Alicia tetap terduduk di meja makan walau piringnya hanya menyisakan tulang belulang ayam. Ia ogah untuk ke dapur sampai "arwah gentayangan" di dapur tersebut mengusir diri dari rumah agar ia dapat membersihkan piring dengan tenang. Canggung menyambanginya, maka ia pun mengambil kain serbet dan hendak membersihkan meja makan.
"Nona, tidak perlu!" kata Semar. "Bersihkan piringmu saja nanti."
"Tidak apa-apa, sekalian." Alicia mulai mengelap cipratan air, serta butir nasi bekas lemparan Wisesa pada permukaan kayu.
"Nona, jika ini karena Wisesa, jangan biarkan perkataannya menganggumu."
Tangan putih sang gadis berhenti memutar kain lap. Dirinya menghela nafas lagi dan memutuskan berdiam kaku menatap tulang-belulang, menunggu Wisesa menyelesaikan cuciannya. Lama sekali laki-laki itu mencuci piring. Apakah ini salah bentuk kejahilan darinya lagi? Atau dia sejatinya tidak tahu cara mencuci peralatan makan?
Waktu yang dinantikan tiba. Tidak menoleh sedikitpun, Wisesa terus melangkahkan kakinya dari dapur sampai menembus pintu teras. Sesuatu muncul dalam benak Alicia yang membuatnya nekat mengikuti lelaki itu.
"Sebentar, Ki Semar. Aku tidak akan lama," kata Alicia.
"Nona ... sudahlah, jangan memicu pertengkaran lagi." Semar khawatir.
"Tidak. Tidak ada pertengkaran. Aku janji!"
Wisesa sudah bebas dari gerbang rumah yang menahannya. Akhirnya, udara malam segar dapat ia hirup, dan sahutan jangkrik menenangkan sukmanya. Semua hanya berlangsung sesaat sebelum bunyi terkutuk kembali menghantui Wisesa—bunyi apapun yang menyebut namanya. Belum lagi bunyi terkutuk itu berasal dari perempuan yang baru ia rudung barusan.
"Niat bertarungku hilang gara-gara kau. Akan kurebut bola itu besok, sekarang jangan ganggu aku!" ujar Wisesa tanpa sekalipun menoleh.
Alicia berhenti berlari. "Baguslah kalau begitu. Dengar. Aku harus mengatakan sesuatu kepadamu."
"Nona, demi Dewa-Dewa, sudah kubilang aku tidak niat bertarung—baik adu fisik ataupun adu mulut, jika perlu kuperjelas untukmu."
Alicia mengepalkan tangannya, suaranya naik setengah oktaf. "Aku juga dari awal tak ingin melawanmu, dan karena itu, bisakah kamu bertingkah seperti orang normal sebentar saja, dan dengarkan aku berbicara dulu?"
Akhirnya, Wisesa mau berbalik untuk Alicia. Sebuah sengiran sarkasme ia berikan kepada sang gadis. "Bertingkah seperti orang normal ...," Wisesa tertawa secara paksa. "Baik. Aku bersedia membuang satu menit usiaku untuk menjadi 'orang normal' bagimu. Waktu berjalan, Alicia!"
Melihat Wisesa mau menurutinya pertama kali, Alicia menjadi lemas namun penuh ungkapan syukur. "Oh, Kesunyiah Ilahi, terima kasih," ucapnya lirih alih-alih berterima kasih langsung kepada yang bersangkutan. "Baiklah ... jadi, kamu adalah Barong—"
"Demi Jiwa Durga, aku pergi dari sini—"
"Tidak, tidak, tidak! Tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Wisesa membuang nafas dan memandang lelangit malam berbintang jarang.
"Kamu ada di dalam penglihatanku sebelum ... sebelum Yawadwipa. Kamu dan ... mahluk yang ada di dalammu. Kamu salah satu penyihir dengan kekuatan terkuat."
"Katakan sesuatu yang tidak aku tahu."
"Baik, baik. Kiamat sudah dekat, Wisesa."
"Kiamat apa? Maksudmu ultimatum malapateka dari Alas Purwo?"
"Bukan, tapi kiamat skala dunia! Ah, kamu tahu, kiamat!" Alicia agak frustasi. "Kemudian, dirimu. Dirimu adalah satu dari enam penyihir anomali yang berpotensi menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Menurut ramalan, kamu merepresentasikan tanah, yang menyimpan mahluk magis di dalam dirinya. Kamu dan Barong memenuhi deskripsi tersebut! Pohon pengetahuan memberitahukanku itu. Buku peramal Nostradame menyatakannya pula—"
"Buku Nostradame?"
"Kamu tahu dia? Dengar, kamu mengira aku pasti bermain-main—"
"Tentu saja kau mempermainkanku. Buku Nostradame ...."
"Wisesa. Tolong. Jangan memotong."
Wisesa mengangkat bahunya.
"Bagaimanapun, itu benar. Aku adalah salah satunya. Aku adalah anak anomali juga, karena aku memegang Orb, sumber Arcane murni, padahal aku awalnya bukanlah seorang penyihir."
Alicia perlahan mendekat.
Sang gadis berimbuh. "Kamu sama sepertiku, Anak Nubuatan. Aku ingin kamu untuk ikut denganku, mencari keempat yang lain, dan menyelamatkan dunia dari cengkraman Khaos. Aku membutuhkan bantuanmu!"
Mata Wisesa memandangnya seperti tak percaya. Suasana berubah sepi selama beberapa saat.
"Sudah?" tanya Wisesa.
"S-sudah. Bagaimana menurutmu?" Alicia bertanya balik.
"Bagus ...." Sepotong kalimat dari si berandal yang menimbulkan serpihan harapan pada wajah si putri Crimsonmane. "... Waktumu sudah melebihi satu menit, tapi bodoh amat, anggap saja bonus."
Lelaki itupun akhirnya berbalik ke arah pulang.
"Hei!" Alicia berseru lagi. Raut wajahnya sudah terlampau jengkel.
Wisesa tak kalah jengkel pula. "Apa lagi, sih?"
"Aku membuang usiamu satu menit bukan supaya kamu pergi begitu saja! Aku ingin meminta pendapatmu akan hal itu!"
Giliran Wisesa yang mendekati Alicia lalu memandangnya lekat-lekat. "Pendapatku adalah kau orang gila dan kau menyebalkan, Nona Alicia. Kau seharusnya mencari tabib kejiwaan. Oh, sayang sekali, tidak ada tabib kejiwaan di sini. Yang paling dekat ada di Alas Purwo, yang mana kau takkan mendapatkan rujukan dariku agar mendapatkan potongan harga! Anak Anomali apanya. Nostradame meracau bagai korban gangguan kejiwaan, dan kau malah percaya kata-katanya."
"Bukan cuma Nostradame! Pohon Pengetahuan juga berkata begitu!"
"Kalau begitu, kau bisa minta departemen sihir setempat untuk mencabut julukan Pohon Pengetahuan karena ia salah orang! Banyak dukun dengan khodam di Lojitengara. Panembahan Girah memilikinya. Ayah angkatmu, si tua bangka Semar juga punya ilmu khodam. Mungkin itu pria idaman Nostradame!" Sesudah puas menjawab pedas kata-kata sang gadis, ia berbalik dan berjalan untuk kesekian kalinya. Sekali-kali tak akan dirinya membalikkan badan sekali lagi. "Kiamat apanya, Tidak tahukah tanaman bodoh itu, kiamat sudah datang sejak aku lahir?"
"Kumohon," Alicia memelas. "Tidakkah kamu peduli jika dunia di ambang kehancuran?"
"Katakan itu pada bokongku," jawab Wisesa seraya jari telunjuk kirinya di arahkan ke bokongnya. Kakinya terus melangkah dan menghilang dalam kelam malam.
***
Perut kenyang tak bisa mengobati hati yang berdebar marah dan sedih. Perasaan milik sang gadis Crimsonmane terbawa sampai ke kasur, yang akhirnya membuat Alicia tak bersemangat menyambut bunga mimpi.
Sebenarnya Alicia sudah cukup kelelahan hari ini. Tapi perlakuan tak mengenakkan dari Wisesa, terlebih bagaimana dia meresponnya terakhir kali membuat rasa kantuk itu lepas dari genggaman raga. Dia duduk di langkan seorang diri, bermuram durja, melihat bayang-bayang para pengungsi terlelap tenang di balik tirai pendopo. Sesaat, ia memikirkan kembali, merangkul satu orang yang yang diramal seperti dirinya saja susahnya setengah mati. Bagaimana dengan keempat yang lain?
"Aku rindu Nadine dan Gilmore," kata Alicia kepada Orb di tangannya. "Aku rindu Papa dan Leith."
Alicia, apa kamu sedang menangis? Lingkaran putih bersinar pada Orb dapat melihat wajah sang gadis yang sedang merintih.
"Menangis? Aku lelah. Jangan khawatir, Orb," jawab sang gadis. "Mataku berair karena lelah, tapi aku belum bisa tidur."
Alicia ...? Orb seperti tidak percaya padanya. Ia menagih untuk alasan yang tepat. Kau tahu aku bisa melihatmu terisak, bukan?
Mana mungkin—apalagi boleh—Alicia mengelak demikian. Matanya semakin terpejam keluar membendung ledakan tangis. Ia mencoba sekuat tenaga menjaga nafasnya berirama teratur, sebelum dirinya berujar kembali. "Astaga, apa aku harus bersama dengan orang itu? Kubayangkan dari penglihatanku, keempat anak yang lain pasti lebih buruk."
Kehangatan Arcane semakin terasa dari tengah dada sang gadis. Orb seperti sedang memberikan pelukan. Kendati Alicia tak merasakan rangkulan tangan menyambangi pundaknya, dekapan Arcane begitu hangat, begitu menenangkan. Entah apakah ini tindakan yang benar atau salah, karena hati Alicia malah makin tak karuan. Dirinya semakin kesulitan menahan isak tangis, terlihat dari cara kepalanya yang tertunduk.
Kehangatan ini berbeda dari biasanya. Kehangatan yang terlupa, yang tak pernah dirasakan lagi selama lebih dari dua tahun—dekapan kasih sayang dari ibunya sendiri. Dia merasa tak layak untuk mendapat dekapan seperti itu—atau lebih tepatnya, ia tak menginginkannya. Itu membuatnya teringat sosok wanita yang ia sayangi dan ia puja. Itu menyakitkan, sungguh.
𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘶𝘢𝘵, kata Orb. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘶𝘳𝘶𝘬, 𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘭𝘶𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶, 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪.
"Aku harap begitu," sahut Alicia, "Aku harap aku tidak akan kehilanganmu lagi."
𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘢𝘵.
Rintihannya mereda. Cegukannya terkendali. Alicia hanya berdiam diri sesaat sampai dia tenang sepenuhnya. Setelah dia berhenti menangis, bertanya lagi Alicia kepada Orb, "Kamu sungguh tidak apa-apa saat berada dalam cengkraman Wisesa?"
Orb menandung nada yang artinya, 𝘔𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪? 𝘚𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘈𝘭𝘪𝘤𝘪𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶. 𝘞𝘪𝘴𝘦𝘴𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘶𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘥𝘰𝘩. 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘨𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢. 𝘛𝘪𝘢𝘱 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘢 𝘨𝘢𝘨𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘵𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘶, 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘤𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘶𝘭𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘰𝘣𝘢 𝘭𝘢𝘨𝘪.
Alicia mulai tertawa kecil, "Tampaknya sudah menjadi ciri khasnya."
𝘖𝘩, 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘮𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘶𝘮𝘱𝘢𝘵𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯-𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯.
Alicia kembali diam. Kembali matanya memberi tanda kebimbangan. "Menurutmu, apakah Wisesa dapat melunak jika kita benar-benar melakukan perjalanan ini?"
𝘐𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘶𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘈𝘭𝘪𝘤𝘢: 𝘋𝘪𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘢 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘪𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘚𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶, 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘥𝘢𝘬-𝘭𝘦𝘥𝘢𝘬.
"Ki Semar melakukannya. Aku belum melihatnya berubah."
𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬𝘬𝘢𝘩 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱 𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘳 𝘥𝘪𝘣𝘢𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯?
"Kamu mengatakan kalau dia menaruh hormat kepada Semar?"
Semar tidak akan bersamanya saat kita pergi. Jika Semar membuatnya sedikit jinak dalam waktu singkat, bayangkan apa jadinya jika dia bersamamu selama perjalanan menyelamatkan dunia?
"Aku hampir tak percaya dia punya semacam perkembangan karakter seperti di dalam dongeng berjilid. Apakah semakin muak melihatku itu termasuk perkembangan karakter?"
Orb mengeluarkan bunyi mesin mencicit. Sang gadis hanya tersenyum kecil. "Ya, itu lucu. Tertawalah sesukamu."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dalam menuju serambi. Segera ia menyeka air matanya agar jangan siapapun melihatnya dalam keadaan menyedihkan.
Semar membuka pintu dan mendapati Alicia dengan bola bersinar berpangku pada kedua telapak tangannya. Orang tua itu melayangkan senyum tulus pula, dan bertutur, "Nona dan bola sihirnya sangat akrab sekali. Sayang saya tak mengerti apa yang kalian saling cakapkan. Apakah saya mengganggu kalian?"
"K-Ki Semar!" Alicia pura-pura heboh. "Sama sekali tidak! Tapi kuharap kamilah yang tidak menganggu tidur Ki Semar dan yang lain."
"Yang lain sudah terlelap," jawab Semar. Kamu seharusnya juga sudah harus tidur. Ini sudah sangat larut."
Semar mendorong kursi mendekati undakan tempat Alicia terduduk, kemudian mendaratkan diri ke bantalan kursi tersebut. "Coba tanyakan kepada bola Kalimasada itu, apa pendapatnya mengenai diriku?"
Tanpa disuruh, Orb sudah mendendangkan nada-nada. Sontak Alicia memotong nyanyian sang bola. "Orb! Jangan berbicara seperti itu!" sergahnya.
"Apa itu? Saya ingin mendengarnya, Nona," pinta Semar. "Jangan khawatir. Saya bukan monster seperti tadi. Katakan saja sejujurnya."
Alicia menjadi ragu-ragu. "Orb bilang ..., Ki Semar harus mengurangi makanan berlemak, apalagi daging babi. Itu k-karena ... Ki Semar sudah tua, dan dengan pola hidup seperti itu, rupa Ki Semar sudah menyerupai hewan ternak tambun."
Alicia harusnya sudah tahu bahwa Semar tidak mudah tersinggung. Ia malah terkekek menyambut jawaban dari Orb. "Bola Kalimasada itu ternyata punya selera humor yang bagus. Oh, kau hebat, Orb! Tapi tidak, terima kasih. Justru karena sudah tua, setidaknya saya ingin melakukan yang aku mau. Toh, sudah bau tanah diriku ini." Dia kembali berdengkang.
Kepala desa Tumaritis itu melanjutkan lagi, "Nona, saya harap setelah kejadian seharian ini, mengenai bagaimana saya berlaku kasar—setidaknya jika Nona menganggap demikian—ketahuilah saya tidak benar-benar ingin berbuat kasar kepadamu."
"Ki Semar, jangan. Aku mengerti. Tidak perlu minta maaf," Alicia menukas beliau. "Pasti sulit mengurus kedua remaja yang bandel. Apalagi jika yang satunya adalah Wisesa."
"Dan kuharap kamu pun tidak mengambil hati semua perkataanya."
"Itu sulit, jujur saja. Tapi aku harus berusaha. Setidaknya jika aku harus bersama-sama dengannya, kelak?"
Air muka Semar berubah menjadi kebingungan. "Yang Nona maksud dengan 'bersama-sama denganya kelak' adalah ...?"
Sempat panik Alicia, mengira ia keceplosan. Tapi Orb meyakinkan sang gadis untuk memberitahukannya semua itu. Beruntung teman bolanya hadir, kini dia setidaknya mendapatkan secercah pengetahuan mengenai siapa yang dapat dipercaya atau tidak. Entah bagaimana Orb mengetahuinya, dia bisa saja, seperti bagaimana dia mengetahui kalau sosok gadis culun berusia enam belas tahun bernama Alicia Crimsonmane memenuhi kriteria juruselamat dunia.
Maka, Alicia memberitahukan semuanya. Asal-usul dia sebagai yang terpilih sebagai pemegeang Kalimasada, tentang dirinya menjadi buron para penyihir lain, tentang nubuatan Enam Anak, penglihatan di Pohon Pengetahuan, dan bagaimana deskripsi Barong sama persis dengan apa yang gadis lihat di penglihatan tersebut. Tak lupa ia bertanya mengapa monster seperti Barong (dan orang berengsek seperti Wisesa) bisa-bisanya menjadi calon juruselamat. Jika nubuatannya hanya mencakup jurubinasa, tidak hanya Barong, Wisesapun boleh masuk di dalam daftarnya dengan senang hati.
Benar-benar terkejut Semar kali ini. Bukan karena lelucon macam candaan Orb tadi, melainkan karena ia seperti mengingat sesuatu yang barangkali berhubungan dengan ramalan tersebut.
"Begini saja, Alicia," kata Semar. "Aku akan menceritakan suatu cerita padamu."
"Cerita?"
"Benar, cerita. Setelah itu, Nona harus kembali ke kamar dan segera tidur. Mengerti?"
Alicia tidak butuh cerita pengantar tidur. Tapi apa boleh buat, dia pun mengangguk setuju. "Dongeng apa yang Ki Semar ceritakan?"
"Bukan dongeng. Aku ingin menceritakan tentang mahluk yang bersemayam di dalam Wisesa—Barong. Kuharap setelah mendengarnya, Nona bisa mendapatkan sedikit inspirasi cara menangani mahluk keramat itu beserta inangnya."
"Ki Semar, tunggu sebentar!" Alicia segera melompat dan berlari masuk ke rumah. Tak lama kemudian, dia tak hanya memegang Orb dalam tas. Buku catatan beserta pena sudah terpegang pada masin-masing tangan. Ia bersimpuh, matanya lelahnya berbinar dalam sekejap, melihat Semar.
"Aku sudah siap, Ki Semar. Ceritakan semuanya kepadaku!" raut wajah sang gadis kembali bersemangat. []