"100 Euro"
"50. Itu kemahalan. Apa skripsimu benar-benar senilai-"
"Ambil atau pergilah. Aku tidak membutuhkan ocehanmu" Candra memainkan lembaran kertas yang ia pegang. Memprovokasi mahasiswa kedokteran 'terbaik' di universitas lamanya.
Ehrlich Claude—— Saingan lamanya yang serba sempurna. Ia dan Candra dulu berlomba-lomba mencapai ke atas sebelum salah satunya dikeluarkan dari sekolah.
Hubungan mereka... tentu saja bukanlah teman. Bahkan di masa sekolahnya, keduanya dari kata teman. Lebih tepatnya seperti rekan yang menguntungkan satu sama lain.
Ini bukan hal yang buruk bagi keduanya. Bisa dikatakan mereka lebih berinteraksi dengan cara netral. Meskipun Candra dikeluarkan dari sekolah dan menjadi penipu, tidak jarang Ehrlich mengajaknya pergi makan sebagai balas budi dan menghargainya sebagaimana adanya. Ia mengakui kemampuan Candra lebih tinggi daripadanya.
Malahan, Ehrlich sangat frustasi ketika mendengar kabarnya dikeluarkan dari sekolah. Kerja kerasnya untuk bersaing dengan Candra terasa sia-sia.
Sewaktu nama saingannya tercemar dan tercela, ia pun ikut terimbas kesialannya.
"Ayolah, kau itu kaya. Apa susahnya memberikan selembar uang kertas?"
"... Aku tidak tahu kau bisa-bisanya se-picik ini," komentar Ehrlich, memberikan uang yang diminta Candra.
"Kau penipu ulung tak bermoral- Seharusnya kau memanipulasi mereka seperti ini saat kau dikeluarkan waktu itu!"
"Aku mempunyai pengetahuan, bukan kekuasaan mengatur. Mengapa kau tidak berusaha sendiri?"
"Aku sudah mengusahakan yang terbaik mengeluarkanmu dari masalah."
Candra menyilangkan tangannya, mendelik Ehrlich yang mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya dan menawarkannya sebatang. Menerimanya, Ehrlich menyalakan pemantik api dibawah rokok miliknya.
Menghisapnya sekali. Ia terbatuk ringan sebelum melemparkan pemantiknya pada Candra.
"Ah, sial. Aku tidak terbiasa merokok. Kau langganan rokok?"
"Tidak. Kadang-kadang saja," jawab Candra sambil menghembuskan asap rokok.
Keduanya terdiam sebentar dalam suasana kafe yang ramai. Meskipun jarum jam sudah menunjuk pada angka 11, suasana kafe tak kunjung sepi. Seolah-olah sudah terbiasa, Candra dan Ehrlich hanya duduk menatap asap rokok yang konstan.
Dalam keramaian, mereka merasakan ketenangan. Sebab tidak akan ada orang yang memperhatikan mereka dalam kesibukan pribadi setiap orang.
"... Hei, ini membuatku teringat. Apa kau akan pergi ke Indonesia?"
"Tidak. Mengapa kau bertanya?"
"... Kau tidak akan pergi bahkan setelah mendengar beritanya?"
Candra memiringkan kepalanya. Tangannya bergerak menuju ponselnya dengan jari-jemarinya mengeluarkan rokok di mulutnya. Membuka berita terbaru tentang kampung halamannya, matanya membelalak mendengar bencana alam yang terjadi 2 jam lalu.
[Gempa bumi yang mendadak terjadi telah memakan korban dalam jumlah besar di desa kecil bagian timur pulau Jawa dengan magnitudo 6,8 SR.]
"!!.. A, Apa?"
[Gempa tersebut disusul dengan tsunami dan merenggut lebih dari 560 orang, 78 korban terluka berat, disertai 65 ornag yang tidak berhasil ditemukan-]
"Hei, apa-apaan ini?!"
"... Seperti yang dikatakan. Kampung halamanmu terkena gempa dan tsunami besar. Apa kau tidak membaca beritanya?"
Candra mengerutkan keningnya, melepaskan tangannya dari ponsel. Menundukkan kepalanya, ia mendengarkan lanjutan penjelasan Ehrlich tentang insiden tersebut. Merasa tidak berdaya, pandangannya terasa buyar semakin lama ia mendengarkan.
Ia tidak ingin menghadapi kenyataannya. Ia berharap ia tidak pernah tahu tentang bencana tersebut.
"... Padahal aku baru saja mendapat tangkapan besar hari ini"
"Haaa.. Benar. Ini menyusahkan. Tapi hadapi sajalah. Relatifku disana juga terkejut mendengar berita ini," ujar Ehrlich, setengah berusaha menghibur Candra. Ia menghisap rokoknya jengkel.
Tidak mengabaikan perasaan lelaki di depannya, ia memalingkan kepalanya merasakan ketidakberdayaan yang sama. Ia tidak sedingin itu untuk berpura-pura tidak terjaid apa-apa. Menyadari tatapan Candra mengkosong, ia mematikan rokoknya dan menuangkan segelas air untuknya
"Itu lucu. Mengapa setiap kali kau terkena sesuatu aku juga kena imbasnya?"
".... Bagaimana dengan ibuku?"
"Hmm... Mengapa kau menanyakan itu padaku?"
.
.
"—— Apa ada kemungkinan dia selamat?"
"...." Ehrlich tidak menjawab pertanyaannya. Meminum air yang ia tuang sendiri, ia mengamati Candra sejenak. Ia merasa terganggu dan cemas melihatnya terlihat lesu dan shock. Lebih buruknya, ia tidak menangis.
Ia tidak bisa membacanya ataupun memprediksi apa yang akan ia lakukan. Menyipitkan matanya, ia menawarkan mengantarnya pulang.
"Tidak. Aku ingin sendirian sekarang"
"Baiklah. Kalau itu maumu.."