Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 89 - BARONG, THE GUARDIAN OF THE REALM, AND ITS FALL

Chapter 89 - BARONG, THE GUARDIAN OF THE REALM, AND ITS FALL

"Sang Hyang Sukra adalah seniman dari para seniman, Pemahat Yang Kekal. Ia memahat sebuah mahakarya agung yang membuat dewa lain iri—Bumi dan segala isinya. Tak bisa disangkal pula, Sang Hyang Sukra pun ikut iri akan dirinya sendiri, karena ia tak dapat membuat seni yang seagung itu setelahnya. Ia begitu mencintai bumi, mengangguminya setelah matahari terbenam, bahkan sampai fajar sudah menyingsing.

Tidak ada yang bisa membuat karya seperti itu dan tak ada yang melebihinya lagi. Itu membuat si Dewa Tua, Sang Hyang Bhatara Wredharaja dengki. Sang Hyang Bhatara Wredharaja adalah seniman pula; ia membuat sebuah bumi gersang bergenang belerang, dan hanya itu yang bisa dia buat. Dia pun diam-diam menghancurkan bumi dan segala isinya ketika Sang Hyang Sukra sedang tidak mengagumi bumi. Dia membenamkannya dalam air, hingga bulatan planet tak lain hanyalah genangan biru.

Ketika ditemukan bumi yang indah itu sudah tak ada lagi, menangislah Sang Hyang Sukra. Keadaan kembali seperti semula; karya terindah di antara para dewa adalah dunia gersang bergenang belerang karya Sang Hyang Bathara Wredharaja. Mengetahui dalang pengrusakan bumi adalah Wredharaja sendiri, ia membunuh Wredharaja, lalu menyegelnya dalam kotak agar ia tak dapat keluar saat bangkit lagi. Nona tahu, mereka adalah dewa. Tentu keabadian adalah salah satu ciri-ciri mereka.

Setelah kerabatnya sendiri disembunyikan, ia pun mengasingkan diri pula, dan menciptakan bumi dari awal. Namun kali ini, ia menambahkan pengamanan tambahan. Sang Hyang Sukra mengambil langkah nekat agar mahakaryanya itu abadi. Ia mencampurkan tanah lempung yang hendak ia buat membentuk bumi dengan darahnya, kemudian lemak dan air di dalam tubuh, serta dagingnya sendiri—tali pusar, lebih tepatnya."

Alicia melambaikan sedikit tangannya. "Bagaimana Sang Hyang Sukra ini mendapatkan tali pusar? Apa ini berarti tali pusarnya tak pernah dipotong?"

"Hm...," Semar tertegun sebentar. "Dia itu dewa. Mungkin dia bisa menumbuhkan tali pusar? Nona harus menanyakan itu kepada Dewa Sukra sendiri."

"Sedikit menjijikan, menurutku. Tapi aku bukan seorang dewa. Maaf, silahkan dilanjutkan, Ki Semar!"

Semar kembali dengan ceritanya, "Sukra melakukan semuanya itu untuk mencegah Wredharaja mendatangkan malapetaka bagi buminya, kali-kali ia lepas dari penjara segelnya.

Dari keempat aspek Sukra, ia menciptakan mahakarya agung lagi, dengan empat pelindung. Keempatnya bermanifestasi menjadi mahluk pelindung yang mengawasi setiap mahluk dunia. Pelindung bumi ini mempunyai ribuan sebutan tergantung kepada siapa Nona bertanya. Namun Lojitengara meyakini nama keempat pelindung itu adalah: Anggapati, pengawas manusia dan segala yang bernafas. Mrajapati, yang maha hadir di tempat mahluk bernafas itu mati, dan bersemayam di kuil-kuil. Banaspati, penunggu sungai, laut, danau, jurang, dan angkasa. Terakhir adalah Banaspatiraja, pelindung seluruh daratan dan hutan-hutan. Keempatnya melindungi bumi dari pengrusakan Wredharaja, serta mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengikuti kehendak dewa licik tersebut.

Tidak itu saja, Nona. Konon, keempat aspek dari Sang Hyang Sukra adalah pengajar sihir kepada manusia-manusia pertama, agar mereka dapat membela diri dari serangan magis Si Dewa Tua!"

Pena Alicia kerap mencoret-coret di kala Semar mendongeng. Pena itu tiba-tiba berhenti ketika Semar menyinggung keempat pelindung bumi sebagai pengajar sihir pertama. Alicia mendongak ke wajah Semar yang lanjut umurnya. "Keempat aspek Sang Hyang Sukra sebagai master seni mistis pertama? Aku tidak pernah membaca itu di ensiklopedia sihir Mama!"

"Tentu saja tidak ada di buku," jawab Semar, "Ini adalah cerita leluhur yang sudah lama dilupakan. Tidak diceritakan lagi bahkan sampai generasimu datang. Sampai mana tadi? Oh ini, dari keempat mahluk ini, kita akan befokus kepada Banaspatiraja.

Dialah pelindung bumi tempat berpijak dan pohon-pohon menjulang. Ia berasal dari tali pusar Sang Hyang Sukra. Syang Hyang menghendaki agar perwujudan Banaspatiraja mencampur-baurkan berbagai jenis mahkluk: Tubuhnya perkasa dari beruang, sifatnya mengayomi dari sapi, surainya anggun dari singa, bulunya berloreng dari harimau, bulunya halus dari burung gagak, ekornya mematikan dari naga, keindahannya dari kembang-kembang mekar, dan kepintarannya dari manusia. Banaspatiraja ini pun mendapatkan banyak julukan: Sang Maha Kala, I Salabir, Bagawan Tatul, dan yang terakhir, Barong."

"Kurasa orang Lojitengara sangat senang memiliki banyak nama. Tapi tunggu ...." Alicia memotong cerita Semar lagi. "Jadi Barong itu, pelindung hutan? Bukan sekedar monster haus darah pemakan manusia yang diceritakan oleh Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum?"

"Tidak ada yang bisa menyalahkan mereka dan warga yang lain jika beranggapan demikian. Barong yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Betul, dialah pelindung hutan dan alamnya. Dulu, orang-orang memohon doa hingga memohon ilmu kepada Barong saat dilanda wabah atau ketika diserang oleh entitas berbahaya di hutan belantara."

"Lalu, apa yang terjadi dengannya?"

"Semua itu bermula dari seorang ratu ilmu hitam tersohor di Lojitengara Kuno."

"Sepertinya aku tahu siapa itu. Aku mungkin pernah membacanya di buku!"

"Begitu? Kalau begitu, bisa Nona sebutkan siapakah dia?"

"Aku tidak tahu nama aslinya, tapi dia mempunyai julukan. Penyihir Janda."

Semar mengangguk setuju. "Betul sekali. Sang Janda. Rangda adalah sebutannya dalam lidah Yawa Lama. Dan dia mempunyai nama, yaitu Calon Arang. Dia adalah seorang ratu yang mempelajari sihir hitam dari Mrajapati. Akan tetapi, karena tidak dapat mengendalikan diri, dia ketagihan untuk merugikan orang lain dengan tenunangannya itu. Dia dan seluruh keluarganya diasingkan oleh paduka raja—yang ternyata diketahui juga mengingini wanita lain. Calon Arang menjadi janda karena dicampakkan, bentuk penghinaan menurut kebudayaan Lojitengara."

"Itu ... menyedihkan. Di satu sisi sihir hitam merusaknya. Di sisi lain, dia tidak beruntung karena berhubungan dengan pria brengsek."

"Sungguh menyedihkan, memang. Itu membuat Calon Arang semakin giat mendalami ilmu hitam hingga merusak diri sendiri. Dia menyebarkan para Leyak—para penyihir pengikutnya—untuk mendatangkan wabah penyakit ke seluruh Lojitengara Kuno, serta banjir bandang yang menggagalkan panen, semua atas namanya. Hasilnya mengenaskan; jutaan rakyat mati kelaparan dan terpapar wabah darinya. Kerajaan-kerajaan kecil tunduk kepada Calon Arang yang membangun dinastinya sendiri: Nagari Kadhaton Girah.

Dia menyelewengkan pengetahuan roh dari Mrajapati dan pengetahuan air dari Banaspati. Calon Arang bahkan tumbuh menjadi lebih kuat dari ketiga pelindung Sang Hyang Sukra. Sang raja pun menghaturkan doa ke pelindung bumi yang lain, Banaspatiraja, sang Barong.

Banaspatiraja menanugerahkan pasukan raja dengan kekuatan keramatnya. Bersama sang Pelindung Hutan, sang raja dan seluruh pasukannya menyerbu Kadhaton Girah, yang bersebelahan dengan Alas Purwo, terhalang oleh laut. Calon Arang ikut mengerahkan para Leyak guna menumpas mereka semua!

Barong dan para pasukan raja mengalahkan para Leyak dengan mudah. Calon Arang turun tangan dan mengeluakan mantera kutuk yang membuat para pasukan kerajaan, bahkan sang raja sekalipun, menggorok leher mereka sendiri dengan keris! Barong yang adalah pelindung bumi sejak awal mula hampir saja terpengaruh kutukan Calon Arang. Diketahuilah bahwa kekuatan Calon Arang tak hanya berasal dari para Pelindung Bumi saja. Kekuatannya bertambah kuat dari berkat manifestasi Sang Hyang Bhatara Wredharaja yang menyusup loka. Pertarungan sengit tak terhindarkan pecah antara Barong dan Calon Arang yang meluluhlantakkan kerajaan Girah, membelah selat, dan hampir menenggelamkan pulau Yawa! Sangat disayangkan para penduduk malang yang tak berdosa harus terjebak di dalam badai tempur maha dashyat itu!"

"Aku bisa menebak kalau Baronglah yang memenangkan pertandingan itu," kata Alicia.

"Seperti selayaknya sebuah dongeng nenek moyang—meski sekali lagi, aku tak akan mengatakan itu sebagai dongeng—Barong berhasil menundukkan Calon Arang dan kuasa Wredharaja. Calon Arang tak dapat dibunuh karena berkat kekuatan Si Dewa Tua, dirinya abadi dan setara dewa-dewa. Maka diciptakanlah sebuah segel dari para jiwa-jiwa penduduk Yawa dan Girah yang gugur, yang menjadi tiang-tiang kerangkeng yang mengelilingi Penyihir Janda. Ilmu segel ini dinamakan sesuai nama sang Barong, Kawisesan Sang Hyang Banaspatiraja.

Ada satu kekurangan mengenai sihir segel ini: Segel ini bisa melemah seiring waktu, sehingga Calon Arang yang abadi bisa lepas dari segel tersebut. Maka setiap seratus ratus tahun sekali, seorang dukun harus memanggil arwah korban pertempuran Barong dan Calon Arang, agak tampak pada indera penglihatan dukun tersebut, visualisasi penglihatan penjara Calon Arang. Pada saat itu Barong harus muncul dan menundukkan Calon Arang lagi, serta memperkuat segel pada arwah-arwah tersebut."

"Barong harus memperkuat segel yang menahan Calon Arang setiap seratus ratus tahun ...." Alicia bergumam sambil meringkas dongeng dari Semar dalam tulisan. Sang gadis sangat menaruh perhatian akan semua detail-detailnya, dan semakin ia pikirkan, semakin ia terkagum akan kemegahan panggung dunia sihir pada cerita tanah Lojitengara. Semakin ia tak sabar akan epik sihir lain yang menunggunya di tanah-tanah yang belum tersentuh sang gadis.

Alicia kembali bertanya kepada Semar, "Jadi, setelah semua yang Ki Semar ceritakan padaku, inikah saatnya ketika Barong malah berbalik melawan manusia?"

Semar mengangguk pelan. Wajahnya tegang. "Tiga ratus tahun yang lalu. Entah bagaimana, dan atas interupsi siapa. Untuk pertama kalinya, Calon Arang mengalahkan Barong dalam pertandingan rutin mereka. Penyihir Janda lepas dari segelnya, menculik Barong, dan membiarkan arwah-arwah penjaga melemah, menjadi jiwa-jiwa penasaran tanpa gairah di tanah orang hidup."

"Oh, tidak. Itu memprihatinkan."

"Tidak tahu apa yang diperbuat oleh Calon Arang terhadap Pelindung Bumi yang satu ini. Aku mencurigai bahwa Barong telah dikorupsi Si Dewa Tua, membuatnya haus darah manusia yang tak punya niat jahat sekalipun."

"Ki Semar sempat menyebutkan Calon Arang berasal dari Girah. Apakah mungkin Barong dibawa ke sana, disembunyikan oleh orang-orang Girah dimana mereka melakukan ritual keji terhadapnya?"

"Itu dia! Aku pun mencurigai kalau Barong disembunyikan di sana, tapi petinggi Girah bersikeras bahwa mereka tidak melakukannya. Mereka tak pernah melihat Calon Arang. Meskipun Girah pasca Calon Arang relatif damai dan tidak banyak tingkah, tetap saja sebagai pusat sihir hitam di Lojitengara saya tetap menaruh curiga. Yang diketahui oleh orang banyak saat ini adalah Barong yang lepas itu dapat ditangkap oleh Kasunanan Alas Purwo untuk dijadikan senjata perang—anak yang malang itu—kemudian sialnya lepas lagi, membawa inang manusianya."

Agaknya Alicia bisa sedikit memaklumi tingkah laku Wisesa yang tak mengenal tata krama. Pastilah sulit terjebak dalam suatu drama sihir pelik yang memakan waktu beratus-ratus tahun lamanya. Sang gadis memberikan rasa salut dalam hati ketika kepala lelaki sebayanya itu tidak pecah saat menghadapi situasi tersebut. Meskipun kepala yang sama pula kerap kali selalu panas hingga mengeluarkan uap.

"Itu benar," Alicia menyahut, "Aku dan Orb dapat merasakan inti Khaos pada Barong."

"Semoga dari penggalan cerita tadi, Nona dapat memahami sedikit keadaan Wisesa. Dan, karena dirimu adalah pemilik Kalimasada, maafkanlah aku jika aku memita tolong kepadamu untuk sebuah beban yang berat, yakni mengembalikan Barong seperti semula."

"Ki Semar, aku menerimanya dengan senang hati, tapi aku tidak bisa memurnikannya saat itu. Seranganku malah menembus Barong."

"Karena Barong sebenarnya bukanlah mahluk dengan fisik nyata, dan dia bukan juga sebuah roh. Dia adalah manifestasi dari ari-ari Sang Hyang Sukra, yang dapat mengambil rupa raga maupun jiwa," jelas Ki Semar.

"Lalu bagaimana caranya aku memurnikan sebuah manifestasi?"

"Ketika manusia meninggalkan raga, rohnya mempunyai lebih banyak jalan masuk menuju alam lain, termasuk alam manifestasi suatu aspek kehidupan. Sebenarnya Nona bisa mencapai manifestasi Barong secara langsung jika Nona dapat melakukan sihir antar dunia; berpindah-pindah alam atau semacamnya."

Mendengar Ki Semar, wajah Alicia menjadi muram. "Aku ... tidak bisa melakukan sihir semacam itu dengan Orb. Aku bisa melakukan apapun kecuali yang membutuhkan disiplin dari seni mistis tertentu."

"S-sungguh?"

"Sungguh. Maaf."

"Tunggu di sini."

Orang tua itu masuk ke rumah. Tak lama kemudian, ia berjalan kembali ke serambi dengan sebuah buku.

Satu lagi buku usang untuk dia baca. Alicia menebak, "Sebuah grimiore?"

"Betul. Sebuah kitab yang mencatat sejarah mantra-mantra perdukunan kuno dan implementasinya."

Semar memberikannya kepada Alicia. Alisnya berkerut akan semua isi di dalamnya.

"Bagaimana?" Semar bertanya seolah penuh harap.

"Bagaimana, apanya?" Alicia menggeleng, "Aku tidak bisa membaca semua tulisan ini!"

"Karena itu bukan untukmu. Itu untuk Wisesa. Di buku itu terdapat mantra Kawisesan Sang Hyang Banaspatiraja. Wisesa tak mempercayai kalau mantra ini dapat digunakan untuk menyembuhkan Barong karena membutuhkan daya yang kuat. Tapi sejak ada Nona di sini. Kupikir ini bisa menjadi salah satu opsi."

Seketika mata sang gadis terbuka lebar, penuh binar yang sebelumnya sempat pudar. "Dukun, perantara para roh, dan Arcane, kekuatan terbesar! Aku mengerti, Ki Semar!" katanya "Aku hanya perlu meyakinkannya untuk ikut denganku. Serahkan saja itu kepadaku!"

"Dan aku yakin Wisesa akan luluh hatinya dan setuju untuk ikut denganmu. Hanya saja, cobalah untuk tetap sabar menghadapinya. Dia benci sesuatu berlaku kasar kepadanya. Apalagi Nona cantik sepertimu tidak patut berbuat kasar pula!"

Alicia tertawa kecil, "Jikalau aku memang cantik, Wisesa tetap tidak peduli. Tapi aku punya mandat, dan mandat itu mengharuskanku untuk membawanya."

Dengan demikian, selesailah dongeng sebelum tidur dari orang tua tersebut. Alicia pun akhirnya mendapat kantuk. Keduanya beranjak.

"Aku belajar banyak hari ini, dan semakin banyak halaman kosong pada bukuku kini bertinta." Alicia memberi hormat kepada orang tua itu. "Terima kasih banyak, Ki Semar."

"Bagus, bagus," pungkas Semar. "Sekarang tidurlah, Nona, sebentar lagi subuh."

"S-subuh?"

Alicia merasa janggal untuk tidur di waktu subuh. Pengalaman baru untuknya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Jangkrik dan katak kembali mengambil panggung paduan suara pada tanah yang diberkati gemerlapan secuil bintang. []