Chapter 3 - 003: Mati

Candra masuk kedalam kamar apartemennya. Terlalu lelah untuk melakukan apapun, bahkan menghidupkan lampu, ia melemparkan dirinya ke atas kasur.

"Hahaha.. Mengapa semuanya harus berakhir seperti ini?"

Menghela nafas panjang, ia meletakkan lengannya di atas matanya. Seberapa ia mencoba menahannya, air matanya bercucuran dan suaranya terpecah memanggil ibunya. Matanya terpejam erat. Dalam ingatannya, kilas balik hidupnya berputar.

Dari awal, ia merasa ia tidak memiliki pilihan. Ketiadaan ayahnya, hidup miskin, mendapatkan beasiswa dan dikeluarkan begitu saja, menjadi penipu handal di luar negeri... Ia merasa takdir sedang mempermainkannya.

Entah berapa kuat ia telah berjuang, seberapa lama lagi ia harus menahan beban hidupnya-

—— Ia sudah menyerah. Semua itu tidak berarti baginya.

'.. Ah.. Di tempat pertama hidupku sudah hancur. Mengapa aku harus peduli lagi?'

BZZZT... BZZZTT....

Candra duduk dengan lemas di atas kasur. Ia melihat ke sekeliling ruangan kosongnya sekilas. Mengabaikan ponselnya yang bergetar, ia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.

Parasnya terlihat mengerikan di depan cermin dan perlahan-lahan ia menemukan dirinya terlalu berantakan untuk hidup di dunia ini. Terlalu kotor. Terlalu lelah. Tidak mampu untuk hidup sesuai ekspektasi masyarakat.

'... Kelihatannya, aku harus mandi. Aku merasa sangat menjijikkan di depan cermin'

*************

"Ugh- penipu itu!! Angkatlah teleponnya sialan!!"

Aku berlari terengah-engah menaiki tangga. Tanganku tak henti terus menerus menelpon satu nomor yang sama. Tetapi sialan itu tidak mengangkatnya!!

Tidak cukup membuatku frustasi, aku kini benar-benar kehilangan kontak dengannya. Aku telah mengecek kamar apartemennya secara menyeluruh. Tetapi aku tetap saja tidak menemukannya.

"Sial, sial- SIALAN!!! DIMANA KAU?!!"

Aku memperlambat langkah kakiku di tengah tangga. Kelelahan. Ini tidak sehat bagi tubuhku untuk terus mengkhawatirkannya. Mengapa ia tidak kunjung berhenti membuat masalah untukku?!

Aku tahu kau...

Aku tahu ini bukan masalahku. Aku tidak berhak ikut campur dan kau mempunyai alasan untuk membenciku karena berbuat begini. Kau berhak menangis untuk kampung halamanmu. Aku tidak berada dalam posisi untuk melarangnya.

Tapi Candra adalah kasus yang berbeda. Selama bersekolah bersamanya, aku mengenalnya bagai telapak tanganku sendiri. Dia akan melakukan sesuatu yang konyol. Sesuatu yang gila.

Ini bahkan bukan urusanku- Dan dia merepotkan ku sampai segininya!! Candra-

BZZZTT.... BZZZTTT... TUT!!

!!!!

"Oi, dimana kau?!"

[... Haha.. Kau.... Kau mencari ku?]

"Apanya yang lucu? Dimana kau sekarang? Aku membutuhkanmu saat ini"

—— Jika bukan karena dia, aku tidak akan melakukan semua ini. Dia benar-benar membuatku gila.

[... Aku terlalu lelah. Sebaiknya kau.. tidak menelponku lagi.]

"Haah?!! Apa maksudmu?! Kudengar dari tetanggamu kau tadi pergi ke atap apatemenmu- Kau masih disana?!!"

[....]

Candra tidak menjawabku. Samar-samar aku bisa mendengarkan suara angin berhembus. Artinya aku berada di jalan yang benar. Dia berada di atap. Niatnya sudah jelas sekali.

Jangan membuatku tertawa- Jangan bilang kau akan bunuh diri hanya karena alasan bodoh ini!! Kau membuang nyawamu untuk itu!!

Mengapa kau melakukan sesuatu yang sia-sia seperti itu-- Apa kau kurang kerjaan?!!!

[... Mengapa kau peduli? Kita ini bukan teman. Ini bukan masalahmu]

... Benar.

Ini bukan masalahku. Lalu?!!

Apakah itu salah bagiku untuk membantu seseorang?! Sebagai mahasiswa dari fakultas kedokteran, untuk melihat seseorang bunuh diri di depanku--

Aku tidak akan bisa memaafkan diriku!! Bukankah itu artinya aku sudah gagal sebelum aku memulai karirku?!!

Ditambah.. aku masih membutuhkannya. Aku tidak bebal untuk mengabaikan masalahnya. Dia adalah sainganku. Sudah seharusnya kita saling membantu agar tidak ada yang tertinggal.

BRAKKK!!!

"Hei, kau tidak tahu malu!! Sebagai mantan mahasiswa kedokteran- mengapa mental mu sangat kacau!!!"

Aku mendobrak pintu atap sekuat tenaga. Menemukan Candra berada di ambang gedung, aku menyuruhnya turun dari sana. Ia mengenakan pakaian rapi dari atas sampai bawah. Tetapi anehnya ia masih terlihat menyedihkan.

Ia masih tetap berantakan. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana penampilannya hari itu. Itu menyakitkan melihatnya begini.

"..Jun. Mari kita bicarakan ini sama-sama"

"Apa ada hal lain yang bisa dibicarakan? Aku tidak mempunyai apapun lagi kali ini"

Aku berjalan mendekatinya, perlahan-lahan menariknya turun. Tangannya terasa dingin dan gerak-geriknya menjadi kaku seakan-akan ia adalah mayat berjalan. Mendudukkannya di lantai, aku menamparnya 2 kali agar ia kembali tersadar.

Aku memarahinya habis-habisan. Menyeretnya menuruni tangga, aku membawanya kembali ke kamarnya. Sewaktu aku mendudukkannya di atas kasur, badannya langsung terbaring lemas. Matanya menatapku tak bernyawa.

".. Jendela.. buka jendelanya"

"Malam ini terlalu dingin. Tenangkan lah dirimu"

".... Baiklah. Ambilkan aku air kalau begitu"

Aku mendesah kecil. Mengikuti perkataannya, aku pergi ke wastafel kamar mandi dan mencari gelas untuk mengisi air sembari memeriksanya dari celah pintu. Tidak menemukannya di kamar mandi, aku merasakan sensasi janggal di ruangan itu.

Tidak ada handuk, tidak ada sabun, tidak ada sikat gigi, atau apapun di dalamnya. Kosong. Aku tidak menemukan apapun disana.

"Hei, dimana barang-barangmu? Apa kau membuangnya?"

"...." Candra menggeleng, memperbaiki posisinya. Menunjuk ke arah dapur, ia mengatakan ia menyimpannya dalam sebuah kardus.

Aku tidak menanyakan alasannya waktu itu sebab aku pikir dia sedang stress sehingga tidak bisa berpikir jernih. Namun ketika aku sampai di depan pintu dapur, aku melihat ruangan tersebut sama kosongnya dengan kamar mandinya. Yang tersisa hanyalah 2 buah kardus yang terletak di pojok ruangan.

Apa-apaan dengannya? Mengapa dia mengemas semuanya? Apa dia berniat pindah rumah?

"Jun, gelasmu ada di kardus yang mana?"

"...."

"Jun? Kau bisa mendengarku? Jun-"

KRIETT...

!!!??

Telingaku menangkap suara deritan. Menoleh secepatnya ke arah kasur, aku menemukan Candra tidak lagi berada disana dan jendela di dekatnya terbuka lebar. Mataku melihat siluet sesosok pria putus asa berusaha melompat keluar.

Aku merasa diriku terpecah berkeping-keping. Seberapa aku mencobanya, aku semenit terlambat menghentikannya melompat. Tanganku berhasil meraihnya. Tetapi itu tidak cukup untuk menariknya ke atas.

BRUKKK!!!!

"IIIHHH!!! ADA YANG MELOMPAT!! SESEORANG PANGGILKAN AMBULANS!!!"

.

.

Ah.. dan lagi-lagi aku terjebak bersamanya. Hari ini aku sial lagi ternyata.