Di mata seorang ibu hanya tetaplah seorang anak kecil, tak peduli ia telah dewasa bahkan sudah sampai menikah pun. Tetap di matanya adalah anak kecil kesayangannya yang telah menangis kemarin sore (catet (-;
...
Keesokan paginya,
Ini adalah hari Minggu, tetapi sang ibu tetap bangun lebih awal, mungkin karena kebiasaannya yang selalu bangun lebih pagi.
Ia nampak sibuk menyiapkan beberapa hidangan di atas meja. Tidak banyak, hanya ada beberapa potong roti bakar yang di olesi aneka selai.
Selai strawberry adalah kesukaan anak gadisnya, selai kacang coklat milik sang kakak dan selai blueberry santapan lezat kesukaannya sendiri.
Di temani tiga cangkir teh hangat aroma melati.
"Pagi mah"
"Ya ampun, pagi nak. Mengagetkan Mama saja"
Tiba-tiba Nathan sudah ada meja makan tanpa sepengetahuannya.
"He he he,"
Ia segera mengambil roti lezat kesukaannya yang telah tersedia di atas meja.
Melahapnya tanpa meminta izin terlebih dulu.
"Nyam, nyam, nyam. "
Srekkk.
Kursi di geser sedikit ke samping menjauhi kursi yang di duduki sang kakak.
Aluna dengan wajah di tekuk mulutnya cemberut tertutup rapat, duduk di kursi itu.
Tanpa sepatah kata, ia hendak menarik piring berisi roti miliknya.
Namun sang kakak dengan keisengannya menarik kembali piring yang sudah di dekatkan menjauhi pemiliknya.
"Iihh ... "
"Hehehe,"
Nathan telah membuang jauh-jauh rasa kesal dan marahnya terhadap si adik. Nampak pada rautnya di pagi ini begitu ceria, ya seperti anak kecil yang sudah lupa akan masalahnya.
Berbeda dengan adiknya yang masih menyimpan rasa kesal terhadap kakaknya.
Ia menarik paksa kembali piring yang di jauhkan Nathan. Hampir saja roti itu loncat dari piringnya karena ia menariknya terlalu kuat.
"Wah, kayaknya ada monster kelaparan nih"
Roti itu masih menempel di mulut Aluna belum sempat ia gigit, tapi pandangan mata sinisnya memperhatikan wajah sang kakak.
"Gak lucu tau,
Nyuamm"
Ia berkedip, seraya mengenyam roti yang barusan di gigit nya.
"Eh anak-anak Mama udah pada ngumpul."
Ia ikut duduk bersama anak-anaknya, mengambil roti yang ada di depannya pula.
"Mah,?"
Nathan akan memulai pembicaraan di antara mereka.
"Apa sayang?"
"Emmm, mamah waktu dulu hamil kita makannya banyak ga mah?"
Pertanyaan itu sebenarnya adalah sindiran iseng sang kakak pada adik perempuannya.
Deg,
Aluna yang tengah asyik menikmati santapan paginya, tiba-tiba ia kehilangan selera makannya begitu saja. Roti yang tinggal setengah ia hempaskan kembali pada piring.
"Kok kamu tanya gitu?, Iya dong waktu dulu pas Mama hamil kalian, Mama usahain makan banyak. Apalagi ayah kalian suka membawa macam-macam makanan buat Mama."
Jawaban mamanya malah memperparah suasana hati sang adik yang terkena sindiran keras,
Sedangkan si ibu tak tahu menahu bahwa pernyataan yang dilontarkannya akan memperburuk situasi di atas meja.
"Kenapa emangnya kamu tanyain itu?"
"Enggak kok mah, pengen tau aja sih."
Bibir berbicara pada ibunya, sedangkan matanya menoleh sang adik.
Tatapan itu Membuatnya semakin kesal, sekarang ia tahu bahwa kakaknya sendiri akan membongkar "aib"nya yang sebenarnya tidak pernah terjadi , di depan orang tua mereka. Tapi hanyalah kesalahan pahaman semata, yang membuat semua tampak kacau, tidak tentu arah permasalahan sebenarnya.
Pun demikian, jika Aluna terpaksa menceritakan yang sebenarnya bahwa ia telah di paksa oleh kakak kelasnya untuk sekedar berciuman di tambah ciuman paksa yang di lakukan di lehernya, itu akan sangat memperumit dan menambah masalah lain. Sang kakak pasti akan bertindak melebihi tindakan pertamanya yang berakhir di rumah sakit.
Dan Aluna tak mau mengulang kejadian itu.
Solusi terbaik untuk sementara saat ini hanyalah diam, dan mencoba menjauhi potensi masalah yang akan datang..
.
..
.
..
Cilincing 06-07-2022 23:59 pm