Pada sebuah malam Minggu di akhir bulan September, seorang pemuda barambut hitam dengan mata cokelat terang duduk di jalanan. Sembari menghembuskan asap rokok dari mulutnya, dia menghitung uang hasil kerjanya hari ini.
Tangannya bergerak secepat kilat, menghitung dari satu lembar ke lembar lainnya.
"Ah, 50 juta rupiah ya.. Hari ini aku mendapatkan tangkapan besar. Aku tidak akan bisa menghasilkan uang sebanyak ini di Indonesia"
Ujung mulut pemuda itu terangkat, menunjukkan ekspresi puas. Menyimpan uang tersebut dalam dompetnya, ia bergegas pergi ke toserba terdekat untuk membeli makan malamnya.
Ia laku duduk di pinggir jalan dan memakan makanannya, jari jemarinya menggeser dari atas ke bawah-- membaca berita terbaru hari ini.
Ini adalah satu hari yang biasa lagi bagi Candra. Semenjak beasiswanya dicabut tiba-tiba ketika ia bersekolah di Jerman, ia tidak mempunyai pilihan lain selain bekerja karena tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah tua.
Ia tidak berani mengatakan pada ibunya ia dikeluarkan. Ia bahkan tidak bernai pulang ke Indonesia karena ia malu pada dirinya sendiri. Akan tetapi, ia pun tidak menyukai dunia asing yang luas ini.
—— Siapakah yang mau menerima seseorang yang dikeluarkan dari universitas? Yang tidak tamat sekolah?
Oleh karena itu, ia mengotori dirinya dengan topeng. Ia menjadi seorang penipu tak bermoral yang menyedihkan. Dengan terpaksa, ia melakukan segala cara untuk bertahan hidup.
Ia tidak mampu menghadapi ibunya maupun negaranya karena melakukan sesuatu yang menjijikan seperti ini. Tetapi ia tidak ingin mati di negara bersalju dingin.
Candra Aditya Junai—— pemuda berusia 21 tahun asal Indonesia yang bernasib malang. Hidupnya dulu sangatlah sempurna tanpa ternodai satupun kesialan. Ia adalah seorang pekerja keras demi membanggakan ibunya dan kampung halamannya.
Candra bukanlah anak orang kaya. Ia dan ibunya berasal dari kalangan rakyat miskin, membuatnya merasa tertekan dan tidak merasa pas di masyarakat. Ayahnya yang meninggalkannya di masa muda membuatnya memiliki nilai keadilan yang tinggi.
Namun, pada akhirnya.. siapa yang menyangka semua itu berubah drastis dan sia-sia dengan satu tuduhan palsu?
Tidak mungkin dia akan kembali ke Indonesia dan memberitahu ibunya tentang kabar ini. Bukan karena ibunya tidak memaafkannya, melainkan karena ibunya akan memaafkannya dan memberikannya uang lebih untuk membiayainya sekolah-- hatinya merasa berat.
Candra tidak ingin membebani ibunya. Dia tidak mampu melihatnya menderita bahkan jikalau ibunya bersukarela. Selama bertahun-tahun setelah orangtuanya bercerai, dia telah melihat banyak penderitaan yang ibunya rasakan dari belakang. Ia merasa dirinya terlalu pahit dan bersalah jikalau ia mementingkan keegoisannya.
Menurutnya, akan lebih baik apabila ia mengambil jalan berduri penuh dengan debu kotor walaupun pekerjaannya tidak pantas dibanggakan dibandingkan melihat ibunya tersakiti dan menangis lagi.
Dia sudah meninggalkan ibunya dan ia merasa tidak pantas kembali lagi setelah gagal mendapatkan masa depan yang ia inginkan. Terutama Ia telah berbuat jahat untuk bertahan hidup, menipu semua orang dan dirinya sendiri.
BZZZTT... BZZZTTT...
Candra melirik layar ponselnya yang tertampil nomor tak dikenal. Mengangkat alisnya, ia menghabiskan makan malamnya sebelum mengangkat telepon tersebut.
Langsung disambut oleh suara teriakan berat milik seorang lelaki muda yang menyapanya dengan semangat.
TUT-
Candra mematikan ponselnya secara otomatis dan memasang wajah jengkel. Ia menggelengkan kepalanya, mempercepat langkah kakinya menuju stasiun agar tidak ketinggalan kereta.
Yah.. atau begitulah rencananya.
BZZZT... BZZZT... TUT!!
"Ada apa? Berhenti menelponku kalau kau hanya ingin berteriak di telingaku," ujarnya jengkel.
[Hehehe.. maaf, Jun. Ayolah, jangan terlalu serius. Kita ini kan teman satu universitas sebelumnya. Kau tahu, aku sudah menunggumu di kafe dekat apartemenmu]
"... Mengapa? Kau butuh uang?"
[Kau tahu aku sudah kaya kan? Aku menelponmu untuk meminjam skripsi yang kau buat. Lagian, kau tidak membutuhkannya kan?]
Candra memutar bola matanya, merasa muak. Mendecak lidah, ia mematikan teleponnya dan menaiki kereta terakhir malam ini. Ia tidak percaya 'teman' nya tidak tahu malu sampai-sampai memintanya melakukan itu.
Menyilangkan tangannya sambil duduk di kereta, ia menopang dagunya.
'... Yah, kelihatannya itu bukan ide yang buruk. Setidaknya aku bisa menjualnya'