Chereads / The Gladiol / Chapter 32 - Hantu Apartemen

Chapter 32 - Hantu Apartemen

"Hiyyaaaaaattt!"

Amy mengayunkan tinjunya pada hantu perempuan yang sering mengetuk balkon atap kamar apartemennya. Namun hantu itu terbang dan melewati atas kepalanya.

"Sialan!" umpat Amy.

Ia berlari mengejarnya namun dia menghilang. Sesaat muncul kemmbali dari belakangnya. Tanpa Amy sadari hantu itu mendorongnya ke pembatas pagar hingga membuatnya oleng dan hampir terjatuh dari lantai yang tinggi.

"Mati kau monster!" hantu itu cekikikan.

"Amanda!"

Alfa datang sesaat sebelum Amy benar-benar jatuh. Ia memegang tangannya lalu menariknya. Mereka berdua jatuh dengan posisi Amy di atas Alfa.

"Kau baik-baik saja?" Alfa khawatir, namun Amy malah marah.

"Kau harusnya menangkpanya dengan botol khusus yang kuberikan padamu, Bodoh, bukannya menyelamatkanku, aishh. Kapan kau akan benar-benar berguna!"

Amy segera bangun dan kembali mencari keberadaan musuh astralnya itu. Namun ia tak menemukannya. Hantu itu menghilang, dia pasti mengira Amy telah jatuh dari gedung apartemen.

"Dia pasti ke lantai dasar. Ayo cepat!"

Amy segera keluar dari balkon melalui pintu, sedang Alfa yang kembang kempis napasnya hampir habis memaksa berdiri setelah rebahan di lantai karena menangkap tubuh Amy tadi. Mereka berdua turun dari balkon dengan lift.

"Kau bawa botol yang kuberikan kemarin, kan? Jangan bilang kau lupa? Atau aku akan membunuhmu."

"Tentu saja aku bawa," Alfa cemberut. Ia membuka isi ranselnya lalu mengeluarkan botol kecil berbentuk balok yang terbuat dari kaca.

"Lihat ini," kata Alfa sembari menunjukkan botol kecil itu.

"Hantu perempuan memang yang paling menyebalkan. Dia selalu menggedor atap kamarku padahal jarak balkon dan kamarku sangat jauh. Apa dia juga mengetuk atapmu atau pintumu?"

"Ti…tidak." Alfa membuang muka.

"Apa ini? Kau berbohong?" Amy menangkap gesture-nya yang aneh.

"Tidak. Kubilang tidak ya tidak."

Amy mendekat dan menatap lekat kedua mata Alfa, meskipun Alfa terus mengelak.

Seketika Amy menarik senyum di salah satu sudut bibirnya.

"Ah begitu rupanya. Dia juga pernah masuk ke kamarmu ya."

"Ha? Tidak! Jangan mengada kau!"

"Kemudian hantu perempuan sialan itu menyentuhmu saat kau tidur, kau menikmatinya sampai lupa kalau yang mengganggumu adalah han…"

"Tidak! Aku benar-benar tidak merasa kalau dia hantu malam itu, kukira dia…" Alfa melirik Amy sekilas. "Ah maaf. Aku berusaha berhenti memanggilmu dengan nama itu, tapi ternyata sangat sulit meskipun kita sudah 20 tahun sekarang."

"Woy, kerjakan pekerjaanmu baik-baik, bocah sialan! Pemilik apartemen akan membayar kita 3 kali lipat jika menyingkirkan setan menyebalkan itu kurang dari dua minggu."

"Kalau begitu aku tinggal mencari kasus yang lain. Lagipula pekerjaan kita tidak hanya menangkap satu hantu saja. Kurangilah sifat pemarahmu itu." Alfa tak habis pikir Amy masih tak berubah sejak dulu.

"Padahal dulu saat pertama kali bertemu, kau sangat manis. Aishh ternyata…"

"Ternyata apa? Apa huh?! Sudahlah ayo cepat turun."

Lift berhenti, mereka sampai di parkiran bawah. Keduanya berlari keluar dan mencari di depan pintu utama apartemen.

"Dia tidak ada di sini." Alfa mencari di semak-semak mungkin dia bersembunyi untuk mengejutkan mereka seperti di video jumpscare.

"Ah sial! Aku harus berhati-hati terhadap jumpscare," gumam Alfa merinding. "Pekejaan ini membuat orang waras jadi tidak waras."

Amy berdiri tak jauh dari Alfa. Ia mencari kemungkinan kemana hantu perempuan itu akan bersembunyi. Diliriknya Alfa yang juga tengah berusaha mencari. Amy menajamkan penglihatannya. Kedua tangannya mengepal sembari memejamkan mata. Dengan mata batin, ia fokus mencari area sekitar situ dengan diam konsentrasi. Alfa yang melihatnya mulai berhenti mencari. Ia paham apa yang tengah dilakukan rekan sesama pengusir hantunya itu.

"Dia mulai lagi."

***

Dr. Yohan keluar dari ruang operasi. Diluar ada sepasang suami isteri yang telah menunggu anaknya. Yohan menjelaskan kepada mereka setelah keluar.

"Operasinya berjalan dengan lancar," katanya sembari tersenyum. Pasutri yang mendengarnya bernapas lega, mereka berterima kasih pada Yohan.

Dari jauh Dio melihatnya, Yohan menyadarinya, ia kemudian pamit pada suami isteri tersebut. Ia menghampiri Dio.

"Dio," panggil Yohan.

"Dr. Yohan."

Mereka berdua saling sapa. Keduanya duduk di lobi rumah sakit yang dekat dengan kafetaria. Sembari minum kopi mereka berbincang.

"Sudah selesai pelatihannya?" tanya Yohan.

"Iya."

"Apa kau punya rencana akan masuk poli apa?"

"Ah itu…" Dio garuk-garuk kepala.

Yohan tersenyum melihat reaksinya

"Masa magangmu sepertinya masih panjang. Tidak apa-apa, jangan terburu-buru. Pak Holan dan direktur pasti sangat bangga padamu. Pikirkanlah dengan matang-matang, kau akan menjadi dokter, profesi ini tidaklah mudah, meski begitu bertahanlah."

"Aku sudah lama ingin berada di poli yang sama denganmu."

"Apa?" Yohan berhenti meminum kopinya. Ia tak bisa menahan tawanya.

"Kenapa kau tertawa?"

"Maaf-maaf. Aku tidak mengolokmu. Biar aku tebak, apa karena tesis yang kusinggung dulu?"

"Ah kau tahu rupanya," Dio tersenyum malu.

"Wah, benar-benar tidak bisa dipercaya. Aku heran kenapa direktur tertarik dengan itu, sekarang kau membuatku heran dua kali lipat. Apa yang sebenarnya kalian berdua pikirkan tentang tesisku?"

"Aku tidak bisa menebak isi otak kake. Tapi, judul tesismu terdengar tidak masuk akal, Dok. Aku membacanya berulang-ulang saat masih sekolah dulu. Setelah kubaca lagi dan lagi, berusaha memahami penelitian yang kau lakukan, berusaha memahami alurnya, hal itu sepertinya bisa terjadi di dunia nyata, meskipun persentasenya sangat kecil. 'Sel-sel abadi yang bersembunyi di ruang tubuh manusiai' kupikir itu judul sebuah novel," Dio mengengeh.

Dr. Yohan mengubah mimik wajahnya, Dio memperhatikannya.

"Mungkin ini terdengar fiksi, tapi aku pernah benar-benar bertemu dengan seseorang yang kemungkinan menyimpan sel abadi di dalam tubuhnya. Aku pernah sekali melihatnya, meskipun itu sangat singkat. Kau mungkin tidak akan mempercayainya begitu saja. Sejak itu aku melakukan penelitian secara mandiri dan terus menerus, dan tentu saja mengikuti etika uji sains, tapi sayangnya tak pernah berhasil. Tesisku hanya teori semata dan beberapa rancangan didalamnya hanya bisa diuraikan secara deskriptif namun tidak secara praktis. Negara kita tidak memperbolehkan manusia sebagai uji lab, dan aku bersyukur karena itu."

"Kenapa? Kau bisa mengujikannya pada hewan, kan?"

"Tidak. Aku juga sempat berpikir begitu. Aku tidak mau menyakiti hewan karena egoku. Bahkan sampai akhir penelitian pun aku masih berpikir bahwa mungkin saja aku terlalu banyak membaca komik dan nonton film hero. Aku mengakhiri tesisku dengan cara yang aneh, itu terdengar seperti bersambung bagi para dosen dan dokter. Karena aku sendiri tidak tahu bagaimana menemukannya dan mengakhirinya. Jadi aku sangat penasaran kenapa direktur tertarik dengan tesis gagal seperti itu. Sekarang ditambah satu lagi yang tertarik." Dr. Yohan melirik Dio dengan tersenyum, namun matanya sayu.

Dio bisa membayangkan betapa bersemangatnya orang yang dikaguminya, meneliti tentang hal yang sangat disukainya. Namun harus berhenti ditengah-tengah. Etika uji laboratorium sangat ketat dan harus ditaati oleh dokter, karena sesuai hak asasi manusia. Dio semakin kagum karena Dr. Yohan adalah orang yang baik.

"Dokter," panggil Dio denganraut wajah serius. "Orang yang kau temui itu…bolehkah aku tahu?"

"Ah itu…"

"Dr. Yohan!"

Tiba-tiba seorang suster meneriaki namanya. Ia memberitahu bahwa dokter bedah lain membutuhkannya di ruang operasi. Mereka berdua menghentikan pembicaraan.

"Dio, kita bicara lain kali lagi. Aku harus pergi sekarang."

Dio mengangguk. Ia melihat kepanikan di wajah suster itu dan Dr. Yohan. Dilihat punggung dokter dari kejauhan. Ia tersenyum simpul.

"Manusia ber-sel abadi…apakah benar-benar ada?" gumam Dio sembari menatap kopinya yang tenang.